NovelToon NovelToon

Dear Alvin

1 Masuk Ruang BK

"Khususnya bagi siswa penerima beasiswa, sebagai penerima beasiswa di sekolah ini, saya harap kalian bisa memanfaatkannya dengan baik, belajar dengan sungguh-sungguh, mendapatkan nilai yang tinggi, bersedia untuk mengikuti lomba dan wajib menjadi juara demi mengharumkan nama sekolah, agar

sekolah tidak sia-sia memberikan pendidikan gratis untuk kalian"

sepenggal kalimat pidato penyambutan siswa baru

yang di lontarkan oleh kepala sekolah.

"Cuk, gendeng" umpat Alvin, yang saat ini berada di barisan tengah para siswa baru.

Beberapa Temannya pun hanya menoleh dan mencibirnya, sedikit umpatan yang keluar dari mulut Alvin nyatanya membuat beberapa teman seangkatannya merasa tak nyaman.

"Kenapa bro, gak suka? Kalo emang pinter dapet beasiswa sih pantes, gak bakal protes. Tapi kalau dapet beasiswa cuma karena miskin dan bodoh yah cuma jadi beban" sahut Alex, siswa yang berdiri

selisih satu siswa dengan Alvin.

Mendengar hal itu, Alvin pun menoleh dan menatap tajam pada Alex.

"Kenapa? Gak suka aku ngomongin fakta?" ucap Alex dengan senyum mengejek, memancing emosi Alvin.

Alvin masih bergeming, ia terus meyakinkan dirinya untuk tak membuat masalah di hari pertamanya. Sebagai siswa penerima beasiswa, tentu ia harus

menjaga sikap, mengingat banyaknya peraturan yang harus ia patuhi sebelum masuk ke sekolah ini.

" Yah cemen... gerutu sendiri aja bisanya. Dasar beban Sekolah!" Pancing Alex Lagi.

Tanpa bicara Alvin pun segera mendekati Alex dan melayangkan sebuah pukulan ke wajah Alex. Membuat para SiSwa perempuan refleks berteriak karena terkejut.

Alex pun tak tinggal diam, ia yang memang menyukai perkelahian tentu menyambut bogem yang di layangkan oleh Alvin dengan senang hati. Dengan

senyum mengejek Alex terus menangkis pukulan Alvin yang terasa semakin membabi buta.

Sedikit kekaguman timbul di benak Alex, sejauh ini belum ada yang berani memukul dirinya terlebih dahulu, terlebih saat ini dirinya hampir babak belur,

sedangkan Alvin hanya terlihat acak-acakan.

" Aku Memang Miskin beasiswa memang membiayaiku bersekolah disini, tapi tahukah kamu apa yang sedang ku usahakan? Jika tak tahu apapun sebaiknya kamu diam. Anak sepertimu tak ubahnya

seperti pengemis, yang hanya bisa meminta uang saku pada orang tua!" ujar Alvin setelah puas memukuli Alex, yang masih mengusap ujung bibirnya yang berdarah.

"Hei kalian, berhenti!! Ikut saya ke ruang BK!!" perintah seorang guru, seraya meraih Alvin dan menyeretnya untuk dibawa ke ruang BK. Dengan diikuti oleh Alex yang hanya bisa tersenyum masam di belakangnya.

la tak menyangka jika hari pertamanya sekolah akan se seru ini. Wajah teman-temannya yang lain yang

seperti komputer itu, hanya memberikan ekspresi datar saat awal mereka bertemu. Berbeda dengan Alvin, yang meski tampak acuh tapi terlihat lebih kritis.

Hal yang membuat Alex tertarik hingga membuat dirinya dan Alvin kini berada di sebuah ruang BK, ruangan yang pertama kali mereka masuki di hari

pertama masuk sekolah. Bukan kelas untuk belajar, melainkan ruang BK.

"Apa yang membuat kalian bisa-bisanya saling pukul di tengah upacara yang sedang berlangsung?!" tanya Bu Yuli dengan tegas.

Alex dan Alvin terdiam, keduanya tak ada yang menjawab, membuat Bu Yuli geram dan mengulang pertanyaannya hingga beberapa kali.

"Alvin hanya membela diri Bu, saya yang memancingnya" ucap Alex kemudian, meski ia nakal, tapi pantang baginya untuk lari dari tanggung jawab.

"Kami hanya bercanda Bu" sahut Alvin yang tak ingin masalah berlanjut.

Sejujurnya ia sedikit terkejut dengan kejujuran Alex.

"Jadi mana yang benar ini, kalian itu siswa baru, bisa-bisanya sudah berulah di hari pertama! Apalagi kamu anak beasiswa, ada point yang harus kamu jaga agar beasiswamu tak dicabut!" ujar Bu Yuli

dengan tegas, seraya menatap Alvin lebih dalam.

"Kami memang hanya bercanda Bu, maaf jika kelewatan" ujar Alvin. Meski dalam hati ia ingin memaki diri karena harus berbohong.

"Benar begitu Alex?" tanya Bu Yuli kini beralih menatap Alex.

"Hehe iya Bu" jawab Alex seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Tentu saja ia lebih memilih mendukung

Alvin, biar bagaimanapun Alex juga tak ingin masalah ini berlanjut.

"Kamu ini, kalau sampai papamu sampai tau, kamu pasti lebih tau kan apa yang bakal terjadi!" ujar Bu Yuli memberi sedikit penekanan agar Alex sedikit takut. Namun bukannya takut Alex malah cengengesan.

"Yah jangan sampai papa tahu dong Bu" jawab Alex masih bisa tersenyum.

Bu Yuli memang mengenal Alex, lagian siapa juga yang tak mengenali putra pemilik sekolah itu, hmmm kecuali Alvin sepertinya. Karena hanya dialah yang berani mencari gara-gara dengan Alex.

"Ya sudah kalau kalian sepakat jika yang tadi itu hanya sebuah candaan, saya harap hal itu tak akan terjadi lagi, saya juga tak akan mengurangi point kalian untuk kali ini, jadi saya minta kalian harus

saling memaafkan dan berjanji tidak mengulanginya lagi, mengerti!" perintah Bu Yuli membuat Alex dan Alvin mau tidak mau akhirnya bersalaman. Tanpa

mengucapkan sepatah kata pun. Membuat

Bu Yuli hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.

"Sudah kalian langsung kembali ke kelas masing-masing aja, inget jangan buat onar!" pesan Bu Yuli.

"Baik Bu" jawab Alvin dan Alex hampir berbarengan.

SMA SANG JUARA sekolah dengan image pencetak lulusan terbaik, lulusan dengan presentase tertinggi yang masuk ke universitas terbaik di Indonesia maupun di luar negeri.

Sekolah yang di inginkan oleh banyak siswa kaya dan pintar untuk dapat berkesempatan bersekolah disana, bagi siswa yang benar-benar pintar memang

menjadi hal yang benar, namun bagi mereka yang hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya, masuk ke SMA SANG JUARA adalah tuntutan agar bisa di banggakan oleh orangtuanya.

Alvin, salah satu penerima beasiswa berprestasi, yang berasal dari kampung yang berjarak sekitar satu setengah jam dari rumahnya, jika ditempuh dengan jalan kaki.

Ya, ditengah elitnya para siswa di SMA SANG JUARA, Alvin adalah salah satu siswa kere dengan dasi yang memiliki tanda garis 3, tanda yang menunjukkan

bahwa dirinya adalah siswa penerima beasiswa.

Hal yang membuat siswa lain yang melihatnya akan tahu jika dirinya adalah penerima beasiswa. Sedikit lucu, namun itulah faktanya.

"Hei, siswa beasiswa! Masuk kelas mana kamu?" sapa Alex yang masih dengan wajah songongnya, ketika keluar dari ruang BK.

Tanpa menjawab, Alvin pun hanya menunjukkan tanda pengenalnya, X-C.

"Wah kelas kita sebelahan, sayang banget kita gak sekelas. Kalau sekelas kan bisa punya temen bolos aku, eh tapi siswa beasiswa kayak kamu mana mungkin bisa bolos ya" cibir Alex yang segera berjalan mendahului Alvin dengan menyenggol

bahunya sedikit keras.

Membuat Alvin mengusap lengan dan hanya menggelengkan kepalanya.

Tanpa berniat membalas dan meredam emosinya sendiri, Alvin pun segera berjalan mnelewati koridor untuk segera menuju kelasnya.

Begitu masuk kedalam kelasnya, Alvin pun baru menyadari jika di kelas itu hanya dirinyalah yang memakai dasi dengan tanda 3 garis, la pun segera

memilih bangku paling pojok belakang.

Tak lama kemudian seorang siswa laki-laki juga duduk disebelahnya.

" Gila, cuma kita berdua memakai dasi dengan tanda 3 garis yah, yang lain hanya satu garis, itu berarti hanya kita berdua yang dapat beasiswa di kelas ini. Pantas saja mereka tak menghiraukan saat ku

sapa tadi, dasar orang kaya!" gurutu siswa tersebut, membuat Alvin mengernyitkan dahi.

Alvin berfikir dirinya sudah siswa terakhir yang masuk ke kelas, nyatanya ada yang lebih terlambat lagi. Siapa lagi kalau teman baru yang baru saja

meletakkan bokongnya di bangku sebelah Alvin.

"Eh kita belum kenalan ya, aku Mingyu bukan Minggu, panggil aja Ming biar gampang" ujar Mingyu yang ditatap dengan heran oleh Alvin.

"Alvin" jawab Alvin acuh, meski ia sedikit heran dengan nama laki-laki bermata sipit di sebelahnya.

"Gak usah heran, aku memang keturunan cina, dan gak usah heran juga kalau aku juga murid beasiswa, karena gak semua keturunan cina itu kaya. Ya seperti

aku ini, usaha papa sedang merosot padahal sebelumnya sukses, makanya masuk sini ngajuin beasiswa, untungnya aku cukup pintar jadi masuk deh" ujar Mingyu memberi penjelasan dengan

cukup berisik. (Tidak bermaksud SARA ya)

Sementara Alvin hanya menanggapinya dengan anggukan kepala.

la tak ingin tahu, tapi mau tak mau ia pun mendengar dengan seksama sebab Mingyu berbicara dengan suara yang cukup keras.

"Ah gak asik kamu Vin" ucap Mingyu yang tak mendapat respon apapun dari Alvin.

"Hey, sttt jangan berisik ada guru tuh" ucap seorang gadis yang duduk di dekat mereka, seraya meletakkan jari telunjuk ke ujung bibirnya, sambil menoleh ke arah Alvin dan Mingyu.

"Oke" ucap Mingyu tanpa bersuara.

Sementara Alvin tampak tersenyum sebagai respon pada gadis yang saat itu langsung menyita perhatiannya.

Sekolah elit memang sedikit berbeda, MOS yang mereka jalani hanya 3 hari sebelumnya, para guru bilang jika MOS yang terlalu kurang penting, tidaklah baik untuk waktu belajar mereka.

Guru yang masuk pun hanya memberi sambutan seadanya, mengabsen satu persatu nama siswa untuk berkenalan, serta mulai membuat struktur organisasi kelas.

"Itu yang duduk paling pojok belakang, murid beasiswa siapa tadi namanya? Alvin?" ujar Bu Desi dengan suara sedikit lebih keras. Membuat Alvin membuyarkan fokusnya yang sedang menatap gadis di depannya itu.

"Iya bu, ada apa ya?" tanya Alvin dengan wajah polosnya.

"Maju sini kamu!" perintah Bu Desi membuat Alvin segera maju ke depan kelas.

"Kamu yang tadi berantem waktu upacara ya?" tanya Bu Desi dengan tatapan tajam.

"Iya Bu" jawab Alvin datar.

"Baik mulai hari ini kamu jadi ketua kelas. Kalian setuju anak-anak?" tanya Bu Desi pada seisi kelas, keputusan dan pertanyaan yang membuat Alvin

terkejut.

Seisi kelas pun menatap pada Alvin sambil mengangguk setuju.

"Wah bisa beneran kayak robot gini

mereka"batin Alvin.

Entah apa yang membuat seisi kelas tersebut setuju dengan ide Bu Desi, namun mau tak mau Alvin harus menerima jabatan itu.

"Baiklah, Untuk selanjutnya bisa kamu bentuk sendiri, susunan struktur jabatan di kelas ini bersama teman-

temanmu yang lain. Saya pasrahkan mereka padamu!" ujar Bu Desi.

"Boleh saya meminta siswa perempuan yang duduk di depan saya itu untuk menjadi sekretaris saya Bu?" tanya Alvin membuat Bu Desi menoleh pada tempat duduk Alvin tadi, dan memperhatikan siapa gerangan yang duduk di depan Alvin.

2 Pupus sebelum Mekar

Bu Desi pun mengikuti arah yang ditunjuk Alvin, dimana seorang gadis perempuan yang menjadi satu satunya gadis yang di perhatikan Alvin di hari

pertamanya di SMA.

"Oh Arumi, baik saya setuju" jawab Bu Desi.

"Jadi namanya Arumi" batin Alvin, ia yang sejak tadi hanya memandang Arumi dari belakang, tentu tak terlalu fokus saat Bu Desi mengabsen nama teman

sekelasnya satu-persatu.

"Arumi! Maju sini nak" perintah Bu Desi. Membuat Arumi segera melangkahkan kakinya ke depan kelas,

tepat berada di sebelah Alvin.

" Kamu jadi sekretaris kelas yah?" pertanyaan Bu Desi yang sebenarnya lebih terkesan seperti pernyataan, karena tidak membutuhkan jawaban, sebab Arumi sendiri pun tak mungkin menolak jabatan yang diamanahkan kepadanya.

"Baik Bu" jawab Arumi singkat.

"Baiklah, kalau begitu kalian lanjut bentuk yang lain, seperti wakil, bendahara dan seksi kelas yang lain ya. Nanti laporkan pada saya kalau sudah selesai, saya pasrahkan kelas ini padamu Alvin.

Saya tunggu di kantor ya" ujar Bu Desi seraya meninggalkan ruang kelas setelah Alvin menganggukkan kepalanya, tanda memahami perintah Bu Desi.

Sepeninggal Bu Desi, Alvin yang dibantu oleh Arumi mulai membentuk pengurus kelas yang lain.

"Baiklah, temen-temen seperti perintah wali kelas kita barusan, sekarang aku tanya, adakah dari kalian yang hendak mengajukan diri sebagai wakil ketua kelas dan bendahara kelas?" tanya Alvin dengan suara lantang. Membuat seisi kelas mulai memperhatikan Alvin sebagai ketua kelas mereka.

"Hmmm sepertinya gak ada yang bakal mau ngajuin diri" gumam Arumi, namun masih bisa di dengar oleh Alvin.

"Baiklah kalau tidak ada yang ingin mengajukan dirinya sendiri, aku minta kalian mengajukan teman yang menurut kalian cocok mengisi posisi tersebut" ujar Alvin kemudian.

Alvin pun segera membuat tabel di papan tulis, dengan judul diatas wakil ketua kelas dan bendahara. Ia pun meminta satu persatu temannya untuk maju dan menuliskan teman yang mereka

rekomendasikan.

Alvin tau, semua murid dikelasnya sedikit banyak sudah saling mengenal, karena berasal dari sekolah yang sama ataupun karena mereka sudah menjalani

MOS bersama, selama 3 hari sebelumnya.

Yang menurut Alvin, mereka pasti sudah memiliki penilaian sendiri terhadap rekannya masing-masing. Sedangkan Alvin dan Mingyu, memang tidak menjalani MOS bersama dengan teman sekelas tersebut, melainkan bersama dengan siswa penerima beasiswa lain.

Hanya saja saat MOS 3 hari kemarin, Alvin terlalu acuh sehingga ia belum berkenalan dengan Mingyu, dan baru berkenalan hari ini.

"Baiklah, ini sudah nulis semua kan?" tanya Alvin, setelah melihat tak ada lagi teman yang maju untuk

merekomendasikan temannya.

"Sudah" jawab beberapa siswa di kelas tersebut.

" Rum, tolong di rekap yah nama-nama ini, sekalian tolong urutin nama-nama yang direkomendasikan temen-temen kita, biar nanti sekalian buat bentuk seksi yang lain" ujar Alvin memberikan instruksi pada Arum, sekretarisnya.

"Ok" jawab Arum singkat.

Sedangkan Alvin mulai membuat catatan di kertas, sembari menunggu rekapan yang dibuat oleh Arumi.

Tak sampai 15 menit, Arumi sudah selesai dalam merekap nama-nama yang di papan tulis.

"Temen-temen, berdasarkan hasil rekapan di papan tulis ini, bisa kita simpulkan, kalau wakil ketua kelas kita adalah Akbar dan bendahara kita Weni.

Dan untuk seksi yang lain bisa dibaca di papan tulis ya. Karena ini hasil rekomendasi dari temen-temen semua, Aku harap Akbar, Weni dan seksi pengurus

kelas yang telah terpilih untuk bersedia menerima keputusan ini, oke?!" ujar Alvin.

"Oke" jawab Akbar, Weni dan seksi pengurus kelas lain yang telah terpilih.

Kelas anak pintar memang beda, Alvin pun mengakui itu. Dulu, saat di SMP- nya pemilihan pengurus kelas memakan waktu yang cukup lama, selain karena

debat yang tidak penting, juga karena banyak yang berebut ingin menjadi pengurus kelas. Sangat berbeda dengan di SMA-nya sekarang.

Alvin pun segera memberikan hasil diskusi pemilihan pengurus kelas tersebut pada Bu Desi. Kemudian ia segera kembali ke kelas, yang tak lama kemudian di susul dengan kedatangan guru lain dan memulai

pelajaran.

"Vin, Kantin yukk!" ajak Mingyu saat jam istirahat berbunyi nyaring, setelah kepergian guru yang baru saja mengisi pelajaran di kelasnya.

"Kamu aja sana!" jawab Alvin sembari menggeleng.

"Kamu gak jajan?" tanya Mingyu, yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Alvin.

Mingyu pun hanya mengedikkan bahu kemudian berlalu, ia sudah tak sabar ingin mengisi perutnya yang mulai lapar, ia pun tak ingin memaksa Alvin.

Di depannya tampak Arumi sedang mengeluarkan kotak bekal makanan, dari dalam tasnya.

"Loh rum, kamu bawa bekal? gak ke kantin dong" ucap Sella, teman semeja Arum.

"Iya, tadi udah disiapin sama mama, udah kamu ke kantin sendirian aja sana!" usir Arum.

"Yah sendirian dong" rengek Sella.

"Kan banyak teman yang lain sell, atau mau makan ini aja berdua sama aku, banyak ini bekalnya" jawab Arum seraya membuka box makanannya.

"'Ah, enggak ah. Aku pingin beli bakso aja" jawab Sella usai mengintip isi kotak bekal Arum yang berisikan beberapa lembar sandwich.

"Ya udah cepat sana, keburu bel masuk bunyi loh" usir Arum, pasalnya ia sendiri ingin segera menyantap bekal yang ia bawa.

"Iya iya" jawab Sella kemudian berlalu.

Alvin yang sedari tadi duduk sembari membaca buku, mau tak mau ikut mendengarkan apa yang dibicarakan Arum, perempuan yang sejak tadi menarik perhatiannya dengan teman sebangkunya.

Arum yang melihat Alvin asik membaca bukupun, menawari Alvin dengan bekal yang ia bawa. Namun

Alvin hanya menggeleng dan tersenyum.

"Lagi baca apa sih Vin" tanya Arum sambil memutar tubuhnya menyamping agar bisa sembari berbincang dengan Alvin.

"Ini cuma buku fisika, kemarin nemu pas mau pulang ke rumah" jawab Alvin seraya mulai menutup bukunya, ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk

berbincang, dengan gadis yang mampu membuat jantungnya berdebar lebih kencang untuk pertama kalinya.

"Itu kan buat kelas 2 Vin" ucap Arum saat memperhatikan sampul buku yang dibaca Alvin, sambil terus mengunyah sandwich, membuat Alvin tersenyum melihat Arum yang menurut dia terlihat menggemaskan.

"Iya, iseng aja rum" jawab Alvin tersenyum.

"Hemmm kamu beneran gak mau sandwich ini, masih ada loh" tawar Arum lagi, sejujurnya ia merasa tak enak karena makan sendirian.

"Udah habisin aja. Oh ya kalau aku perhatikan tadi, kenapa ya temen-temen kok gak ada yang ngajuin diri buat jadi pengurus kelas. Kalau di SMPku dulu rum, mereka pada berebut loh buat jadi pengurus kelas itu" tanya Alvin yang sejujurnya cukup heran dengan teman-teman sekelasnya.

"Hmmm kamu tau kan kalau SANG JUARA itu terkenal dengan murid pinternya" tanya Arum, membuat Alvin mengangguk.

"Nah. kebetulan kita ini masuk di kelas yang isinya orang pinter semua. Hmmm maksudku diantara murid pintarnya SANG JUARA, kelas kita adalah

kelas dengan isi murid pintar paling dominan. Jadi mereka itu enggan jadi pengurus kelas, karena males ribet.

Mereka itu gila nilai Vin! dan menjadi pengurus kelas tak memberikan mereka nilai, makanya mereka gak berminat" ujar Arum kemudian menggigit kembali

sandwich yang tadi sempat ia letakkan karena memberi Alvin sebuah penjelasan.

"Oh gitu, berarti kamu tadi terpaksa ya mau jadi sekretaris" tebak Alvin.

"Hehe yah mau gimana lagi, lagian aku gak seserakah mereka masalah nilai" jawab Arum dengan enteng.

"Wah aku jadi gak enak udah nunjuk kamu tadi, maaf ya" ucap Alvin karena merasa tak enak.

"Ah gpp kok, santai aja Vin. Eh btw kamu istirahat gak jajan, emangnya gak laper?" tanya Arum sembari meminum air dari botol yang ia bawa.

Sementara Alvin hanya tersenyum dan menggeleng.

"Ih, ini masih ada 1 sandwichnya, kamu makan aja ya. Aku udah kenyang banget" ucap Arum sembari memberikan kotak bekalnya pada Alvin.

"Hmmm ini bisa dimakan nanti malem gak?" tanya Alvin sambil menunjuk kotak bekal Arum.

"Yah basi dong vin, itukan ada sayuran segarnya. Belum lagi saus dan dagingnya, udah kamu makan sekarang aja Vin, ngapain nunggu nanti malem, aneh" ujar Arum sedikit menggerutu.

"Kamu habisin aja kalau gitu rum" jawab Alvin menyerahkan kembali kotak makan Arum.

"Kan udah aku bilang aku kenyang, atau kamu gak suka sandwich ya?" tanya Arum.

Sementara Alvin hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Terus kenapa gak dimakan Alvin?!" tanya Arum, dengan ekspresi sedikit sebal.

Membuat Alvin lagi lagi tersenyum. "Aku puasa Arum" jawab Alvin santai.

"Ini kan bukan bulan puasa, ngapain kamu puasa?" tanya Arum.

Sementara Alvin mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku puasa Sunnah rum" jawab Alvin, sejujurnya ia sedikit terkejut mengetahui Arum tak paham mengenai puasa Sunnah.

"Oh, jadi kalian ada puasa lagi selain puasa di bulan puasa?" tanya Arum membuat Alvin terdiam sejenak.

"Iya ada rum, kebetulan sekarang aku lagi puasa Sunnah Senin Kamis, hari ini kan Kamis rum" jawab Alvin sembari tersenyum masam, usai menyadari jika

Arum memakai gelang tangan dengan tanda salib. Yang mengartikan ada dinding pembatas tebal diantara mereka selain masalah kesenjangan ekonomi.

"Aduh, maaf yah Vin kalau gitu. Aku gak tau, jadi dari tadi kamu puasa sementara aku dengan santainya makan di depanmu" ujar Arum dengan rasa bersalah

yang besar.

"Aduh santai rum, aku gpp" jawab Alvin.

Arum yang masih merasa tak enak hati terus meminta maaf, meski Alvin berulang kali mengatakan tak masalah.

Hingga bel masuk kelas pun berbunyi dan pelajaran kembali berlangsung.

Usai jam pelajaran berakhir, Alvin pun bergegas pulang ke rumahnya.

Di malam hari, Alex tampak sedang keluar dari sebuah ruko depan mall terbesar di daerahnya, dengan santai ia menyulut sebatang rokok, sambil

mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti sedang mengamati sesuatu.

Hingga tanpa sadar, matanya menangkap sosok yang ia kenal, orang yang memukuli dirinya di hari pertama masuk sekolah.

"Cih, gitu sekolah pakai beasiswa" gumam Alex saat melihat Alvin sedang membawa banyak tas belanjaan, di belakang sebuah mobil sedan mewah,

yang tampak sedang di bukakan bagasinya oleh seseorang.

3 Teka Teki Jati Diri

Bel pulang sekolah berbunyi,

menandakan waktu bersantainya sebagai

pelajar telah usai. Ya, Alvin menganggap

menjadi pelajar adalah waktu untuk

bersantai. Karena sisa waktunya akan ia

gunakan untuk mencari uang.

Bermodal sebuah peluit, Alvin

terbiasa menjadi tukang parkir di tiap jam

pulang sekolahnya. Kemarin saat masih

SMP, Alvin bisa markir dari siang

hingga malam, namun saat ini sudah tak

bisa demikian.

Jam pulang sekolah sore hari, belum

perjalanan sekolah ke rumahnya yang

memakan waktu setengah jam, membuat

Alvin hanya bisa menjadi tukang parkir

saat malam hari saja.

Sejujurnya membuat Alvin merasa

bingung mengatur waktu, sebab menjadi

tukang parkir saat malam hari saja tak

menghasilkan banyak uang. la takut

dimarahi oleh Ibu tirinya. Seperti saat ia

hanya membawa sedikit uang saat pulang.

"Loh Alvin, ini kok cuma 20rb sih.

Pasti hari ini kamu banyak mainnya

daripada markirnya ya" keluh Bu Eleanor, ibu

Alvin.

"Alvin gak main buk, emang hari ini

sepi aja, toko tempat Alvin biasa markir

lagi tutup buk, itu aja Alvin dapet segitu

karena bantuin markir di toko sebelah"

jawab Alvin.

"Halah alasan aja kamu ini, biasanya

juga paling dikit 30rb, kalau gini kamu

besok puasa aja! Jangan sarapan paginya!

Uangmu ini cuma cukup beli Bubur buat

adekmu si Rafi ini" ucap Bu Novi sambil

mulai menggendong Rafi, adik terakhir

Alvin yang baru berusia 7 bulan itu.

Alvin memiliki 2 adik, adik yang

pertama seorang gadis bernama Dina, yang

saat ini sudah duduk di bangku kelas 1

SMP.

"Baik Bu" jawab Alvin pasrah,

seraya hendak meminumn es teh yang

tersaji di meja, seolah menggoda untuk

segera meneguknya.

"Eh, jangan diminum!! Itu ibuk

nyiapin buat bapak, bentar lagi bapakmu

pulang kerja"pekik Bu Eleanor melarang

Alvin, membuat Alvin hanya bisa

menelan ludahnya sendiri.

Sebuah ingatan 2 tahun lalu, membuat

Alvin yang saat ini sedang berjalan kaki,

mulai berfikir ia harus berusaha lebih

keras selain menjadi tukang parkir. Asyik

dengan pemikirannya sendiri, membuat

waktu hampir satu jam tak terasa, sebab

kini ia sudah memasuki gang sebelah

kampungnya.

"Vin...Alvin!!" panggil seorang laki-

laki paruh baya, saat Alvin melintas di

depan rumahnya.

"Iya abah, ada apa ya" jawab Alvin

seraya berbalik dan mencium tangan haji

Maliki, pak RW yang juga seorang

pengusaha rosok yang cukup sukses di

kampung tersebut.

"Duduk sini le, baru pulang kamu?"

tanya haji Maliki.

"Iya bah, t tapi Alvin gak bisa lama

lama ini bah" jawab Alvin sambil duduk

di bangku yang tersedia.

"Iya gak lama, ini minum dulu. Pasti

kamu capek kan" ucap haji Maliki seraya

menyodorkan teko berisi es yang terlihat

menyegarkan.

"Maaf bah, Alvin lagi puasa" jawab

Alvin jujur.

"Oalah,maaf le, gak tau abah, maaf yo" ucap abah maliki tak enak hati.

"Mboten nopo nopo bah, santai

mawon jawab Alvin.

"Kamu masih betah markir di toko itu

le?" tanya Abah Maliki.

"Ilyah bah, mau gimana lagi. Ini juga

abis mandi mau langsung berangkat

kesana" jawab Alvin.

"Aku tadi dari sana, sepertinya ada

tukang parkir baru le, bukan yang

biasanya sama kamu itu, kamu sudah tau?"

tanya Abah Maliki lebih lanjut.

"Wah belum tahu e bah" ucap Alvin.

"Hmmm jadi gini, menurutku ya

kamu gak pingin berhenti aja jadi tukang

parkir?" entah pertanyaan atau saran yang

hendak di ucapkan oleh Abah Maliki ini

ini.

"Kalau saya berhenti, mau kerja apa

lagi sava bah. Mau ngamen lagi, juga pasti bapak bakal marah" jawab Alvin Jujur.

Pasalnya sebelum menjadi tukang

parkir, dulu ia sempat menjadi pengamen.

Namun begitu ketahuan oleh bapak,

Alvin di marahi habis habisan. Pak

Rohman, bapak Alvin begitu

menyayanginya. Beliau adalah sosok yang

Alvin hormati.

"Bapak masih sanggup membiayaimu,

gak usah ngamen ngamen lagi! Fokus

sekolah, kamu masih SD, bentar lagi

masuk SMP. Jangan habiskan waktumu di

jalanan!"murka pak Rohman kala beliau

mendapat aduan dari tetangga, jika selama

ini Alvin menjadi pengamen.

Bapaknya tidak tau jika anak nya Alvin tidak di beri jatah makan oleh istrinya yaitu ibu tiri Alvin

" Aku ada tawaran, gimana kalau kamu jadi tukang sampah di kampung ini.

Lagian disini cuma ada7 RT, aku kira

kamu bakal sanggup le, tiap RT juga cuma

satu gang kan" ujar Abah Maliki akhirnya

memberikan tawaran pekerjaan yang

membuat Alvin mulai tergiur.

"Loh emang tukang sampah

sebelumnya kemana bah?" tanya Alvin.

"Orangnya diajak pindah ikut anaknya

ke Madura, maklum sudah cukup sepuh

le, kasian juga kalau terus ngambili

sampah." ujar Abah Maliki.

"Hmmm kalau gitu boleh saya

pikirkan dulu bah, ada beberapa hal yang

perlu saya pertimbangkan terlebih dahulu

soalnya" jawab Alvin.

"Oh ya, tentu saja. Pikirkan yang

matang terlebih dahulu. Tapi jangan lama-

lama, paling lambat lusa loh, biar saya bisa

cari orang lain kalau kamu gak mau le"

ujar Abah Maliki membuat Alvin mengangguk.

"Nggeh pun bah, saya pamit dulu

nggeh, sudah terlalu sore ini, takut dicari

bapak sama ibuk" pamit Alvin seraya

meraih tangan Abah Maliki untuk

diciumnya sebagai tanda sopan santun.

"Iya le, hati-hati" jawab Abah Maliki.

Tawaran yang menggiurkan membuat

Alvin tertarik. Namun jika ia memang

menjadi tukang sampah, berati ia harus

bisa membagi waktunya, kapan harus

mengambil sampah, sementara ia harus

sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore.

Selain itu, sedikit informasi dari Abah

Maliki mengenai tukang parkir baru,

membuat Alvin juga kepikiran, pasalnya

sampai kemarin ia masih markir di

tempat biasa, dan tak ada informasi

mengenai hal tersebut.

Asik berfikir membuat perjalanan Alvin tak terasa kini ia sudah sampai di

depan sebuah rumah sederhana, tempat ia

tumbuh selama ini. Melihat pintu rumah

yang sedikit terbuka, Alvin bermaksud

untuk langsung masuk tanpa mengucap

salam, sebab takut jika sang adik sedang

tertidur dan terganggu oleh suaranya.

"Lihat sekarang anak itu!! Jam segini

belum pulang sekolah, pasti keluyuran

dulu dia!" teriak Bu Eleanor di depan sang

suami. Membuat langkah Alvin

terhenti, ia memutuskan untuk berdiam

diri sebentar.

"Buk, sekolah Alvin yang sekarang

jauh, apalagi sekolah itu menmang sampai

sore, wajar kalau jam segini belum pulang.

Lagian mana pernah Alvin keluyuran

buk" bela pak Rohman membuat Alvin

sedikit lega, paling tidak bapaknya itu bisa

memahami dirinya.

"Bela terus aja anak itu pak, sampai

kamu lupa kalau dia cuma anak pungut mu dan istri pertama mu!"

teriak Bu Eleanor membuat pak Rohman menggebrak meja.

"Sudah bapak ingatkan berulang kali,

jangan pernah mengungkit hal itu,

bukankah kita sudah sepakat Eleanor!! Kamu

lupa kalau dulu kamu janji akan menyayanginya seperti istriku yang pertama!!" Bentak pak

Rohman sambil mengarahkan jari

telunjuknya ke wajah bu eleanor.

"Itu jauh sebelum kita punya Dina pak...

"Berhenti!! Jangan lanjutkan lagi, aku

gak mau denger kamu bahas soal ini lagi,

Alvin anak kita! Jangan membantah!!"

sambar pak Rohman sebelum Bu Eleanor

melanjutkan ucapannya, membuat Bu

Eleanor hanya bisa menggerutu karena kesal.

Sementara pak Rohman sudah berlalu.

Tanpa mereka tahu, Alvin yang

sebenarnya sudah datang sejak tadi,

merasa cukup terkejut dengan fakta yang

baru saja ia dengar. Tanpa masuk lagi ke

dalam rumah, Alvin memutuskan untuk langsung pergi ke tempat dia biasa memarkir.

Tanpa berganti baju, ia hanya sempat

berganti sandal dan mengambil baju yang

ada di jemuran untuk ia pakai saat markir

nanti.

Masih syok dengan apa yang ia dengar,

membuat Alvin sedikit kurang fokus.

Jika tak terdengar adzan magrib yang

berkumandang di musholla yang baru saja

ia lalui, mungkin Alvin akan terus

berjalan.

Dengan masih mengenakan seragam

sekolah, Alvin memutuskan untuk

menumpang mandi di musholla yang ia

lewati, setidaknya air kran di kamar

mandi tersebut cukup segar untuk

membatalkan puasa Alvin.

Usai berganti pakaian dan

melaksanakan sholat magrib, Alvin pun

bergegas menuju toko tempat ia biasa menjadi tukang parkir. Pikirannya hari ini

kacau, tawaran pekerjaan yang

menggiurkan begitu berbanding dengan

fakta yang harus ia dapati hari ini.

"Siapa aku sebenarnya?" batin

Alvin. Sembari mengingat rentetan

perlakuan kurang menyenangkan dari

sang ibu tiri.

Sedikit samar dalam ingatan, bahwa

Alvin pernah merasakan kasih sayang

teramat tulu saat dirinya masih kecil dulu,

namun perlahan tapi pasti memang ada

perubahan perlakuan yang cukup besar

dari sang ibu tiri, saat adik perempuannya

terlahir.

"Dek, tolong bawakan ini ya, saya mau

buka jok belakang dulu" ujar pemilik salah

satu mobil yang sedang dijaga oleh

Alvin, membuat lamunan Alvin

buyar.

" Oh iyah pak, saya bawakan" jawab Alvin sedikit gelagapan. Sembari

menerima beberapa paperbag yang di

serahkan oleh sang pemilik mobil.

Tanpa Alvin tau, di sudut lain

tampak seorang yang tengah

memperhatikannya sembari bergumam

"cih, gitu sekolah pakai beasiswa" namun

kemudian berlalu.

Tak lama setelah pemilik mobil

membuka bagasi belakang mobilnya,

Alvin pun segera membantu untuk

memasukkan paperbag belanjaan tersebut

ke dalam mobil.

"Makasih yah dek, ini buat kamu" ujar

pemilik mobil sembari memberikan

selembar uang 20ribuan sebagai upah.

"Waduh maaf pak, Ndak ada

kembaliannya ini. Saya baru datang

soalnya, kalau ada uang pas aja pak. Lima

ribu saja" tolak Alvin yang memang tak

memiliki uang kembalian.

"Ya udah buat kamu aja kembaliannya

dek" jawab pemilik mobil tersebut.

"Loh jangan pak, saya gak enak kalau

gitu" ucap Alvin.

"Udah gPP, anggap aja rejeki. Gak baik

loh nolak rejeki" ujar pemilik mobil yang

sudah siap tancap gas, membuat Alvin

mau tak mau menerima uang tersebut.

"Makasih pak" ucap Alvin yang

kemudian dijawab oleh klakson mobil

tersebut, sebagai tanda balasan untuk

Alvin.

Kepergian mobil tersebut membuat

Alvin sedikit sadar, jika saat ini dirinya

sedang bekerja. Untuk urusan apa yang

telah ia dengar sore tadi, seharusnya tak

boleh mempengaruhi kinerjanya saat ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!