NovelToon NovelToon

Luka Dari Suami, Cinta Dari Mafia

Bab 1

Malam yang diguyur hujan deras, terlihat sebuah mobil melaju kencang di jalanan yang licin. Setir mobil dikendalikan oleh seorang pria bernama Alex Yang, wajahnya gusar, penuh dengan amarah yang ditahan. Di sampingnya duduk seorang wanita dengan perut membesar, Janetta Lee, istrinya yang sedang hamil besar. Suasana di dalam mobil begitu tegang, suara hujan deras yang menimpa kaca hanya menambah dinginnya pertengkaran mereka.

"Alex, kita telah menikah selama setahun. Kenapa kau masih saja peduli padanya? Setidaknya pikirkan perasaanku," ucap Janetta dengan suara bergetar, matanya memerah menahan tangis. Tangannya yang gemetar mencengkeram seatbelt seakan mencari pegangan.

Alex melirik tajam, lalu mengeraskan suaranya. "Janetta, apakah kau bisa menggunakan logikamu? Anna baru kembali dan butuh bantuanku! Kenapa kau selalu cemburu yang tidak jelas? Bagaimana aku bisa memikirkan perasaanmu kalau kau tak bisa mengerti aku? Seharusnya kau yang memikirkan perasaanku—dan Anna!" bentaknya, tangannya menghantam setir dengan kasar.

Janetta menunduk, air matanya jatuh perlahan. "Aku adalah istrimu, Alex... Anna itu hanya masa lalumu. Kenapa setelah dia kembali kau lebih meluangkan waktumu dengannya daripada denganku? Bahkan saat aku harus periksa kandungan, kau tidak pernah menemaniku," suaranya lirih namun penuh luka.

Alex mendengus, wajahnya dipenuhi kejengkelan. "Kau sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Hal kecil seperti itu pun kau tidak bisa melakukannya sendiri? Sungguh merepotkan sekali," ujarnya ketus tanpa sedikit pun menoleh pada istrinya.

Janetta menoleh padanya dengan tatapan penuh luka, tangannya mengusap perutnya yang kian membesar. "Aku sedang hamil anakmu, Alex... kenapa kau bisa bicara seperti ini?" ucapnya terisak, suaranya pecah di antara hujan yang semakin deras.

Tiba-tiba suara ponsel Alex berdering nyaring, memotong ketegangan yang belum reda. Di layar ponselnya tertera nama seorang wanita—Anna. Janetta menoleh cepat, wajahnya pucat.

"Jangan jawab!" pinta Janetta dengan suara penuh harap, air matanya semakin deras mengalir.

Namun Alex mengabaikannya. Dengan tangan tegas, ia menggeser ikon hijau pada layar dan menjawab panggilan itu.

"Halo," ucap Alex, suaranya berubah lembut, jauh berbeda dengan nada bicaranya pada Janetta barusan.

Di seberang sana, suara seorang wanita terdengar jelas di telinga Janetta. "Alex, aku kehujanan di sini... tolong datang jemput aku. Aku takut..." suara manja itu menusuk telinga Janetta, seakan menegaskan betapa kecil artinya ia di mata suaminya.

Alex menelan ludah lalu mengangguk meski lawan bicaranya tak bisa melihat. "Tunggu aku, aku segera ke sana," jawabnya cepat sebelum memutuskan panggilan.

Hujan semakin deras mengguyur malam itu. Jalanan gelap hanya diterangi lampu mobil yang berhenti mendadak di tengah aspal licin. Alex menepikan mobil dengan kasar, wajahnya menegang penuh amarah.

"Alex, apakah kau masih mencintainya? Kenapa setiap kali dia menghubungimu kau langsung pergi, walau sudah larut malam?" tanya Janetta dengan suara bergetar. Air matanya bercampur dengan keringat dingin, dan dadanya terasa sesak. "Hatiku sangat sakit melihat suamiku begitu peduli dan dekat dengan mantannya. Apalagi dalam kondisi seperti ini… kita sedang menunggu kelahiran anak kita, Alex."

Alex mendengus keras. Matanya menyipit penuh kebencian. "Jangan tidak masuk akal! Aku dan Anna tidak ada hubungan apa-apa. Dia sudah cukup malang karena kematian orang tuanya. Di dunia ini hanya aku yang tersisa, yang paling dekat dengannya. Mengerti? Ada lagi, aku akan membawanya pulang dan tinggal bersama kita," suaranya meninggi, memantul di ruang kabin mobil yang sempit.

Janetta menoleh cepat, tatapannya penuh tidak percaya. "Apa? Kau bahkan ingin membawanya pulang ke rumah kita?"

Wajah Alex mengeras, bibirnya menekuk dingin. "Mamaku dan adikku sudah setuju. Besok dia akan tinggal bersama kita. Dan kau—jaga sikapmu. Kalau sampai kau berani menyakitinya, jangan salahkan aku menceraikanmu," ancamnya tajam.

Ucapan itu menghantam hati Janetta seperti belati. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Namun Alex tak peduli. Dengan gerakan kasar, ia membuka pintu sisi penumpang.

Tanpa ragu, ia menarik tubuh istrinya yang hamil besar keluar dari mobil, membiarkannya diterpa hujan deras.

"Alex! Apa yang kau lakukan? Aku kedinginan… aku hamil anakmu!" teriak Janetta, berusaha meronta.

Alex menutup wajahnya dari tetesan hujan, lalu berkata datar, "Aku akan menghubungi taksi menjemputmu. Anna tidak ingin bertemu denganmu karena dia masih sedih dengan pernikahan kita. Jadi kau tunggu taksi di sini." Ia berjalan tenang ke pintu pengemudi.

Janetta menyusul tertatih, basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki. "Kau keterlaluan! Demi dia… kau meninggalkan istrimu sendiri yang sedang hamil besar. Aku juga takut… aku kedinginan, Alex!" tangisnya pecah.

Namun Alex sudah duduk kembali di kursi pengemudi. Janetta mengetuk kaca jendela mobil dengan tangan gemetar.

Jendela perlahan diturunkan, dan Alex menatapnya tanpa belas kasihan. "Anna adalah gadis lemah, dia tidak bisa kehujanan dan kedinginan. Kau berbeda, Janetta… kau bisa cari tempat berteduh."

Janetta menoleh putus asa ke arah jalan yang sepi dan gelap. "Di sepanjang jalan ini tidak ada rumah atau orang! Aku harus ke mana? Apakah kau tidak memikirkan anak kita? Kenapa kau tega sekali, Alex…" tangisnya pecah semakin keras.

Tanpa basa-basi, Alex mendorong tubuh Janetta dengan kasar hingga wanita itu jatuh terkapar di aspal yang dingin dan licin.

"Aaahh!!" jerit Janetta, tubuhnya menghantam keras tanah basah. Tangannya spontan memeluk perutnya yang terasa perih. "Alex… perutku sakit!" ucapnya terisak, tubuhnya menggigil hebat.

Alex menatapnya sekilas dari balik kaca mobil, lalu mendesis dingin. "Berhenti berpura-pura." Ia segera menginjak gas, dan mobil melaju menembus derasnya hujan, meninggalkan Janetta sendirian.

"Alex!!!" tangis Janetta memecah kesunyian malam, suaranya nyaris hilang tertelan derasnya hujan. Ia merangkak lemah, tangannya terus menggenggam perutnya. "Tolong… jangan pergi… selamatkan anak kita… dia tidak bersalah…"

Namun mobil Alex semakin jauh, hanya menyisakan sorot lampu belakang yang memudar di balik tirai hujan. Janetta tersungkur di aspal, tubuhnya basah kuyup, terisak dalam keputusasaan, sementara hidupnya dan nyawa anak dalam kandungannya terancam.

Bab 2

Janetta dilarikan ke rumah sakit terbesar di kota Hebei. Hujan deras masih mengguyur ketika dia tiba, dan dinginnya udara bercampur aroma antiseptik membuat kepala Janetta semakin pusing.

Di depan ruang darurat, terlihat seorang wanita paruh baya yang menatap tajam sambil menggenggam tangan putrinya.

"Kalau saja bayi kandungannya mati, aku tidak akan melepaskan wanita itu," gumam wanita itu dengan suara dingin, tatapannya menusuk. Wanita itu adalah Candy, ibu dari Alex.

Putrinya, Jessie, berdiri di samping, wajahnya menyimpan ejekan. "Ma, dia begitu tidak berguna, hanya terkena hujan. Sudah mengeluarkan banyak darah. Lebih baik minta kakak ceraikan dia dan nikahi Anna. Bagaimana pun Anna jauh lebih baik," kata Jessie dengan nada menyindir, matanya menyipit menatap arah rumah sakit.

***

Keesokan harinya, Janetta membuka mata di ranjang pasien. Cahaya pagi menembus jendela kamar, tapi wajahnya pucat dan lemah. Tubuhnya terasa dingin, setiap gerakan membuatnya tersengal. Suster yang sedang menyuntik infus menoleh dengan cepat.

Janetta menyentuh perutnya, panik, dan mencoba bangkit meskipun tubuhnya lemas. "Mana anakku?" suaranya terdengar serak, penuh kecemasan.

"Nyonya, anda masih dalam kondisi lemah dan kehilangan banyak darah. Lebih baik istirahat dulu," jawab suster, menahan nada prihatin.

" Suster, beritahu aku, bagaimana aku bisa di sini, dan di mana anakku? Apakah aku sudah melahirkan?" tanyanya lagi, mata membesar, tangan gemetar.

Langkah kaki mendekat di pintu kamar. Candy masuk, wajahnya kaku, tatapan dingin. "Anakmu sudah mati," ucapnya tanpa ragu.

Janetta membulatkan mata, jantungnya seakan berhenti. "Tidak, tidak mungkin," bisiknya, napasnya tersendat.

Jessie muncul di belakang ibunya, menatap Janetta dengan senyum tipis yang menyiratkan ejekan. "Tidak mungkin. Kau begitu lemah dan tidak berguna, bahkan anak sendiri saja kau tidak bisa melindunginya. Sungguh sia-sia kakakku menikahimu," ejeknya, suaranya menyayat hati.

Janetta menggenggam bantal di sisinya, menahan rasa sakit dan keputusasaan. "Jangan bicara sembarangan, aku tidak percaya dengan katamu!" teriaknya.

Suster mencoba menenangkan. "Maaf, Nyonya, saat anda datang kondisi anda sangat lemah, dan saat itu juga bayinya sudah meninggal dalam kandungan," ucapnya lembut.

Janetta mengguncang kepala, air mata mulai mengalir deras. "Tidak mungkin, anakku tidak mungkin meninggal," ratapnya. Tangannya meraba-raba udara, seolah bisa meraih yang hilang.

Candy mendekat dan menampar wajah Janetta, suara “plak” memenuhi ruang. "Tidak berguna, kau membunuh keturunan keluarga Yang, kau bahkan tidak bisa melindungi bayi yang dalam kandunganmu. Apakah kau masih layak menjadi ibu dan istri dari anakku?" bentaknya tanpa ampun.

Janetta menahan tangis, suaranya bergetar namun penuh keberanian. "Tidak layak? Kenapa kau tidak bertanya apa yang telah anakmu lakukan padaku? Di malam hujan yang deras, dia pergi demi mantannya dan meninggalkanku di jalan. Tidak ada orang, tidak ada tempat untuk berlindung. Dia mendorongku sehingga aku kesakitan. Saat itu dia tidak peduli padaku. Kenapa kalian malah menyalahkan aku?" teriaknya dengan emosi yang meledak.

Candy menatap tajam, wajahnya tanpa simpati. "Jangan mencari alasan, cucuku di dalam kandunganmu, kalau bukan karena kau adalah ibu yang gagal, maka cucuku tidak akan mati," cetusnya dingin. "Aku akan meminta Alex menceraikanmu dan menikahi Anna."

Janetta meremas bantal di tangannya, tubuhnya gemetar bukan hanya karena sakit tapi juga karena kemarahan. "Kalian hanya sengaja mencari kesalahanku, anakmu sendiri yang bersalah dan kalian malah menyalahkan aku. Aku bukannya tidak tahu kalian selalu mendukung Alex kembali bersama Anna," balasnya, suaranya mulai tegas.

Jessie melangkah maju, senyum sinis masih menempel di wajahnya. "Kakakku lebih mencintai Anna, Anna cantik, lembut dan baik. Sedangkan dirimu hanya wanita dari kalangan bawah," sindirnya.

Janetta menatap mereka, mata berbinar marah. "Kalangan bawah? Saat aku pacaran dengan Alex kalian juga tidak memiliki apa pun, setelah kaya malah lupa asal usul," katanya, suaranya tegas meski tubuhnya lemah.

Candy menyeringai. "Tidak perlu basa-basi, besok harus bercerai, dan jangan berharap kau bisa mendapatkan sebagian harta anakku."

Janetta menahan amarah, napasnya berat. "Harta keluargamu semua dari aku juga, jangan lupa, aku pacaran dengan anakmu selama lima tahun, selama ini aku yang membantunya berbisnis," katanya dengan suara lirih tapi penuh tekad.

Jessie menatapnya dingin. "Tapi kau jangan lupa, Kakakku memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya. Jadi tidak ada hubungan denganmu," ujarnya dengan nada merendahkan.

Janetta mencoba bangkit dari ranjang, tubuhnya gemetar hebat. "Suster, di mana anakku, aku ingin melihatnya, walau telah meninggal setidaknya biar aku melihatnya," pintanya dengan suara patah.

Candy menatapnya dingin, menepuk bahunya sekali sebelum berpaling. "Tidak perlu, cucuku sudah aku makamkan, kau tidak perlu bertemu dengannya lagi."

"Aku adalah ibunya, kenapa kau melakukannya tanpa sepengetahuanku?" tanya Janetta, air mata menetes deras.

"Kau tidak layak menjadi ibunya, bayi sudah aku keramasi. Sementara kau hanyalah orang luar," jawab Candy, suara tegas tapi dingin.

Janetta menggenggam wajahnya, suara pecah. "Aku tidak percaya, aku ingin bertemu dengan Alex!"

Jessie tersenyum sinis. "Kakakku bersama Anna semalaman, dia sudah tahu kalau anaknya meninggal dan tidak ingin lagi melihatmu," jawabnya.

Janetta menunduk, tubuhnya lemah, hati hancur. "Dia yang membunuh anakku," bisiknya.

Candy menatap tajam, menjauh. "Jangan salahkan anakku, dia tidak mungkin melakukan itu, kau yang tidak berguna. Semua barangmu sudah aku buang. Jangan pernah kembali ke rumah kami!"

Janetta terduduk lemas di lantai, tubuh dan hatinya dipenuhi rasa sakit yang tak terkatakan.

Janetta yang masih lemah akhirnya tidak sadarkan diri. Tubuhnya terkulai di lantai wajahnya pucat pasi. Suster yang berjaga terkejut lalu segera menekan tombol merah di atas ranjang pasien.

"Nyonya, Nyonya!" seru suster dengan panik, berusaha mengguncang tubuh Janetta.

Beberapa menit kemudian, dokter dan tim medis bergegas masuk. Mereka sibuk memeriksa denyut nadi, memasang alat bantu, dan menstabilkan kondisinya. Setelah perjuangan singkat, keadaan Janetta akhirnya kembali tenang.

Malam hari.

Ruangan rawat inap itu senyap, hanya suara detik jam dinding dan dengung alat medis yang menemani. Janetta perlahan membuka mata, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Cahaya lampu redup menyorot wajahnya yang penuh kekecewaan dan luka batin.

Air mata menggenang di sudut matanya. Dengan suara lirih, ia bergumam, "Apakah benar anakku sudah meninggal? Alex Yang... aku tidak menyangka kau seorang pria yang lupa diri, begitu tega meninggalkanku dan membunuh anak kita."

Suasana hening itu tiba-tiba pecah ketika pintu kamar terbuka dengan suara berderit. Janetta spontan menoleh. Empat pria asing masuk, langkah mereka berat, tatapan mereka penuh niat buruk.

Jantung Janetta berdegup kencang. Tubuhnya yang lemah mencoba bangun, tangannya meraih selimut menutupi diri. "Kalian siapa?" tanyanya dengan suara bergetar, matanya menatap mereka dengan cemas.

Salah satu pria menyeringai, bibirnya melengkung dengan keji. "Janetta Lee, kami dibayar untuk menidurimu. Katanya kau baru keguguran... kami belum pernah coba merasakan wanita yang masih dalam masa pantangan," ucapnya, membuat tawa sinis menggema di ruangan.

Janetta membeku. Wajahnya memucat lebih parah. "Siapa yang membayar kalian? Keluarga Yang atau orang lain?" tanyanya dengan suara patah, mencoba mencari celah waktu untuk menyelamatkan diri.

Pria lain melangkah maju, menepuk-nepuk pipinya dengan kasar. "Bagaimana kalau setelah kau melayani kami, baru kami beri tahu namanya?" ujarnya dingin.

Mereka mendekat. Janetta panik, tubuhnya gemetar hebat. "Jangan mendekat!" teriaknya, mencoba meraih alat infus untuk bertahan. Namun dua pria langsung menekan tubuhnya ke ranjang, menahan tangan dan kakinya agar tak bisa bergerak.

Janetta berusaha melawan, meski tubuhnya lemah. Nafasnya tersengal, keringat dingin mengucur. "Tolong... jangan lakukan ini...!" jeritnya, tapi hanya menjadi hiburan bagi mereka.

Dua pria lainnya malah tertawa sinis sambil mulai melepaskan baju mereka, seolah menikmati ketakutan yang terpampang di wajah Janetta.

Bab 3

Salah satu pria itu duduk di atas tubuh Janetta yang kini berusaha berteriak, namun mulutnya dibekap oleh pria yang menahan tangannya.

"Lepaskan celananya, aku sudah tidak sabar," kata pria lain dengan tawa rendah penuh nafsu.

Tiba-tiba—

Braaak!

Suara hentakan pintu terbuka dengan keras menggema di ruangan.

Seorang pria berpostur tinggi berdiri di ambang pintu. Tatapannya dingin dan tajam seperti pisau, rahangnya mengeras, dan aura mengancam terpancar kuat dari sorot matanya. Langkah kakinya berat dan penuh wibawa saat menghampiri mereka.

Para pria yang hendak menodai Janetta sontak terhenti, tubuh mereka menegang.

"Siapa kau?!" teriak salah satu dari mereka dengan nada panik, meski mencoba tampak berani.

Pria itu tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram kerah pria yang membekap mulut Janetta dan menghantamkannya ke dinding hingga terdengar suara gedebuk keras.

Janetta yang masih terbaring lemah menatap dengan mata melebar, antara takut dan berharap. Air mata membasahi wajahnya saat ia berusaha mengucapkan, "Tolong... selamatkan aku..."

Pria berpostur tinggi itu melirik sekilas padanya, sorot matanya melembut sepersekian detik sebelum kembali menajam ke arah para penyerang.

"Berani sekali kalian menyentuh wanita ini di hadapanku," suaranya rendah tapi menggelegar, membuat bulu kuduk merinding.

Tiga lainnya langsung menyerang pria itu, namun pria itu dengan tenang menangkap tangan lawannya dan mematahkannya dengan satu gerakan cepat.

"Aahhh!" teriak pria itu meraung kesakitan.

Dua lainnya maju bersamaan, tapi tendangan keras menghantam dada mereka hingga terlempar ke belakang. Satu lagi mendapat pukulan telak di wajah, darah memercik dari bibirnya. Tanpa ragu, pria tinggi itu mengangkat salah satunya lalu melempar ke arah tembok.

Bruk!

Jeritan kesakitan kembali menggema.

Janetta, yang masih lemah di ranjang, berusaha bangkit. Ia duduk dengan tubuh gemetar, matanya terpaku pada sosok pria misterius itu. “Dia... begitu tangguh,” batinnya, kagum sekaligus lega.

Empat pria asing itu kini meringkuk di lantai, mengerang, tak lagi berdaya.

Pria itu menarik salah satu dari mereka dengan kasar, lalu menghantamkannya ke samping ranjang Janetta. Tatapannya menusuk, penuh ancaman.

"Siapa yang mengirim kalian?" tanya Janetta.

Pria yang dicekik bergetar, napasnya terengah. "Bukan salah kami... kami hanya menerima bayaran," jawabnya terbata, ketakutan.

Tatapan sang pria semakin tajam. "Jawab!" bentaknya.

Pria itu akhirnya mengaku dengan suara parau, "Nona Anna... dia yang mengutus kami. Katanya... dia ingin mempermalukanmu... supaya suamimu salah paham..."

Mata Janetta membesar, hatinya seakan diremas. Anna... dia benar-benar ingin menghancurkanku...

Pria misterius itu mendorong penyerang itu menjauh. "Serahkan ke polisi atau lepaskan, terserah padamu," katanya dingin.

Janetta menggeleng pelan, meski tubuhnya masih lemah. "Tuan, terima kasih karena telah membantu saya. Lepaskan saja mereka. Saya akan membalas dengan cara saya sendiri," ucapnya lirih namun tegas, air mata masih membasahi wajahnya.

Pria itu menatapnya dalam, seolah menilai kekuatan yang tersembunyi di balik kelemahannya. "Kondisimu lemah. Apakah kau bisa melawan mereka? Suamimu dan selingkuhannya sepertinya sedang berencana menyingkirkanmu," ucapnya dengan nada peringatan.

Janetta mengepalkan tangan, matanya penuh dendam. "Iya... aku akan membalas apa yang telah mereka lakukan padaku."

Dalam hati ia berteriak, "Alex Yang, Anna... kalian telah membunuh anakku, dan sekarang kalian malah ingin mempermalukanku."

Keheningan sesaat menyelimuti ruangan. Janetta mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, siapa nama Anda?" tanyanya pelan.

Pria itu menoleh sebentar, sorot matanya dingin tapi dalam. Bibirnya melengkung tipis saat menjawab, "Ingat namaku... Holdes Shen."

Tanpa menunggu balasan, ia beranjak pergi dengan langkah mantap, meninggalkan Janetta yang menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk antara kagum, dan tanya yang tak terjawab.

Empat pria itu langsung berlari ketakutan meninggalkan rumah sakit. Namun langkah mereka terhenti saat sekelompok pria berpakaian serba hitam dengan kacamata gelap tiba-tiba mengepung. Aura dingin menyelimuti lorong parkiran.

"Patahkan kaki dan tangan mereka, lalu buang ke sungai!" perintah Holdes Shen datar, tanpa menoleh, sebelum masuk ke dalam mobil mewahnya yang dipandu asistennya.

"Siap, Bos!" jawab anak buahnya serentak.

Sekejap kemudian, suara pukulan bertubi-tubi menggema.

Brak! Bruk!

"Aahhh!" jerit kesakitan memecah malam.

Tubuh empat pria itu bergelimpangan, merintih tanpa daya, sebelum akhirnya diseret menjauh menuju kegelapan.

Di sisi lain.

Apartemen mewah di pusat kota.

Alex Yang duduk di sofa dengan wajah muram, segelas botol minuman keras di tangannya habis ditenggak sekaligus. Napasnya berat, mata merah karena marah bercampur putus asa.

Anna, yang duduk di sampingnya, mengelus pundaknya lembut. "Alex, sudahlah... kau masih muda. Jangan terus-menerus larut dalam kesedihan."

Alex menatap kosong ke arah meja. "Hanya tinggal satu bulan... anakku akan dilahirkan. Tapi Janetta malah gagal melindunginya." Suaranya penuh luka.

Anna menahan senyum liciknya, lalu berkata dengan nada lembut namun penuh racun, "Janetta hanya cemburu padaku. Dia menuduh kita berselingkuh, lalu marah... dan melampiaskannya pada anak dalam kandungannya. Bayimu begitu malang."

Mata Alex membelalak, genggamannya pada botol semakin erat. "Benar! Dia sengaja membunuh anakku... untuk membalas dendam. Janetta, kau benar-benar keterlaluan! Bahkan bayi yang tidak berdosa pun kau singkirkan!" teriaknya penuh amarah.

Anna segera meraih wajah Alex, memeluknya erat, lalu menempelkan bibirnya lembut ke pipi pria itu. "Jangan marah... bagaimana kalau aku yang memberimu seorang anak?" bisiknya penuh godaan.

Alex terdiam sesaat, lalu menatap dalam ke arah Anna. "Kau ingin kita kembali seperti dulu?"

Anna mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca pura-pura tulus. "Aku mencintaimu sejak lama. Kau tahu itu. Tapi aku tidak tega menyakiti istrimu... makanya aku memilih mengalah."

Alex memegang wajahnya erat, nada suaranya berat menyesal. "Kau sangat baik... kenapa dulu aku tidak menikahimu saja?"

Kata-kata itu membuat Anna tersenyum puas. Alex segera mencium bibirnya, dan ciuman itu berubah menjadi semakin panas, liar, dan brutal.

Kemeja Alex terlepas, pakaian Anna pun tersingkir. Mereka tenggelam dalam hasrat yang membakar, tanpa setitik pun rasa bersalah.

Di atas sofa mewah itu, tubuh mereka menyatu. Gerakan maju-mundur Alex semakin cepat, membutakan akal sehatnya. Anna menggeliat penuh gairah, wajahnya berseri-seri karena kemenangan yang manis.

Dalam hatinya, ia berteriak puas. "Janetta Lee, lihatlah suamimu... sedang meniduriku. Aku akhirnya mengalahkanmu. Kau pasti mengira dirimu suci, padahal malam ini mungkin kau juga sudah dipermainkan oleh empat bajingan itu. Hahaha... dan masih ada hadiah lain yang akan kuberikan padamu."

Di sisi lain.

Kamar rawat inap rumah sakit masih sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Janetta yang berbaring dengan tubuh lemah mencoba memejamkan mata untuk beristirahat.

Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecah keheningan.

Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya di meja samping ranjang. Saat layar menyala, sebuah pesan baru masuk.

Janetta membuka pesan itu—dan seketika matanya membulat, napasnya tercekat.

Di layar terpampang sebuah video rekaman. Adegan di dalamnya jelas dan tanpa sensor: Alex, suaminya, sedang bercumbu liar dengan Anna. Gerakan tubuh mereka begitu vulgar, suara desahan mereka terdengar nyata, menusuk jantung Janetta seperti ribuan pisau.

Tangannya bergetar hebat, hampir menjatuhkan ponsel. Bibirnya bergetar, air mata menggenang hingga akhirnya pecah.

"Alex Yang..." suaranya parau, penuh luka. "Kau... bajingan!"

Tangisnya pecah, namun bersamaan dengan itu, tatapan matanya berubah. Dari lemah dan rapuh, menjadi tajam dan penuh dendam.

Ia mengepalkan tangan di atas selimut. "Seluruh keluarga Yang... dan Anna... kalian akan menerima balasanku."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!