NovelToon NovelToon

Suami Kedua Ku Over Posesif

Sah. (Pernikahan dengan mas Izham.)

"Sah."

"sah..." serentak para saksi menjawab dan mengucap 'Alhamdulillah'. Sepasang pengantin sudah menjadi pasangan yang halal.

Kucium punggung tangan suamiku dan dia mencium keningku.

Saat ini aku sangat bahagia akhirnya kami menjadi pasangan yang halal.

Setelah itu bergantian mencium tangan kedua Mertuaku dan juga Ibu ku. Ayahku sudah meninggal satu tahun yang lalu, kini tinggal aku dan Ibuku saja.

Selesei kami bersalaman, aku dan suamiku digiring untuk naik keatas pelaminan.

Didesa memang memiliki adat seperti ini, kami duduk di atas panggung yang sudah didekor sedemikian bagus dengan bunga-bunga dirangkai sangat indah disekitar kami. Ada juga orgen tunggal yang menghibur dengan artis berasal dari desa.

Aku dan mas Izham selalu tersenyum menyambut tamu yang memberi ucapan selamat.

Jam 9malam kami sudah turun dari pelaminan, dibantu suamiku aku turun dan kami menuju kekamar ku.

Sebelumnya kamar itu kamar ku, tapi mulai sekarang tidak lagi itu akan menjadi kamar kami berdua.

Kami berdua bergantian kekamar mandi untuk membersihkan diri.

Aku menyuruh mas Izham lebih dulu karna aku harus melepas segala t*tek bengek yang ada di tubuhku.

Oh,, iya, aku sampai lupa untuk memperkenalkan diriku.

Perkenalkan, namaku Keihana Kazumi. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Kei. Seperti nama laki-laki sih, tapi tak apa karna aku pun menyukainya.

Dan perkenalkan suamiku bernama, Izham Fairuq.

Aku dan Suamiku berpacaran sudah 3 tahun.

Selesei lulus kuliah, Mas Idzam langsung melamarku dan satu bulan setelah itu kami memutuskan untuk langsung menikah.

Aku ceritakan sesuatu, sebenarnya fisikku tidak sempurna aku seorang wanita yang berjalan dengan tongkat.

Dulu sewaktu kecil aku pernah mengalami kecelakaan, dan karna kecelakaan itu satu kakiku tidak lagi berfungsi. Sebenarnya jika dioperasi masih bisa berjalan normal tetapi orang tuaku hanya seorang buruh tani yang pasti tidak sanggup untuk membiayai operasi kaki ku yang membutuhkan banyak uang.

Ya,,,jadilah teman-temanku dulu memanggilku si gadis bertongkat.

Aku sama sekali belum pernah berpacaran selain dengan mas Izham karna aku sedikit menutup diriku dari pandangan lelaki. Lebih tepatnya aku merasa minder jika berdekatan dengan laki-laki. Aku sadar diri dengan kekuranganku, sudah pasti banyak lelaki yang tidak mau melirikku.

Sampai aku duduk di bangku kelas 3 SMA

waktu itu Mas izham menungguku digerbang sekolah, dia mengajakku berkeliling desa dan berhenti disebuah gubuk yang ada ditengah sawah dan disitulah Mas Izham mengatakan bahwa dia menyukaiku. Aku benar terkejut saat itu, mendengar mas Izham menyukai ku. Aku perempuan yang tidak sempurna.

Aku sempat menolak karna aku malu dan sadar diri, Mas Izham sangat dikagumi banyak gadis-gadis didesa kami.

Dia tampan dan memiliki tubuh yang nyaris perfect.

Aku sendiri memiliki wajah yang cantik, bersih, body ku sedikit berisi. Hanya saja aku berjalan dengan tongkat, itu yang membuat orang lain memandangku remeh.

"Hei,,, kenapa malah melamun?" aku terkejut ternyata Mas Izham sudah berdiri di belakangku dengan hanya memakai handuk saja.

dig,,,dug,,.

Jantungku,,,

Begitu saja mukaku sudah memalu, melihat dada bidang milik Mas Izham.

Mas Izham memegang pundakku, aku menunduk karna malu tetapi jari telunjuk Mas Izham menyentuh daguku. Aku berganti menatap wajah suamiku.

Pipi ku sudah pasti memerah sekarang,

pelan Mas izham mendekatkan wajahnya.

'aaaa'...' aku berteriak dalam hati.

"Mas, tunggu! aku belum membersihkan tubuhku." kataku.

Mas Izham mengurungkan niat untuk mencium ku.

"Ya sudah cepetan mandi, mas tunggu ya." kata Mas Izham.

Aku mengambil tongkatku dan berjalan keluar kamar karna memang kamar mandi rumahku ada dibelakang rumah.

Rumahku tidak besar, bahkan terbilang kecil hanya berukuran 9x9 meter saja.

Rumah-rumah didesa memang rata-rata memiliki ukuran rumah seperti itu.

Berbeda dengan rumah Kepala Desa atau pegawai desa lainnya yang ukurannya sedikit lebih besar.

Selesai membersihkan diri aku langsung menyusul Mas Izham berbaring dikasurku yang... ya, lumayan empuk lah.

Aku hanya memakai baju tidur berlengan pendek dan diatas lutut.

Sedangkan Mas Izham bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saja.

Aku berbaring disamping Mas Izham dan Mas Izham yang tadinya diposisi telentang sekarang berganti posisi miring menghadap ke arahku.

Tangan Mas Izham terangkat dan membetulkan anak rambutku, dia tersenyum manis.

"Apa kamu sudah siap dengan malam pertama kita?" mas Izham mengajukan pertanyaan itu kepada ku.

Aku merasa malu untuk menjawab pertanyaan mas Izham barusan dan hanya menganggukkan kepala memberi kode bahwa aku sudah siap.

Mas Izham mulai mendekatkan wajahnya, dan aku menutup mataku.

Tak lama, aku merasakan bibir Mas Izham menyentuhku lembut dan aku mulai menikmatinya.

Mas Izham menggigit-gigit kecil bibirku. Aku sedikit membuka mulutku dan Mas Izham mulai mengabsen rongga mulutku.

Aku mulai menikmati perlakuan itu, tangan Mas Izham yang menyentuh kedua buk*t kemb*r ku, dan juga turun kebawah.

"Ah..." aku mendesah pelan saat Mas Izham menciumi telingaku dan terus berpindah keleher.

Mas Izham sudah berganti posisi menjadi diatas ku.

Dia membuka pakaianku dan juga celana pendeknya.

Jantungku berdebar tak karuan, ini tentu pengalaman pertamaku.

Kami sudah sama-sama tidak berpakaian, mas Izham sudah siap berada diposisi nya.

Aku memejamkan mataku dengan rapat,

sesungguhnya aku sangat takut. Tubuhku tegang, membayangkan apakah sangat sakit.

"Tenang saja Kei. rileks jangan tegang seperti itu." mas Izham berbisik disamping telingaku, aku mengangguk.

"Mas, aku takut." kataku.

"Kamu nggak perlu takut sayang, mas akan melakukannya dengan pelan." mas Izham menjawab.

Mas Izham kembali mencumbui ku dan aku menjerit tertahan karna Mas Izham sudah berhasil membobol gawang ku.

Aku meneskan air mata, antara sakit dan bahagia.

Karna aku sudah memberikan yang berharga dalam tubuhku hanya untuk suamiku.

Aku berharap Mas Izham menjadi jodohku selamanya.

Satu jam kami melakukan pertempuran, sampai kami kelelahan dan tertidur.

Saat subuh aku sudah terbangun, aku melihat mas Izham masih terlelap dalam mimpi.

Aku ingin bangun dan memunguti baju tidurku yang tergelak dilantai.

"Au'..." aku merintih merasakan sakit dipangkal paha ku.

Mas Izham menggeliat dan membuka mata.

"Kenapa sayang?" mas Izham bertanya kepadaku.

"Sakit mas." jawabku.

"Maaf ya mas sudah buat kamu sakit. Nanti kalau kita sudah sering melakukan nya tidak akan sakit lagi, tapi kita bakal ketagihan." kata Mas Izham menggodaku.

"Ih, apa sih mas. Malu tau." jawabku.

"Apa sekarang mau nambah? ayo kita main satu ronde lagi." mas Izham kembali menggodaku.

"Mas, ini tuh masih sakit loh masak mau itu lagi."

"Iya, enggak! enggak! mas cuma bercanda sayang. Apa mau aku gendong kekamar mandinya."

"Nggak ah, malu. Nanti dilihat ibu sama bude-bude, malulah."

"Aku coba jalan pelan-pelan saja."

Mas Izham membantuku memakai baju, dan dia berganti yang memakai bajunya sendiri.

Dengan pelan aku turun dari ranjang dan mencoba berjalan pelan.

Aku mengintip suasana diluar, ternyata masih sepi langsung saja aku menuju kekamar mandi.

Melamar Pekerjaan Di Jakarta.

Kami sudah berkumpul dimeja makan,

Bude-bude ku yang menginap di rumah masih belum pulang. Rencana mereka, masih siang nanti mereka pulang.

Dimeja makan pun masih ramai saudara dari almarhum Ayahku dan juga saudara Ibuku.

"Uluh-uluh, yang pengantin baru kayaknya udah cetak gol nie..." Bude meledek ku.

"Apa sih, Bude." aku malu mendengar ledekan itu.

"Sudah, nggak usah malu kami juga tau gimana pengantin baru memang harus gencar usaha tiap malam biar cepet dapet momongan." Bude tersenyum.

"Uhuk-uhuk." aku terbatuk mendengar ledekan dari Budeku barusan dan Mas Izham yang duduk di sampingku segera memberiku segelas air putih.

"Uwes to yu Sri jangan diledek terus nanti mereka bertambah malu. Kamu seperti tidak pernah mengalami saja." Ibu menengahi pembicaraan.

"Iyo iyo dek Nah, aku cuma becanda tadi. Lagian mantumu juga bikin tato banyak banget sampek kelihatan kemana-mana." Bude memang suka ceplas-ceplos.

"Uhuk-uhuk." sekarang berganti Mas Izham yang terbatuk.

Aku menepuk-nepuk pundak Mas Izham.

Kulihat Mas Izham juga sekidikit malu.

Selesai makan aku masuk kekamar, dan melihat diriku dipantulan cermin.

Karna tadi pagi setelah membersihkan diri, aku tak sempat bercermin.

Aku begitu terkejut melihat leherku yang banyak sekali bekas merah-merah.

"Pantas saja mereka tadi meledekku ternyata memang benar leherku banyak tanda merah seperti ditato." Kei berkata dengan dirinya sendiri didepan cermin.

"Yang..." terdengar Mas Izham memanggilku.

"Iya, Mas." jawabku, sedikit berteriak. Aku keluar untuk mencari Mas Izham.

"Itu Bude, Pakde dan yang lain ingin berpamitan pulang." Kata mas Izham.

Pakde, Bude dan semua saudaraku yang jauh sudah berpamit pulang. Tinggallah sekarang hanya kami bertiga.

O...ya, ditempat keluarga Mas Izham tidak mengadakan resepsi pernikahan buat kami.

Dan ibu Mas Izham, Buk Esih sebenarnya tidak setuju dengan pernikahan kami tetapi ibu Esih tak bisa menolak keinginan anak semata wayangnya itu.

Berbeda dengan istrinya, Pak Wahyu setuju-setuju saja dengan pernikahan kami baginya yang terpenting anaknya bahagia.

"Sudah, ayo kita masuk." Ibu ku mengajak kami masuk.

Mas Izham baru menyeleseikan kuliahnya dan belum bekerja, sekarang sedang proses mencari pekerjaan.

Mas Izham duduk dikursi kayu yang ada dimeja belajarku dulu, matanya begitu fokus menatap kelayar laptop dengan jari-jarinya tak henti mengetik keyboard laptop itu.

Aku masuk membawakan secangkir teh, menaruh diatas meja.

"Diminum dulu mas, mumpung masih panas. Kalau sudah dingin tidak enak." kata Kei.

Mas Izham melepas kaca mata dan menyimpannya kembali ditempatnya. Mengambil cangkir dan menyeduh teh itu pelan-pelan karna memang masih panas.

"Yang, aku membuat surat lamaran kerja. Tapi..." ucapan mas Izham berhenti.

"Tapi apa mas?" Kei bertanya tak mengerti.

"Tapi kalau mas diterima kerja nanti mas harus pindah ke Kota, mas melamar kerja di Kota Jakarta." Mas Izham menjelaskan.

Aku sempat terdiam dan berpikir, menimang-nimang apakah harus setuju atau tidak. Kami baru menikah dan harus hubungan jarak jauh. Tapi mau bagaimana lagi itu impian mas Izham ingin bekerja disana dan menjadi orang sukses, bukankah seorang istri harus mendukung keinginan dan impian suami.

"Ya udah mas nggak pa-pa, nanti aku bisa ikut pindah juga." jawab ku.

"Kalau kamu ikut mas pindah, lalu Ibu sama siapa? disini tidak ada yang akan menjaga Ibu selain kamu, Yang." kata mas Izham.

Aku berfikir kembali, pikiranku bingung. Memang benar, kasihan juga jika Ibu harus tinggal sendirian tidak ada yang menjaga. Ibu sudah tua mempunyai riwayat darah tinggi, kalau aku ikut mas Izham aku tidak akan tega meninggalkan ibu sendiri. Tapi, kalau aku tetap disini kami akan menjalani hubungan jarak jauh dan itu pasti sulit. s

Sanggupkah aku jauh dari mas Izham, saat ini cintaku sedang bermekaran dan harus layu ketika kumbang nya pergi

"Bagaimana, apa kamu ijinin mas pindah ke Kota?" mas Izham bertanya lagi.

"Nanti aku coba diskusikan sama Ibu dulu ya, mas." Kei menjawab.

"He'em..." mas Izham mengangkat tanganku dan menciumnya lembut, sungguh dia suami yang baik dan romantis.

Satu Minggu setelah pernikahan.

"Mas Izham..." Kei memanggil Mas Izham dan melambaikan tangannya.

Ditanganku sudah ada rantang makanan untuk Mas Izham.

Meski agak sulit ku berjalan karna hanya berjalan diatas gulungan tanah yang hanya selebar langkah kaki saja.

Apalagi aku berjalan memakai tongkat sudah pasti harus ekstra hati-hati agar tidak terjatuh.

Mas Izham sekarang sedang mencangkul disawah.

Sebelum Mas Izham mendapatkan pekerjaan, sementara ini Mas Izham bekerja menjadi kuli atau buruh sawah.

Biarpun sedikit penghasilannya setidaknya bisa menghasilkan uang.

Mas Izham membalas melambaikan tangan dan tersenyum padaku.

Aku membawa rantang makanan digubuk yang tidak jauh dari petak sawah yang Mas Izham cangkul tadi.

Tadinya kulit Mas Izham putih bersih tetapi sekarang warna kulitnya berubah agak kecoklatan, mungkin karna tersengat matahari langsung membuat kulitnya hitam kecoklatan. Tapi tidak pa-pa, aku tidak pernah mempermasalahkan itu bagiku mas Izham lelaki yang sempurna dan paling tampan. Yah, seperti itulah cinta, tidak melihat keburukan yang ada hanya keindahan.

Kami menikmati makanan itu berdua tidak harus direstoran mahal dan berkelas, nyatanya kami sudah sangat bahagia bisa makan bersama dan saling memandang seperti saat ini.

"Hari ini kamu terlihat sangat cantik, yang." mas Izham memujiku, aku tersenyum malu tapi tak bisa memungkiri kalau aku sangat menyukai pujian dari mas Izham. Dia memang pandai merayu.

"Mas bisa aja, Mas bohong 'kan? nggak lihat, aku jelek gini kok dibilang cantik." jawabku malu-malu.

"Hei,,, siapa bilang bidadari ku ini jelek? bagiku tidak ada perempuan cantik lagi, cuma kamu satu-satunya wanita tercantik didunia ini." mas Izham sudah seperti pujangga yang pandai merangkai kata-kata.

"Mas gombalin nya berlebihan."

Tangan mas Izham terangkat untuk membenarkan anak rambutku yang berantakan karna tertiup angin yang kencang.

"Mas, aku ingin tau alasan apa yang membuat mas mau menikahi gadis cacat seperti ku? Mas tidak malu dengan cemo'ohan orang-orang?" Kei bertanya serius.

"Dengar, meski fisikmu tidak sempurna tapi bagiku kamu sangat sempurna dari dulu aku mengagumi mu, kebaikanmu dan ketulusanmu."

"Kei, istriku...I love you." mas Izham mencium keningku.

Syukurlah disekitar sawah lumayan sepi, jadi tak ada yang melihat kami.

Aku sangat beruntung dan sangat bahagia bisa menjadi istri Mas Izham dia sangat romantis, peduli, penyayang dan bagiku dia segalanya.

Memang sejak pacaran Mas Izham sering mengatakan kata-kata romantis, sering memujiku dengan rayuan indah.

 

Sikap Ibu Mertua

Pernikahan kami sudah memasuki tiga bulan,

kami seperti pengantin baru yang setiap hari semakin mesra dan romantis.

Mas Izham sangat menyayangiku dan peduli padaku, tak ada jeda waktu dia selalu mengucapkan kata-kata romantis.

 

Aku masih berdiri didepan pintu, air mataku masih mengalir, Ibu yang berdiri disampingku mencoba menenangkan dan mengusap bahuku.

"Maafin Ibu ya kei, gara-gara Ibu kamu tidak bisa ikut Izham kerja dikota." raut wajah ibu terlihat sedih.

Aku menatap wajah Ibu.

"Tidak pa-pa Bu, ini bukan salah Ibu, walau kami tinggal terpisah tapi Mas Izham janji akan memberi kabar dan setiap sebulan sekali akan libur Bu, mengunjungi kita disini Ibu jangan sedih lagi ya." Aku bergantian menenangkan Ibu.

Sebenarnya hatiku merasa sedih, tidak bisa ikut Mas Izham pergi kekota Metropolitan itu. Apa daya aku kasihan jika harus meninggalkan Ibu sendiri, sekarangpun Ibu sedikit tidak enak badan.

Malam tadi, Mas Izham mendapat E-mail panggilan dari kantor didaerah Ibu Kota Jakarta. Antara senang dan sedih, senangku karna Mas Izham sudah mendapatkan pekerjaan yang sangat dia idamkan, yaitu bekerja Kota Jakarta. Sedihku karna harus menjalani hubungan jarak jauh.

Banyak cerita dari tetangga, terkadang hubungan jarak jauh itu suka menimbulkan perselingkuhan.

Itu salah satu yang menghantui fikiranku, aku takut Mas Izham akan menduakan ku. Aku sangat sadar dengan fisikku yang tidak sempurna, aku takut mas Izham tergoda dengan wanita Kota yang berpakaian modis dan cantik-cantik.

Sebelum berangkat dan berkemas Mas Izham selalu meyakinkanku, bahwa dia akan selalu setia dan tidak akan meninggalkanku.

Disitu aku sedikit lega, dan mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Mas Izham.

Lagi pula, setelah sukses nanti kita akan berencana membangun rumah didesa saja, yang jauh dari keramaian dan hidup tenang.

Aku berjalan gontai menuju kamarku, ku hempaskan tubuhku diatas kasur dan menangis lagi tanpa suara, aku takut Ibu mendengar suara tangisku dan akan kembali sedih.

Baru beberapa saat lalu Mas Izham pergi tapi aku sudah merasakan rindu, selama tiga bulan ini kami selalu bersama dan sekarang aku harus menjalani hari-hariku sendiri.

Ku ambil handphone diatas kasur, kulihat dan berharap ada pesan masuk tapi tak ada notifikasi sama sekali.

Pastilah Mas Izham belum sampai. Perjalanan dari desa menuju kota paling tidak menempuh 5 jam.

Ketika makan malam, aku hanya duduk berdua dengan Ibu, rasanya aku sangat kehilangan Mas Izham.

tuling,

Saat aku ingin menyendok makanan, mendengar ponselku berbunyi.

Kulihat dilayar yang menyala bertuliskan Suamiku.

Dengan cepat aku tekan tombol membuka kunci dan membaca pesan itu.

"Yang, aku sudah sampai di Jakarta, kamu lagi apa?"

"Aku lagi makan malam bersama Ibu, Mas. Mas sudah makan belum?"

"Belum, ini aja Mas baru sampai dikontrakkan dan langsung mengirim massage buat kamu."

"Ya udah, Mas makan dulu jangan sampai sakit."

"Iya, Yang. Kamu jangan tidur malam-malam ya, maaf Mas belum bisa telfon, Mas masih harus beres-beres."

"Iya Mas, kalau sudah selesai Mas langsung istirahat."

" Iya Yang, I love you." pesan terakhir dari Mas Izham yang menyudahi percakapan kami.

Aku pun terus saja tersenyum membaca pesan dari Mas Izham tadi.

"Pasti, pesan dari suamimu ya?" Ibu bertanya.

"Iya, Bu." jawabku tersenyum.

"Pantes senyum-senyum terus dari tadi, gimana apa suamimu udah sampai diJakarta?"

"Sudah Bu, baru saja sampai dan langsung memberi kabar Kei, sekarang Mas Izham sudah dikontrakan dan sedang membereskan barang-barang bawaan tadi."

"Syukurlah kalau suamimu sudah sampai diJakarta dengan selamat."

Setiap hari Mas Izham tidak pernah telat memberiku kabar, tentu dibubuhi kata-kata romantis.

Aku berfikir, ternyata tidak semua yang menjalani hubungan jarak jauh itu berselingkuh dan selalu bertengkar.

Nyatanya Mas Izham tidak berubah, dia masih Mas Izham yang penuh kasih sayang dan romantis meski kami berpisah jarak begini.

Mas Izham pernah berkata, jika dia sudah banyak uang dia akan membiayai operasi kakiku.

Aku sangat senang dan beruntung memiliki suami seperti Mas Izham.

Aku berharap, dia tidak berubah dan akan menepati janjinya.

Semenjak menikah sampai saat ini, keluarga Mas Izham tidak lagi pernah datang.

Apalagi sejak mengetahui Mas Izham sudah bekerja di Ibu Kota, sama sekali mereka tidak pernah berkunjung.

Hari ini Ibu menyuruhku mengantar makanan untuk Mertuaku dan untuk menjenguknya.

Sudah lama tidak saling bersilahturahmi,

walau bagaimanapun dia tetap orang tuaku juga.

"Kei berangkat dulu ya, Bu." Kei berpamitan pada Ibunya.

"Iya nak, hati-hati."

Aku mencium tangan ibuku dan mengambil tongkat yang tak jauh dariku, berjalan pelan mendekati tukang ojek yang sudah aku pesan.

"Bu, tolong antar kejalan xxx ya," aku memberitahu tujuanku.

"Siap mbak, silahkan."

Ibu tukang ojek itu memberiku helm berwarna hijau, tongkat ku senderkan disamping motor, kupakai helm hijau itu setelah itu baru aku naik diatas motor.

Tidak membutuhkan waktu lama aku sudah sampai didepam rumah orang tua Mas Izham.

Kei masuk ke pekarangan yang lumayan luas dan sampai didepan pintu dia mengetuknya.

"Assalamu'alaikum.. Bu..." Kei mengucap salam tapi tidak terdengar jawaban.

Dan sekali lagi aku mengetuk pintu itu, baru terdengar suara dari dalam.

Ibu mertuaku yang membuka pintu.

"Mau apa, kamu datang kesini?" Tanpa basa-basi ibu mertuaku menanyaiku.

Tak ada sambutan hangat dan hanya tatapan sinis yang ditunjukkan.

"Bagaimana kabar Ibu?"

"Halah nggak usah basa-basi, aku sibuk! cepet katakan mau apa kamu kemari." nada bicara yang ibu ucapkan sangat ketus.

Aku tidak terlalu kaget, karna sikap Ibu mertuaku memang begitu padaku tidak pernah suka padaku.

"Aku mengantar makanan ini untuk Ibu." Kei menyodorkan rantang makanan itu.

Tanpa disangka, Ibu mertuaku malah membuang rantang makanan itu ketanah.

Brraak...

"Astaga..." Kei terlonjak kaget.

"Aku nggak butuh makanan darimu sudah pergi sana, wanita cacat. Bagaimana dulu anakku yang sempurna bisa menikahi wanita sepertimu."

Langsung saja pipi kanan kiriku banjir air mata. Sungguh ucapan dari Ibu Mas Izham, sangat menyakitiku.

Aku tahu, Ibu mertuaku tak menyukaiku, tatapi aku tak menyangka Ibu Mas Izham bisa berbicara seperti itu.

Setelah membuang makanan ketanah, Ibu membanting pintu rumahnya cukup keras.

Kutaruh tongkatku, dan berjongkok mengambil rantang makanan.

Aku duduk sebentar diteras itu untuk menenangkan tangisku, agar Ibu ku tidak curiga bahwa aku habis menangis.

Ibu ku sendiri tidak pernah tahu, kalau Mertuaku tidak menyetujui hubungan kami, yang Ibu tau hubunganku dengan keluarga Mas Izham baik-baik saja.

Aku menghapus air mata ku dan memesan ojek online untuk kembali kerumah.

Sebelumnya aku membuang makanan yang dibuat Ibu keselokoan, agar seolah-olah makanan Itu sudah aku berikan pada Ibu mertua ku.

Tak lama tukang ojek memanggilku dan aku membonceng dibelakang.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!