NovelToon NovelToon

Pewaris Sistem Kuno

Aku, Anak Sungai, dan Cincin yang Tiba-Tiba Bicara

Kebanyakan anak yatim piatu dapat warisan foto usang atau surat penuh rindu. Aku? Aku dapat sebuah kalung dan seluruh aliran Sungai Brantas. Cukup adil, kurasa.

Namaku Jaka. Dan ini bukan cerita tentang bagaimana aku membantu memanen padi, meskipun itu yang kulakukan hampir setiap hari. Ini adalah cerita tentang bagaimana aku menemukan bahwa diriku bukanlah sekadar pemuda desa biasa, dan dunia ini jauh lebih aneh, lebih tua, dan lebih berbahaya daripada yang diajarkan oleh dongeng pengantar tidur.

Semuanya berawal dari sungai. Bagaimanapun juga, bagiku, semuanya selalu berawal dari sungai.

Desa Sukoharjo di Tulungagung adalah tempatku besar. Bayangkan permadani hijau yang ditenun dari sawah dan perbukitan, lalu di tengah-tengahnya, Sungai Brantas mengalir seperti urat nadi raksasa yang berdenyut pelan. Bagiku, dia lebih dari sekadar air. Dia adalah ibu, penjaga, dan teka-teki terbesar dalam hidupku. Bu Parmi, wanita yang sudah seperti ibu kandung bagiku, selalu bercerita bahwa dia menemukanku masih bayi, terombang-ambing dalam keranjang rotan yang nyaris tenggelam. Satu-satunya petunjuk adalah kalung sederhana dengan nama "Jaka" yang tergantung di leherku. Jadi, ya, secara teknis aku adalah "anak sungai". Kalau Percy Jackson anak dewa Yunani, aku mungkin anak dewa... eh, tukang piara kali, mungkin.

Pagi itu dimulai seperti biasa: lebih pagi dari yang diinginkan siapa pun. Aku sudah menyapu halaman gubuk kami yang sederhana dan mengambil air dari sungai sebelum matahari memutuskan untuk muncul.

"Ibu, airnya sudah siap," kataku kepada Bu Parmi yang sedang sibuk di dapur.

Wajahnya yang penuh keriput merekah menjadi senyum. "Terima kasih, Nak. Kau selalu saja lebih cepat dari ayam jago."

Aku hanya mengangkat bahu. Bagaimana bisa aku membalas kebaikan wanita yang menyelamatkan nyawaku dari sungai? Aku membantu sebisa mungkin. Itu saja yang bisa kulakukan.

Setelah menyantap sarapan nasi dan lauk seadanya, aku bergegas ke sawah Pak Karto. Membantunya adalah rutinitas. Matahari mulai menghangatkan kulit sawo matangku, dan hamparan padi yang menguning seolah berbisik, "Panen lagi, panen lagi." Desa kami sangat menghormati Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan. Setiap musim panen, ada upacara Sedekah Bumi yang meriah. Aku sering ikut menyiapkan sesajen, tumpeng besar dengan segala hasil bumi. Aku sih lebih memfokuskan diri pada bagian "menyantap"-nya setelah upacara selesai.

"Selamat pagi, Pak Karto!" sapa ku, mencoba menyembunyikan kantuk yang masih tersisa.

"Pagi, Nak Jaka! Lihatlah! Dewi Sri lagi baik hati tahun ini!" sahutnya dengan semangat.

Aku mengangguk sambil mengamati sawah. Aku menghargai kepercayaan mereka, meski kadang aku bertanya-tanya. Jika dewa-dewa begitu perkasa, apakah mereka benar-benar peduli dengan tumpeng yang kita berikan?

Seharian aku membantu memotong dan mengikat padi. Tanganku yang sudah terlatih bekerja dengan efisien. Para petani lain selalu menyapaku. Mereka mengenalku sebagai Jaka, si anak sungai yang baik hati dan suka menolong. Aku tidak protes. Lebih baik dikenal karena itu daripada dikenal sebagai anak yang malas, bukan?

"Terima kasih, Nak. Ini untukmu," kata Pak Karto sore itu, menyodorkan beberapa ikat padi.

"Tidak perlu, Pak," tolakku, seperti biasa. "Desa ini sudah memberiku rumah. Ini hal paling kecil yang bisa kulakukan."

Seperti ritual harianku, setelah pekerjaan selesai, aku berjalan menyusuri tepi Sungai Brantas. Ini adalah saat di mana aku merenung. Aku akan memandangi air yang tak pernah berhenti mengalir, memegang kalung di leherku, dan bertanya-tanya: Dari mana aku berasal? Siapa orang tuaku? Apakah mereka melemparku ke sungai karena putus asa atau untuk menyelamatkanku? Kekosongan itu selalu ada, seperti lubang di tengah hatiku yang tidak bisa diisi oleh kasih sayang Bu Parmi atau keramahan warga desa.

Sore itu, sesuatu yang berbeda terjadi.

Mataku menangkap kilauan samar di antara lumpur dan batu di tepian. Awalnya kupikir cuma pecahan kaca atau kaleng bekas. Tapi ada sesuatu yang memanggilku. Bukan suara, tapi lebih seperti... getaran.

Dengan penasaran, aku berjongkok dan mengais-ais lumpur itu. Dan di sana, tersembunyi selama siapa tahu berapa lama, ada sebuah cincin.

Bukan cincin biasa. Ini terbuat dari perunggu kuno, penuh dengan ukiran aksara Jawa yang rumit yang sama sekali tidak bisa kubaca. Itu terasa tua. Sangat tua.

Saat jari-jariku menyentuhnya, dunia di sekitarku... berhenti.

Bukan, sungguhan. Suara gemericik air yang selalu menenangkanku tiba-tiba lenyap, seperti seseorang mematikan saklarnya. Desa angin menghilang. Semuanya hening, kecuali dentuman jantungku yang berdebar kencang di dalam telingaku.

Lalu, sebuah suara. Bukan dari telingaku, tapi langsung muncul di dalam kepalaku. Suara itu terdengar seperti batu kali yang saling bergesekan, tua dan penuh wibawa.

"Akhirnya... setelah sekian lama menanti."

Aku langsung melompat ke belakang, hampir saja terjatuh ke sungai. Kepalaku menoleh ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa! Kucubit lenganku. Tidak, aku tidak tidur.

"Siapa di sana?" teriakku, suaraku lebih tinggi dari yang kuharapkan.

"Tenang, Pewaris," kata suara itu lagi, terdengar agak kesal, seperti guru yang kesulitan menghadapi murid yang lambat. "Aku ada di dalam kepalamu. Lebih efisien. Tidak perlu berteriak."

"Di dalam... kepalaku?" kataku pelan, merasa sangat bodoh karena sedang berbicara dengan diriku sendiri. "Aku mulai gila. Ini karena terlalu banyak terpapar matahari."

"Bukan gila. Diaktifkan. Namaku Mar. Aku adalah sistem penjaga memori leluhurmu. Dan kau, Jaka, adalah orang yang kami tunggu."

Aku menatap cincin yang masih kugenggam erat. Itu terasa hangat, seperti benda hidup. "Leluhur? Kau pasti salah orang. Leluhurku adalah sungai dan keranjang rotan!"

"Kalung di lehermu bukan sekadar nama, Jaka," suara Mar itu terdengar lebih lembut. "Itu adalah kunci. Dan cincin ini... adalah pembukanya. Darah yang mengalir dalam nadimu adalah darah penjaga. Leluhurmu adalah orang-orang kuat yang menjaga keseimbangan dunia ini, jauh sebelum dewa-dewa dari gunung dan laut yang kau dengar dalam dongeng menjadi populer."

Pikiranku berputar kencang. Ini seperti dongeng Ki Ageng Suroloyo dan tuyul-tuyulnya yang diceritakan para orang tua, tapi kali ini... nyata. Aku teringat pada semua cerita aneh yang pernah kudengar.

"Dunia keseimbangan yang dijaga leluhurmu sedang goyah," lanjut Mar, suaranya serius. "Kegelapan mengintai dari bayang-bayang masa lalu. Dan kau, satu-satunya keturunan langsung dari garis utama, adalah harapan untuk mencegahnya."

Aku melihat ke arah Desa Sukoharjo yang damai di kejauhan. Aku melihat atap gubukku tempat Bu Parmi sedang menyiapkan makan malam. Aku melihat sawah yang menghidupi semua orang. Sebuah perasaan aneh, campuran antara ketakutan dan tanggung jawab, menggelora di dadaku. Apakah mungkin? Apakah aku, Jaka, si anak sungai, bisa melakukan sesuatu untuk melindungi semua ini?

"Kegelapan seperti apa?" tanyaku, suaraku bergetar.

"Kau sudah merasakannya, Jaka. Dalam mimpi burukmu. Dalam perasaan hampa yang kau rasakan. Itu adalah gema dari ketidakseimbangan itu. Tapi untuk memahaminya, kau harus belajar melihat dan mendengar apa yang tidak bisa dilihat dan didengar orang biasa."

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini gila. Ini sangat gila. Tapi entah mengapa, di lubuk hatiku yang paling dalam, ini terasa... benar. Seperti puzzle yang akhirnya menemukan potongan terakhirnya, meski gambarnya ternyata jauh lebih besar dan lebih menakutkan dari yang kubayangkan.

"Oke," gumamku, mencoba untuk tidak pingsan. "Oke, katakanlah aku percaya padamu. Apa yang harus kulakukan pertama kali?"

"Pelajaran pertama: belajar mendengarkan. Benar-benar mendengarkan. Pegang erat cincin itu. Pejamkan matamu. Apa yang kau dengar sekarang?"

Aku mematuhinya. Awalnya, yang kudengar hanyalah keheningan yang aneh. Lalu, perlahan-lahan, suara sungai kembali, tapi berbeda. Aku tidak hanya mendengar gemericik air. Aku mendengar kata-kata. Seperti bisikan-bisikan kuno, narasi panjang Sungai Brantas yang menceritakan sejarah, tentang kerajaan yang hilang, tentang pertempuran, tentang cinta dan air mata. Aku juga mendengar desisan angin yang membawa pesan dari pepohonan, dan getaran tanah di bawah kakiku yang berdenyut penuh kehidupan.

"Mereka adalah suara leluhur, Jaka. Suara alam. Hanya mereka yang memiliki darah istimewa yang dapat mendengarnya. Selamat datang di dunia yang sebenarnya."

Saat aku membuka mataku, segalanya terlihat sama, tapi terasa sama sekali berbeda. Warna hijau daun terlihat lebih hidup, udara terasa lebih tajam, dan sungai di depanku bukan lagi sekadar air, tapi sebuah entitas yang hidup dan bernapas. Perasaan hampa yang selama ini menggerogotiku perlahan mulai terisi oleh sebuah tujuan yang besar dan sedikit keterpaksaan.

"Jadi, ini artinya aku akan menemukan jawaban tentang siapa diriku?" tanyaku penuh harap.

"Semua akan terjawab dalam waktunya. Tapi bersiaplah, Pewaris. Jawabannya mungkin bukan sesuatu yang kau harapkan. Sekarang, pulanglah. Bu Parmi menunggumu. Dan ingat, jaga rahasia ini. Kegelapan juga memiliki telinga."

Aku berjalan kembali ke gubuk dengan perasaan campur aduk. Cincin itu terasa hangat di jari tengahku, mengingatkanku bahwa ini bukan mimpi.

"Di mana saja kau, Le? Makan malam sudah siap!" sapa Bu Parmi saat aku tiba.

Aku tersenyum, berusaha tampak normal. "Hanya berjalan-jalan di tepi sungai, Ibu." Dan berbicara dengan sebuah sistem kuno di kepalaku. Hal yang biasa.

Saat kami makan, aku memperhatikan wajah Bu Parmi. Apakah dia tahu? Apakah ada rahasia lain yang disembunyikannya dariku?

Malam itu, ketika bulan purnama bersinar terang, aku berdiri di luar. Cincinku berdenyut lembut, menanggapi cahaya bulan.

"Bulan purnama memperkuat hubungan," kata Mar. "Lanjutkan pelajaranmu. Cobalah untuk tidak hanya mendengar sungai, tapi juga menyapanya."

"Menyapanya? Bagaimana caranya?"

"Dengan pikiranmu. Alam tidak memahami bahasa mulut, tapi memahami niat."

Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi. Halo? pikirku, merasa sangat konyol.

Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi. Lalu, sebuah perasaan hangat dan penerimaan mengalir dari arah sungai, seperti pelukan yang lembut. Aku tersenyum. Ini gila, tapi juga... keren.

Saat aku akhirnya beranjak tidur, cincin itu masih terasa hangat. Mimpiku dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan bisikan masa depan. Aku bermimpi tentang kekuatan yang tertidur di tanah Jawa, menunggu untuk dibangunkan oleh seorang anak yang tidak tahu apa-apa.

Keesokan paginya, segalanya terlihat sama. Tapi bagiku, semuanya berbeda. Aku bukan lagi hanya Jaka, si anak sungai. Aku adalah seorang Pewaris, seorang Penjaga. Dan seperti yang Percy Jackson temukan, begitu petualangan dimulai, tidak ada jalan untuk kembali.

Hidup lamaku sudah berakhir. Petualangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Dan bersamanya, datanglah semua bahaya yang kutunggu-tunggu dan takuti selama ini.

Aku, Cincin Ajaib, dan Guru Tua yang Tiba-Tiba Jadi Ninja

Kalau kamu pikir bangun pagi setelah menemukan dirimu adalah "Pewaris" semacam sistem kuno yang menjanjikan takdir besar itu keren, pikirkan lagi. Rasanya seperti habis ditabrak truk pasir. Bukan hanya capek fisik, tapi pikiranku juga berisik. Sepanjang malam, suara Mar seperti radio yang tidak bisa dimatikan, terus-menerus memberikan laporan status. "Proses integrasi sistem: 45 persen. Sensor indra: aktif. Modul persepsi lingkungan: online." Aku hampir saja menjawab, "Bisakah modul 'tidur nyenyak' juga dionlinekan?"

Matahari pagi menyinari Desa Sukoharjo, tapi hari ini segalanya terlihat... lebih tajam. Warna-warna lebih terang, suara-suara lebih jelas. Aku bisa mendengar percakapan semut dari seberang jalan. Serius. Itu mengerikan. Cincin perunggu di jariku terasa hangat, berdenyut pelan seperti jantung kecil yang ikut hidup dalam diriku.

Hari itu, aku berusaha mati-matian untuk bertingkah normal. Tapi semuanya berantakan.

Contohnya, saat membantu Pak Karto mengangkat karung padi. Biasanya, ini adalah pekerjaan berat yang membuat ototku berteriak. Hari ini, karung seberat itu terasa seperti tas sekolah. Aku mengangkatnya dengan satu tangan tanpa sadar.

"Hei, Jaka! Kau hari ini seperti kerbau yang disetrum!" seru Pak Karto, matanya melotot. "Kau makan apa semalam? Daging naga?"

Aku cuma bisa memberi senyum kaku. "Eh... vitamin, Pak." Dalam hati, aku menjerit, Vitamin sistem kuno warisan leluhur, mungkin!

Lalu hal yang lebih aneh terjadi. Saat aku tanpa sengaja menyentuh tanaman padi yang mulai layu di tepi sawah, sesuatu yang hijau dan hangat mengalir dari ujung jariku. Daun yang tadinya kuning itu seketika segar kembali, hijau dan subur.

Pak Karto menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Dewa Sri pasti sangat menyukaimu, Nak!"

Aku menarik tanganku seperti tersengat listrik. "Keberuntungan saja, Pak!" bisikku pada diriku sendiri. Mar, apa yang baru saja kulakukan?

"Analisis: Kemampuan dasar pemulihan flora terdeteksi. Tingkat energi rendah. Proses otomatis."

Otomatis? Bisakah kau nonaktifkan pengaturan otomatisnya? pikirku kesal. Aku tidak ingin menjelaskan pada Pak Karto kenapa tanaman padinya bisa menari-nari!

Sepanjang hari, aku seperti walking disaster. Sentuhanku pada batu membuat lumut tumbuh subur. Pandanganku yang terlalu fokus pada burung membuatnya membeku di udara selama dua detik sebelum terbang panik. Aku adalah bom energi yang tidak terkontrol. Yang paling aneh adalah aku bisa merasakan perasaan segala sesuatu. Kesedihan Sungai Brantas yang alirannya semakin lambat karena sedimentasi. Kegembiraan anak-anak padi yang baru tumbuh. Bahkan kemarahan batu kali karena terlalu sering diinjak-injak. Dunia ini ternyata sangat cerewet.

Saat senja tiba, aku merasa lelah bukan main. Bukan lelah fisik, tapi mental. Aku harus kembali ke sungai. Aku perlu jawaban, dan Mar hanya bisa memberikan penjelasan teknis yang membuatku pusing.

"Mar," keluhku, duduk di bawah pohon beringin tua. "Aku tidak bisa seperti ini. Aku akan ketahuan. Orang-orang akan mengira aku kerasukan."

"Proses penyesuaian normal. Sistem membutuhkan waktu untuk sinkronisasi dengan inang. Sarankan meditasi untuk..."

Tiba-tiba, angin berhembus kencang dari arah timur, membawa aroma yang tidak enak seperti tanah basah, daun tua, dan... daging busuk? Daun-daun pohon beringin bergemerisik dengan pola aneh, seperti morse yang memperingatkan bahaya.

Lalu, dari balik kabut senja, seorang pria tua muncul. Dia tidak berjalan, dia lebih seperti melayang. Jubah putihnya sederhana, tapi matanya... matanya seperti dua buah batu beryl tua yang telah menyaksikan terlalu banyak hal.

Luar biasa," pikirku. "Pertama cincin yang bicara, sekarang ninja tua. Apa berikutnya? Tuyul yang minta bayaran pajak?

"Kau... siapa?" tanyaku, bangkit dengan sigap. Tanganku mengepal. Aku tidak tahu harus berkelahi atau lari.

"Namaku Dharma," katanya, suaranya lembut tapi punya wibawa yang membuatku ingin duduk dan mendengarkan. "Dan aku bukan ninja. Aku penjaga. Penjaga tempat ini... dan penjaga 'pusaka' yang kini kau kenakan."

Dia menunjuk cincinku. Kata "pusaka" diucapkannya dengan penuh hormat, membuat cincin itu berdenyut lebih kencang, seperti anak anjing yang melihat majikannya.

"Benda itu," lanjutnya, "adalah kunci. Kunci ke Sistem Kuno, teknologi spiritual leluhur yang menjaga keseimbangan alam."

"Oke, oke, pause dulu," potongku, tangan kananku mengangkat. "Teknologi spiritual? Itu seperti Wi-Fi untuk dewa? Kenapa harus aku? Aku cuma anak yang ditemukan di sungai. Orang tuaku bahkan tidak meninggalkan surat!"

"Justru itulah," jawab Dharma, sedikit tersenyum. "Mereka yang tidak terikat nama besar dan ambisi duniawi seringkali memiliki hati yang paling jernih. Brantas tidak memilihmu tanpa alasan."

Saat itu juga, suasana berubah. Air sungai yang tenang tiba-tiba bergelembung dan menghitam. Dari dalamnya, muncul sosok bayangan hitam dengan mata merah menyala. Aku langsung tahu ini bukan tamu yang baik.

"Akhirnya!" sambarnya dengan suara seperti kertas amplas yang digosokkan pada besi. "Cincin itu! Berikan padaku, anak manusia! Atau lebih baik... biarkan aku mengambil tubuhmu juga!"

"Banaspati," bisik Dharma, wajahnya serius. "Jaka, lari! Sekarang!"

Tapi kakiku seperti ditanam di tanah. Rasa takutku ditenggelamkan oleh amarah. Makhluk ini mau mengambil rumahku? Mau menyakiti Bu Parmi? Pak Karto?

"Peringatan: Ancaman tingkat tinggi terdeteksi. Modul pertahanan dasar diaktifkan. Sarankan: fokus pada kenangan positif sebagai sumber kekuatan."

Apa? pikirku bingung. Aku harus melawan monster dengan... kenangan indah? Ini bukan film kartun!

Tapi apa boleh buat. Aku memejamkan mata, membayangkan senyum hangat Bu Parmi, tawa riang anak-anak desa, dan tatap mata penuh kebijaksanaan Pak Karto. Anehnya, itu bekerja. Perasaan hangat mengalir dari cincin, membentuk perisai energi samar di sekeliling tanganku.

Pertarungannya... payah. Aku benar-benar payah. Banaspati itu bergerak seperti tornado hitam. Aku terpental ke sana kemari seperti bola. Lututku lecet terkena batu, kepalaku pening. Perisaiku retak. Aku bukan pahlawan. Aku hanya anak desa yang kebetulan memakai cincin aneh.

"Koreksi: Bukan kekuatan yang membuatmu terpilih, tapi pilihanmu untuk melindungi."

Kata-kata Mar itu menyulut sesuatu dalam diriku. Daripada bertahan, lebih baik menyerang. Aku membayangkan pedang dari air dan cahaya bulan. Aku merasakan energi dari cincin membentuknya menjadi nyata. Saat kuayunkan, pedang cahaya itu memotong tubuh bayangan Banaspati.

"Tidak mungkin!" raungnya sebelum menghilang menjadi abu. "Ini belum berakhir! Aku akan kembali! Bersama yang lain!"

Aku terjatuh, terengah-engah. Seluruh tubuhku gemetar. Dharma mendekat, wajahnya penuh kekaguman.

"Kau melakukannya dengan baik, Nak. Bukan karena cincin itu. Tapi karena kau memilih untuk bertahan."

"Apa... apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyaku, suaraku parau. "Aku tidak tahu apa-apa."

"Carilah guru. Seseorang yang paham naskah-naskah kuno. Sistem ini adalah warisan, bukan mainan. Ia harus dipelajari."

Sebelum pergi, Dharma menatap ke arah kegelapan. Aku mengikutinya. Seorang figur berjubah hitam berdiri di kejauhan, hanya mengangguk, lalu menghilang.

"Siapa itu?" tanyaku.

"Seseorang yang juga mengawalimu," jawab Dharma singkat sebelum akhirnya membalikkan badan dan melangkah pergi, menghilang dalam kabut seperti saat dia datang.

Aku duduk sendirian lagi. Cincinku masih berdenyut. Tapi sekarang, di balik rasa lelah dan ketakutan, ada sedikit percikan keyakinan. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa melakukan ini.

Tapi kemudian, dari kedalaman diriku, Mar berbicara lagi.

"Peringatan: Sinyal musuh terdeteksi. Ancaman level lebih tinggi sedang bergerak. Fase pelatihan dipercepat. Bersiaplah, Pewaris. Ini baru permulaan."

Aku mendongak ke langit berbintang. "Hebat," gumamku. "Hari pertamaku sebagai 'Pewaris' dan aku sudah ada dalam daftar buruan. Percy Jackson pasti tidak pernah mengalami hari yang seburuk ini."

Tapi dalam hati, aku tahu satu hal apapun yang terjadi, Sukoharjo adalah rumahku. Dan aku akan melindunginya. Meskipun caranya masih harus banyak kupelajari. Banyak sekali.

Pekerjaan Baruku Sebagai 'Tali Penjaga Keseimbangan'

Mari kita bicara tentang hal-hal yang tidak disebutkan dalam buku petunjuk menjadi 'Pewaris', jika saja ada buku petunjuknya. Pertama, setelah kamu hampir mati melawan monster asap bermata merah, kamu tidak langsung merasa seperti pahlawan. Kamu merasa seperti adonan roti yang diuleni terlalu keras. Setiap bagian tubuhku berteriak kesakitan, dan ada asisten AI kuno di kepalaku yang terus memberikan laporan status seolah-olah aku adalah komputer yang rusak.

"Laporan Status: Sistem saraf dalam kondisi stres. Memar tingkat sedang terdeteksi di lengan dan kaki. Pemulihan diperkirakan 6 jam 42 menit."

"Bisakah kau diam?" desisku ke bantal yang sudah tipis. "Aku sedang mencoba untuk meratapi nasibku di sini!"

"Pemantauan kondisi Pewaris adalah protokol utama. Saran: Meditasi dapat mengurangi tingkat stres."

Aku mendesah. Memiliki penjaga pribadi yang tidak bisa dimatikan ternyata sangat menyebalkan. Dia seperti guru BP yang terlalu bersemangat.

Aku berbaring memandang langit-langit gubuk dari anyaman bambu, mencoba mencerna semua yang terjadi. Dua hari yang lalu, hidupku sederhana: membantu Bu Parmi, bekerja di sawah, dan berjalan-jalan di tepi sungai. Sekarang? Aku adalah pemilik cincin ajaib yang bisa mengeluarkan pedang cahaya dan memiliki pertemuan rutin dengan makhluk mitologi. Percy Jackson setidaknya mendapat penjelasan dari Centaurus yang berkaki empat. Aku mendapatkannya dari pria tua berperut buncit yang muncul dari kabut.

Pagi hari tidak lebih baik. Bu Parmi langsung tahu ada yang tidak beres.

"Wajahmu seperti melihat setan gandruk, Nak," katanya sambil merasakan dahiku dengan punggung tangan yang hangat. "Apa kamu demam?"

"Aku cuma mimpi buruk, Bu," kataku, menghindari pandangannya. "Tentang... tentang padi yang diculik tikus."

Dia mengangkat alis, tidak sepenuhnya percaya. "Istirahat yang cukup, Le. Jangan terlalu banyak bekerja."

Jika saja dia tahu bahwa 'pekerjaanku' sekarang termasuk bertarung melawan kekuatan kegelapan.

Sepanjang hari, aku berusaha mati-matian untuk bertingkah normal. Saat membantu Pak Karto membereskan sisa panen, aku dengan sengaja pura-pura kesulitan mengangkat karung padi.

"Lho, Jaka? Kemarin kamu kuat sekali seperti banteng, hari ini kok seperti anak ayam?" tanya Pak Karto dengan heran.

"Aku... kurang tidur, Pak," jawabku, berpura-pura mengusap punggung yang pegal. Karena bertarung melawan jelmaan energi jahat, tambahku dalam hati.

Tapi yang paling aneh adalah bagaimana aku memandang dunia sekarang. Segalanya terasa... hidup. Aku bisa merasakan kesedihan dari pohon pisang yang daunnya menguning. Aku bisa mendengar bisikan air sungai yang bercerita tentang masa lalu. Bahkan batu-batu kali seakan memiliki emosi sendiri. Ini seperti memiliki indra keenam yang terlalu aktif dan tidak ada tombol volumenya.

Sore itu, aku kembali ke tepi Sungai Brantas. Tempat segalanya mulai. Aku butuh jawaban yang lebih baik daripada yang bisa diberikan Mar.

"Mar, untuk apa semua ini? Apa tujuanku sebenarnya?" tanyaku pada burung gereja yang sedang bertengger di dahan.

"Tujuan utama: Menjaga keseimbangan antara dimensi fisik dan spiritual. Mencegah gangguan entitas gelap."

"Itu terlalu umum! Tidak ada petunjuk yang lebih jelas? Seperti 'pergi ke gua dan ambil kristal ajaib'?"

"Panduan mendetail memerlukan Tingkat Kepercayaan Level 2. Saat ini Pewaris berada pada Level 1.5."

"LEVEL 1.5?" batinku kesal. "Aku hampir mati dan hanya naik setengah level? Sistem penilaianmu sangat ketat!"

"Pertempuran dinilai berdasarkan efisiensi energi, strategi, dan hasil akhir. Beberapa parameter tidak memenuhi standar."

Aku menggeleng. Lebih stres daripada ujian matematika.

Tiba-tiba, suasana sekitar berubah. Suara serangga malam menghilang. Angin berhenti berhembus. Dan di atas batu besar yang biasa aku duduki, kini duduk seorang pria tua yang sangat aku kenal, Semar.

Dia tersenyum, matanya yang berkeriput itu berbinar. "Masih menggerutu, Le?"

Aku hampir tersandung. "Semar! Dari mana kamu datang?"

"Dari mana-mana, dan tidak dari mana-mana," jawabnya dengan santai. "Suara hatimu keras sekali. Seperti gong yang dipukul di tengah malam."

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini kesempatanku. "Semar, aku bingung. Aku hanya anak desa. Kenapa aku yang dipilih untuk semua ini?"

Semar melambai, memintaku duduk. Dia mengeluarkan sehelai benang dari jubahnya. "Lihat ini. Sendirian, dia lemah." Dia dengan mudah memutuskan benang itu. "Tapi banyak benang dipintal menjadi tali," dia mengeluarkan seutas tali kuat, "dia menjadi kuat. Bisa untuk mengikat, menyelamatkan, menghubungkan."

Aku mengangguk, mulai paham kiasannya.

"Dunia manusia dan dunia roh, Le, seperti benang yang terpisah. Sering salah paham. Manusia takut pada roh, roh kesal pada manusia yang merusak alam. Ketidakseimbangan ini menciptakan celah untuk kekuatan gelap seperti Banaspati yang kau lawan."

Dia menatapku dalam-dalam. "Kau adalah benang yang bisa menyentuh kedua dunia. Darahmu memungkinkanmu memahami keduanya. Itu yang membuatmu spesial."

"Jadi tugasku adalah menjadi jembatan? Membuat mereka berdamai?"

"Lebih dari itu. Kau adalah pengingat bahwa mereka adalah satu kesatuan. Ketika keseimbangan goyah, kau yang akan merasakannya pertama kali dan bertindak."

Aku memikirkan Sukoharjo, desa kecil yang menjadi rumahku. Aku ingin melindunginya.

"Tapi aku hanya satu orang. Bagaimana aku bisa melakukan semua ini sendirian?"

Semar mengangkat talinya. "Tali yang kuat butuh tempat berpijak. Carilah 'benang-benang' lainnya."

"Apa maksudmu?"

"Kau bukan satu-satunya, Jaka. Selalu ada yang lain. Mereka yang memiliki darah khusus, atau hati murni yang memahami tradisi kuno. Carilah guru yang paham naskah kuno, tetua yang bijaksana, atau bahkan roh penjaga yang bersimpati pada manusia."

"Konfirmasi: Entitas 'Semar' merujuk pada pembentukan jaringan 'Pawang Keseimbangan'. Data historis menunjukkan jaringan ini pernah aktif namun terfragmentasi."

Jadi memang pernah ada orang sepertiku? Aku bukan yang pertama?

"Tepat," kata Semar, seolah mendengar pikiranku. "Sudah lama tidak ada yang bisa menjadi tali pusat. Tapi sekarang, dengan bangkitnya kegelapan, alam memanggilmu."

"Kegelapan seperti apa?" tanyaku, merasa ngeri.

Wajah Semar menjadi serius. "Banaspati itu hanya tentara bayaran. Ujian kecil. Yang asli... masih menunggu di balik layar."

Dadaku terasa sesak. Ini jauh lebih besar dari yang kubayangkan.

"Jangan takut," katanya, menepuk bahuku. "Kau tidak sendirian. Aku ada, sistem di kepalamu ada, dan nanti, teman-teman yang akan kau temui. Ingat, kau bukan pedang yang harus menebas segala masalah. Kau adalah tali yang menyatukan."

Dia berdiri, dan aku tahu dia akan pergi.

"Tunggu! Di mana aku harus memulai? Haruskah aku pergi mengembara?"

"Mulailah dari yang dekat," katanya sambil menunjuk ke desa. "Dengarkan sungaimu. Dengarkan tetua desamu. Pelajari sejarah tempatmu berdiri. Kekuatan terbesarmu ada di sini, di tanah yang membesarkanmu. Petunjuk berikutnya akan datang ketika kau siap."

Dia mulai memudar, seperti gambar yang luntur diterpa hujan.

"Dan Jaka," bisiknya yang terakhir, "jaga cincin dan kalungmu. Itu bukan hanya pusaka. Itu adalah pengingat janji leluhurmu."

Dia menghilang, dan suara desiran daun serta jangkrik kembali memenuhi udara.

Aku duduk di sana untuk waktu yang lama, memikirkan kata-katanya. Aku bukan petarung tunggal. Aku adalah pemersatu. Itu terdengar... lebih bisa kulakukan.

Aku melihat kalung kayu di leherku dan cincin di jariku. Aku adalah Pewaris. Aku adalah Tali.

"Permintaan: Tentukan tujuan berikutnya."

Aku menarik napas dalam-dalam, memandangi desa yang mulai diterangi lampu minyak.

"Tujuan berikutnya, Mar," kataku dengan keyakinan yang baru lahir, "adalah pulang. Aku akan berbicara dengan Mbah Sentika, tetua desa kita. Dia tahu semua cerita lama tentang tempat ini. Dan aku akan belajar untuk benar-benar mendengarkan, semoga rencana ini tak melenceng."

Aku berjalan pulang dengan langkah yang lebih pasti. Masih ada ketakutan? Tentu saja. Tapi sekarang ada juga secercah tujuan. Dan untuk seorang anak sungai yang baru saja mengetahui takdirnya, itu adalah awal yang tidak terlalu buruk.

Misi pertamaku mewawancarai seorang kakek tua dan mendengarkan keluh kesah sungai. Tidak terlalu epik seperti petualangan Percy Jackson, tapi hey, setiap pahlawan harus mulai dari suatu tempat, kan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!