NovelToon NovelToon

KAKEK PEMUAS

bab 1

Desa PALASARI.

Di waktu sore, di suatu hari tahun 1988.

Di tengah kemarau yang membakar segala harapan, terlihat sosok kakek Surya dengan langkah tegapnya yang bergetar di antara deru angin kering dan tanaman-tanaman yang layu meminta ampun pada matahari. Di usianya yang menginjak 70 tahun, ia masih kuat memanggul sak dan sabit, mencari rumput di tengah lahan kering yang mengeluhkan kehausan. Dengan sandal jepit yang setia menemani langkah-langkah lusuhnya, dan pakaian serba abu yang sudah pudar seiring waktu, kakek Surya tetap bertekad. Dia berjalan jauh, mencari-cari pakan untuk sapi kesayangannya yang juga sudah menahan lapar.

Matahari yang menggantung seperti bola api tak membuat semangatnya kendur. Si kakek Tiba di kebun tetangga yang tak terurus dan tak mempunyai ternak, senyum Kakek Surya merekah. Sinar senyumnya bagai rembulan di kegelapan, saat ia melihat ada rumput yang masih segar, menyisakan sedikit harapan di tengah panasnya musim kemarau ini . Setiap tangkai rumput yang berhasil dia kumpulkan adalah kemenangan kecil dalam perjuangan melawan musim yang kejam, buat para petani, juga peternak, seperti kakek Surya.

Dengan langkah gontai, Kakek Surya memasuki kebun Pak Sardi, penuh rasa terima kasih karena telah diberi izin mecari rumput untuk sapi-sapinya yang terancam kelaparan di musim kemarau ini.

"Silakan Mang, cari saja apa pun di kebunku, asal mau di makan sapi," begitulah kata Pak Sardi kemarin, dengan wajah lelahnya dia yang pulang dari pekerjaan keras sebagai kuli bangunan. Namun, suasana hening di kebun itu seketika pecah saat Kakek Surya melintas dekat gubuk berdinding anyaman bambu dan beratap seng milik Pak Sardi. Sebuah bisikan misterius mengalun pelan, diikuti oleh desahan lembut seorang perempuan yang seolah membawa pesan tersembunyi. Serentak, hati Kakek Surya berdesir, seakan-akan udara pagi yang dingin mendadak berubah menjadi sesak dengan rasa penasaran dan kekhawatiran yang menggelayut..

Kakek Surya pun menjadi curiga, lalu mencari celah di antara anyaman bambu untuk melihat siapa yang ada di dalam gubuk tersebut. Dia khawatir ada orang yang berniat jahat atau mencuri sesuatu di gubuk milik pak Sardi itu.

Alangkah terkejutnya Kakek Surya saat melihat dua orang yang tampaknya sedang berpelukan dengan erat. Dari tempat Kakek Surya berdiri, terlihat gerakan yang lembut dan penuh perasaan. Lelaki bertubuh buncit itu, yang ternyata adalah Pak Marwan, tetangga Kakek Surya, tampak berusaha menenangkan perempuan yang tak lain adalah istri Pak Sardi. Mereka berdua tampak masih berpakaian, hanya sebuah kain segitiga yang tergeletak di tanah. Dengan posisi yang penuh kelembutan, Pak Marwan berdiri di belakang istri Pak Sardi, keduanya tampak sangat fokus dan serius dalam apa yang mereka lakukan, hingga keringat membasahi pakaian mereka...

Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang saat Pak Marwan dengan lembut memainkan jemari tangannya di sekitar bahu Surti yang menunduk. Surti, yang biasanya tenang dan terkendali, tampak terhanyut dalam suasana yang diciptakan oleh Pak Marwan. Kakek Surya, yang secara tidak sengaja menyaksikan kejadian itu, merasa sangat terkejut. Surti, istri Pak Sardi yang dikenal baik dan jarang berbicara, kini terlibat dalam situasi yang tak terduga. Meskipun usianya hampir 40 tahun, Surti masih terlihat sangat muda dan penuh pesona, dengan kecantikan yang menawan dan postur tubuh yang menarik.

Kakek Surya cukup lama memperhatikan itu, di samping karena kaget, juga gugup karena seumur dia segitu, baru pertama menemukan hal itu. Juga kakek Surya sedikit terkesima pada tubuh Surti.

Lalu terlihat tangan gempal yang tadi menyentuh Surti sekarang berpindah, dengan menyisir rambut perempuan itu dari belakang. Dua insan itu terus bergerak dengan gerakan yang terlihat sangat akrab. Sepertinya pasangan ini sudah terbiasa berada bersama di gubuk kecil yang ada di ladang Pak Sardi ini..

Kakek Surya pun teringat akan kebaikan Pak Sardi, tetangganya itu, dan ingin membalasnya. Lalu, Kakek Surya mengitari gubuk itu, mencari pintu yang hanya terbuat dari tripleks saja.

Tanpa basa-basi, Kakek Surya langsung mendobrak pintu itu. dua Orang yang sedang melakukan penanaman benih itu sangat kaget, hingga gerakan mereka terhenti.

keduanya tampak terkejut saat ditemukan dalam situasi tersebut.

"Apa yang kalian lakukan?" Teriak Kakek Surya, setelah berhasil mendobrak pintu itu. Karena situasi yang mendadak, Pak Marwan yang hampir meraih puncak rasa tertinggi dari momen itu langsung berhenti. Pak Marwan segera menutup dirinya dengan menaikkan penutupnya saja, karena tadi memang tak dilepas sepenuhnya. Begitu juga Surti yang mengambil penutupnya dan langsung memakainya..

"Mengapa kamu ke sini?" gugat Pak Marwan dengan suara yang menggema penuh kemarahan kepada Kakek Surya. "Kalian berdua telah mencoreng marwah keluarga, aku tidak akan tinggal diam! Aku akan laporkan kejadian ini pada Sardi!" seru Kakek Surya dengan tegas dan lantang, membawa aura keberanian.

"Jangan berani-beraninya kau Surya! Kau pikir kau siapa, mengancamku?" balas Pak Marwan dengan nada yang lebih keras, serangan baliknya tidak kalah sengit. Situasi menjadi semakin tegang,

"Ayo, kita harus pergi sekarang," ujar Pak Marwan dengan nada mendesak. Ia cepat-cepat meraih tangan Surti dan menariknya keluar. Surti, dengan langkah gontai, hanya bisa pasrah mengikuti di belakangnya. Air mata yang jatuh dari kelopak matanya semakin memperjelas kekacauan batin yang ia rasakan. Rasa ketakutan dan kebingungan tergambar jelas di wajah pucatnya. Dalam keadaan tergesa-gesa, Surti tidak sempat memperbaiki penampilannya. Rambutnya terurai, pakaian yang biasanya terlihat rapi kini acak-acakan dan basah oleh keringat dingin yang membanjiri tubuhnya. Celana longgar selututnya tampak timpang dan tidak terurus. Saat mereka berlari menuju ke luar, suara langkah kaki mereka bergema menambah kesan drama dalam ladang yang penuh intrik ini..

"Aku akan beritahu Sardi, apa yang kalian sudah lakukan," teriak Kakek Surya, lalu berbalik dan melihat kepergian Marwan dan Surti.

Setelah cukup lama terdiam, Kakek Surya pun mulai menenangkan dirinya, lalu melangkah untuk mencari pakan ternak yang tak jauh dari gubuk itu.

Di tengah gemerisik daun yang bergoyang diterpa angin, Kakek Surya terkunci dalam dilema yang pelik. dia Jongkok memotong rumput, jarinya yang keriput bergerak cekatan, mengisi Sak hingga penuh, tetapi pikirannya melayang ke kejadian yang baru disaksikannya di gubuk Pak Sardi. Sesekali, kepalanya bergoyang pelan, tanda ketidakpercayaan dan kekecewaan mendalam. Bagaimana mungkin Surti, istri Sardi, bisa berlaku demikian dengan Pak Marwan? Mata kakek Surya yang sayu terpaku sejenak, ingatan akan tubuh Surti yang lentur dalam dekapan yang bukan milik suaminya, meninggalkan rasa yang campur aduk dalam dada. Ada ketertarikan yang tak bisa dipungkiri, namun jauh lebih besar adalah rasa kecewa dan pilu yang menerpa hatinya. Dengan langkah gontai dan bebannya yang kini penuh sesak bukan hanya oleh rumput tetapi juga oleh pikiran yang kelam, Kakek Surya pun meninggalkan kebun dengan rasa yang teramat berat.

Hari itu, ia menuju kandang sambil merenungkan kebenaran yang pahit, bahwa manusia kadang mendua, dan hati yang terluka mungkin tak akan pernah benar-benar pulih

Bersambung...

bab 2

Keesokan harinya, saat matahari sudah sepenuhnya terbit di ufuk Timur.

Kakek Surya hendak memberi pakan ternaknya ke kandang, lalu ia bertemu dengan Pak Sardi yang sedang berjalan kaki, Karena Jarak tempat kerja Pak Sardi memang tidak terlalu jauh, ia bekerja pada proyek pemerintah untuk perbaikan irigasi di desa itu.

“Mau ke mana, Mang?” tanya Pak Sardi.

“Ini mau kasih pakan ternak ke kandang. Berangkat kerja ya?” tanya Kakek Surya basa-basi, karena dari penampilan Pak Sardi sudah jelas bahwa ia hendak berangkat kerja.

“Iya nih, Mang,” jawab Pak Sardi.

Kakek Surya kemudian teringat kejadian kemarin di gubuk Pak Sardi, di mana Pak Marwan sedang melakukan penanaman benih dengan Surti, istrinya Pak Sardi.

“Mang, kalau gitu saya jalan dulu ya,” ucap Pak Sardi.

“Sebentar Sar. Tapi kamu harus sabar ya, Mamang cuma kasihan sama kamu, kamu sudah bekerja membanting tulang begini, sudah sangat bertanggung jawab pada keluargamu, mamang sangat bangga melihatmu. Mamang mau memberi tau sesuatu sama kamu, tapi kamu harus sabar, bisa?” tanya Kakek Surya.

“Ada apa Mang?” tanya Pak Sardi lagi.

“Tapi kamu harus sabar ya, Mamang murni kasihan sama kamu . Itu kenapa mamang memberitahumu, tapi jangan kamu berbuat anarkis nanti,” pinta Kakek Surya.

“Iya Mang. Ada apa?, aku jadi penasaran banget.” tanya Pak Sardi.

“Kemarin Mamang mencari rumput di ladangmu,,,,,” ucap Kakek Surya.

“Oh masalah itu, tidak apa-apa mang, kalau masih ada, cari saja lagi, tak apa kok mang,” jawab Pak Sardi sedikit tersenyum.

“Ya, kemarin Mamang saat mencari rumput di kebunmu, mamang melihat istrimu sedang berada di gubukmu yang ada di kebun itu apa,,,,,” lanjut Kakek Surya.

“Iya mang, dia memang ke kebun kemarin untuk mencari singkong. Emang kenapa Mang?, Ada yang salah dengan Surti?.” tanya Pak Sardi makin penasaran.

“Aku kemarin melihat Surti sedang berduaan dengan Pak Marwan di gubukmu. Aku curiga mereka sedang melakukan sesuatu, makanya aku mengintip. Dan setelah aku masuk, aku melihat mereka sedang berbuat mesum,” ungkap Kakek Surya.

“Apa,,,,,.” Teriak Pak Sardi sangat kaget.

“Surti selingkuh dengan Pak Marwan?.” lanjut Pak Sardi masih belum hilang kagetnya, dengan wajahnya memerah menahan amarah.

“Iya, Mamang melihat sendiri. Tapi tadi kamu kan sudah berjanji untuk tidak berbuat anarkis terhadap Pak Marwan,” ingatkan Kakek Surya.

“Kalau begitu, aku mau pulang dulu mang. Aku akan tanya istriku, tega-teganya dia berbuat selingkuh di belakangku,” jawab Pak Sardi, lalu segera berbalik dan berlari pulang ke rumahnya.

“Sar tunggu! Sar, tunggu!” teriak Kakek Surya, namun tak didengar oleh Pak Sardi.

Kakek Surya hanya bisa bengong menatap kepergian Pak Sardi. Saat ini, dia berharap supaya tak ada hal buruk yang menimpa Pak Sardi, karena tetangganya itu termasuk orang yang baik dan cukup bersimpati padanya.

“Mudah-mudahan aku tidak salah menceritakan kejadian ini. Tapi kalau aku tak kasih tahu Sardi, kasihan juga dia,” gumam Kakek Surya sendirian, lalu melanjutkan jalannya ke kandang untuk memberi makan sapinya.

Setelah Pak Sardi sampai di rumahnya, sedangkan Surti, istrinya. sedang memasak di dapur.

“Sur,,,,, sur,,,. kamu di mana?,” teriak Pak Sardi setelah sampai di halaman rumahnya.

Surti yang mendengar teriakan suaminya langsung keluar dari dapur.

“Kenapa balik Mas?. Ada yang ketinggalan?.” tanya Surti, sedikit tersenyum, keluar dari dapur, yang ada di samping rumahnya.

“Apa yang kamu lakukan kemarin di gubuk sama Pak Marwan?” bentak Pak Sardi, sambil mendekat ke arah Surti.

“Maksud Mas apa?” tanya Surti pura-pura tak mengerti, dengan raut wajah datar.

“Cepat ngaku, apa yang kamu lakukan kemarin di gubuk?, kamu selingkuh sama Pak Marwan ya?.” kembali Pak Sardi membentak istrinya dan tangannya mulai terayun lalu menampar pipi perempuan itu.

“Siapa yang bilang aku selingkuh Mas?. Jangan percaya omongan orang!” jawab Surti dengan raut wajah mulai ikut emosi, sambil menangis dan mengusap-usap pipinya yang habis ditampar suaminya barusan.

“Kamu jangan bohong!. Mang Surya sudah memberitahu semuanya!” bentak pak Sardi.

“Mas sabar Mas. Jangan dengarkan Mang Surya. Sebenarnya aku,,,,,, itu apa?. sebenarnya aku,,, itu mas,, . sebenarnya begini,,,,,,. Aku kemarin,,,,,,” jawab Surti gugup dan kalimatnya tak tuntas-tuntas.

“Plak,,,,”. Kembali Pak Sardi menampar pipi istrinya.

“dasar Kamu istri yang tak tahu diuntung!, Kurang apa aku jadi suamimu?. Sekarang ayo kita ke rumah Pak Jaya!” bentak Bang Sardi.

“Jangan Mas!, Aku tak mau cerai!.” teriak Surti.

“ tak mau cerai katamu,,,,. Tapi perlakuanmu begini!. Ayo ikut, kita ke rumah Pak Jaya sekarang!” ucap Pak Sardi, lalu memegang tangan istrinya dengan sedikit memaksa menuju rumah Pak Jaya.

Pak Jaya dikenal sebagai pemimpin di kampung ini. Biasanya, masalah antar warga atau persoalan rumah tangga akan ditangani olehnya. Pak Jaya dianggap sebagai ketua suku di kampung ini, yang pemilihannya tetap demokratis dan tidak bersifat otoriter. Apa bila Pak Jaya tidak mampu menyelesaikan masalah, barulah kasus tersebut diserahkan kepada Pak Kepala dusun atau Pak Kepala Desa langsung.

Orang-orang yang menghadap Pak Jaya, sering kali membawa persoalan rumah tangga, karena di rumah pak Jaya nanti seperti pengadilan kecil kecilan, untuk menyelesaikan masalah warga, sebelum di bawa ke ranah yang lebih jauh. Status pak jaya, setingkat lebih rendah di bawah Pak kadus. Karena di desa ini tak ada RT atau RW.

Biasanya kalau sampai ke tahap perceraian, Keputusan Pak Jaya akan menjadi acuan di desa nanti, sementara Pak Kadus dan Pak Kepala Desa hanya mengetahui saja.

Penanganan masalah-masalah seperti ini tetap berada di tangan Pak Jaya, sang kepala suku. Bahkan, keputusan Pak Jaya bisa langsung diajukan sebagai surat gugat cerai ke pengadilan, yang nanti Pak Jaya jadi saksi di pengadilan.

Saat di jalan, Pak Sardi terus menarik-narik tangan Surti, sedangkan Surti menangis tersedu. Adegan mereka menjadi tontonan para warga kampung.

Setelah Pak Sardi dan Surti tiba di rumah Pak Jaya, Pak Sardi langsung memanggil-manggil Pak Jaya. Karena rumah itu dalam keadaan sepi, mungkin karena masih pagi.

“ Pak,,,,,. Pak ,,,,.”. Teriak Pak Sardi Beberapa kali memanggil pak Jaya, yang akhirnya Pak Jaya keluar dari dalam rumah dan langsung duduk di teras.

“Ada apa ini Pak?” tanya Pak Jaya.

“Saya mau membuat pengaduan Pak. Saya ingin menceraikan istri saya,” ucap Pak Sardi tegas.

“Eh,,,, , kenapa tiba-tiba? Ada apa kok cerai cerai begitu?, ceritakan dulu ada masalah apa, aku sampai kaget dengarnya,” pinta Pak Jaya.

“Istri saya selingkuh Pak,” jawab Pak Sardi.

“Sama siapa?” tanya Pak Jaya penasaran.

“Pak Marwan Pak,” jawab Pak Sardi.

“Oh begitu. Apa kamu benar selingkuh?” tanya Pak Jaya pada Surti.

“Tidak Pak. Mas Sardi hanya salah paham,” jawab Surti.

“Ya sudah, agar jelas ceritakan semuanya dari mana kamu tahu kalau istri kamu selingkuh. Apa kamu melihatnya langsung?” tanya Pak Jaya.

Kemudian Pak Sardi menceritakan semuanya, mulai dari keberangkatannya kerja tadi pagi, hingga bertemu dengan Kakek Surya.

“Ya sudah, karena kalian sedang ada masalah. Sebaiknya, Surti aku titipkan dulu ke rumah orang tuanya,” saran Pak Jaya.

“ Iya pak, balikkan saja ke orang tuanya, saya tak mau mengajaknya balik ke rumah lagi. Saya mau cerai saja.” Jawab Pak Sardi tegas.

“Iya. Besok siang kita kumpul di sini lagi, kamu ajak Mang Surya besok, nanti aku yang memanggil Pak Marwan. kita akan mendengarkan kesaksian dari orang-orang tersebut. sekarang kamu balik dulu, dan jangan kerja dulu. Karena hatimu sedang emosi begini.” pinta Pak Jaya.

“ Iya Pak.” jawab Pak Sardi lalu meninggalkan istrinya di sana.

karena Nanti Pak Jaya yang akan menitipkan Surti di rumah orang tuanya.

Bersambung...

bab 3

Pak Jaya sudah duduk di teras rumahnya, bersama Surti dan saudara laki-lakinya. Hari ini adalah hari penyelesaian kasus perselingkuhan Surti.

Tak lama kemudian, Pak Sardi dan Mang Surya tiba dan duduk berhadapan dengan Surti.

Lalu mereka mengobrol tentang kehidupan di desa ini, mulai dari masalah pertanian hingga peternakan. Pak Jaya selalu bertanya kepada Mang Surya, juga kepada Pak Sardi tentang proyek di tempat Pak Sardi bekerja. Mereka mengobrol ringan dulu, karena Pak Jaya belum memulai acara pertemuan itu.

Beberapa menit kemudian, Pak Marwan datang bersama dua orang anak buahnya, yang keduanya hidup dari uang Pak Marwan, dan menjadi seperti pengawal kalau di kota. Setelah Pak Marwan tiba dan duduk berhadapan dengan Pak Jaya, Pak Jaya kembali menanyakan tentang pertanian dan perdagangan yang digeluti Pak Marwan, memulai dengan mengobrol ringan dulu.

Pak Marwan dikenal sukses dalam bertani, dan istrinya juga berdagang di rumahnya. Mereka memiliki dua toko besar, bahkan paling besar di kampung ini.

Setelah beberapa menit mengobrol santai, suasana tampak cair, seperti tidak akan ada masalah berat yang akan dibahas. Namun, mereka semua tahu bahwa sebentar lagi akan membahas kasus yang rumit, tentang perselingkuhan Surti yang masih belum dimulai.

Pak Jaya sangat ahli dalam meredakan suasana agar tidak terjadi ketegangan di antara mereka, meskipun ia tahu sebentar lagi pasti akan ada perbedaan pendapat di antara orang-orang yang hadir.

“Terima kasih atas kedatangan Bapak-bapak. Saya mengundang Bapak-bapak ke sini hari ini karena ada permasalahan yang harus kita bahas,” kata Pak Jaya memulai acaranya. Suaranya terdengar berat dan penuh wibawa.

Mendengar itu, para peserta pertemuan langsung terdiam, bahkan hampir semua menunduk mendengarkan dengan seksama apa yang akan diucapkan Pak Jaya.

“Kemarin saya menerima pengaduan dari Pak Sardi bahwa istrinya diduga berselingkuh dengan Pak Marwan. Karena masalah ini cukup serius, itu kenapa saya mengumpulkan Bapak-bapak di sini hari ini. Jadi, kita akan mulai acaranya. Saya akan memberikan kesempatan kepada Pak Sardi dulu untuk mengutarakan keberatannya, karena beliau yang melapor kemarin,” ucap Pak Jaya, memberikan waktu kepada Pak Sardi.

“Terima kasih, Pak. Kemarin pagi, saat saya berangkat bekerja, di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Mang Surya. Setelah sempat bertegur sapa, lalu Mang Surya memberitahu saya bahwa istri saya selingkuh dan dia menyaksikan langsung kejadian itu dua hari yang lalu. Karena itu, saya melapor sama Bapak agar Bapak bisa menyelesaikan masalah ini, karena Bapak merupakan pimpinan di kampung ini,” jelas Pak Sardi.

“Lanjutkan dulu! Apa tujuan akhir dari penyampaianmu padaku?” tanya Pak Jaya lagi.

“Saya hanya ingin menceraikan istri saya, Pak. Saya biarkan dia kalau mau menikah dengan Pak Marwan. Mungkin saya memang tidak becus sebagai suaminya. Namun, karena masalah keluarga ini bermula dari Pak Marwan, saya meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dia lakukan pada keluarga saya. Minimal, jangan biarkan istri saya jadi janda. Dia harus bertanggung jawab karena telah merusak kehidupan rumah tangga kami, juga sanksi-sanksi yang selama ini berlaku di kampung ini,” terang Pak Sardi.

“Oh begitu. Tapi sebelum masuk ke ranah itu, saya ingin bertanya pada Mang Surya. Apakah benar dia melihat Surti selingkuh dengan Pak Marwan? Dan jika tuduhanmu benar, Bapak pasti akan menekan Pak Marwan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, juga dengan sanksi yang sesuai. Juga seperti tuntutanmu agar menikahi Surti,” jawab Pak Jaya.

“Pak, saya sudah mendengar penuturan Pak Sardi. Tolong sampaikan apa yang Bapak lihat,” lanjut Pak Jaya bertanya pada Mang Surya.

“Begini Pak, saya awalnya mencari rumput di kebun Pak Sardi. Saat saya lewat di gubuknya, saya mendengar suara orang mendesah. Setelah saya lihat sebentar, ternyata suara itu dari Surti yang tengah berhubungan badan dengan Pak Marwan,” jawab Mang Surya.

“Oh begitu. Artinya, Bapak melihat langsung, ya? Jadi, masalah ini sudah jelas. Pak Sardi yang melaporkan masalah ini, dan sudah dengan saksi yang sangat meyakinkan, karena orang seperti Mang Surya tak mungkin akan mengada-ada, apalagi beliau sudah berumur. Sekarang saya serahkan waktu kepada Surti, untuk mendengar pembelaannya. Kenapa sampai dia melakukan hal itu bersama Pak Marwan? Dan saya siap menjalankan sesuai sanksi yang sudah sering berlaku di kampung ini. Surti dan Pak Marwan harus siap menjalaninya,” ucap Pak Jaya lagi, terdengar tegas.

“Iya Pak. Saya memang bertemu Mang Surya kemarin di gubuk yang ada di ladang itu,” ucap Surti lalu terdiam sebentar.

“Ya, teruskan,” sahut Pak Jaya.

Setelah berpikir sejenak, lalu Surti melanjutkan,

“Kemudian saya menyapa Mang Surya dan dia meminta izin untuk mengambil rumput di ladang saya. Saya pun mengizinkannya karena saya memang tidak memiliki sapi.” Surti menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan,

“Tapi setelah itu, Mang Surya mulai bertanya tentang suami saya. Saya bilang Mas Sardi sedang bekerja. Lalu tiba-tiba Mang Surya berkata, ‘Jadi kamu sendiri ke sini, ya? Kenapa tidak mengajak suamimu? Gimana kalau kamu temani Mamang sebentar saja, biar Mamang semangat setiap hari cari rumputnya. Ke sini, Mamang sudah lama tak pernah merasakan…’”

Surti terdiam, tampak malu. “Saya malu mengatakannya, Pak. Tapi demi keutuhan keluarga saya, saya terpaksa membeberkan kejadian itu sekarang. Sebelumnya, saya minta maaf kepada Mang Surya.” Ucap Surti lalu menatap Mang Surya.

“Saya hanya ingin Pak Jaya tahu apa yang sebenarnya terjadi. ‘Kamu cantik sekali, mari temani Mamang sebentar saja, apalagi di sini pas ada gubuk.’ Begitu Mang Surya bicara, saya langsung kaget, Pak, dan sedikit mundur. Ternyata selama ini Mang Surya suka dengan saya.

Lalu saya memarahi Mang Surya, tetapi Mang Surya tak terima. Dia lalu memegang tangan saya dan mau memaksa mengajak ke gubuk itu. Saya jelas sangat menolak ajakan Mang Surya, karena saya sangat mencintai suami saya. Juga, tak mungkin menghancurkan rumah tangga saya dengan hal-hal seperti ini. Saya sudah terpuaskan oleh suami saya, Pak. Saya tak mungkin menghancurkan masa depan anak saya dengan perbuatan tercela seperti perselingkuhan yang dituduhkan Mang Surya pada saya.

Saya tidak menyalahkan suami saya, Pak. Dia begitu karena kata-kata Mang Surya lah yang membuat suami saya sangat marah. Benar kan, Mas? Apakah Mas yakin kalau aku selingkuh?” tanya Surti menatap suaminya, setelah menyelesaikan cerita panjang lebar.

Mang Surya sangat kaget mendengar pernyataan Surti, yang sangat bertolak belakang dengan kejadian sebenarnya yang terjadi dua hari lalu di kebun Pak Sardi.

“Tidak benar itu, Pak. Saya berani bersumpah…,” jawab Mang Surya. Namun, dengan cepat tangan Pak Jaya memintanya untuk diam karena dia belum selesai mendengarkan pembelaan Surti.

“Kenapa Mas diam? Apa Mas curiga kalau aku selingkuh? Kalau curiga, kenapa tidak katakan dari dulu, biar aku menjauhi siapa orang yang Mas curigai itu? Demi keutuhan rumah tangga kita. Aku tak mungkin selingkuh, Mas. Aku sangat sayang dan cinta sama Mas,” ucap Surti mendesak suaminya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!