Untuk menikah harus siap mempertaruhkan nasib dan untuk melahirkan harus siap untuk mempertaruhkan nyawa. Itulah garis takdir sebagai seorang wanita. Yang sudah ditetapkan sebelum Hawa tercipta di dunia.
Seandainya iblis tak merayu hawa untuk meminta Adam mengambil buah kuldi. Mungkin tak akan ada penderitaan dan kesedihan di dunia ini untuk wanita.
Awal membina biduk rumah tangga sudah di niatkan untuk ibadah kepada Allah. Sebab pernikahan adalah sebuah ibadah yang lama dengan begitu banyak ujian, hingga manusia menutup usia.
Selama membina rumah tangga, Asha berusaha menjadi seorang istri yang sesuai keinginan Fajar dan keluarganya. Apa yang diinginkan kelurganya, Asha berusaha untuk memenuhinya walupun gaji seorang guru madrasah Taman Pendidikan Qur'an hanya mendapatkan tiga ratus ribu perbulan.
Saat aku memutuskan untuk menikah dengan mas Fajar. Aku berjanji pada diriku sendiri dan kepada Tuhanku. Aku akan menjadi istri yang Sholeha sesuai dengan perintah agamaku.
Aku berharap tak akan terombang ambing di atas kapal yang hampir tenggelam. Hanya berharap agar badai tak akan kembali atau mungkin ini akhir dari hidupku yang akan mati di atas kapalku sendiri?
"Umi, umi! " Asha berteriak memanggil dengan memengang perutnya yang terasa sangat tajam. Isi perutnya ingin sekali termuntahkan. Rasa mual yang tak tertahankan. Namun, tak ada yang keluar dari mulutnya kecuali suara "huwek, huwek" yang lemah.
Atap kamar dan benda di sekelilingnya berputar putar. Ranjang tempatnya berbaring bergoyang tak menyentuh tanah, yang membuat dia semakin tak berdaya. Lalu, ada aliran darah yang keluar dari kedua kakinya.
Tiba tiba saat umi masuk ke kamar, semua kembali seperti semula. "Ya Allah, astaghfirullah. Asha ! Kamu pendarahan. Nak. Umi akan hubungi Fajar dulu."
Lalu rasa kuatir menyelimuti Umi, "Tidak di angkat angkat sama Fajar. Kemana dia ? Ya Allah." Umi menoleh ke arah Asha yang masih berbaring lemah." Umi akan hubungi Abahmu saja."
Netra Asha kosong, dia menatap Umi dengan terbengong. Raut wajahnya lelah dan peluh bercucuran di keningnya.
Umi menapuk pipi Asha berkali kali agar tetap tersadar walaupun dengan lembut. "Ya Allah. Asha. Sadar nak. Sadar !"
"Umi," Asha mengucapkan satu kata dengan lemah. "Aku takut, anakku Umi. Anakku," desah Asha memengang erat tangan Umi.
Dengan hati gunda, Umi melihat darah tetap keluar tidak berhenti seperti air yang mengalir terus menerus.
" Umi, umi. Aku tidak kuat," Asha mengeram kesakitan.
"Sabar nak, sebentar lagi ambulance dan Abahmu akan datang."
"Umi, anakku masih enam bulan. Kenapa harus keluar seperti ini, Umi." Tak hanya mengeram menahan sakit tapi Asha tak kuat menahan air matanya. Dunia bagi dia sangat kejam.
"Jangan berpikir buruk. Anakmu akan baik baik saja." Umi memegang tangan Asha yang terasa dingin. Dia terus menerus memberikan harapan yang baik untuk anaknya. "Anakmu tidak apa apa ya, nak. Sabar ya nak."
Namun, darah semakin banyak yang keluar. Perut Asha semakin lama semakin mengecil. Badannya tak kuat untuk menahan sakit.
"Bagaimana Asha, Umi ! Asha ! Nak," ucap Abi yang tiba tiba membuka pintu.
Raut wajah Umi yang terlihat gelisah namun, bersyukur karena ambulance segara datang. Asha di angkat oleh tiga petugas medis dan di temani oleh Umi dan Abi di dalam mobil, Umi tak henti hentinya menepuk pipi Asha saat netranya terasa berat dan ingin tertutup.
Di luar ruang operasi. Guratan guratan gelisah Umi dan Abi terlihat sangat jelas walaupun dalam keadaan duduk di kursi tunggu, yang membuat kaki, tangan dan badan mereka seperti membeku. Dengan memandang kesekeliling menunjukkan ketegangan dan tak bisa menyembunyikan rasa kekuatirannya.
"Hemm, AC di ruangan sini sangat dingin." Abi menggigil sehingga menempelkan kedua telapak tangannya di lipatan ketiak dan menggetarkan kedua kakinya. "Apa umi sudah telpon Fajar?"
"Sampai sekarang Fajar tidak bisa di hubungi. Umi juga sudah sampaikan kabar ke Ibunya. Tapi ... Entahlah, apa dia menyampaikan kepada Fajar." Umi menjelaskan dengan memainkan jari jari tangannya yang gugup dan hati yang risau.
"Kalau begitu, aku harus mencari Fajar. Hingga ketemu! Istrinya sedang kritis!"
"Sabar Abi, sabar." Lalu. Umi mengelus pundak Abi dengan lembut, "Abi jangan marah ya. Kita tunggu sampai besok."
Dokter keluar dari ruang operasi. Dengan wajah yang serius dan langkah yang berat. Dia berjalan mendekati Umi dan Abi. "Maaf, saya tidak dapat menyelamatkan. janin dari Nyonya Asha. Kami sudah mengupayakan segala cara. Namun, pendarahannya sangat parah sehingga tidak ada yang bisa kami lakukan."
Umi dan Abi saling menatap dengan netra yang berkaca-kaca, karena kesedihan yang mendalam. Dengan suara yang bergetar Umi mendekat kepada dokter. "Lalu, bagaimana keadaaan Asha anak saya, dok?"
"Alhamdulillah Nyonya Asha bisa diselamatkan. Namun. Kondisinya saat ini sangat lemah. Tapi kami sudah memberikan transfusi darah dan obat-obatan. Nunggu dua hari, untuk melihat perkembangannya baru kami akan membawanya ke ruang inap."
"Terimakasih, dok," ucap Umi dan Abi dengan bergetar dan saling berpegangan.
"Umi, hubungi Fajar. Dia harus tahu keadaan saat ini," pinta Abi menuju ke kursi karena kakinya terasa keluh dan berat mendengar berita anaknya.
Umi masih berusaha untuk menghubungi fajar dan juga ibunya.
"Gimana Umi, sudah diangkat sama Fajar ?"
Umi hanya menggeleng kepala, " Apa Fajar lagi sibuk di sekolahan ya, Bi ?"
"Fajarkan cuman guru Umi. Mana mungkin sampai malam begini belum pulang. Sesibuk apa dia?" jawab Abi dengan kata kata yang cepat tapi tidak meledak.
"Sabar, Abi. Ini Umi coba telpon ibunya Fajar." Dengan jari yang bergetar, dia mengklik yang menampilkan detail kontak yang ada di handphonenya.
Namun, tiba tiba suara pemberitahuan pesan singkat masuk di handphone Umi. " Astaghfirullah haladzim, ya Allah." Umi memekik dengan suara bergetar. Abi yang melihat Umi terperanjat dan langsung berdiri
" Ada apa ?"
"Apa yang harus aku katakan pada Asha, Abi!" Pesan singkat yang di baca membuat badan Umi bergetar terhantam oleh berita yang membuatnya terhentak.
"Ada apa Umi," ucap Abi yang melihat istrinya lunglai tak berdaya yang bersender pada dinding ruang yang dingin.
"Ada apa ? kenapa Umi !" Abi berusaha mengangkat tubuh Umi yang terhuyung menuju ke kursi.
"Ada apa Umi, bilang. Kenapa ?"
Dengan tangan yang masih gemetar. Umi memberikan handphonenya kepada Abi agar pesan singkat itu dibaca olehnya.
"Astaghfirullah haladzim! Aku tidak akan memaafkan Fajar dan keluarga. Tidak akan ! Aku harus kesana ! Aku harus menemui mereka ! Maksudnya apa kirim foto dan video seperti ini !"
Mendengar teriakan Abi dengan penuh amarah. Wajah yang tegang dan netra merahnya membara. Sedangkan, Umi hanya menangis dan memekik kesedihan, memeras kain jilbabnya dengan keras, merasakan sakit di dadanya.
"Salah Asha apa ya Abi, kenapa mereka kejam dengan anak kita ? Asha wanita juga kan Abi, mereka sama sama wanita. Kasihan Asha, Abi. Ya Allah. Ya Gusti."
Umi menangis dengan suara pecah, air matanya mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Kesedihan yang mendalam menghantui setiap inci tubuhnya. Tubuhnya terjerembab ke lantai.
" Ya Allah, salah anakku apa ? Kenapa rumah tangganya seperti ini. Asha sudah kehilangan anaknya, sekarang suaminya melakukan hal yang tidak bisa di maafkan. Astaghfirullah haladzim."
Mereka mengalami goncangan kesedihan yang dalam untuk kehidupan anaknya. Mereka tak berpikir sejauh ini, bahwa takdir rumah tangga Asha begitu berat.
"Ya Allah. Umi. Ayo, bangun. Jangan duduk di lantai seperti ini." Abi berusaha mengangkat tubuhnya yang lunglai.
"Ataghfirullah, dosa kita apa ya Abi." Umi memengang erat lengan Abi yang menopangnya untuk berdiri.
"Istighfar yang banyak. Kita orang tua yang punya banyak salah dan banyak kekurangan."
"Asha, anak yang baik dan ..."
Sebelum umi melanjutkan ucapannya. Tiga perawat dan dokter yang waktu lalu keluar dari ruang operasi, dia kembali dan berlari menuju ke ruangan tempat Asha yang masih di dalam ruang kritis. Mereka semua menghentakkan tanah dengan langkah panjang dan cepat.
"Ada apa ini Abi ?" dorongan rasa ingin tahu Umi begitu besar karena tim medis menuju ruangan dengan tergesa gesa.
Abi hanya terbengong dengan perasaan yang penuh kecemasan dan tak tenang yang menghantui dirinya.
"Ada apa ini dok, dengan Asha anak saya ?" tanya Umi memberhentikan tangan dokter yang ingin membuka pintu.
"Akan kami beritahu nanti. Pasien dalam kritis, pendarahannya belum berhenti." Dokterpun masuk ke dalam dan mempercepat penanganannya terhadap Asha.
"Ya Allah. Astaghfirullah," ucap Umi memekik keras. Dia memikirkan kemungkinan yang buruk terjadi. Rasa was was menghantui perasaan mereka berdua seperti badai yang tak kunjung berhenti.
Umi memeluk Abi. "Ya Allah Ya Karim. Yang maha pemurah. Selamatkan anakku Asha," pekik Umi pecah dengan air mata yang tak kunjung berhenti.
Dengan gerakkan yang lembut, Abi menepuk punggung Umi. Untuk memberikan ketengan, rasa nyaman dan tentram di tengah kesedihan yang mendalam. Dia ingin menghilangkan rasa sakit di hati istrinya. Lalu, berbicara dengan suara yang lembut. "Semuanya akan baik baik saja. Asha akan kembali pulih seperti semula."
Saat Abi menenangkan hati istrinya. Tiba tiba dia melihat bayangan hitam terbang yang melesat cepat dan merambat ke dinding dinding dan masuk menembus pintu ruang.
"Astaghfirullah haladzim," sambung Abi dengan kepala yang mendongak ke atas saat melihat bayangan hitam itu.
"Ada yang tidak beres Umi dengan Asha. Firasatku kuat sekali." Abi melepaskan pelukannya.
"Firasat apa Abi ?"
"Tadi Abi melihat ada makhluk bayangan hitam masuk ke dalam ruangan, tidak lama saat dokter dan tim medis masuk tadi."
"Astaghfirullah haladzim, terus kita harus bagaimana Abi ?" semburat wajah kecemasan terlihat pada mereka.
"Banyakin berdIkir Umi. Niatkan untuk kehidupan anak kita."
"Siapa yang punya niat jahat, Astaghfirullah."
"Umi tetap melafalkan ayat Allah dan Abi akan tayamum dan sholat di sini." Dia membuka aplikasi handphone untuk menunjukkan arah kiblat.
Dengan sholat yang penuh khidmat, setiap gerakkan yang dia lakukan penuh dengan keikhlasan. Lalu, dia duduk bersila, mengulang ulang kalimat suci yang penuh makna, suaranya lembut dan penuh keimanan dan ketakwaan.
Dengan kesadaran penuh, Abi mendegar suara rintihan, tawa yang tajam dan memekik hingga telinganya berdengung.
"Astaghfirullah haladzim," ucap Abi saat tahu telinganya bergetar suara keras seperti ada lonceng besar yang berdentang di kepalanya.
Abi melanjutkan lantunan kalimat suci penuh dengan khidmat. Lalu, terdengar tawa yang keras dan tajam membuat bulu kuduk berdiri dan membuat malam semakin sunyi. Membuat jiwa seperti terhisap ke dalam kegelapan dan ketakutan.
Abi berusaha untuk tenang dan memusatkan pikirannya agar rasa takut yang timbul dalam hatinya akan perlahan hilang dan kembali melantunkan ayat dan kalimat suci, surah Yasin ayat sembilan dengan terus menerus tanpa henti, dia semakin lama semakin larut dalam ke khusyuk-an.
Kemudian, mahluk yang berada dalam ruangan Asha, keluar merambat ke dinding dinding yang tiba tiba menggoleng tubuh Abi hingga jatuh terseret sekitar lima langkah. Lalu, makhluk itu menghilang meninggalkan bau anyir.
"Astaghfirullah haladzim." Umi memegang lengan Abi untuk membantunya berdiri dan duduk di sebelahnya.
"Malam semakin panjang Umi. Entahlah, siapa yang mengirim makhluk itu ke Asha ?" imbuh Abi dengan menahan dada yang terasa sangat sakit.
"Lalu, kita harus bagaimana Abi ?"
Karena firasatnya, ada satu makhluk yang masih berada di dekat anaknya. Lalu, Abi terdiam, bukan berati tak dapat menjawab pertanyaan Umi. Dia melipat kedua tangannya seperti sedang dalam keadaan sholat, netranya terpejam dan memusatkan pikirannya sekali lagi lewat berbicara dalam hati, ia melantukan ayat ayat suci.
Kemudian, jiwanya terlepas dari tubuhnya dan berjalan menuju ke dalam ruangan. Dia melihat keadaan Asha di dalam ruangan. Yang di kelilingi oleh dokter dan para staf medis.
"Audzubillah himinnasyaitonirrajim bismillahirrahmanirrahim." Netra Abi tajam menatap sosok hitam tinggi yang melayang di atas tubuh Asha.
Makhluk itu dengan mulutnya yang lebar dan netra yang kosong, tapi mengeluarkan darah hitam yang menetes ke tubuh Asha. Membuat tubuhnya kejang kejang, yang membuat hilangnya kesadaran dan kontraksi otot yang hebat pada diri Asha.
Dengan mengucapkan. "Lailahailallah," Abi mengayunkan tangan kanannya. Wajah mahluk hitam itu menoleh ke arah Abi dan terpental jauh, menghilang dalam rintihan tajam.
Tubuh Asha yang tadinya bergetar tanpa terkontrol, pendarahan yang masih mengalir seperti air, dengan kondisi jantung yang lemah. Sekarang, sudah membaik. Semua sudah kembali normal dan Abi kembali ke tubuhnya, di samping Umi yang sedang menanti Abi dengan cemas.
Masih dengan rasa kuatir, "Abi, Abi." Umi menggoyang goyangkan tubuh Abi agar tersadar.
Kemudian, "Alhamdulillah," ucap Abi yang menoleh ke arah Umi.
"Tenang, Umi. Asha sudah membaik. Sebentar lagi dia akan di pindahkan ke ruang inap."
"Alhamdulillah."
Dan sesuai dengan dugaan Abi. Selang lima menit. Dokter dan para staf medis mendorong ranjang Asha untuk di pindahkan ke ruang rawat inap. Kedua tangan Asha tertusuk jarum infus. Satu tangan memiliki jarum infus untuk menggantikan darah yang hilang, sementara satu tangannya lagi untuk mengalirkan obat obatan agar tak terkena infeksi.
Dalam perjalanan menuju ruang inap. Asha yang masih terbaring dengan wajah yang pucat. Memaksakan diri untuk membuka netranya sedikit, walupun itu terasa tak nyaman untuknya. Namun, suara dan wajah Umi membuatnya tersenyum. Dengan perlahan, Asha membuka mulutnya untuk berbicara pelan, "Umi, Abi. Terimakasih."
Mendengar suara Asha yang pelan tapi jelas. Umi sangat bersyukur karena sudah melewati masa masa kritis.
Di kamar Ruby nomer 603, Asha di tempatkan di ruang yang sepi, tak ada pasien lain di ruangan itu. Hanya Umi dan Abi yang akan menunggunya duduk di samping ranjang.
Bibir kering, kantong netra yang suram, tulang pipi yang sedikit menonjol dan berat badan turun drastis, sehingga urat tangannya terlihat. Membuat Asha terlihat seperti mayat hidup. Baru beberapa jam, tapi keadaan tubuh Asha seperti tak berdaging.
Umi yang melihat keadaan anaknya berusaha untuk menahan air mata dan menguatkan diri. Agar Asha tak terlihat bertambah menderita. Netra Asha sedikit terbuka, dia menyebut nama dan ingin sekali suaminya berada di dekatnya.
"Mas Fajar, mas Fajar di mana Umi ?" Dengan suara yang gemetar. Hatinya sangat merindukan suaminya. Apalagi dia sudah tahu dan merasakan bahwa janin yang di kandungnya mengalami keguguran.
"Iya. Sebentar lagi Fajar datang." tutur Umi. Tak ada yang bisa dilakukan selain berbohong kepadanya.
"Umi ... Sampaikan kepada Abi. Untuk anaknya Asha, tolong makamkan dengan baik ya."
Dengan suara yang sedikit gemetar, Umi membalas permintaan Asha. " Iya ... Iya. Sekarang sedang di kafani dan nanti di rumah akan di makamkan dan di tahlilkan dengan baik."
"Alhamdulillah. Dia adalah anak surga Asha. Kelak, Asha akan bertemu dengannya di titik Surga. Insyaallah."
"Aaminn. Sekarang, anak umi. Istirahat dulu ya. Jangan banyak bicara dan jangan banyak pikiran. Semua sudah di urus oleh Abi."
"Umi. Asha mau sholat dhuhur dulu."
"Iya, Umi ambilkan baju ganti yang bersih dan mukena."
Asha tersenyum, "Asha juga ingin bermake up dan ingin memakai parfum. Masa ketemu sama Allah. Asha jelek sekali."
"Iya, iya. Umi ambilkan."
Dari dulu hingga sekarang saat mau sholat, Asha selalu berganti pakaian, memakai bedak ataupun lipstik walaupun itu beribadah di dalam rumah. Dan kebiasaan itu selalu dia lakukan di rumah mertuanya.
Selesai sholat, netra Asha berbinar. Dia melihat sebuah gambar di dinding kamar inapnya yang di bawahnya tertera angka angka dan bulan di tahun 2017. Gambar seorang ibu yang memeluk buah hati dengan kehangatan.
Asha mengingat lima tahun yang lalu, awal pertama bertemu dengan Fajar. Tepatnya bulan Februari tahun 2012. Asha yang saat itu melamar pekerjaan di salah satu sekolah dasar swasta sebagai pengajar.
"Maaf mbak Asha. Nanti jika ada tambahan guru honorer akan saya hubungi," ucap kepala sekolah menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dan di balas oleh Asha dengan prilaku yang sama sebagai bentuk sopan santun.
Dengan tersenyum manis, "Terimakasih Pak. Saya tunggu infonya dan saya mohon undur diri." jawab Asha.
Dia berjalan di koridor yang panjang, dengan ruang kelas di sebelah kanannya dan lapangan di sebelah kirinya. Suara langkah kakinya bergema, dia menikmati dengan santai pemandangan lapangan yang rindang. Walaupun angin musim gugur menjatuhkan daun daun yang menggantung di dahan pohon, turun dengan irama angin yang manis.
Jam istirahat berbunyi, sekelompok anak berseragam sekolah yang keluar dari kelas dengan berlari, berhamburan karena bahagia. Tanpa sengaja menabrak Asha yang memperhatikan mereka dengan senyum yang lebar. "Aduh. Astaghfirullah." Asha terjatuh, namun telapak tangannya dapat menopang keseimbangan tubuhnya.
" Apa kamu tidak apa apa?" suara Fajar mencoba mengangkat lengan Asha untuk membantunya berdiri.
Dengan menepuk nepuk telapak tangannya yang kotor, "tidak apa apa. Terimakasih." Asha masih fokus membersihkan debu yang menempel.
"Maaf, tadi murid murid saya, berlarian keluar tanpa melihat ada orang di depannya. Maklum mereka masih kelas satu."
"Oh. Tidak apa apa," ucap Asha melihat telapak tangannya yang sudah bersih. Lalu, dia mengangkat kepala dan menatap ke atas.
Pandangan mereka bertemu. Fajar terpesona dengan ke-ayuan wajah Asha. Wajah cantik seperti karya seni keindahan yang alami dengan keserasian yang tepat. Kelopak netra yang memiliki lipatan jelas di kulit netra atas. Senyum manis yang membuat hati terhisap dalam keindahan mahakarya sang pencipta.
Terpesona saat pertama kali. Membuat fajar yakin bahwa Asha adalah takdir yang di tunjukkan oleh Allah dengan cara yang indah. Hati Fajar seperti pasir hisap yang menariknya kedalam dan tak dapat lepas dari pandangan wajah cantiknya.
Asha terheran melihat Fajar yang terbengong saat dia berdiri menatapnya. "Saya permisi dulu." Asha memengang tali tas Selempang ya dan menunduk sedikit ke bawah sebagian rasa sopan santun untuk berpamitan.
"Tunggu sebentar, ini ada yang jatuh tadi." Fajar mengulurkan sebuah gantungan kunci berwarna hijau dari arkelik bertuliskan nama Asha dengan gaya tulis astetik.
"Oh. Terimakasih."
"Saya Fajar ?" lontarnya saat Asha mengulurkan tangan meminta gantungan kunci. Namun, Fajar malah menjabat tangannya untuk berkenalan dan tersenyum.
Hal ini membuat Asha sangat gugup karena sikap Fajar. Sehingga mau tidak mau dia harus menanggapi salam perkenalan, " Saya Asha. Terimakasih gantungan kuncinya. Saya permisi dulu. Assalamualaikum," cerocos Asha dengan menunduk mohon pamit.
"Tunggu sebentar ... "
Asha membalikkan badan kembali ke arah Fajar.
"Seperti nya kita pernah bertemu."
Asha terheran heran mendengar perkataannya. "Maaf, seperti nya tidak."
"Kamu, kuliah di kampus Surabaya kan ? Fakultas tarbiyah dan keguruan kan ?"
"Iya benar. Maaf. Aku tidak kenal mas ya?"
"Aku lulus di tahun kemaren. Aku ingat kita bertemu di pengajian Akbar, kamu panitia juga kan saat itu ?" Fajar terlihat berbasa basi
"Aku ikut, tapi bukan panitia. Mungkin mas salah orang ?"
"Tidak mungkin. Aku ingat wajahmu ?"
"Mungkin hanya panitia pengganti. Karena teman tidak hadir. Dan itu hanya sekali."
"Loh, kenapa ?Apa kamu masih ikut pengajian ?
"Oh. Sudah tidak mas. Sejak tiga bulan yang lalu, di suruh Abi untuk pindah ke Banyuwangi."
"Oh, bulan depan angkatan aku mengadakan acara pengajian Akbar lagi di gedung serbaguna di sana.l Mau ikut ? Karena acara acara seperti ini setiap tahun banyak peminat jadi kita mau mengadakan lagi ?"
"Sepertinya tidak." Dengan melihat ke arah jam tangan, Asha seperti terburu buru dan ingin mengakhiri percakapan. "Maaf, aku permisi dulu ya mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," membalas dengan wajah berseri.
Dari belakang, Fajar melihat tubuhnya yang berjalan meninggalkan sekolah. Dengan langkah langkah yang mantap, punggung yang lurus dan bahu yang tegap laksana seorang ratu. Dengan kerudung segi empat berwarna biru tua pekat, motif gabungan bunga besar dan kecil yang bertabur diantara sisinya, angin meniup ujung kerudungnya sehingga membuatnya terlihat sedang menari.
Untuk pertama kalinya, Asha tersenyum sendiri tanpa di sadari. Ada sesuatu yang ajaib terdengar di hati saat memandang wajah Fajar yang terpesona tanpa berkedip melihat dirinya. Senyumannya tak pernah lepas dari raut wajahnya dari awal dia naik becak hingga tiba ke rumah.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," sahut Abi dan Umi bersamaan.
Dengan bersalaman, Asha tak lupa mencium punggung tangan kedua orang tuanya, lalu. "Bagaimana wawancara pekerjaannya. Apa di terima ?" cerocos Umi.
"Belum, katanya nunggu telpon dari sekolah." Asha masuk ke dalam bilik kamar dengan masih mempertahankan senyum berseri di wajahnya.
Umi terheran mendengar jawaban Asha, dan bergumam lirih. "Kalau belum di terima kenapa dia senyum senyum terus ya Abi ?"
Abi melipat koran dan menaruhnya di atas meja, menyeruput kopi hitam buatan tangan Umi yang duduk bersebelahan dengannya.
"Biarkan saja, sebentar lagi dia berusia dua puluh lima tahun. Sudah saatnya, nanti bertemu dengan jodohnya."
"Yaaa, kalau bis jangan sekarang, Abi. Kan dia barusan lulus sarjana, setidaknya dia kerja dulu menikmati hasilnjerih payahnya."
"Kalau sudah di pertemukan jodohnya sama Allah, bagaimana ? Kita tidak bisa menolak, Umi."
Wajah cemberut dengan alis mengkerut dan bibir yang terjatuh rapat. Raut wajah Umi terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat karena omongan suaminya.
"Yo wis. Aku pamit ke ngajar ngaji dulu. Nanti setelah pulang, aku engko langsung ke warung bantuin Umi."
Umi mencium punggung telapak tangan suaminya sebagai doa agar dia selamat di perjalanan. "Tapi. Mie nya belum di anter pak Omar ?"
" Engko ke rumahnya. Aku mau berangkat dulu, assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Ojok lali ya Abi !" teriak Umi dari dalam rumah, yang hanya di balas oleh suaminya dengan mengangkat tangan kanan ke atas walaupun dirinya tak berbalik menoleh.
Umi merapikan gelas kopi yang masih tertinggal di meja, dan berjalan ke arah dapur sambil melihat daun pintu kamar Asha dan berpikir, "ada apa ko Asha pulang pulang senyum senyum. Apa benar yang dikatakan Abi. Entahlah, semoga saja tidak terjadi. Kerja dulu ya nak. Nanti saja menikahnya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!