Suara tapakan sepatu bergema di lorong apartemen yang sepi, menimbulkan dentingan monoton yang menusuk telinga. Lampu temaram di langit-langit hanya berkelip redup, menambah kesan dingin pada malam itu. Seorang gadis muda bernama Aziya berhenti di depan sebuah pintu. Dengan jari yang sedikit bergetar, ia mengetikkan deretan angka pada keypad digital. Pintu terbuka, dan tanpa ragu ia melangkah masuk.
Namun, langkahnya terhenti ketika telinga menangkap suara samar dari arah kamar. Suara yang tidak seharusnya ada di dalam hunian kekasihnya—erangan lirih bercampur desah aneh, seperti belati yang menusuk tepat ke dalam dada.
Hati Aziya mencelos. Tubuhnya kaku, tapi rasa ingin tahu dan curiga menuntunnya untuk bergerak. Selangkah demi selangkah ia mendekat, hingga tiba di depan pintu kamar yang tidak terkunci. Dengan dorongan halus, pintu itu terbuka.
Sekejap dunia seakan runtuh.
Di hadapannya, lelaki yang selama ini ia sebut sebagai rumah. Gino, tampak berbaring dengan seorang wanita lain. Wanita itu adalah musuh lamanya, seseorang yang selalu mencoba menghancurkan hidupnya. Dan malam ini, ia berhasil.
Aziya tidak menjerit, tidak juga menangis. Pandangannya datar, dingin, menusuk. Dengan gerakan tenang namun mengerikan, ia meraih ponsel dari dalam tas, mengarahkan kamera, lalu merekam kebejatan yang terpampang di depan matanya.
Suara pintu yang ia dorong kasar membuat keduanya tersentak. Gino tergopoh bangun, matanya membelalak panik. Sementara wanita telanjang itu justru tersenyum miring, seolah menertawakan kehancuran perasaan seorang gadis.
“Sayang, ini… ini nggak seperti yang kamu pikir,” suara Gino bergetar, mencoba meraih Aziya dengan wajah memelas.
“Jangan sentuh gue!” Aziya menyentak tangannya, tatapannya dipenuhi rasa jijik.
"Aziya..."
“Diam! Jangan panggil nama gue dengan mulut kotor lo!”
Gino mencoba mendekat. “Aku bisa jelasin. Tolong, Ziya…”
Tidak sanggup lagi menatapnya, Aziya membuang pandangannya ke arah lain. Suaranya tajam, tegas, dan penuh luka.
“Ga ada yang perlu dijelasin. Mulai sekarang, kita selesai! Gue nggak mau liat muka lo lagi!”
“Enggak! Kita nggak putus!” Gino mencengkeram tangannya, keras, seolah kepanikan membuatnya kehilangan akal. Tatapannya berkilat, bukan hanya takut, tapi juga obsesi.
Dengan penuh jijik, Aziya menghentakkan tangannya hingga lepas, lalu mengusapnya dengan tisu, seakan-akan menyeka kotoran menjijikkan.
“Lo cuma pengkhianat. Gue nggak sudi pacaran sama sampah kayak lo.”
Wanita di ranjang tertawa kecil, semakin membuat darah Aziya mendidih. Ia sempat menoleh, menatapnya penuh kebencian.
Tunggu pembalasan gue, bitch.
Tanpa menoleh lagi, Aziya melangkah keluar. Gino buru-buru mengenakan pakaian, berlari menyusul, meninggalkan wanita itu meracau memanggil namanya.
Malam semakin larut ketika Aziya menyalakan mesin mobil. Tangannya menggenggam setir erat, mencoba menahan emosi yang bergemuruh. Hatinya sakit, perih, dan pengkhianatan itu begitu jelas di pelupuk mata. Air mata jatuh meski ia sudah bersumpah tidak akan menangis.
Di belakang, deru motor terdengar. Gino mengejarnya. Lampu kendaraan pria itu berkelip liar, berusaha menyalip. “Ziya! Berhenti! Jangan pergi!”
Aziya menginjak gas, laju mobilnya semakin kencang. Umpatan pengendara lain terdengar samar, tapi ia tidak peduli. Dunia seakan hanya berisi dirinya dan lelaki brengsek itu.
Hingga… seseorang tiba-tiba melintas di jalan. Seorang nenek renta berjalan pelan menyeberang.
Aziya membanting setir ke kiri. Ban berdecit, tubuh mobil terhentak keras. Ia kehilangan kendali. Dentuman logam beradu dengan pembatas jalan menggema—dan dalam sekejap, mobil itu terjun bebas ke dalam jurang.
Gelap.
Dan sunyi.
Di sebuah ruangan, terdapat seorang gadis yang tertidur di atas brangkar. Mata itu mengerjap, perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk. Hal pertama yang ia lihat langit-langit bercat putih.
Seorang pemuda kecil terganggu dari tidur nya ketika merasakan tangan yang di genggaman nya bergerak. Mata itu perlahan bertemu dengan mata hazel seorang gadis. Gadis itu menatap bingung disaat mata itu menatap nya berbinar-binar.
"Papa,kakak Zira bangun!"
Pemuda kecil itu tersenyum lebar menatap pria paruh baya yang di panggil nya papa.
Aziya menatap sekelilingnya ia menatap seorang pria dan wanita paruh baya, seorang gadis yang seperti seumuran dengannya dan dua laki-laki seperti lebih tua diatasnya.
Mereka menatapnya dengan pandangan berbeda-beda.
"Zira, akhirnya kamu sadar sayang!" Pria paruh baya itu menatap Aziya dengan pandangan mata berkaca-kaca.
Aziya mengerinyit bingung, Zira siapa? Namanya Aziya bukan Zira yang mereka maksud.
"Kita semua cemasin kamu sayang, kamu kenapa bisa jatoh dari atas balkon?"Aziya semakin bingung, bukannya dia kecelakaan mobil setelah memergoki perselingkuhan mantan brengseknya? Ingatkan dia untuk membalas si brengsek itu!
"Kalian siapa?"Aziya akhirnya bertanya, ia sungguh tidak mengerti.
Mereka semua menatap Aziya terkejut.
Lelaki paruh baya itu dengan cepat memencet bel di atas brangkar. Tidak lama kemudian dokter dan perawat masuk. Dokter itu meminta mereka semua untuk keluar terlebih dahulu.
Dokter itu mulai memeriksa Aziya,"Kamu ingat nama kamu siapa?"
"Nama saya A-" Perkataan Aziya terhenti saat ingatan asing masuk ke dalam kepalanya. Aziya memegangi kepalanya yang berdenyut kencang.
Apa lagi yang kamu lakukan pada Azura haa!
Anak sialan! Saya menyesal telah melahirkan kamu!
Jangan menyentuh adik gue lagi anjing!
Lo memang selalu bikin Azura menderita, mau lo apa sih?!
"Kenapa gue harus punya adik kucel dan jelek kayak lo!"
"Lo memang pantes dibully anak sekolah, hidup lo memang harus selalu menderita, orang kayak lo nggak pantes hidup!"
Ingatan itu terus muncul seperti kaset rusak. Perlahan pandangannya mengabur, hingga ia kehilangan kesadaran.
...~ Transmigrasi Aziya ~...
"Kakak lupa sama Zero?"Aziya menatap pemuda kecil yang juga menatapnya polos.
Aziya diam saja,dia masih tidak bisa percaya apa yang dialaminya. Dia berada di raga seorang gadis cupu korban bully dan di benci keluarga sendiri kecuali Papa dan Adik bungsunya, Zero.
Dia tidak tau kenapa keluarga ini membenci raga yang di tempatinya. Pemilik tubuh ini tidak memberikan ingatannya,dia hanya ingat bagaimana perlakuan kasar keluarga ini dan bully yang terjadi di sekolahnya.
Zero menunduk kecewa ketika Aziya tidak membalas perkataannya. Melihat itu Arion, Papa Zero menghampirinya.
"Zero, kakaknya masih sakit. Jangan di ajak bicara dulu ya. Mending sekarang kamu keluar dulu bareng kak Zura. Azura ajak adeknya main dulu."
Gadis yang di panggil Azura itu mengangguk lalu menggandeng Zero. Arion menghela nafas melihat putrinya sedari tadi hanya diam saja. Biasanya saat ada dia putrinya itu akan cerewet, dia tidak biasa melihat putrinya seperti ini.
"Keluar."
Arion hendak berbicara kembali mengatupkan bibirnya mendengar nada dingin Aziya.
"Papa keluar dulu,kamu istirahat ya." Arion mengusap kepala Aziya lalu mengecup puncak kepalanya.
Setelah mereka semua keluar, Aziya bangkit dari tempat tidurnya. Mendorong tiang infusnya, dan berjalan ke sebuah pintu yang diyakini sebagai kamar mandi.
Aziya memandang pantulan wajah nya di cermin. Tidak ada yang berubah, wajah nya persis seperti wajah di tubuh aslinya. Hanya saja wajah ini tampak kusam dan kasar. Rambutnya lepek seperti tidak pernah di rawat.
Dan satu lagi matanya,mata Azira berwarna coklat terang sedangkan dia berwarna biru laut. Mungkin dia akan berpikir kalau ini dirinya karena terlalu mirip. Bukan mirip lagi sama persis malahan.
"Apa ada orang yang semirip ini?"
Apa karena itu dia masuk ke raga ini? Bagaimana raganya di sana? Apakah dia sudah meninggal? Apakah dia bisa kembali ke raga aslinya? Dan kemana jiwa tubuh ini?
Banyak pertanyaan di benak Aziya, membuat kepalanya pusing. Aziya membasuh wajahnya,dan kembali ke atas bad. Dia butuh tidur untuk menjernihkan kepalanya, lagi pula badannya masih sakit untuk banyak bergerak.
Dia juga harus mencari tau kenapa bisa berada di sini dan apa tujuannya.
...~ Transmigrasi Aziya ~...
Satu Minggu kemudian
Tidak terasa sudah satu Minggu dia berada di raga ini. Aziya sekarang sedang berbaring di brangkar rumah sakit dengan di temani Zero.
Hari ini Aziya sudah boleh pulang, tetapi dia harus banyak istirahat di rumah. Dokter menjelaskan kepada keluarganya bahwa dia hilang ingatan sementara. Aziya juga tidak berniat untuk menjelaskan yang sebenarnya,dan juga ingatan Azira belum semuanya dia dapat. Jadi biarkan dia bermain-main sebentar sambil mencari raga aslinya.
Arion sedang mengurus administrasi, sedangkan Brianna, Mama Azira mengemas pakaian Aziya ke dalam tas.
Kalau tidak ada ingatan Azira, mungkin dia akan tertipu dengan ketulusan Brianna.
Kakak pertama Azira tidak bisa datang karena ada rapat penting di kantor, padahal alasan yang sebenarnya tidak ingin melihat Azira. Kakak ke dua serta kembarannya berada di sekolah.
"Aaa.." Aziya menerima buah jeruk yang sudah di kupas kulitnya oleh Zero.
Bocah kelas lima SD itu tidak mau sekolah karena ingin menemani Aziya.
Mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka, terlihat Arion muncul dari balik pintu dengan menggunakan kemeja biru kotak-kotak dan lengan yang di gulung se siku.
"Sudah siap semua?"
Brianna mengangguk,"sudah mas."
"Ayo kita pulang."
Arion membantu Aziya turun dari brangkar, padahal Aziya sudah merasa baik-baik saja. Lalu mereka keluar dengan Aziya diapit Arion dan Brianna sedangkan Zero di gandeng Brianna.
Arion sangat perhatian, Aziya jadi teringat dengan Daddynya. Daddy Aziya juga perhatian, walaupun tidak di tunjukkan dihadapan Aziya tapi Aziya tau Daddynya sangat sayang kepadanya, walaupun sikapnya dingin.
Aziya juga memiliki satu orang kakak laki-laki seumuran dengan kakak laki-laki azira. Sifatnya sebelas dua belas dengan Daddynya.
Daddy dan kakaknya sangat posesif dan overprotektif kepadanya. Sejak kecil dia selalu di lindungi, bahkan Daddynya menyewa bodyguard untuk mengawasinya dari jauh. Aziya tidak bisa membayangi kalau mereka tau kalau dia diselingkuhi, entah apa yang akan mereka lakukan pada Gino.
"Azira ayok masuk." Karena terlalu asik memikirkan Daddy dan kakaknya, Aziya jadi tidak sadar bahwa sudah sampai di mobil.
Mobil mulai melaju meninggalkan gedung rumah sakit. Aziya memandang hamparan gedung-gedung di ibukota Jakarta tempat kelahirannya sebelum dia pindah ke Belanda. Ternyata dia bertransmigrasi sejauh itu.
Tidak terasa, mobil sudah memasuki pekarangan rumah yang cukup mewah. Brianna membantu Aziya untuk keluar dari dalam mobil. Aziya hanya mengikuti langkah Brianna hingga ia masuk kedalam sebuah kamar yang berwarna pink putih, sungguh warna kamar membuat mata Aziya sakit, kamarnya dulu berwarna hitam abu-abu. Aziya sama sekali tidak suka dengan warna yang mencolok. Sepertinya dia perlu merombak kamar ini.
Wajah Brianna yang awalnya terlihat sangat lembut berubah datar saat mereka hanya berdua dikamar. Aziya hanya menatap sekilas ia tau wanita ini sangat tidak menyukai anaknya, yang bernama Azira itu.
"Jangan besar kepala ya, kalau bukan karena suami saya, saya nggak bakal sudi rawat kamu!"tukas Brianna tajam, Aziya mendelik kesal.
"Harusnya mama nggak perlu repot-repot, Zira nggak butuh."
Brianna terdiam, selama ini Azira tidak pernah berani melawannya, jangankan melawan menatap nya saja dia tidak berani. Kenapa sekarang dia sangat berani, bahkan tatapan Azira sangat berbeda.
"Jangan karena ada papa kamu berani ngelawan saya!"Aziya memutar bola matanya males.
"Mama keluar aja Zira mau istirahat."Brianna mendengus dan setelah itu melangkah Keluar kamar Azira.
Aziya memandangi keseluruhan kamar ini, cukup luas. Tapi ia akan merubah warna kamar ini, lama-lama matanya bisa buta terus menatap warna kamar yang mencolok.
Aziya beralih membuka pintu walk in closet. Ia menatap seluruh pakaian milik tubuh ini yang kelihatan sangat usang seperti baju bekas saja, Aziya menatap salah satu baju yang ia yakin itu baju sekolah.
Kepala Aziya terasa sangat pusing setelah melihat baju ini. Aziya memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, selintas penglihatan melintas di ingatan Aziya dimana baju ini didapat dari bekas Azura, kembaran Azira.
Saat itu seragam sekolah Azira sobek karena mendapat bullying. Ia meminta dibelikan seragam sekolah baru, tapi Brianna malah membelikan Azura seragam baru dan memberikan seragam Azura kepada Azira karena waktu itu seragam Azura sedikit sobek, alhasil seragam Azura yang sobek dijahit dan diberikan ke Azira.
Aziya menatap sinis seragam itu dan membuangnya ke tong sampah. Sungguh ia tidak sudi memakai barang milik si sampah.
Aziya mengalihkan pandangannya saat pintu balkon berbunyi, seperti ada yang mengetuk, tapi bagaimana mungkin ada orang di balkon kamar Azira.
Aziya berjalan perlahan menuju pintu balkon, dengan mengambil ancang-ancang Aziya membuka pintu itu secara perlahan. Ia dapat melihat seorang pemuda berdiri disana sambil tersenyum kearahnya.
Aziya mengerutkan alisnya, siapa pemuda ini?
"Lo siapa?"
Pemuda dihadapan nya itu tersenyum kecil, ia sudah tau kalau Azira mengalami amnesia.
"Your boyfriend."
Aziya mengetuk pintu ruang kerja papanya setelah mendengar seruan dari dalam, dia membuka pintunya. Terlihat Arion yang sedang berkutat dengan berkas-berkasnya.
Arion mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis ketika Aziya menghampirinya.
"Kenapa sayang? kamu belum tidur?" Arion meminta Aziya untuk duduk di sofa lalu tidak lama setelah itu dia menyusul.
"Belum, papa ada yang mau aku omongin."
"Apa sayang?"
"Aku mau beli seragam baru."
Arion mengernyitkan dahinya,"Emang seragam kamu kenapa? bulan lalu kamu baru minta seragam baru?"
Arion ingat dulu Azira menelponnya untuk minta dibelikan seragam baru. Saat Arion tanya seragam yang lamanya kenapa, Aziya menjawab seragamnya robek karena terkena paku. Waktu itu Arion memang tidak ada di rumah, dia cukup sibuk mengurus perusahaannya.
Arion juga sering keluar kota bahkan negeri untuk kerja, segala urusan rumah dia percayakan pada istrinya. Seharusnya Arion masih berada di luar negeri sekarang tapi ketika mendengar kabar Azira masuk rumah sakit dari pembantunya yang sudah lama bekerja dengannya tanpa pikir panjang arion langsung pulang ke indonesia, untuk urusan kerjaan dia meminta sekertaris nya untuk menghandle terlebih dahulu.
Aziya tidak menjawab dia langsung memberikan seragam kumuhnya pada Arion. Arion menajamkan matanya, seragam ini sudah tidak layak pakai bahkan ada bekas jahitan. Warnanya pun sudah memudar, Brianna bilang dia sudah membelikan seragam baru untuk Azira tapi kenapa sudah menguning? Kalau baru beli pasti tidak akan seburuk ini? Arion harus berbicara dengan Brianna.
"Ya sudah nanti papa akan meminta bibi untuk beli kan kamu seragam baru."
"Gak usah pa, biar nanti aku saja yang beli. Sekalian aku juga mau beli pakaian santai, karena pakaianku sudah gak bisa dipakai semua. Terus aku juga mau beli perlengkapan mandi, waktu aku mandi di kamarku gak ada apa-apa bahkan aku mandi gak pakai sabun, rambutku juga lepek karena gak pakai sampo, aku juga gak gosok gigi, uang juga gak punya.."
Aziya menundukkan kepalanya dalam hatinya dia tersenyum miring sepertinya rencananya berhasil. Brianna memang tidak memberikan semua itu, tapi bukan berarti Azira tidak punya, dia punya perlengkapan mandi, dalam penglihatan Aziya, Azira mendapatkannya bukan dari brianna, tapi ada seseorang yang memberikannya, meskipun Aziya tidak tau orangnya.
Arion lihat memang Azira tidak pernah merawat dirinya. Sempat dia tanyakan pada istrinya tapi katanya Azira sendiri yang tidak ingin untuk merawat dirinya, Arion juga menanyakan pada Azira dan jawaban Azira sama seperti istrinya. Arion tidak mempermasalahkan kalau itu membuat Azira senang dia ikut senang.
Arion tidak tahu bahwa Azira tidak memiliki semua itu, bahkan pasta gigipun dia tidak punya. Azira juga jarang beli pakaian karena dia lebih mementingkan apa yang diperlukan nya dulu.
Arion juga pernah membelikan dia pakaian, sering malahan tapi akhirnya baju itu dipakai Azura. Putrinya bilang dia tidak suka baju itu tapi ketika Arion mengajak Azira beli baju yang dia sukai tetapi dia menolak. Akhirnya Arion memberikan uang untuk Azira membeli baju.
Apakah selama ini Brianna berbohong padanya?
Aziya mengangkat kepalanya," kalau papa nggak punya uang, beli seragam aja dulu yang lain besok-besok aja, nanti aku bisa pinjam punyanya Zura."
Arion tersenyum lembut, mengusap kepala putrinya."Besok Papa temenin kamu belanja, kamu bisa beli apapun yang kamu mau nggak usah mikirin uang. Papa kan kerja buat anak-anak Papa."
"Beneran pa?"
Arion mengangguk," Iya sayang."
" Yeay!" Azira bersorak lalu memeluk Arion. Arion pun dengan senang hati membalasnya.
"Terima kasih Papa..."
"Sama sama sayang. Sekarang kamu masuk kamar, cuci muka, cuci kaki, terus langsung tidur ya."
"Baik Papa."
Arion mengulas senyumnya melihat putrinya yang sudah ceria seperti dulu. Arion mengecup puncak kepala Aziya. Aziya bangkit dan berjalan keluar, tepat setelah pintu tertutup Arion memudarkan senyumnya.
"Sepertinya mulai sekarang aku harus mengawasi mereka."
...~ Transmigrasi Aziya~...
Arion dan Aziya sudah berada di pusat perbelanjaan, di kedua tangan Arion penuh dengan paper bag sedangkan Aziya hanya membawa beberapa paper bag, atas permintaan Arion.
Mereka sudah mengelilingi mall cukup lama. Setelah membeli keperluan Aziya seperti pakaian, skincare dan banyak lagi. Arion sangat memanjakan Aziya buktinya dia membelikan apapun yang Aziya mau tidak peduli harganya berapa yang penting Aziya suka.
Setelah selesai berbelanja, mereka singgah di restoran cepat saji untuk makan siang. Selesai makan, mereka memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah,
"Bik, tolong bawa ini ke kamar Zira ya."
"Baik tuan." Wanita kepala empat itu mengambil paper bag yang di berikan Arion.
"Terimakasih bik." Ucap Aziya saat bik Mirna sudah selesai meletakkan paper bag itu di atas ranjang.
"Sama-sama non.." Bibi tersenyum lembut.
"Kenapa bi?" Tanya Aziya di saat bi Mirna terus menatapnya lembut.
"Gak papa non,bibi hanya senang." Melihat raut bingung anak majikannya itu, bi Mirna menjelaskan." Bibi seneng kalau non Zira bisa terbuka sama tuan?"
"Emang dulu aku gak terbuka?" Tanya Aziya, padahal dia sudah tau jawabannya.
Bi Mirna maklum, karena nonanya ini hilang ingatan.
"Dulu non selalu menutup diri dari tuan, non Zira nggak pernah bilang tentang masalah yang non alami. Non juga tidak mau di ajak pergi sama tuan." Jelas bi Mirna.
'Karena dia di ancam!'
Azura selalu mengancam Azira, kalau dia menerima ajakan Papanya. Maka Azura akan mengadu pada Brianna dan memfitnah Azira, bahwa Azira telah menyakitinya. Akhirnya Brianna marah dan memukuli Azira. Arion tidak pernah tau, karena mereka melakukannya di belakang Arion.
Setelah itu bibi pamit dan berjalan keluar kamar.
Aziya memutuskan untuk mandi karena badannya sudah lengket dan berkeringat. Aziya mengambil pakaian dari paper bag, ia memilih pakaian santai untuk di pakainya. Lalu mengambil body care dan hair care, setelah itu masuk ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, Aziya sudah selesai dengan acara mandinya. Ia memakai baju dan keluar dari Walk in closet. Mata Aziya menajam saat barang-barang yang di belikan Papanya berserakan di lantai.
Aziya melihat Azura memegang dressnya.
"Beraninya lo!"
Aziya menepis tangan Azura lalu merebut dressnya. Azura tersentak, belum selesai dari keterkejutannya tepisan Aziya membuat tangannya sakit. Aziya tidak main-main mengeluarkan tenaganya.
"Keluar lo dari kamar gue!" Bentak Aziya.
Aziya paling tidak suka jika barang-barangnya di sentuh tanpa seizin nya. Apalagi dengan orang seperti sampah ini.
Azura terkejut.
Sejak kapan dia berani?
"Gue bilang keluar!"Azura menormalkan rasa terkejutnya. Ia menatap remeh Aziya.
"Jangan karena ada papa lo sok berani ya!"Aziya menatap Azura semakin tajam, perempuan sampah ini sangat menyebalkan.
"Terserah! Gue nggak mau ada sampah dikamar gue, PERGI!"
"Sialan! Awas lo!"dengan kesal Azura pergi sambil menghentakkan kakinya, liat saja apa yang bakal dia lakukan.
Setelah kepergian Azura, Aziya menghela nafas panjang dan membereskan semua barang yang berserakan, salah satu dress yang dipegang Azura tadi Aziya sisihkan. Aziya mengibaskan dress itu seakan banyak debu yang menempel disana. Sepertinya dia harus mencuci dress ini dengan kembang tujuh rupa.
"Azira!"
Aziya berdecak kesal, ia menatap Brianna dan Azura membuka pintu kamarnya dengan kasar.
"Anak sialan! Apa lagi yang kamu lakuin sama anak saya?!"
Aziya hanya menaikkan bahunya acuh dan meletakkan dress yang ia pegang tadi diatas ranjang.
"Ma, tadi Zura cuma pinjam baju Zira yang dibeliin papa. Bajunya banyak banget ma tapi dia nggak mau." Lirih Azura sambil memeluk Brianna. Brianna menatap Aziya semakin tajam.
Bukan karena apa-apa, dress yang Azura pegang tadi itu dress yang sangat ia mau dari dulu, dulu dress itu belum ada di Indonesia. Azura sangat menantikan nya, tapi malah Azira yang membelinya terlebih dahulu.
"Kamu itu dari dulu memang nggak tau diri ya! apa salahnya dengan baju sebanyak itu kamu berbagi?!"
Aziya hanya menatap Brianna datar tanpa berniat membalas ucapannya, tapi pergerakan Azura yang berniat mengambil dress di ranjang membuat emosinya benar-benar naik, sudah ia bilang, Aziya sama sekali tidak suka barangnya disentuh!
"Berani lo sentuh! Gue patahin tangan lo!"Azura yang hendak mengambil dress itu terhenti mendengar ucapan tajam Aziya.
Azura menatap Brianna dengan tatapan yang dibuat semenyedihkan mungkin, melihat itu Brianna semakin naik pitam.
Brianna menjambak rambut Aziya dengan emosi yang memuncak. Aziya sama sekali tidak meringis beda dengan Azira dulu yang malah menangis. Di kehidupan sebelumnya Aziya sudah diajarkan berbagai macam bela diri, tentu dengan tenaga perempuan lemah ini tidak ada apa-apanya bagi Aziya.
"Berikan dress itu ke Zura! Papa kamu udah beliin kamu banyak pakaian, Zira!"Aziya melepas kasar tangan Brianna yang menjambak rambutnya, sungguh perbuatan Aziya membuat Brianna lagi-lagi terkejut.
"Saya nggak mau Mama!"ucap Aziya dengan menekan kata mama, Brianna mengerjap, Azira tadi membentaknya?
"Ada apa ini?" Arion yang ingin ke kamar, terhenti karena mendengar keributan di kamar Aziya.
Ketiga perempuan itu menatap kearah pintu dimana ia melihat Arion disana. Mereka semua mengubah raut wajah yang tegang tadi menjadi sok menyedihkan termasuk Aziya.
"Papa, Zura pengen dress kaya Zira, Zira nggak mau pinjemin. Lagi pula dress itu kayaknya kebesaran buat Zira." Arion menatap Aziya yang hanya menunduk, tanpa memperdulikan ucapan Azura ia berjalan mendekati Aziya.
Senyum kemenangan terlihat di wajah Azura tapi senyum itu luntur saat Arion malah berucap lembut kepada Aziya.
"Itu dress Zira pa, Zira nggak mau Zura ambil."cicit Aziya pelan. Arion tersenyum kecil dan mengelus puncak kepala Aziya.
Arion berbalik menatap Azura."kamu bisa beli dress lagi Zura, lagian selama ini baju yang papa kasih buat Zira kamu yang pake kan? Zura sama sekali nggak pernah memakai pakaian baru."
Melihat Azura yang menunduk akhirnya Brianna angkat suara.
"Mas ini apa-apaan sih, pakaian Zira banyak, apa salahnya bagi Zura satu aja? Jangan membeda-bedakan mereka mas.." Aziya yang mendengarnya berdecih sinis, padahal dia sendiri yang membedakan anaknya.
"Aku nggak pernah membedakan mereka, justru aku curiga sama kamu. Semua pakaian Zura terlihat bagus, kenapa semua pakaian Zira usang dan perlengkapan mandi sama sekali nggak ada, kemana kamu selama ini? Kenapa bisa pasta gigi aja nggak ada?"
Brianna terdiam membisu, semenjak hilang ingatan kenapa Azira menjadi anak yang pintar sekali mengadu kepada papanya, dasar anak sialan!
"Karena Zira sama sekali nggak mau!" Arion menghela nafas kasar.
"Kalian keluar aja Zira capek"Arion beralih menatap Aziya dan tersenyum lembut.
"Yasudah, kamu istirahat ya sayang. Kalau takut dress nya diambil Zura kamu bisa umpetin." Mendengar itu Aziya tersenyum mengejek kepada Azura yang terdiam.
"Zura balik ke kamar kamu!"
Arion beralih menatap Brianna."Brianna, ikut aku!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!