NovelToon NovelToon

Cerita Di Balik Luka

Pertemuan Pertama Dan Ciumana Pertama

Pagi yang cerah, suara burung berkicau terdengar dari pepohonan. Seorang gadis sedang mengendarai motornya menuju Kampus, saat dia tidak sengaja melihat seorang pria sedang berdiri di pinggir jalan. Sepertinya mobilnya mogok entah ban pecah. Akhirnya dia meminggirkan motornya untuk menghampiri pria itu.

"Maaf Tuan, kenapa ya? Apa ada yang bisa aku bantu?"

Pria berkacamata dan bertubuh tinggi itu langsung menoleh padanya. "Ban mobil kami pecah, sementara Bos saya harus pergi ke Kantor tepat waktu"

"Kalo mau, bisa saya antarkan dulu ke Kantor. Nungguin montir datang juga akan lama"

Pria itu terlihat ragu, dia tahu bagaimana temperamen Bosnya yang tidak akan menerima begitu saja. "Tunggu sebentar, biar saya bicara dulu dengan Bos saya"

"Baik"

Pria itu masuk ke dalam mobil dan mungkin membicarakan usulan Shafa barusan. Sampai menunggu beberapa saat, pria berkacamata itu kembali keluar dan dia membukakan pintu belakang untuk Tuannya.

Sepasang sepatu turun memijak tanah, dan keluarlah seorang pria tampan dengan tinggi tubuh yang tegap. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Seketika Shafa terkesima dengan ketampanan pria di depannya. Rasanya dia melihat pria tampan seperti ini hanya untuk dalam drama saja.

"Em, maaf, siapa nama kamu?" tanya pria berkacamata tadi.

"Shafa"

"Ah, baiklah Shafa, saya Byan Asistennya Tuan Barra. Kamu tolong antarkan dia ke Perusahaan ya"

Pria bernama Byan itu menyebutkan nama sebuah Perusahaan dan alamatnya. Shafa hanya mengangguk saja, dia segera menyalakan motornya.

"Ayo naik, Tuan ... Em, tenang saja aku sudah biasa membawa motor. Jangan takut" ucap Shafa ketika dia melihat keraguan di wajah Barra.

"Baiklah, asalkan aku sampai dengan tepat waktu"

Barra naik ke atas jok belakang motor Shafa itu.

Dan disinilah pertemuan mereka terjadi, Barra yang entah kenapa selalu teringat dengan senyuman ceria gadis yang bernama Shafa itu. Namun, dia  tidak sempat mendapatkan nomor telepon atau alamat Rumahnya.

Dan malam ini, dia sengaja datang ke sebuah Klub malam hanya untuk melampiaskan kepenatan atas pekerjaan dan juga keadaan di Rumah yang selalu kacau.

Saat dia sedang minum di sebuah meja VVIP, tiba-tiba dia melihat sosok gadis yang melewatinya dengan seorang pria tua. Pakaian gadis itu benar-benar terbuka, tidak seperti yang pernah dia temui di jalanan waktu itu.

Barra terus memperhatikannya, sampai dia melihat Shafa duduk di sebuah sofa dengan pria tua itu yang lebih pantas menjadi Ayahnya. Bahkan gadis itu bersandar di dada pria tua itu. Tangan Barra mengepal kuat, ternyata selama ini dia telah menilai gadis itu salah.

"Ini uang yang kamu butuhkan"

Shafa tersenyum, dia mengambil amplop coklat berisi uang itu. Tersenyum sedikit di paksakan. "Terima kasih Om, saya akan lebih memuaskan Om"

Ya Tuhan, sampai kapan aku seperti ini?

Shafa mengambil segelas minum dari atas meja dan memberikannya pada pria tua disampingnya ini. Pria tua itu tersenyum, dia ingin memegang bibir Shafa, tapi gadis itu langsung menghindar.

"Maaf Om, tetap seperti perjanjian pertama. Om boleh melakukan apapun padaku, kecuali ciuman ini"

Dan pria tua itu hanya menghela napas pelan. Dia akhirnya kembali meminum minuman di tangannya.

*

Malam sudah hampir pagi, dan Shafa baru keluar dari Klub Malam ini. Dia membuka sepatu hak tingginya dan menjinjingnya. Wajah lelah, rambut yang sudah dia ikat dengan asal. Bajunya sudah tertutup dengan jaketnya. Berjalan keluar dari tempat hiburan malam, sampai sebuah tangan menariknya dengan erat. Shafa begitu terkejut, dia menoleh dan terdiam melihat pria di depannya ini.

Shafa menatap pria di depannya dengan lekat, merasa tidak asing. Sampai dia ingat dengan seseorang yang pernah dia bantu beberapa minggu lalu.

"Loh Tuan? Ada apa?" tanya Shafa.

Barra tidak menjawab, dia menyingkap sedikit jaket Shafa di bagian lehernya. Dan dia melihat ada beberapa bekas kecupan disana. Tangan Bara langsung mengepal kuat melihat itu.

"Jadi ini pekerjaanmu?"

Shafa langsung terdiam, dia menunduk dengan tangan meremas rok pendeknya itu. Tidak perlu menjawab atau menjelaskan apapun, yang jelas memang dia adalah gadis yang kotor.

"Ikut aku sekarang!"

Barra menarik tangan Shafa dan membawanya ke mobil yang terparkir disana. Asistennya, Byan sudah berada disana. Langsung membukakan pintu mobil untuk keduanya.

"Tuan, kita mau kemana?"

Tatapan tajam Barra, membuat Shafa langsung bungkam. Bahkan dia tidak berani bertanya lagi. Membiarkan saja mobil melaju membawanya entah kemana dengan pria dingin disampingnya.

Dan ternyata Barra membawanya ke sebuah Apartemen mewah. Shafa ditarik keluar dari  mobilnya dan Barra membawanya ke sebuah Apartemen entah di lantai berapa ini. Shafa tidak terlalu memperhatikannya.

"Masuk!"

Shafa menurut saja, masuk ke dalam Apartemen mewah ini. Melirik Barra yang duduk di sofa dengan tatapan yang tajam dan mengerikan.

"Berhenti bekerja disana, dan kau akan menjadi teman ranjang ku sekarang! Tidak perlu melayani orang lain, kau hanya perlu menjadi pemuas untukku saja!"

Shafa masih begitu terkejut dengan ucapan Barra barusan. Sejenak dia hanya membeku ditempatnya, begitu terkejut dengan ucapan Barra barusan.

"Tapi Tuan, bukankah anda sudah punya istri?"

"Memangnya kenapa? Pria tua yang kamu layani tadi, itu juga sudah pasti punya istri. Kenapa kau tidak mau denganku?!"

Shafa langsung terdiam, ternyata memang Barra melihatnya sejak dia bersama dengan pelanggannya disana.

"Kau butuh uang berapa? Aku akan berikan semuanya untukmu"

Lagi-lagi posisi ini yang terjadi, ketika Shafa harus merendahkan dirinya sendiri hanya demi uang. Dia tidak bisa membantah jika memang dia adalah gadis yang kotor.

"Baiklah, akan aku lakukan"

Bara tertawa puas, membuat harga diri Shafa benar-benar jatuh dan hancur berkeping-keping. Dunia seolah tidak pernah berpihak padanya.

Bara mendekatkan wajahnya pada Shafa dan langsung menciumnya kasar. Meluapkan kemarahan yang tiba-tiba menyerang hatinya. Shafa gelagapan, karena ini adalah ciuman pertamanya.

Bara sedikit mengerutkan kening, kenapa Shafa terasa kaku saat berciuman, dan dia terlihat cukup tegang. Padahal dia sudah banyak melayani pria lain di luar sana.

"Kenapa kau kaku sekali?" tanya Bara saat melepaskan ciumannya.

Shafa menatap Bara dengan mata berkaca-kaca, dia tidak bisa menghindar hingga Bara terlanjur mencium bibirnya. Sementara hanya itu yang sedang dia pertahankan saat ini.

"Kenapa Tuan mencium saya?"

Bara menatap Shafa dengan mata yang menyipit tajam, mengusap bibirnya yang basah. "Kau bertanya seperti itu, pantaskah? Bahkan kau sudah melayani banyak pria"

Air mata mengalir di pipinya, dan sial itu membuat Bara tidak suka. Ada gemuruh dalam dadanya yang dia sendiri tidak tahu kenapa.

"Selama ini, saya hanya mempertahankan bibir saya untuk tidak di cium siapapun yang jadi pelanggan saya. Karena saya berharap bisa lepas dari dunia malam ini, dan masih ada yang tersisa tanpa sentuhan pria lain untuk saya berikan pada seseorang yang mungkin akan menerima saya apa adanya suatu saat nanti. Tapi Tuan malah menghancurkan semuanya"

Bara terdiam mendengar ucapan Shafa barusan.

Bersambung

Selamat menikmati.. Tolong bantu ramaikan dengan like komen ya.. Jangan nabung Bab, tolong kerja samanya..

Cerita Di Balik Luka

Dunia malam adalah hal yang selalu di wanti-wanti oleh Ibunya. Hidup di Ibu Kota yang setiap hal adalah sebuah perbedaan. Kebebasan yang selalu di anggap biasa saja, seks, cinta satu malam, dan menjadi wanita panggilan, adalah hal yang di anggap biasa oleh masyarakat sekitar.

Tempat hiburan malam selalu penuh dengan orang-orang yang mencari kepuasan, dan orang-orang yang mencari rupiah atas tubuhnya yang di pamerkan pada siapa saja yang siap membelinya semalam.

Setiap kali malam tiba, adalah hal yang paling menakutkan bagi Shafa. Namanya indah, memiliki makna yang begitu baik. Yakinlah orang tuanya memberikan nama itu dengan penuh harapan anaknya akan menjadi gadis yang baik dan berguna.

Namun, dunia tidak semudah itu dia lewati. Jalan hidupnya terlalu berliku, terjal, dan menimbulkan banyak luka untuk melewatinya seorang diri dengan kaki tertatih berlumur darah.

Ini adalah dunianya sekarang, masuk ke dalam dunia yang sejak remaja selalu di ingatkan oleh Ibunya, jika dia jangan sampai menjadi perempuan menjual harga dirinya hanya demi uang.

"Nak, kita hanya orang tidak punya. Tidak ada harta yang bisa kita banggakan. Tapi, setidaknya kita punya harga diri dan hati, jagalah itu. Jangan merendahkan harga diri kamu, karena itu satu-satunya yang kamu punya"

Pesan Ibu yang selalu membuatnya meneteskan air mata. Dalam lirih selalu mengucapkan maaf, entah pada siapa yang akan mendengar kata maaf itu.

"Maafkan Shafa Bu, pada akhirnya tidak ada pilihan lain bagi Shafa"

Kejadian 5 tahun lalu, adalah cerita di balik luka yang pertama kali menghancurkan segalanya bagi Shafa. Ibunya adalah sosok yang cantik, baik dan selalu ramah pada setiap orang. Dia membesarkan Shafa seorang diri dengan bekerja di sebuah Laundry.

Dan malam itu, Ibu tiba-tiba tidak pulang tanpa memberikan kabar apapun pada Shafa. Untuk mencarinya, Shafa sudah mencarinya ke tempat Ibunya bekerja, tapi orang disana mengatakan jika Ibu sudah pulang.

Pada akhirnya Shafa tidak tahu harus mencari kemana lagi Ibunya. Hingga, pagi hari seorang tetangga menyusulnya ke rumah dan mengatakan jika ada warga yang menemukan Ibu tergeletak tak sadarkan diri di sebuah rumah kosong di pinggir kota.

Tangan Shafa bergetar, bahkan seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa dingin dan bergetar ketakutan. Jika Ibunya pergi, maka dia akan bersama siapa? Shafa tidak punya siapa-siapa lagi. Ayahnya? Bahkan sejak kecil dia tidak pernah tahu dimana Ayahnya berada dan seperti apa sosoknya.

"Dasar Pela*cur. Kau memang jal*ang, jadi mau sudah setua apapun, kau tetap menjual dirimu"

Teriakan para warga saat Shafa hampir sampai di tempat kejadian. Dada Shafa bergemuruh, marah dengan ucapan orang-orang yang mengatai Ibunya sebagai pela*cur.

"Stop! Ibuku bukan pela*cur!" teriak Shafa.

Ketika masuk ke dalam rumah kosong itu, Shafa melihat Ibu tergeletak mengenaskan tanpa selehai busana. Pakaiannya berserak di sekitarnya, Ibu sadar, tapi tatapannya menunjukan waspada.

Hati Shafa tersayat begitu sakit, Ibunya kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa dia berada disini dalam keadaan seperti ini.

"Ibu" panggilannya tercekat di tenggorokan. Shafa mengambil pakaian Ibunya yang berserak dan memakaikan dengan segera. "Apa yang terjadi sama Ibu? Kenapa seperti ini... Hiks..."

"Kamu siapa? Aaa... Pergi kamu, siapa kamu? Pergi!!!"

Ibu berteriak histeris, membuat Shafa begitu terkejut. "Ibu, ini Shafa anak Ibu"

"Tidak! Aku tidak punya anak, kau pasti anak haram dari para lelaki itu! Pergi kau dari hidupku. Pergi!!"

Dada Shafa seperti terhimpit beban begitu berat, sesak rasanya. Tangisan yang tidak lepas, tercekat di tenggorokan.

"Shafa, sepertinya Ibumu menjadi gila. Begitulah karma seorang wanita penjual diri"

Tangan Shafa mengepal erat, menatap pada warga yang mengolok-ngolok Ibunya. "Kalian semua diam! Ibuku bukan orang seperti itu!"

"Kau saja yang tidak tahu apa-apa Shafa, dia adalah mantan pela*cur"

"Bawa Ibumu ke Rumah Sakit Jiwa, kita tidak mau ada orang gila di kampung ini!"

Dunia Shafa seakan benar-benar runtuh, malaikatnya kini tidak mengenalinya. Bahkan Ibu terdiam di pojokan dengan memeluk tubuhnya sendiri. Matanya bergerak gelisah, benar-benar bukan Ibu yang dia kenal.

Dan akhirnya Shafa terusir dari rumah kontrakannya. Semua warga tidak mau melihat Ibunya yang sekarang mengalami gangguan jiwa.

"Siapa yang sebenarnya melakukan ini pada Ibu? Hiks.. Kenapa orang itu jahat sekali. Sekarang Shafa harus bagaimana Bu? Tidak ada yang bisa Shafa lakukan, Shafa bingung, Bu.. Hiks.. Ibu.."

Semua pakaiannya dan Ibunya sudah siap di dalam tas besar. Tapi Shafa juga belum bisa meninggalkan rumah, karena dia bingung harus pergi kemana. Tidak ada sanak saudara yang dia kenal yang bisa membantunya.

Dan saat itu, seorang perempuan di atas usia Ibunya datang. Gayanya begitu mewah dengan kacamata hitam besar yang dia pakai. Tas dan pakaiannya sudah jelas pakaian yang mahal. Shafa terdiam dengan rasa takut.

"Kau Shafa?" tanyanya dengan menurunkan kacamata hitamnya untuk melihat Shafa lebih jelas. "Kau cantik seperti Ibumu ya"

Shafa masih kebingungan, kedatangan orang ini begitu tiba-tiba. "Maaf, siapa ya? Apa kenal dengan Ibuku?"

"Kenalkan, aku adalah Mommy Erlina. Kau bisa memanggilku Mom Erlin, Sayang"

Shafa menatap tangannya yang terulur padanya, untuk menjabatnya dia sedikit ragu, meski akhirnya tetap menerima uluran tangan Mom Erlin itu.

"Aku adalah orang yang mempekerjakan Ibumu sebelum dia mengandung kamu. Dan setelah dia mengetahui hamil, maka dia berhenti menjadi anak kesayanganku dan mengungsikan diri kesini"

Mom Erlin beralih menatap Ibu yang masih terlihat ketakutan dan selalu memasang sikap waspada pada siapapun yang mendekatinya.

"Malang sekali nasibmu Rani. Seandainya kau dulu menuruti ucapanku untuk tidak melanjutkan kehamilanmu itu, kau pasti masih senang dengan banyak uang dan fasilitas dariku"

Shafa hanya diam saja dengan rasa takut, melihat gaya Mom Erlin ini dan ucapannya benar-benar mengandung arti. Apa mungkin...

"Tapi tidak papa, karena sekarang kamu mempunyai anak yang begitu cantik. Shafa, ayo ikut dengan Mom. Semua yang kamu perlukan, akan Mom sediakan. Ibumu biar di rawat di Rumah Sakit Jiwa saja. Tidak aman jika dia terus berada di rumah bersamamu. Lagian, kau sudah di usir oleh warga sini 'kan"

"Tapi-"

"Mom akan berikan pekerjaan untukmu asal kamu mau menurut semua ucapan Mom. Masalah uang untuk biaya Ibumu di Rumah Sakit Jiwa, Mom juga akan tanggung. Tapi, semua itu tentu ada balasannya. Kau tentu harus menjadi anak kesayangan Mom"

Meski takut dan ragu, tapi Shafa seolah tidak ada pilihan lain pada saat itu. Hingga akhirnya dia mengangguk, dan semuanya berawal dari cerita dibalik luka ini.

*

Hembusan napas kasar dari mulutnya ketika dia mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Lampu disko yang kelap-kelip dan suara musik yang memekakkan telinga sudah terbiasa bagi Shafa.

"Laurent Sayang, mari Mom antar. Sudah ada yang memesan kamu untuk malam ini. Dia membayar mahal, dan kamu bisa minta tips tambahan padanya ya Sayang"

Rangkulan Mom Erlin bukanlah sepenuhnya karena sayang, tapi karena Shafa masih menguntungkan baginya.

Dan dunianya di mulai, Shafa yang menjadi Laurent di malam hari. Nama samaran yang diberikan Mom Erlin saat pertama kali dia terjun dalam dunia malam ini.

Kapan ini akan berakhir Ya Tuhan... Aku lelah.

Bersambung

Pesan Lagi?

Terbangun dalam pelukan seseorang, cukup mengejutkan bagi Shafa. Karena biasanya dia akan langsung pergi setelah memuaskan pelanggannya, mau jam berapa pun itu, dia akan langsung pergi. Tapi, malam ini dia malah tertidur sampai pagi. Lebih terkejut lagi karena pria yang bermalam dengannya semalam, masih berada disini dan bahkan memeluknya.

Shafa mencari keberadaan ponselnya, melihat waktu yang sudah menunjukan pukul 7 pagi. "Duh, aku ada kuliah pagi. Harus cepat cepat pulang"

Shafa melirik pada pria yang masih terlelap tanpa busana di sampingnya. Sejenak tatapan matanya tidak teralihkan, wajah tampan, hidung mancung, dengan rahang yang tegas dan bentuk tubuh yang begitu terawat dan indah dilihat.

Sial, kenapa kamu ini Shafa? Jangan terpesona dengan pria seperti dia, mau bagaimana pun dia adalah pria yang sama dengan pria lain. Membelimu hanya untuk kepuasan naf*sunya saja.

"Argh...." Shafa memegang perutnya yang lagi-lagi terasa sakit. Padahal dia tidak sedang datang bulan. Tapi perutnya selalu sakit akhir-akhir ini. "Sepertinya aku harus periksa ke Dokter"

Shafa turun dari tempat tidur, mengambil pakaiannya yang bercecer dan memakainya kembali. Dia mengambil tas dan ponselnya.

"Kau mau kemana?"

Suara bariton itu menghentikan langkahnya menuju pintu kamar. Shafa berbalik dan melihat Bara sudah bangun, dia sedang memakai jubah mandi.

"Aku harus pulang dulu, Tuan. Ada kuliah pagi"

Mata Bara sedikit menyipit kaget, satu alisnya terangkat. "Kau kuliah?"

Shafa tersenyum miris, pertanyaan Bara ini seolah dia tidak percaya jika orang seperti Shafa masih mementingkan pendidikan. Justru dengan dia kuliah dan bisa sampai lulus, adalah harapannya untuk bisa keluar dari dunia hitam ini dan menjalani kehidupan normal seperti kebanyakan orang.

"Ya, aku harus kuliah" ucap Shafa seraya berbalik.

"Tapi aku belum membayarmu"

Shafa memejamkan mata, rasanya masih begitu sakit ketika mendengar kalimat seperti itu dari setiap pelanggannya. Seolah kalimat itu telah menyadarkan jika dia hanya seorang perempuan bayaran yang tidak ada lagi harga diri untuk di pertahankan.

"Untuk membayar, langsung transfer saja ke rekening Mommy aku. Soalnya dia yang mengurus semua pembayaran itu"

Shafa terkejut saat tiba-tiba tangannya di tarik hingga dia terjatuh dalam pelukan Bara. Tangan Bara melingkar di lehernya, tatapannya begitu mengerikan.

"Aku belum puas denganmu. Bisa aku pesan lagi kau malam ini?"

Hati Shafa menjerit, ingin sekali dia menolak. Tapi, sekali lagi ini adalah pekerjaannya. Shafa harus sadar diri akan itu.

"Silahkan hubungi Mommy aku saja"

Bara tersenyum sinis merendahkan, tangannya mencengkram dagu Shafa dengan cukup kuat. Membuat Shafa meringis pelan. Bekas ciumannya semalam masih terlihat jelas di leher jenjang gadis itu.

"Kau memang serendah ini ternyata, dan mulai sekarang kau akan semakin tersiksa karena sudah masuk dalam perangkapku, Laurent"

Shafa memejamkan matanya, rasanya sakit sekali mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Bara.

Sepertinya dia sudah lupa nama asliku, kita hanya bertemu sekali. Mana mungkin dia mengingatnya.

"Aku pergi dulu, Tuan"

Shafa segera keluar dari kamar itu, dia tidak mau terus berada disana dan hanya semakin tersiksa dengan segala ucapan Bara yang benar-benar melukai hatinya. Meski sebenarnya apa yang di ucapkan oleh Bara adalah sebuah kenyataan.

*

Shafa kembali ke rumahnya setelah menjalani kuliah pagi. Rumah yang diberikan oleh Mom Erlin untuknya selama dia masih menjadi anak buahnya. Shafa duduk di sofa, melihat tanggal di ponselnya.

"Sudah waktunya pembayaran ke Rumah Sakit Ibu. Sebaiknya aku pergi dulu"

Shafa segera mandi dan bersiap, dia pergi menggunakan mobilnya menuju Rumah Sakit Jiwa tempat Ibunya di rawat. Setiap sampai disana, ada rasa hampa, hancur, dan luka yang tidak kunjung sembuh.

Shafa baru bisa mengerti kenapa dulu Ibunya selalu mengingatkan padanya agar tidak masuk pada dunia malam ini. Karena ternyata Shafa adalah anak yang tidak jelas siapa Ayahnya, karena Ibu juga mantan seorang wanita penghibur.

"Permisi Sus, saya mau membayar biaya Ibu Rani"

"Oh baik, tunggu sebentar saya cek dulu"

"Bagaimana keadaan Ibu saya sekarang? Apa bisa bertemu?"

"Tadi pagi Ibu Rani kembali histeris, dan akhirnya diberikan suntik obat penenang. Untuk saat ini sebaiknya jangan dulu di temui. Mbak Shafa bisa melihat dari luar ruangan saja dulu"

Shafa hanya menghela napas lelah, berharap suatu hari Ibunya akan kembali normal seperti dulu. "Baik Sus, saya hanya ingin melihat keadaannya saja"

Setelah selesai melakukan pembayaran, Shafa pergi ke ruangan Ibunya. Hanya bisa menatap dari luar pintu, melihat dari kaca yang terpasang di pintu. Tatapan mata Ibu masih begitu gelisah, raut ketakutan selalu terlihat. Rambutnya acak-acakan, bajunya juga. Wajah yang dulu cantik dan terawat, kini sudah tidak terawat lagi.

"Bu, cepat sembuh ya biar aku ada tempat lagi untuk bersandar. Ada yang mau memeluk aku lagi saat sedang sedih. Aku lelah, tapi aku tidak akan menyerah untuk Ibu. Semua pengobatan Ibu harus tetap berjalan, meski aku harus melanggar janjiku pada Ibu. Karena pada akhirnya aku harus menjalani dunia malam ini"

Shafa menghembuskan napas kasar, dia menempelkan tangannya di kaca sebelum berlalu pergi. Bisa melihat Ibunya saja, sudah cukup baginya. Meski belum bisa bertemu dan mengajaknya bicara.

Saat sampai di parkiran mobil, Shafa merasakan perutnya kembali sakit. Dia memegang perutnya dengan sedikit membungkukan tubuh.

"Arghhh... Aku belum sempat ke rumah sakit. Sebaiknya beli obat pereda nyeri dulu"

Shafa pergi ke apotek sebelum pulang ke rumah, membeli obat pereda nyeri untuk rasa sakitnya. Hari sudah semakin gelap, Shafa semakin merasa lelah untuk menghadapi malam. Karena setiap malam adalah waktu dimana dia menjadi sosok Laurent yang menjual tubuhnya.

Duduk di depan cermin meja rias, Shafa menatap pantulan dirinya sendiri dengan senyum miris. Pakaian terbuka ini, adalah pakaian yang ingin dia buang jauh. Riasan ini, ingin dia hapus sampai bersih. Shafa benci menjadi Laurent, dia hanya ingin menjadi Shafa selamanya. Tapi sayang, dunia sudah membawanya terjun pada dunia ini.

Selama perjalanan, Shafa selalu menutupi pakaian terbukanya ini dengan jaket. Baru saat dia sampai di tempat hiburan malam ini, dia melepas jaketnya dan memulai hari sebagai Laurent.

"Ya ampun kenapa datang terlambat, Sayang. Sudah ada yang menunggumu dari tadi" ucap Mom Erlin.

Shafa tersenyum masam, lalu mengikuti Mom Erlin menuju meja tamu. Cukup tertegun karena ternyata Bara benar-benar berada disana. Ucapannya tadi pagi bukanlah bercanda, ketika dia ingin memesan Shafa lagi.

"Kau punya pelet apa sih Laurent? Sampai orang seperti Tuan Bara terus datang dan mencarimu" ucap salah seorang teman Shafa.

"Hey, Laurent ini bukan hanya di cari Tuan Bara. Tapi sudah di beli dengan full"

"Maksudnya, Mom?"

"Sudah, kamu layani dulu Tuan Bara. Nanti Mom akan jelaskan"

Shafa menatap Mom Erlin dengan bingung, tapi kerlingan mata Mom Erlin jelas menunjukan jika dia begitu senang malam ini. Dengan langkah ragu, Shafa mendekat pada Bara.

Ya Tuhan, kapan ini berakhir?

Bersambung

Mampir di karya temenku ya.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!