NovelToon NovelToon

Dear Alvin

1 Masuk Ruang BK

"Khususnya bagi siswa penerima

beasiswa, sebagai penerima beasiswa di

sekolah ini, saya harap kalian bisa

memanfaatkannya dengan baik, belajar

dengan sungguh-sungguh, mendapatkan

nilai yang tinggi, bersedia untuk

mengikuti lomba dan wajib menjadi juara

demi mengharumkan nama sekolah, agar

sekolah tidak sia-sia memberikan

pendidikan gratis untuk kalian" sepenggal

kalimat pidato penyambutan siswa baru

yang di lontarkan oleh kepala sekolah.

"Cuk, gendeng" umpat Alvin, yang

saat ini berada di barisan tengah para

siswa baru.

Beberapa Temannya pun hanya menoleh dan mencibirnya, sedikit umpatan yang keluar dari mulut Alvin nyatanya membuat beberapa teman seangkatannya merasa tak nyaman.

"Kenapa bro, gak suka? Kalo emang

pinter dapet beasiswa sih pantes, gak bakal

protes. Tapi kalau dapet beasiswa cuma

karena miskin dan bodoh yah cuma jadi

beban" sahut Alex, siswa yang berdiri

selisih satu siswa dengan Alvin.

Mendengar hal itu, Alvin pun

menoleh dan menatap tajam pada Alex.

"Kenapa? Gak suka aku ngomongin

fakta?" ucap Alex dengan senyum

mengejek, memancing emosi Alvin.

Alvin masih bergeming, ia terus

meyakinkan dirinya untuk tak membuat

masalah di hari pertamanya. Sebagai siswa

penerima beasiswa, tentu ia harus

menjaga sikap, mengingat banyaknya

peraturan yang harus ia patuhi sebelum

masuk ke sekolah ini.

" Yah cemen... gerutu sendiri aja bisanya. Dasar beban Sekolah!" Pancing Alex Lagi.

Tanpa bicara Alvin pun segera

mendekati Alex dan melayangkan sebuah

pukulan ke wajah Alex. Membuat para

SiSwa perempuan refleks berteriak karena

terkejut.

Alex pun tak tinggal diam, ia yang

memang menyukai perkelahian tentu

menyambut bogem yang di layangkan oleh

Alvin dengan senang hati. Dengan

senyum mengejek Alex terus menangkis

pukulan Alvin yang terasa semakin

membabi buta.

Sedikit kekaguman timbul di benak

Alex, sejauh ini belum ada yang berani

memukul dirinya terlebih dahulu, terlebih

saat ini dirinya hampir babak belur,

sedangkan Alvin hanya terlihat acak-

acakan.

" Aku Memang Miskin beasiswa memang membiayaiku bersekolah disini, tapi tahukah kamu apa yang sedang ku

usahakan? Jika tak tahu apapun sebaiknya

kamu diam. Anak sepertimu tak ubahnya

seperti pengemis, yang hanya bisa

meminta uang saku pada orang tua!" ujar

Alvin setelah puas memukuli Alex, yang

masih mengusap ujung bibirnya yang

berdarah.

"Hei kalian, berhenti!! Ikut saya ke

ruang BK!!" perintah seorang guru, seraya

meraih Alvin dan menyeretnya untuk

dibawa ke ruang BK. Dengan diikuti oleh

Alex yang hanya bisa tersenyum masam di

belakangnya.

la tak menyangka jika hari

pertamanya sekolah akan se seru ini.

Wajah teman-temannya yang lain yang

seperti komputer itu, hanya memberikan

ekspresi datar saat awal mereka bertemu.

Berbeda dengan Alvin, yang meski

tampak acuh tapi terlihat lebih kritis.

Hal yang membuat Alex tertarik

hingga membuat dirinya dan Alvin kini

berada di sebuah ruang BK, ruangan yang

pertama kali mereka masuki di hari

pertama masuk sekolah. Bukan kelas

untuk belajar, melainkan ruang BK.

"Apa yang membuat kalian bisa-

bisanya saling pukul di tengah upacara

yang sedang berlangsung?!" tanya Bu Yuli

dengan tegas.

Alex dan Alvin terdiam, keduanya

tak ada yang menjawab, membuat Bu Yuli

geram dan mengulang pertanyaannya

hingga beberapa kali.

"Alvin hanya membela diri Bu, saya

yang memancingnya" ucap Alex

kemudian, meski ia nakal, tapi pantang

baginya untuk lari dari tanggung jawab.

"Kami hanya bercanda Bu" sahut

Alvin yang tak ingin masalah berlanjut.

Sejujurnya ia sedikit terkejut dengan kejujuran Alex.

"Jadi mana yang benar ini, kalian itu

siswa baru, bisa-bisanya sudah berulah di

hari pertama! Apalagi kamu anak

beasiswa, ada point yang harus kamu jaga

agar beasiswamu tak dicabut!" ujar Bu Yuli

dengan tegas, seraya menatap Alvin

lebih dalam.

"Kami memang hanya bercanda Bu,

maaf jika kelewatan" ujar Alvin. Meski

dalam hati ia ingin memaki diri karena

harus berbohong.

"Benar begitu Alex?" tanya Bu Yuli kini

beralih menatap Alex.

"Hehe iya Bu" jawab Alex seraya

menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Tentu saja ia lebih memilih mendukung

Alvin, biar bagaimanapun Alex juga tak

ingin masalah ini berlanjut.

"Kamu ini, kalau sampai papamu sampai tau, kamu pasti lebih tau kan apa yang bakal terjadi!" ujar Bu Yuli memberi sedikit

penekanan agar Alex sedikit takut. Namun

bukannya takut Alex malah cengengesan.

"Yah jangan sampai papa tahu dong

Bu" jawab Alex masih bisa tersenyum.

Bu Yuli memang mengenal Alex,

lagian siapa juga yang tak mengenali putra

pemilik sekolah itu, hmmm kecuali

Alvin sepertinya. Karena hanya dialah

yang berani mencari gara-gara dengan

Alex.

"Ya sudah kalau kalian sepakat jika

yang tadi itu hanya sebuah candaan, saya

harap hal itu tak akan terjadi lagi, saya

juga tak akan mengurangi point kalian

untuk kali ini, jadi saya minta kalian harus

saling memaafkan dan berjanji tidak

mengulanginya lagi, mengerti!" perintah

Bu Yuli membuat Alex dan Alvin mau

tidak mau akhirnya bersalaman. Tanpa

mengucapkan sepatah kata pun. Membuat

Bu Yuli hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.

"Sudah kalian langsung kembali ke

kelas masing-masing aja, inget jangan buat

onar!" pesan Bu Yuli.

"Baik Bu" jawab Alvin dan Alex

hampir berbarengan.

SMA SANG JUARA sekolah dengan

image pencetak lulusan terbaik, lulusan

dengan presentase tertinggi yang masuk ke

universitas terbaik di Indonesia maupun

di luar negeri.

Sekolah yang di inginkan oleh banyak

siswa kaya dan pintar untuk dapat

berkesempatan bersekolah disana, bagi

siswa yang benar-benar pintar memang

menjadi hal yang benar, namun bagi

mereka yang hanya mengandalkan

kekayaan orang tuanya, masuk ke SMA

SANG JUARA adalah tuntutan agar bisa di banggakan oleh orangtuanya.

Alvin, salah satu penerima

beasiswa berprestasi, yang berasal dari

kampung yang berjarak sekitar satu

setengah jam dari rumahnya, jika

ditempuh dengan jalan kaki.

Ya, ditengah elitnya para siswa di SMA

SANG JUARA, Alvin adalah salah satu

siswa kere dengan dasi yang memiliki

tanda garis 3, tanda yang menunjukkan

bahwa dirinya adalah siswa penerima

beasiswa.

Hal yang membuat siswa lain yang

melihatnya akan tahu jika dirinya adalah

penerima beasiswa. Sedikit lucu, namun

itulah faktanya.

"Hei, siswa beasiswa! Masuk kelas

mana kamu?" sapa Alex yang masih dengan

wajah songongnya, ketika keluar dari

ruang BK.

Tanpa menjawab, Alvin pun hanya

menunjukkan tanda pengenalnya, X-C.

"Wah kelas kita sebelahan, sayang

banget kita gak sekelas. Kalau sekelas kan

bisa punya temen bolos aku, eh tapi siswa

beasiswa kayak kamu mana mungkin bisa

bolos ya" cibir Alex yang segera berjalan

mendahului Alvin dengan menyenggol

bahunya sedikit keras.

Membuat Alvin mengusap lengan

dan hanya menggelengkan kepalanya.

Tanpa berniat membalas dan

meredam emosinya sendiri, Alvin pun

segera berjalan mnelewati koridor untuk

segera menuju kelasnya.

Begitu masuk kedalam kelasnya,

Alvin pun baru menyadari jika di kelas

itu hanya dirinyalah yang memakai dasi

dengan tanda 3 garis, la pun segera

memilih bangku paling pojok belakang.

Tak lama kemudian seorang siswa

laki-laki juga duduk disebelahnya.

" Gila, cuma kita berdua memakai dasi dengan tanda 3 garis yah, yang lain hanya

satu garis, itu berarti hanya kita berdua

yang dapat beasiswa di kelas ini. Pantas

saja mereka tak menghiraukan saat ku

sapa tadi, dasar orang kaya!" gurutu siswa

tersebut, membuat Alvin

mengernyitkan dahi.

Alvin berfikir dirinya sudah siswa

terakhir yang masuk ke kelas, nyatanya

ada yang lebih terlambat lagi. Siapa lagi

kalau teman baru yang baru saja

meletakkan bokongnya di bangku sebelah

Alvin.

"Eh kita belum kenalan ya, aku

Mingyu bukan Minggu, panggil aja Ming

biar gampang" ujar Mingyu yang ditatap

dengan heran oleh Alvin.

"Alvin" jawab Alvin acuh, meski

ia sedikit heran dengan nama laki-laki

bermata sipit di sebelahnya.

"Gak usah heran, aku memang keturunan cina, dan gak usah heran juga

kalau aku juga murid beasiswa, karena gak

semua keturunan cina itu kaya. Ya seperti

aku ini, usaha papa sedang merosot

padahal sebelumnya sukses, makanya

masuk sini ngajuin beasiswa, untungnya

aku cukup pintar jadi masuk deh" ujar

Mingyu nmemberi penjelasan dengan

cukup berisik. (Tidak bermaksud SARA

ya)

Sementara Alvin hanya

menanggapinya dengan anggukan kepala.

la tak ingin tahu, tapi mau tak mau ia pun

mendengar dengan seksama sebab Mingyu

berbicara dengan suara yang cukup keras.

"Ah gak asik kamu Vin" ucap Mingyu

yang tak mendapat respon apapun dari

Alvin.

"Hey, sttt jangan berisik ada guru tuh"

ucap seorang gadis yang duduk di dekat

mereka, seraya meletakkan jari telunjuk ke

ujung bibirnya, sambil menoleh ke arah

Alvin dan Mingyu.

"Oke" ucap Mingyu tanpa bersuara.

Sementara Alvin tampak tersenyum

sebagai respon pada gadis yang saat itu

langsung menyita perhatiannya.

Sekolah elit memang sedikit berbeda,

MOS yang mereka jalani hanya 3 hari

sebelumnya, para guru bilang jika MOS

yang terlalu kurang penting, tidaklah baik

untuk waktu belajar mereka.

Guru yang masuk pun hanya memberi

sambutan seadanya, mengabsen satu

persatu nama siswa untuk berkenalan,

serta mulai membuat struktur organisasi

kelas.

"Itu yang duduk paling pojok

belakang, murid beasiswa siapa tadi

namanya? Alvin?" ujar Bu Desi dengan

suara sedikit lebih keras. Membuat

Alvin membuyarkan fokusnya yang

sedang menatap gadis di depannya itu.

"Iya bu, ada apa ya?" tanya Alvin dengan wajah polosnya.

"Maju sini kamu!" perintah Bu Desi

membuat Alvin segera maju ke depan

kelas.

"Kamu yang tadi berantem waktu

upacara ya?" tanya Bu Desi dengan tatapan

tajam.

"Iya Bu" jawab Alvin datar.

"Baik mulai hari ini kamu jadi ketua

kelas. Kalian setuju anak-anak?" tanya Bu

Desi pada seisi kelas, keputusan dan

pertanyaan yang membuat Alvin

terkejut.

Seisi kelas pun menatap pada Alvin

sambil mengangguk setuju.

"Wah bisa beneran kayak robot gini

mereka"batin Alvin.

Entah apa yang membuat seisi kelas

tersebut setuju dengan ide Bu Desi, namun

mau takmau Alvin harus menerima jabatan itu.

"Baiklah, Untuk selanjutnya bisa

kamu bentuk sendiri, susunan struktur

jabatan di kelas ini bersama teman-

temanmu yang lain. Saya pasrahkan

mereka padamu!" ujar Bu Desi.

"Boleh saya meminta siswa

perempuan yang duduk di depan saya itu

untuk menjadi sekretaris saya Bu?" tanya

Alvin membuat Bu Desi menoleh pada

tempat duduk Bintang tadi, dan

memperhatikan siapa gerangan yang

duduk di depan Bintang.

2 Pupus sebelum Mekar

Bu Desi pun mengikuti arah yang

ditunjuk Alvin, dimana seorang gadis

perempuan yang menjadi satu satunya

gadis yang di perhatikan Alvin di hari

pertamanya di SMA.

"Oh Arumi, baik saya setuju" jawab Bu

Desi.

"Jadi namanya Arumi" batin Alvin,

ia yang sejak tadi hanya memandang

Arumi dari belakang, tentu tak terlalu

fokus saat Bu Desi mengabsen nama teman

sekelasnya satu-persatu.

"Arumi! Maju sini nak" perintah Bu

Desi. Membuat Arumi segera

melangkahkan kakinya ke depan kelas,

tepat berada di sebelah Alvin.

" Kamu jadi sekretaris kelas yah?" pertanyaan Bu Desi yang sebenarnya lebih terkesan seperti pernyataan, karena tidak membutuhkan jawaban, sebab Arumi sendiri pun tak mungkin menolak jabatan yang diamanahkan kepadanya.

"Baik Bu" jawab Arumi singkat.

"Baiklah, kalau begitu kalian lanjut

bentuk yang lain, seperti wakil, bendahara

dan seksi kelas yang lain ya. Nanti

laporkan pada saya kalau sudah selesai,

saya pasrahkan kelas ini padamu Alvin.

Saya tunggu di kantor ya" ujar Bu Desi

seraya meninggalkan ruang kelas setelah

Alvin menganggukkan kepalanya, tanda

memahami perintah Bu Desi.

Sepeninggal Bu Desi, Alvin yang

dibantu oleh Arumi mulai membentuk

pengurus kelas yang lain.

"Baiklah, temen-temen seperti

perintah wali kelas kita barusan, sekarang

aku tanya, adakah dari kalian yang hendak

mengajukan diri sebagai wakil ketua kelas dan bendahara kelas?" tanya Alvin

dengan suara lantang. Membuat seisi kelas

mulai memperhatikan Alvin sebagai

ketua kelas mereka.

"Hmmm sepertinya gak ada yang

bakal mau ngajuin diri" gumam Arumi,

namun masih bisa di dengar oleh Alvin.

"Baiklah kalau tidak ada yang ingin

mengajukan dirinya sendiri, aku minta

kalian mengajukan teman yang menurut

kalian cocok mengisi posisi tersebut" ujar

Alvin kemudian.

Alvin pun segera membuat tabel di

papan tulis, dengan judul diatas wakil

ketua kelas dan bendahara. Ia pun

meminta satu persatu temannya untuk

maju dan menuliskan teman yang mereka

rekomendasikan.

Alvin tau, semua murid dikelasnya

sedikit banyak sudah saling mengenal,

karena berasal dari sekolah yang sama

ataupun karena mereka sudah menjalani

MOS bersama, selama 3 hari sebelumnya.

Yang menurut Alvin, mereka pasti

sudah memiliki penilaian sendiri terhadap

rekannya masing-masing. Sedangkan

Alvin dan Mingyu, memang tidak

menjalani MOS bersama dengan teman

sekelas tersebut, melainkan bersama

dengan siswa penerima beasiswa lain.

Hanya saja saat MOS 3 hari kemarin,

Alvin terlalu acuh sehingga ia belum

berkenalan dengan Mingyu, dan baru

berkenalan hari ini.

"Baiklah, ini sudah nulis semua kan?"

tanya Alvin, setelah melihat tak ada lagi

teman yang maju untuk

merekomendasikan temannya.

"Sudah" jawab beberapa siswa di kelas

tersebut.

" Rum, tolong di rekap yah nama-nama ini, sekalian tolong urutin nama-nama yang direkomendasikan temen-temen

kita, biar nanti sekalian buat bentuk seksi

yang lain" ujar Alvin memberikan

instruksi pada Arum, sekretarisnya.

"Ok" jawab Arum singkat.

Sedangkan Alvin mulai membuat

catatan di kertas, sembari menunggu

rekapan yang dibuat oleh Arumi.

Tak sampai 15 menit, Arumi sudah

selesai dalam merekap nama-nama yang di

papan tulis.

"Temen-temen, berdasarkan hasil

rekapan di papan tulis ini, bisa kita

simpulkan, kalau wakil ketua kelas kita

adalah Akbar dan bendahara kita Weni.

Dan untuk seksi yang lain bisa dibaca di

papan tulis ya. Karena ini hasil

rekomendasi dari temen-temen semua,

Aku harap Akbar, Weni dan seksi pengurus

kelas yang telah terpilih untuk bersedia

menerima keputusan ini, oke?!" ujar Alvin.

"Oke" jawab Akbar, Weni dan seksi

pengurus kelas lain yang telah terpilih.

Kelas anak pintar memang beda,

Alvin pun mengakui itu. Dulu, saat di SMP-

nya pemilihan pengurus kelas memakan

waktu yang cukup lama, selain karena

debat yang tidak penting, juga karena

banyak yang berebut ingin menjadi

pengurus kelas. Sangat berbeda dengan di

SMA-nya sekarang.

Alvin pun segera memberikan hasil

diskusi pemilihan pengurus kelas tersebut

pada Bu Desi. Kemudian ia segera kembali

ke kelas, yang tak lama kemudian di susul

dengan kedatangan guru lain dan memulai

pelajaran.

"Vin, Kantin yukk!" ajak Mingyu saat

jam istirahat berbunyi nyaring, setelah

kepergian guru yang baru saja mengisi

pelajaran di kelasnya.

"Kamu aja sana!" jawab Alvin

sembari menggeleng.

"Kamu gak jajan?" tanya Mingyu, yang

hanya dijawab dengan gelengan kepala

oleh Alvin.

Mingyupun hanya mengedikkan bahu

kemudian berlalu, ia sudah tak sabar ingin

mengisi perutnya yang mulai lapar, ia pun

tak ingin memaksa Alvin.

Di depannya tampak Arumi sedang

mengeluarkan kotak bekal makanan, dari

dalam tasnya.

"Loh rum, kamu bawa bekal? gak ke

kantin dong" ucap Sella, teman semeja

Arum.

"Iya, tadi udah disiapin sama mama,

udah kamu ke kantin sendirian aja sana!"

usir Arum.

"Yah sendirian dong" rengek Sella.

"Kan banyak teman yang lain sell, atau mau makan ini aja berdua sama aku,

banyak ini bekalnya" jawab Arum seraya

membuka box makanannya.

"'Ah, enggak ah. Aku pingin beli bakso

aja" jawab Sella usai mengintip isi kotak

bekal Arum yang berisikan beberapa

lembar sandwich.

"Ya udah cepat sana, keburu bel masuk

bunyi loh" usir Arum, pasalnya ia sendiri

ingin segera menyantap bekal yang ia

bawa.

"Iya iya" jawab Sella kemudian berlalu.

Alvin yang sedari tadi duduk

sembari membaca buku, mau tak mau ikut

mendengarkan apa yang dibicarakan

Arum, perempuan yang sejak tadi menarik

perhatiannya dengan teman sebangkunya.

Arum yang melihat Alvin asik

membaca bukupun, menawari Alvin

dengan bekal yang ia bawa. Namun

Alvin hanya menggeleng dan tersenyum.

"Lagi baca apa sih Vin" tanya Arum

sambil memutar tubuhnya menyamping

agar bisa sembari berbincang dengan

Alvin.

"Ini cuma buku fisika, kemarin nemu

pas mau pulang ke rumah" jawab Alvin

seraya mulai menutup bukunya, ia tak

ingin melewatkan kesempatan untuk

berbincang, dengan gadis yang mampu

membuat jantungnya berdebar lebih

kencang untuk pertama kalinya.

"Itu kan buat kelas 2 Vin" ucap Arum

saat memperhatikan sampul buku yang

dibaca Alvin, sambil terus mengunyah

sandwich, membuat Alvin tersenyum

melihat Arum yang menurut dia

terlihat menggemaskan.

"Iya, iseng aja rum" jawab Alvin

tersenyum.

"Hemmm kamu beneran gak mau

sandwich ini, masih ada loh" tawar Arum

lagi, sejujurnya ia merasa tak enak karena

makan sendirian.

"Udah habisin aja. Oh ya kalau aku

perhatikan tadi, kenapa ya temen-temen

kok gak ada yang ngajuin diri buat jadi

pengurus kelas. Kalau di SMPku dulu rum,

mereka pada berebut loh buat jadi

pengurus kelas itu" tanya Alvin yang

sejujurnya cukup heran dengan teman-

teman sekelasnya.

"Hmmm kamu tau kan kalau SANG

JUARA itu terkenal dengan murid

pinternya" tanya Arum, membuat Alvin

mengangguk.

"Nah. kebetulan kita ini masuk di

kelas yang isinya orang pinter semua.

Hmmm maksudku diantara murid

pintarnya SANG JUARA, kelas kita adalah

kelas dengan isi murid pintar paling

dominan. Jadi mereka itu enggan jadi

pengurus kelas, karena males ribet.

Mereka itu gila nilai Vin! dan menjadi

pengurus kelas tak memberikan mereka

nilai, makanya mereka gak berminat" ujar

Arum kemudian menggigit kembali

sandwich yang tadi sempat ia letakkan

karena memberi Alvin sebuah

penjelasan.

"Oh gitu, berarti kamu tadi terpaksa ya

mau jadi sekretaris" tebak Alvin.

"Hehe yah mau gimana lagi, lagian aku

gak seserakah mereka masalah nilai"

jawab Arum dengan enteng.

"Wah aku jadi gak enak udah nunjuk

kamu tadi, maaf ya" ucap Alvin karena

merasa tak enak.

"Ah gpp kok, santai aja Vin. Eh btw

kamu istirahat gak jajan, emangnya gak

laper?" tanya Arum sembari meminum air

dari botol yang ia bawa.

Sementara Alvin hanya tersenyum dan menggeleng.

"Ih, ini masih ada 1 sandwichnya,

kamu makan aja ya. Aku udah kenyang

banget" ucap Arum sembari memberikan

kotak bekalnya pada Alvin.

"Hmmm ini bisa dimakan nanti

malem gak?" tanya Alvin sambil

menunjuk kotak bekal Arum.

"Yah basi dong tang, itukan ada

sayuran segarnya. Belum lagi saus dan

dagingnya, udah kamu makan sekarang

aja Vin, ngapain nunggu nanti malem,

aneh" ujar Arum sedikit menggerutu.

"Kamu habisin aja kalau gitu rum"

jawab Alvin menyerahkan kembali

kotak makan Arum.

"Kan udah aku bilang aku kenyang,

atau kamu gak suka sandwich ya?" tanya

Arum.

Sementara Alvin hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Terus kenapa gak dimakan Alvin?!"

tanya Arum, dengan ekspresi sedikit sebal.

Membuat Alvin lagi lagi tersenyum.

"Aku puasa Arum" jawab Alvin

santai.

"Ini kan bukan bulan puasa, ngapain

kamu puasa?" tanya Arum.

Sementara Alvin mulai menggaruk

kepalanya yang tak gatal.

"Aku puasa Sunnah rum" jawab

Alvin, sejujurnya ia sedikit terkejut

mengetahui Arum tak paham mengenai

puasa Sunnah.

"Oh, jadi kalian ada puasa lagi selain

puasa di bulan puasa?" tanya Arum

membuat Alvin terdiam sejenak.

"Iya ada rum, kebetulan sekarang aku

lagi puasa Sunnah Senin Kamis, hari ini

kan Kamis rum" jawab Alvin sembari

tersenyum masam, usai menyadari jika

Arum memakai gelang tangan dengan

tanda salib. Yang mengartikan ada dinding

pembatas tebal diantara mereka selain

masalah kesenjangan ekonomi.

"Aduh, maaf yah Vin kalau gitu. Aku

gak tau, jadi dari tadi kamu puasa

sementara aku dengan santainya makan di

depanmu" ujar Arum dengan rasa bersalah

yang besar.

"Aduh santai rum, aku gpp" jawab

Alvin.

Arum yang masih merasa tak enak

hati terus meminta maaf, meski Alvin

berulang kali mengatakan tak masalah.

Hingga bel masuk kelas pun berbunyi dan

pelajaran kembali berlangsung.

Usai jam pelajaran berakhir, Alvin

pun bergegas pulang ke rumahnya.

Di malam hari, Alex tampak sedang

keluar dari sebuah ruko depan mall

terbesar di daerahnya, dengan santai ia

menyulut sebatang rokok, sambil

mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti sedang mengamati sesuatu.

Hingga tanpa sadar, matanya

menangkap sosok yang ia kenal, orang

yang memukuli dirinya di hari pertama

masuk sekolah.

"Cih, gitu sekolah pakai beasiswa"

gumam Alex saat melihat Bintang sedang

membawa banyak tas belanjaan, di

belakang sebuah mobil sedan mewah,

yang tampak sedang di bukakan bagasinya

oleh seseorang.

3 Teka Teki Jati Diri

Bel pulang sekolah berbunyi,

menandakan waktu bersantainya sebagai

pelajar telah usai. Ya, Alvin menganggap

menjadi pelajar adalah waktu untuk

bersantai. Karena sisa waktunya akan ia

gunakan untuk mencari uang.

Bermodal sebuah peluit, Alvin

terbiasa menjadi tukang parkir di tiap jam

pulang sekolahnya. Kemarin saat masih

SMP, Alvin bisa markir dari siang

hingga malam, namun saat ini sudah tak

bisa demikian.

Jam pulang sekolah sore hari, belum

perjalanan sekolah ke rumahnya yang

memakan waktu setengah jam, membuat

Alvin hanya bisa menjadi tukang parkir

saat malam hari saja.

Sejujurnya membuat Alvin merasa

bingung mengatur waktu, sebab menjadi

tukang parkir saat malam hari saja tak

menghasilkan banyak uang. la takut

dimarahi oleh Ibu tirinya. Seperti saat ia

hanya membawa sedikit uang saat pulang.

"Loh Alvin, ini kok cuma 20rb sih.

Pasti hari ini kamu banyak mainnya

daripada markirnya ya" keluh Bu Eleanor, ibu

Alvin.

"Alvin gak main buk, emang hari ini

sepi aja, toko tempat Alvin biasa markir

lagi tutup buk, itu aja Alvin dapet segitu

karena bantuin markir di toko sebelah"

jawab Alvin.

"Halah alasan aja kamu ini, biasanya

juga paling dikit 30rb, kalau gini kamu

besok puasa aja! Jangan sarapan paginya!

Uangmu ini cuma cukup beli Bubur buat

adekmu si Rafi ini" ucap Bu Novi sambil

mulai menggendong Rafi, adik terakhir

Alvin yang baru berusia 7 bulan itu.

Alvin memiliki 2 adik, adik yang

pertama seorang gadis bernama Dina, yang

saat ini sudah duduk di bangku kelas 1

SMP.

"Baik Bu" jawab Alvin pasrah,

seraya hendak meminumn es teh yang

tersaji di meja, seolah menggoda untuk

segera meneguknya.

"Eh, jangan diminum!! Itu ibuk

nyiapin buat bapak, bentar lagi bapakmu

pulang kerja"pekik Bu Eleanor melarang

Alvin, membuat Alvin hanya bisa

menelan ludahnya sendiri.

Sebuah ingatan 2 tahun lalu, membuat

Alvin yang saat ini sedang berjalan kaki,

mulai berfikir ia harus berusaha lebih

keras selain menjadi tukang parkir. Asyik

dengan pemikirannya sendiri, membuat

waktu hampir satu jam tak terasa, sebab

kini ia sudah memasuki gang sebelah

kampungnya.

"Vin...Alvin!!" panggil seorang laki-

laki paruh baya, saat Alvin melintas di

depan rumahnya.

"Iya abah, ada apa ya" jawab Alvin

seraya berbalik dan mencium tangan haji

Maliki, pak RW yang juga seorang

pengusaha rosok yang cukup sukses di

kampung tersebut.

"Duduk sini le, baru pulang kamu?"

tanya haji Maliki.

"Iya bah, t tapi Alvin gak bisa lama

lama ini bah" jawab Alvin sambil duduk

di bangku yang tersedia.

"Iya gak lama, ini minum dulu. Pasti

kamu capek kan" ucap haji Maliki seraya

menyodorkan teko berisi es yang terlihat

menyegarkan.

"Maaf bah, Alvin lagi puasa" jawab

Alvin jujur.

"Oalah,maaf le, gak tau abah, maaf yo" ucap abah maliki tak enak hati.

"Mboten nopo nopo bah, santai

mawon jawab Alvin.

"Kamu masih betah markir di toko itu

le?" tanya Abah Maliki.

"Ilyah bah, mau gimana lagi. Ini juga

abis mandi mau langsung berangkat

kesana" jawab Alvin.

"Aku tadi dari sana, sepertinya ada

tukang parkir baru le, bukan yang

biasanya sama kamu itu, kamu sudah tau?"

tanya Abah Maliki lebih lanjut.

"Wah belum tahu e bah" ucap Alvin.

"Hmmm jadi gini, menurutku ya

kamu gak pingin berhenti aja jadi tukang

parkir?" entah pertanyaan atau saran yang

hendak di ucapkan oleh Abah Maliki ini

ini.

"Kalau saya berhenti, mau kerja apa

lagi sava bah. Mau ngamen lagi, juga pasti bapak bakal marah" jawab Alvin Jujur.

Pasalnya sebelum menjadi tukang

parkir, dulu ia sempat menjadi pengamen.

Namun begitu ketahuan oleh bapak,

Alvin di marahi habis habisan. Pak

Rohman, bapak Alvin begitu

menyayanginya. Beliau adalah sosok yang

Alvin hormati.

"Bapak masih sanggup membiayaimu,

gak usah ngamen ngamen lagi! Fokus

sekolah, kamu masih SD, bentar lagi

masuk SMP. Jangan habiskan waktumu di

jalanan!"murka pak Rohman kala beliau

mendapat aduan dari tetangga, jika selama

ini Alvin menjadi pengamen.

Bapaknya tidak tau jika anak nya Alvin tidak di beri jatah makan oleh istrinya yaitu ibu tiri Alvin

" Aku ada tawaran, gimana kalau kamu jadi tukang sampah di kampung ini.

Lagian disini cuma ada7 RT, aku kira

kamu bakal sanggup le, tiap RT juga cuma

satu gang kan" ujar Abah Maliki akhirnya

memberikan tawaran pekerjaan yang

membuat Alvin mulai tergiur.

"Loh emang tukang sampah

sebelumnya kemana bah?" tanya Alvin.

"Orangnya diajak pindah ikut anaknya

ke Madura, maklum sudah cukup sepuh

le, kasian juga kalau terus ngambili

sampah." ujar Abah Maliki.

"Hmmm kalau gitu boleh saya

pikirkan dulu bah, ada beberapa hal yang

perlu saya pertimbangkan terlebih dahulu

soalnya" jawab Alvin.

"Oh ya, tentu saja. Pikirkan yang

matang terlebih dahulu. Tapi jangan lama-

lama, paling lambat lusa loh, biar saya bisa

cari orang lain kalau kamu gak mau le"

ujar Abah Maliki membuat Alvin mengangguk.

"Nggeh pun bah, saya pamit dulu

nggeh, sudah terlalu sore ini, takut dicari

bapak sama ibuk" pamit Alvin seraya

meraih tangan Abah Maliki untuk

diciumnya sebagai tanda sopan santun.

"Iya le, hati-hati" jawab Abah Maliki.

Tawaran yang menggiurkan membuat

Alvin tertarik. Namun jika ia memang

menjadi tukang sampah, berati ia harus

bisa membagi waktunya, kapan harus

mengambil sampah, sementara ia harus

sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore.

Selain itu, sedikit informasi dari Abah

Maliki mengenai tukang parkir baru,

membuat Alvin juga kepikiran, pasalnya

sampai kemarin ia masih markir di

tempat biasa, dan tak ada informasi

mengenai hal tersebut.

Asik berfikir membuat perjalanan Alvin tak terasa kini ia sudah sampai di

depan sebuah rumah sederhana, tempat ia

tumbuh selama ini. Melihat pintu rumah

yang sedikit terbuka, Alvin bermaksud

untuk langsung masuk tanpa mengucap

salam, sebab takut jika sang adik sedang

tertidur dan terganggu oleh suaranya.

"Lihat sekarang anak itu!! Jam segini

belum pulang sekolah, pasti keluyuran

dulu dia!" teriak Bu Eleanor di depan sang

suami. Membuat langkah Alvin

terhenti, ia memutuskan untuk berdiam

diri sebentar.

"Buk, sekolah Alvin yang sekarang

jauh, apalagi sekolah itu menmang sampai

sore, wajar kalau jam segini belum pulang.

Lagian mana pernah Alvin keluyuran

buk" bela pak Rohman membuat Alvin

sedikit lega, paling tidak bapaknya itu bisa

memahami dirinya.

"Bela terus aja anak itu pak, sampai

kamu lupa kalau dia cuma anak pungut mu dan istri pertama mu!"

teriak Bu Eleanor membuat pak Rohman menggebrak meja.

"Sudah bapak ingatkan berulang kali,

jangan pernah mengungkit hal itu,

bukankah kita sudah sepakat Eleanor!! Kamu

lupa kalau dulu kamu janji akan menyayanginya seperti istriku yang pertama!!" Bentak pak

Rohman sambil mengarahkan jari

telunjuknya ke wajah bu eleanor.

"Itu jauh sebelum kita punya Dina pak...

"Berhenti!! Jangan lanjutkan lagi, aku

gak mau denger kamu bahas soal ini lagi,

Alvin anak kita! Jangan membantah!!"

sambar pak Rohman sebelum Bu Eleanor

melanjutkan ucapannya, membuat Bu

Eleanor hanya bisa menggerutu karena kesal.

Sementara pak Rohman sudah berlalu.

Tanpa mereka tahu, Alvin yang

sebenarnya sudah datang sejak tadi,

merasa cukup terkejut dengan fakta yang

baru saja ia dengar. Tanpa masuk lagi ke

dalam rumah, Alvin memutuskan untuk langsung pergi ke tempat dia biasa memarkir.

Tanpa berganti baju, ia hanya sempat

berganti sandal dan mengambil baju yang

ada di jemuran untuk ia pakai saat markir

nanti.

Masih syok dengan apa yang ia dengar,

membuat Alvin sedikit kurang fokus.

Jika tak terdengar adzan magrib yang

berkumandang di musholla yang baru saja

ia lalui, mungkin Alvin akan terus

berjalan.

Dengan masih mengenakan seragam

sekolah, Alvin memutuskan untuk

menumpang mandi di musholla yang ia

lewati, setidaknya air kran di kamar

mandi tersebut cukup segar untuk

membatalkan puasa Alvin.

Usai berganti pakaian dan

melaksanakan sholat magrib, Alvin pun

bergegas menuju toko tempat ia biasa menjadi tukang parkir. Pikirannya hari ini

kacau, tawaran pekerjaan yang

menggiurkan begitu berbanding dengan

fakta yang harus ia dapati hari ini.

"Siapa aku sebenarnya?" batin

Alvin. Sembari mengingat rentetan

perlakuan kurang menyenangkan dari

sang ibu tiri.

Sedikit samar dalam ingatan, bahwa

Alvin pernah merasakan kasih sayang

teramat tulu saat dirinya masih kecil dulu,

namun perlahan tapi pasti memang ada

perubahan perlakuan yang cukup besar

dari sang ibu tiri, saat adik perempuannya

terlahir.

"Dek, tolong bawakan ini ya, saya mau

buka jok belakang dulu" ujar pemilik salah

satu mobil yang sedang dijaga oleh

Alvin, membuat lamunan Alvin

buyar.

" Oh iyah pak, saya bawakan" jawab Alvin sedikit gelagapan. Sembari

menerima beberapa paperbag yang di

serahkan oleh sang pemilik mobil.

Tanpa Alvin tau, di sudut lain

tampak seorang yang tengah

memperhatikannya sembari bergumam

"cih, gitu sekolah pakai beasiswa" namun

kemudian berlalu.

Tak lama setelah pemilik mobil

membuka bagasi belakang mobilnya,

Alvin pun segera membantu untuk

memasukkan paperbag belanjaan tersebut

ke dalam mobil.

"Makasih yah dek, ini buat kamu" ujar

pemilik mobil sembari memberikan

selembar uang 20ribuan sebagai upah.

"Waduh maaf pak, Ndak ada

kembaliannya ini. Saya baru datang

soalnya, kalau ada uang pas aja pak. Lima

ribu saja" tolak Alvin yang memang tak

memiliki uang kembalian.

"Ya udah buat kamu aja kembaliannya

dek" jawab pemilik mobil tersebut.

"Loh jangan pak, saya gak enak kalau

gitu" ucap Alvin.

"Udah gPP, anggap aja rejeki. Gak baik

loh nolak rejeki" ujar pemilik mobil yang

sudah siap tancap gas, membuat Alvin

mau tak mau menerima uang tersebut.

"Makasih pak" ucap Alvin yang

kemudian dijawab oleh klakson mobil

tersebut, sebagai tanda balasan untuk

Alvin.

Kepergian mobil tersebut membuat

Alvin sedikit sadar, jika saat ini dirinya

sedang bekerja. Untuk urusan apa yang

telah ia dengar sore tadi, seharusnya tak

boleh mempengaruhi kinerjanya saat ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!