Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol. Dari luar, ia memang tampak manis, bahkan kadang terlalu manis, tapi dalam kesehariannya ia lebih sering bikin orang geleng-geleng kepala karena ulahnya.
Sebaliknya, ada Adrian Wijaya, pria berusia dua puluh enam tahun yang sudah menjabat sebagai CEO salah satu perusahaan besar di Jakarta. Tingginya hampir mencapai 185 cm, tubuhnya tegap hasil rajin olahraga, wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata tajam yang selalu terlihat dingin. Jika Alira seperti kembang api yang meledak dengan warna-warni setiap saat, maka Adrian adalah patung es yang tidak pernah berubah ekspresi.
Pria itu perfeksionis, disiplin, dan sangat menjaga reputasi. Baginya, waktu adalah uang, dan uang tidak boleh terbuang hanya karena hal-hal sepele. Tidak banyak orang bisa mendekatinya, bahkan karyawannya sekalipun selalu menjaga jarak. Adrian dikenal sebagai “Tuan Es” oleh orang-orang di belakangnya, sebuah julukan yang sangat cocok dengan sikapnya.
Dua pribadi yang begitu bertolak belakang inilah yang tiba-tiba saja harus dipertemukan oleh takdir—atau lebih tepatnya, oleh rencana besar kedua orang tua mereka.
Semua bermula dari hubungan lama antara keluarga Ramadhani dan keluarga Wijaya. Ayah Alira, seorang pengusaha properti, sudah lama bersahabat dengan ayah Adrian yang merupakan pengusaha di bidang keuangan. Mereka sama-sama pernah melalui masa sulit di awal karier, dan pernah berjanji suatu saat ingin mengikat hubungan keluarga agar tidak hanya sekadar sahabat bisnis.
Janji itu lama terlupakan, sampai akhirnya kondisi kesehatan ayah Alira memburuk. Dalam kegelisahannya, ia teringat pada janji lama itu dan merasa inilah waktu yang tepat untuk menepatinya.
“Ramadhan,” kata Pak Pratama suatu malam saat makan malam bersama, “aku rasa ini saatnya kita benar-benar menyatukan keluarga kita. Aku ingin Adrian menikah dengan Putri-mu.”
Alira, yang kebetulan ikut makan malam itu, hampir tersedak sate kambing yang sedang ia kunyah. “Hah?! Menikah? Sama siapa? Jangan bilang sama anak Bapak yang mukanya kayak kulkas dua pintu itu!”
Ibunya segera mencubit lengannya di bawah meja. “Alira, sopan!”
Sementara Adrian hanya menoleh sebentar, ekspresinya tetap dingin tanpa perubahan. “Aku tidak setuju. Aku tidak punya waktu untuk urusan seperti itu.”
Namun, kedua ayah itu hanya saling tersenyum, seolah sudah memprediksi reaksi anak-anak mereka.
“Kalian masih muda memang, tapi pernikahan ini bukan hanya tentang kalian,” lanjut Pak Ramadhani. “Ini tentang keluarga kita. Tentang janji yang harus ditepati.”
Malam itu menjadi awal dari serangkaian perdebatan yang tidak pernah ada habisnya.
“Ayah! Aku masih muda! Aku bahkan baru mau kuliah. Masa disuruh nikah sekarang?” protes Alira di kamarnya.
Ibunya masuk dan duduk di sisi ranjang. “Nak, ayahmu hanya ingin memastikan kamu punya masa depan yang aman. Adrian pria baik, tampan, mapan. Banyak gadis yang mau jadi istrinya.”
Alira mendengus. “Kalau gitu biarin aja gadis lain yang ngantri! Aku nggak mau. Dia itu dingin kayak freezer! Aku yakin dia kalau ketawa pasti jarang banget, mungkin bisa dihitung pakai jari tangan bayi.”
Di sisi lain, Adrian juga tidak kalah keras menolak.
“Ayah, aku tidak butuh pernikahan. Aku bisa menjaga perusahaan tanpa harus menikah sekarang,” katanya dengan nada tegas.
Ayahnya hanya menatapnya tenang. “Adrian, kamu selalu sibuk dengan pekerjaan. Kamu butuh seseorang di sisimu. Gadis itu mungkin terlihat polos, tapi aku yakin dia bisa membuat hidupmu lebih seimbang. Kamu terlalu kaku, Nak.”
Adrian menatap ayahnya lama, lalu menghela napas. “Aku tidak akan membuka hatiku untuknya. Kalau ini memang harus terjadi, maka biarlah pernikahan ini hanya di atas kertas.”
Kabar tentang perjodohan itu akhirnya menyebar cepat di kalangan keluarga besar dan kerabat. Semua orang menunggu dengan penasaran bagaimana dua pribadi yang begitu berbeda bisa dipaksa bersatu.
Alira, dengan gayanya yang selalu blak-blakan, sering kali mengeluh kepada sahabat-sahabatnya.
“Bayangin aja, aku yang ceria, manis, centil, harus nikah sama pria es batu yang tiap jalan kayak bawa hawa kulkas portable. Gimana nggak sedih coba?!”
Sahabatnya hanya bisa tertawa. “Tapi kan dia ganteng banget, Ra. Dan kaya. Kayaknya hidupmu bakal kayak drama Korea.”
Alira melotot. “Drama Korea apaan? Ini mah lebih mirip horror Korea. Habis manis, sepahit-pahitnya.”
Sementara itu, Adrian tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja dari pagi sampai malam, tak sekalipun menunjukkan ekspresi panik atau resah. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu akan sulit menghadapi gadis berusia delapan belas tahun yang bahkan belum pernah masuk ke dunia kerjanya.
Hari demi hari berlalu, dan semakin dekatlah tanggal pernikahan yang ditentukan. Alira semakin gundah, Adrian semakin dingin. Tapi satu hal yang tidak mereka sadari: semakin mereka menolak, semakin besar pula rasa penasaran orang-orang di sekitar mereka. Semua menunggu, apakah si gadis centil akan berhasil menembus dinding es sang CEO dingin, atau justru mereka akan saling menjauh?
Dan malam sebelum hari pernikahan, Alira berdiri di depan cermin kamarnya. Ia menatap dirinya lama, rambutnya yang panjang, mata bulatnya yang cerah, serta senyumnya yang penuh kenakalan.
“Besok aku resmi jadi istri si Es Batu… Hmm. Kalau dia pikir bisa cuekin aku, salah besar. Aku bakal bikin dia nyesel udah nikahin aku. Challenge accepted, Adrian Pratama!” katanya sambil mengepalkan tangan dengan semangat.
Di tempat berbeda, Adrian menutup laptopnya dan berdiri di depan jendela besar kantornya. Lampu-lampu kota berkelip di bawah sana, namun pikirannya kosong.
“Besok… aku akan menikahi seorang gadis yang bahkan tidak aku kenal. Baiklah. Tapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan ini mengganggu hidupku. Aku tetap Adrian yang sama,” gumamnya dingin.
Dua hati dengan niat yang berbeda. Dua jiwa dengan sifat yang bertolak belakang. Namun besok, takdir akan memaksa mereka menjadi satu.
Dan tidak ada yang tahu, apakah ini awal dari bencana… atau awal dari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan.
Hallo readers jangan lupa tinggalin jejak ya 🌹
Bagi sebagian besar gadis, hari pernikahan adalah hari impian. Hari di mana gaun putih menjuntai indah, bunga-bunga segar bermekaran, dan tatapan penuh cinta dari pria yang akan mendampinginya seumur hidup.
Tapi bagi Alira Putri Ramadhani, hari ini adalah hari kiamat kecil.
“Aduh, kenapa sih aku yang kena? Dari semua orang di dunia, kenapa aku yang harus nikah sama pria itu?!” gerutunya sambil menghentak-hentakkan kaki, membuat para penata rias di ruangannya saling pandang dengan wajah khawatir sekaligus menahan tawa.
“Dek, tolong jangan banyak gerak ya, ini lagi pasangin eyeliner,” kata seorang MUA dengan nada memohon.
Alira mendengus, bibirnya manyun. “Eyeliner, eyeliner… percuma juga dandan cantik kayak gini kalau yang lihat cuma cowok es batu. Dia tuh ya, senyum aja kayak bayar pajak.”
Seisi ruangan langsung cekikikan pelan.
Alira, dengan rambut panjang bergelombang yang sedang disanggul rapi, masih terlihat cantik meski wajahnya cemberut. Gaun putih sederhana tapi elegan sudah menggantung menunggu ia kenakan. Sementara itu, di meja samping, ponselnya terus bergetar. Grup sahabat-sahabatnya dari sekolah tak berhenti membanjiri dengan pesan.
— “Ra, serius lo jadi nikah hari ini? Gila, cepet banget!”
— “Jangan-jangan kamu hamil duluan ya?”
— “Kirain kamu bakal nikah sama aktor Korea, ternyata sama CEO dingin.”
Alira mendesah keras lalu membalas dengan emotikon 🙄 dan mengetik cepat:
“Wish me luck aja. Doain aku nggak pingsan lihat wajahnya yang kayak freezer dua pintu itu.”
Di sisi lain gedung, suasana sangat berbeda.
Adrian Pratama, pria yang akan menjadi suaminya, duduk tegap di kursi besar dengan jas hitam pas badan. Wajahnya sempurna bak model iklan arloji, tapi sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan.
Asistennya, Rey, masuk membawa dasi. “Bro, semua tamu udah datang. udah siap?”
Adrian menghela napas pelan, menatap cermin. “Aku tidak pernah meminta ini. Dan aku tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lebih dari kewajiban.”
Rey hanya tersenyum tipis. “Setidaknya, calon istrimu cantik. Dan… unik.”
“Unik?” Adrian mengangkat alis.
Rey terkekeh. “Ya, unik… kayak bom waktu. Siap meledak kapan saja. Hati-hati aja nanti, bro, jangan-jangan hidupmu bakal penuh warna.”
Adrian tidak menanggapi, hanya merapikan dasinya dengan ekspresi dingin.
Waktu akad pun tiba.
Gedung pernikahan megah itu penuh dengan tamu undangan. Lampu kristal berkilau di langit-langit, bunga putih menghiasi sepanjang jalan menuju pelaminan. Musik lembut mengalun. Semua orang menunggu dengan antusias, apalagi berita tentang pernikahan dua keluarga besar ini sudah jadi gosip hangat.
Alira berjalan dengan gaun putihnya, wajahnya cantik sekali, meski ekspresi protes masih belum bisa hilang. Saat ia melirik Adrian yang duduk dengan tenang di depan penghulu, bibirnya otomatis menggumam pelan.
“Ya ampun, mukanya kayak batu nisan. Satu senyum aja nggak bisa apa?”
Beberapa orang di dekatnya mendengar dan langsung menahan tawa. Adrian menoleh sedikit, tatapan tajamnya menusuk, tapi Alira malah membalas dengan mengedipkan mata genit.
Penghulu kemudian mulai membacakan ijab kabul. Saat giliran Adrian, suaranya tenang, dalam, tanpa ragu. Semua orang langsung berdecak kagum: pria itu memang karismatik, meski dingin.
Giliran Alira ditanya, “Apakah saudari Alira Putri Ramadhani menerima…”
Alira spontan menjawab dengan nada setengah malas, “Iya, iya, saya terima. Tapi jangan salahin saya kalau saya bikin hidupnya pusing tujuh keliling!”
Seluruh ruangan mendadak hening, lalu pecah oleh tawa kecil dari tamu-tamu muda. Penghulu sampai terbatuk menahan senyum. Adrian hanya menutup mata sebentar, lalu membuka kembali dengan ekspresi… semakin dingin.
Setelah akad selesai, acara resepsi berjalan meriah. Musik, foto-foto, ucapan selamat. Alira sibuk meladeni tamu dengan wajah ramah, meski sesekali melirik suaminya yang berdiri kaku di sampingnya seperti robot.
“Mas…” bisiknya pelan.
Adrian menoleh singkat. “Apa?”
“Kamu bisa nggak sih pura-pura bahagia dikit aja? Kasian loh fotografernya, dari tadi motret kamu kayak motret patung lilin.”
Adrian hanya menjawab datar, “Aku tidak pandai berpura-pura.”
Alira langsung manyun. “Ih, sombong banget. Oke, mulai sekarang aku punya misi. Aku akan bikin kamu ketawa. Catet tuh.”
Malam mulai larut. Setelah resepsi selesai, mereka berdua akhirnya tiba di rumah besar Adrian. Rumah itu megah, modern, dengan interior serba putih dan abu-abu.
Alira langsung berdecak kagum. “Wah, ini rumah apa hotel bintang sepuluh?! Kalau aku teriak ‘halo’, pasti ada gaungnya!” serunya sambil berlari kecil masuk ke ruang tamu.
Adrian meletakkan jasnya, melepas jam tangan, lalu menatapnya datar. “Tolong bersikap sewajarnya. Kamu bukan anak kecil lagi.”
Alira menoleh cepat, tersenyum jail. “Ya ampun, Mas Es Batu, hidup tuh harus dinikmati. Nggak usah kaku banget. Nanti cepet keriput loh.”
Adrian menghela napas panjang. “Pertama, jangan panggil aku ‘Mas’. Kedua, jangan banyak bicara di depanku. Ketiga, jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti seorang istri. Kita menikah hanya karena keadaan, jadi jangan terlalu berharap.”
Alira sempat terdiam beberapa detik. Tapi kemudian, alih-alih sedih, ia malah tersenyum lebar dengan tatapan penuh tantangan.
“Ooooh gitu ya? Jadi kamu yakin nggak bakal jatuh cinta sama aku? Wah, menarik sekali! Challenge accepted, Tuan CEO. Aku janji, suatu hari kamu bakal nyesel pernah bilang kayak gitu!”
Adrian menatapnya lama, lalu memalingkan wajah. “Itu tidak akan pernah terjadi.”
Alira menjulurkan lidahnya nakal. “Kita lihat aja nanti, Es Batu.”
Di kamar masing-masing malam itu, keduanya memikirkan hal yang sama: pernikahan ini tidak akan mudah.
Alira menatap langit-langit kamarnya, berguling-guling sambil mendekap bantal. “Ya Tuhan, aku nggak nyangka hidupku berubah segini drastis. Tapi nggak apa-apa, aku siap! Aku pasti bisa bikin dia jatuh cinta. Tunggu aja, Adrian Pratama!”
Sementara itu, Adrian berdiri di depan jendela kamarnya, menatap lampu kota dengan ekspresi datar. “Dia pikir bisa mengubahku. Gadis itu terlalu polos. Dia tidak tahu, aku tidak bisa disentuh dengan cara semudah itu.”
Namun, jauh di lubuk hati masing-masing, mereka berdua sadar—hidup setelah ini tidak akan pernah sama.
Dan mungkin, justru di balik pernikahan tanpa cinta ini, akan lahir sebuah cerita yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Pagi pertama setelah pernikahan seharusnya penuh kehangatan. Suami-istri biasanya bangun dengan senyum, saling sapa manis, atau kalau di drama Korea, bangun tidur langsung tatap-tatapan romantis.
Tapi di rumah besar Adrian, kenyataan jauh berbeda.
Alira bangun lebih dulu, meski semalam ia sempat tidur gelisah karena kasurnya yang “terlalu empuk, sampai kayak tenggelam”. Begitu membuka mata, ia langsung punya ide "Hari ini aku akan bikin sarapan spesial buat suamiku. Biar dia tahu aku istri yang berbakat!"
Sayangnya, ada satu masalah besar Alira sama sekali tidak bisa masak.
“Telur, telur… gampang lah. Tinggal ceplok. Masa gagal?” gumamnya sambil berdiri di dapur yang super mewah itu.
Lima menit kemudian, asap tipis mengepul. Telur yang seharusnya sunny side up malah gosong di tepi, bagian tengahnya masih mentah. Alira meringis.
“Uh-oh… oke, nggak apa-apa. Tinggal kasih saus biar kelihatan estetik.”
Tak berhenti di situ, ia juga mencoba bikin nasi goreng. Entah kenapa hasilnya berwarna biru keunguan, mungkin karena ia salah menuang bumbu instan yang seharusnya dipakai untuk membuat dessert.
Dan untuk sup? Jangan ditanya. Warna kuahnya jadi pink. Ia sendiri nggak ngerti kenapa.
Setengah jam kemudian, meja makan penuh dengan “kreasi seni abstrak” yang ia sebut sarapan.
Adrian turun dari tangga dengan pakaian kerja rapi: kemeja putih, jas hitam, dasi abu. Wajahnya tenang, seperti biasa, tapi matanya langsung menyipit ketika melihat pemandangan di meja makan.
“…Apa ini?” suaranya datar, penuh kecurigaan.
Alira yang memakai celemek bergambar beruang, tersenyum bangga. “Taraaa! Sarapan buatan istri cantikmu!”
Adrian mendekat, menatap piring-piring itu dengan ekspresi seperti sedang menilai barang bukti kasus kriminal.
“Ini… makanan?”
“Ya iyalah! Masa lukisan? Ini telur cinta, nasi goreng pelangi, sama sup pink spesial. Semua penuh kasih sayang.”
Adrian menarik kursi, duduk, lalu menyilangkan tangan di dada. “Aku tidak akan makan ini. Aku punya rapat penting. Aku tidak bisa ambil risiko keracunan.”
Alira langsung manyun. “Ih, tega banget. Padahal aku bangun jam lima pagi demi bikin ini. Masa dicuekin gitu aja?”
Adrian berdiri lagi, mengambil cangkir kopi hitam buatan pembantu rumah tangga. “Lebih baik kamu tidur lagi daripada merusak dapurku.”
Alira spontan menepuk meja. “Oke! Mulai hari ini, aku punya misi bikin kamu makan masakanku sampai habis. Ingat kata-kataku, Tuan Es Batu!”
Adrian menoleh sekilas, lalu melangkah pergi dengan tenang. Sama sekali tidak menanggapi.
Tapi Alira tersenyum penuh tekad. “Hmm… liat aja nanti. Aku nggak akan kalah!”
Beberapa jam kemudian, Alira bosan sendirian di rumah besar itu. Ia berkeliling, menyentuh barang-barang mewah yang menurutnya lebih mirip museum daripada rumah.
“Wah, ini sofa mahal banget pasti. Kalau aku makan keripik di sini, kira-kira dimarahin nggak ya?” gumamnya sambil menjatuhkan diri ke sofa empuk.
Ia bahkan menemukan ruang kerja Adrian. Meja kayu besar, rak buku penuh dokumen, komputer canggih. Alira duduk di kursinya, memutar-mutar. “Asyik juga jadi CEO, kursinya muter-muter. Weeew~”
Sayangnya, di saat yang sama Adrian pulang sebentar untuk mengambil berkas yang tertinggal. Begitu membuka pintu ruang kerja, ia mendapati istrinya sedang berputar di kursi bosnya sambil bersenandung lagu anak-anak.
“Alira.”
Suara dingin itu membuat kursinya berhenti mendadak. Alira menoleh dengan wajah kaget, lalu nyengir. “Eh… kamu pulang? Surprise!”
Adrian menatapnya tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku… lagi nguji kursinya. Kan harus tau dong suami aku kerjanya nyaman atau nggak.”
“Keluar.”
Alira manyun. “Galak banget sih. Kamu tuh kalau senyum sedikit aja, pasti gantengnya nambah sepuluh kali lipat.”
Adrian tidak bergeming. “Keluar. Sekarang.”
Akhirnya Alira menyeret kaki keluar, tapi sambil berbisik, “Suatu hari, aku bakal bikin kamu senyum sampai pipimu pegel. Ingat kata-kataku, Es Batu.”
Malam harinya, saat Adrian pulang kerja, ia menemukan ruang tamu berantakan. Bantal sofa berserakan, ada keripik, dan… boneka kelinci raksasa duduk di tengah sofa.
“Apa-apaan ini?”
Alira muncul dari belakang sofa dengan piyama kelinci, wajahnya sumringah. “Tadaaa! Aku belanja online tadi sore. Rumahmu sepi banget, jadi aku dekor ulang biar lebih hidup.”
Adrian menatap boneka raksasa itu lama, lalu menatap Alira. “Keluarkan itu dari sini.”
“Eh, jangan gitu dong. Namanya Bubu. Dia bagian dari keluarga sekarang.”
“Alira.” Nada suaranya datar tapi jelas penuh peringatan.
Alira merangkul boneka itu erat-erat. “Nggak bisa. Kalau kamu mau usir dia, kamu harus usir aku juga!”
Adrian memijat pelipisnya, jelas mulai kehilangan kesabaran. Tapi pada akhirnya ia memilih berjalan naik ke lantai atas, meninggalkan Alira yang masih memeluk boneka dengan senyum kemenangan.
“Hah! Menang lagi!” bisiknya sambil melirik ke arah tangga.
Di kamar masing-masing malam itu, keduanya kembali memikirkan hari yang melelahkan.
Adrian duduk di kursinya, membuka laptop, mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi entah kenapa, bayangan wajah istrinya yang centil terus muncul. Suara tawa, komentar konyol, bahkan sup pink aneh itu.
“Kenapa gadis itu bisa begitu berisik… dan kenapa aku jadi memikirkannya?” gumamnya pelan.
Di sisi lain, Alira sedang mengobrol dengan boneka Bubu di kamarnya. “Dengar ya, Bubu. Suamiku itu batu es. Tapi aku yakin, es batu kalau kena api, lama-lama meleleh. Dan aku, Alira yang centil, bakal jadi api itu. Tunggu aja.”
Ia terdiam sebentar, menatap langit-langit. “Tapi… kenapa hatiku deg-degan ya kalau dia ngeliatin aku dengan mata dinginnya itu?”
Alira menutup wajah dengan bantal, berteriak kecil. “Aaaaak! Jangan-jangan aku yang duluan jatuh cinta?! Nggak boleh! Aku kan yang harus bikin dia jatuh cinta duluan!”
Dan malam itu, tanpa mereka sadari, permainan tarik ulur kecil sudah dimulai.
Pertanyaan pun menggantung di udara: siapa yang akan kalah lebih dulu? Si CEO dingin yang selalu tenang, atau si gadis centil yang tak kenal lelah?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!