Kabut pagi masih menyelimuti sebuah lembah pedesaan yang asri, ketika bus tua itu mendecit ngerem. Sentakan kasar itu membuat Bagus terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. "Banjaran, ngiring tuun! (ayo turun)" teriak kondektur bis dengan logat Bali yang kental.
Bagus mengusap wajahnya yang masih tampak lelah, pipinya masih kerasa dingin karena menempel di kaca jendela bis yang ia tumpangi. Dan selama 4 jam perjalanan dari Denpasar, pipinya itu terus menempel dan terkadang terantuk kasar di jendela bis.
Di luar bis, di sebuah terminal bis, pepohonan beringin raksasa tampak berbaris seperti penjaga bisu. Akar-akar panjangnya menjuntai seperti tangan-tangan besar yang mencengkeram tanah.
Bagus mengeluarkan buku jurnalnya yang disampul kulit hitam, mencoretkan sebaris kalimat pertama. kalimat itu beebunyi, "Kedatangan. Udara di sini terasa jauh berbeda. Berat."
Desa Banjaran tersembunyi di balik lereng bukit, jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas dan turis. Jalanan sempit nan sepi, yang hanya dilalui sesekali oleh wanita tua dengan sampah nasi di atas kepalanya tampak berjalan menuju pura. Bau dupa dan bunga melati menyatu dengan aroma tanah basah sehabis hujan, menciptakan wewangian sakral yang langsung merasuk.
Bagus, dengan kemeja kotak-kotak dan ransel berisi buku-buku antropologi miliknya, merasa seperti makhluk asing yang mengotori kesucian tempat ini. Tujuan penelitian skripsi S2nya tentang "Dinamika Kosmologi dalam Masyarakat Bali Aga" tiba-tiba terasa sangat ambisius dan naif. Seperti sengaja menorehkan arang di secarik kertas yang putih bersih.
Bagus disambut oleh Kepala Desa, namanya Made Tulus, di sebuah balai dari bambu yang tampak sederhana. Wajah Tulus ramah tapi matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik Bagus.
"Selamat datang, Mas Bagus. Kami dengar kamu mau meneliti adat kami, ya?" tanya Tulus, sambil menyodorkan secangkir teh jahe yang masih hangat. "Tapi ingat satu hal, di Banjaran, tak semua yang terlihat boleh kamu catat. Ada rahasia yang lebih dibiarkan dan tidak diusik dari tidurnya." ucap Tulus memperingati Bagus.
Bagus mengangguk, mencoba terlihat sopan. "Saya hanya tertarik pada upacara, upakara, adat, budaya, dan kepercayaan saja, Pak. Tidak lebih kok" terang Bagus panjang lebar. Dan memang begitu alasan dia datang dan meneliti desa Banjaran.
"Baik. Bagus itu hehehe," ujar Tulus sambil terkekeh. "Kamu bisa menginap di rumah keluarga Wayan. Lokasinya dekat dengan pura desa. Tapi, jangan keluar malam-malam ya! Kabut di sini bisa menyesatkan." nasehat Tulus.
Bagus kembali mengangguk. Tapi yang namanya peneliti, tentu di dalam hatinya terbersit berbagai macam pertanyaan. Kenapa? Bagaimana? Dan tentu saja, Apa alasannya?
Rumah keluarga Wayan adalah sebuah bangunan tradisional dengan pelinggih atau sanggah (pura kecil) yang terletak di halaman. Yang menyambut kedatangan Bagus adalah seorang gadis dengan mata sebening embun pagi. Dia mengenakan kain tradisional Bali (kamen) dan selendang merah yang kontras dengan kulitnya yang pucat.
"Saya Marni. Ayah saya sedang ke kebun," ucapnya lembut sambil membantu membawakan ransel Bagus. Suaranya seperti desiran angin melalui daun pisang.
Bagus tersenyum. Dalam hatinya dia berpendapat, ternyata benar kata orang, bahwa orang Bali itu ramah, asal jangan disenggol duluan. Karena mereka pun pasti mempertahankan apa yang menjadi milik mereka.
Kamar yang disediakan untuk Bagus terlihat sederhana, berhadapan langsung dengan hutan yang ada di belakang rumah. Saat meletakkan barang miliknya, pandangan Bagus tertarik pada sebuah ukiran kayu yang menempel di dinding. Sebuah bentuk manusia dengan wujud yang tidak sempurna, seperti sedang menjelma atau berubah menjadi bentuk lain. Bentuk yang... Mmm, agak menyeramkan.
"Itu Penunggu Pelinggih," bisik Marni, tiba-tiba gadis itu ada di belakang Bagus. "Sosok penjaga. Kamu jangan terlalu lama menatapnya." saran Marni.
Bagus mengerutkan keningnya, heran. Kenapa? Mulai dah insting S2nya beraksi. "Ini kan cuma ukiran kayu." sanggahnya.
Marni tersenyum samar. Dia kemudian berkata, "Di Banjaran, apa pun yang tak terlihat, mereka sama nyata dan sama eksistensinya dengan yang terlihat, Mas." terang Marni, lembut.
Di malam pertama itu, Bagus terbangun oleh suara gamelan. Bunyinya sayup-sayup. Nadanya tidak riang, melainkan sendu dan berirama tidak menentu, seperti musik untuk orang yang hilang. Ia mendekat ke jendela. Kabut tebal yang menyelimuti membuat pandangannya tak jelas.
Tapi di kejauhan, di antara pepohonan, Bagus melihat cahaya obor yang bergerak-gerak. Bagus yakin itu adalah sebuah prosesi. Ritual, tepatnya. Bagus pun teringat akan larangan Tulus. Tapi rasa ingin tahunya, darah seorang peneliti, mengalahkan segalanya. Diam-diam, Bagus mengambil senter dan kamera kecil di sakunya.
Dari balik semak-semak pakis di tepi hutan, Bagus menyaksikan sekelompok orang melakukan ritual. Mereka mengenakan pakaian adat berwarna gelap, bukan warna cerah yang biasa Bagus lihat. Di tengah-tengah mereka, seorang pria tua, tepatnya seorang balian (dukun), tampak mengayunkan sebuah wadah dari tembikar yang mengeluarkan asap. Dan hal yang membuat bulu kuduk Bagus berdiri adalah para peserta ritualnya tidak melantunkan mantra, tetapi terdengar seperti bisikan-bisikan panik dan ketakutan. Mereka bukan sedang memuja, mereka sedang MENENANGKAN sesuatu.
Tanpa Bagus duga, sang balian tua menoleh ke arah persembunyian Bagus. Meski gelap dan berjarak cukup jauh, Bagus yakin mata tua itu menatap tepat ke arahnya. Seperti sebuah peringatan tanpa kata. Bagus mundur terburu-buru, jantungnya berdebar kencang. Saat dia berpaling, hampir saja Bagus menabrak seorang pemuda dengan wajah kesal menatap Bagus naik turun.
"Kau lihat sesuatu yang bukan urusanmu, pendatang!" geram pemuda itu. Pemuda itu bernama Komang, tetangga yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik Bagus.
"Aku cuma penasaran," ucap Bagus, mencoba tetap tenang.
"Pengetahuan yang salah kadang bisa membunuhmu," Komang mendesis sebelum menghilang dalam kabut.
Bagus pun kembali ke kamarnya, tubuhnya masih gemetar. Dua kali dia dipergoki mengintip. Itu pasti hanya sugesti, ucapnya pada diri sendiri. Mungkin faktor kelelahan jadi dia berimajinasi. Tapi ketika Bagus mencoba tidur, dia bermimpi aneh.
Dalam mimpinya, Bagus berdiri di tengah hutan yang sama, bersama seorang gadis yang membawa selendang merah. Gadis itu Marni. Dia berdiri membelakangi Bagus. Dalam mimpinya itu, Marni sedang bercakap-cakap dengan bayangan hitam tinggi yang tidak memiliki wajah.
Bayangan itu menoleh lalu...
Bagus pun terbangun. Dia tersentak kaget dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Suara gamelan sendu itu masih terdengar sayup-sayup di telinga Bagus, menyelimuti desa Banjaran yang tak pernah benar-benar tidur.
Bagus menghela nafasnya kasar. Ada apa dengan desa ini? Baru datang saja, vibes dan atmosfernya terasa berat. Seolah-olah menekan Bagus agar pergi dari desa Banjaran. Megedi! (pergi!). Kata yang sempat dia dengar dari sosok bayangan di dalam mimpinya.
*
Pagi pun datang dengan secercah sinar mentari pagi yang lembut namun terhalang kabut tipis. Pemandangan yang menenangkan sanubari dengan para penduduk desa Banjaran yang mulai aktif di sawah dan ladangnya di pagi hari. Semua itu menjadikan Banjaran seperti lukisan 3 dimensi yang tampak memukau.
Sayangnya, setelah bangun tidur, Bagus disibukkan dengan rasa takut yang berasal dari malam sebelumnya. Masih melekat erat di ingatannya, seperti embun pagi di rumput. Bagus menggerakkan lehernya yang sedikit kaku lalu melangkah keluar kamar menuju dapur.
Bagus menemukan Marni sedang sibuk di sana. Di sebuah dapur tradisional khas Bali. Perpaduan antara modernisasi kompor gas serta tungku perapian di bagian belakang dapur. Bau angit asap dari kayu bakar pastinya menambah cita rasa di setiap masakan. Gadis itu tampak sedang menyiapkan sarapan. Selendang merahnya dia lilitkan di pinggang.
"Tidurmu nyenyak?" tanya Marni sambil melirik ke arah Bagus.
Bagus hanya mendesah dan mengusap wajahnya kasar. "Tadi malam..." Bagus memulai, sambil dia mengamati reaksi Marni. "Ada ritual, ya? Di hutan dekat sini?" tanya Bagus hati-hati.
Marni terdiam sejenak, sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk bubur yang meletup-letup di dalam panci. "Ritual itu, namanya Mecaru," jawab Marni singkat tanpa menoleh. "Mecaru itu adalah sebuah ritual penyeimbang. Dan tidak boleh dilihat atau disaksikan orang luar desa Banjaran." terang Marni lagi.
"Tapi kenapa ya, kok rasanya, agak berbeda? Suasananya menurutku agak menakutkan." tanya Bagus heran.
"Karena apa yang mereka seimbangkan memang merupakan sesuatu yang menakutkan, Mas." Marni akhirnya menjawab sambil menatap Bagus.
Mata Marni yang bening itu terlihat sangat kelelahan, seperti yang tidak tidur semalam suntuk.
"Kadang, untuk menahan kegelapan agar tidak menyergap kita, maka kita harus memahami bahasa MEREKA yang juga datang dari kegelapan." terang Marni lagi.
Bagus masih penasaran. Satu hal. Satuuuu lagi, agar menjawab setengah rasa penasarannya. "Jadi, mecaru itu adalah cara kalian untuk berkomunikasi? Begitu?" tanya Bagus.
Marni hanya tersenyum menjawab pertanyaan Bagus. Dan pria itu, hanya mengangguk tanda paham.
Setelahnya, Bagus memutuskan untuk tidak mendesak Marni. Sehabis sarapan, Bagus pun mulai mengeksplorasi desa. Ia datang ke Pura Desa, sebuah bangunan dengan arsitektur megah dihiasi dengan ukiran yang sangat rumit. Di sana, di Pura Desa, Bagus bertemu dengan seorang nenek tua yang sedang menata canang sari (sarana persembahyangan). Bagus menyapa nenek itu dan memperkenalkan diri.
"Saya Ni Luh Pertiwi," katanya dengan suara parau. "Kau anaknya Ratna, bukan? Wajah kalian sangat mirip." ucap nenek itu sambil menelisik wajah Bagus.
Bagus pun terkesiap. "Ibu kenal mama saya?" tanya pria itu tak percaya.
"Semua orang yang pernah tinggal di Banjaran pasti meninggalkan jejaknya," jawab nenek itu sambil tersenyum samar.
"Kau harus hati-hati, anak muda. Jejak ayahmu juga masih tersimpan di sini." ucap nenek Pertiwi lagi.
Sebelum Bagus sempat bertanya lebih banyak, sang nenek telah berlalu pergi, meninggalkan Bagus dengan segudang pertanyaan di benaknya dan teka-teki baru.
Rasa penasaran membuat Bagus meneruskan perjalanan ke pinggir hutan desa Banjaran, tempat di mana dia menyaksikan ritual Mecaru, tadi malam. Daun-daun basah menempel dan membasahi celananya. Di balik sebatang pohon beringin tua, sesuatu yang putih mencolok tampaknya menarik atensi Bagus. Dia lantas mendekat. Sesampainya Bagus di sana, nafasnya tercekat. Bagus menatap di sana. Ada kerangka manusia, bersih dan tampak sengaja ditaruh, ditidurkan di atas batu datar. Kerangka manusia itu, bukanlah kerangka tua yang sudah menguning, tapi masih tampak sangat baru. Dan di dahi tengkorak itu, Bagus melihat goresan aneh yang menyerupai simbol yang pernah dia lihat pada ukiran kayu di kamarnya.
Dengan tangan gemetar, Bagus mengeluarkan kamera dari sakunya lantas memotret kerangka manusia tersebut. Bagus pikir, hal ini pasti ada penjelasan logisnya. Mungkin ini kerangka manusia dari upacara Ngaben yang salah diletakkan di sini. Tapi naluri penelitinya berkata lain.
Saat ia berbalik hendak pergi, Mang Dirga, sang dukun tua dari ritual Mecaru tadi malam, sudah berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya penuh keriput seperti peta kehidupan dirinya yang penuh lika-liku.
"Kau menemukan si penjaga hutan," kata Mang Dirga, suaranya dalam dan tenang. Dia tidak marah.
"Ini... ini kerangka manusia, kan?" tanya Bagus dengan suaranya bergetar.
"Itu bentuk duniawinya saja. Jiwanya sudah lama pergi. Kerangka ini adalah peringatan untuk mereka yang ingin mengganggu ketenangan kami." ucap Mang Dirga masih dengan nada suara yang tenang.
Namun, mata Mang Dirga menatap tajam pada Bagus. "Kau datang untuk meneliti, tapi yang kau cari bisa jadi adalah kuburan massal dari rahasia desa kami, anak muda." kalimatnya yang satu ini seperti teguran bagi Bagus.
"Apa bapak tahu sesuatu tentang ayah saya?" tanya Bagus. Dia teringat perkataan nenek Pertiwi yang mengenal ibunya.
Setiap kerutan di wajah Mang Dirga kini terlihat semakin mengeras. "Keluarga Marni telah menjagamu sejak kau datang. Tapi bahkan mereka tidak bisa melawan takdir darahnya sendiri. Ayah Marni, Pak Wayan, pergi ke hutan tiga malam yang lalu dan tidak kembali. Kami sudah mencarinya."
Bagus merasa dingin mengalir di tulang punggungnya. Ayah Marni menghilang? Lalu ada kerangka manusia misterius yang tergeletak di dekatnya. Bagus menangkap semua itu sebagai sebuah peringatan.
"Sekarang," ucap Mang Dirga, mendekat, "Leak sudah tahu keberadaanmu. Mereka tertarik pada energi baru, terutama energi mereka yang tidak percaya, seperti kamu. Karena rasa tidak percayamu itu adalah pintu masuk mereka." terang Mang Dirga setengah berbisik.
"Leak? Bukannya itu hanya mitos, ya? Sebuah dongeng pengantar tidur!" ucap Bagus dengan segala logikanya.
Mang Dirga mengeluarkan secarik daun lontar dari sakunya. "Bacalah ini ketika kau sendirian nanti. Tapi ingat, beberapa pengetahuan, sekali kau tau, tidak akan pernah bisa dilupakan."
Mang Dirga menepuk pundak Bagus dan berbalik pergi, menghilang di antara pepohonan seolah-olah diserap oleh hutan itu sendiri.
Bagus berdiri terpaku, kerangka manusia di dekatnya, daun lontar di tangannya. Semua logikanya berperang dengan kenyataan ganjil yang mulai terungkap. Bagus kembali ke rumah Marni dengan langkah gontai. Rumah itu tampak sunyi. Marni ternyata sedang pergi bersama warga lain untuk ikut mencari sang ayah.
Di dalam kamar, dengan jantung yabg masih berdebar, Bagus membuka daun lontar itu. Di sana terdapat gambar-gambar simbolis dan tulisan Bali kuno yang hampir pudar. Satu kalimat terbaca dengan jelas oleh Bagus, "Siapa yang membangunkan Leak dari tidurnya, harus siap memberikan tempat tidur bagi jiwanya sendiri."
Malam itu, Bagus tidak berani menyalakan senter. Setiap bayangan yang bergerak membuatnya selalu terjaga. Dan ketika akhirnya dia tertidur, Bagus kembali bermimpi. Kali ini, dia melihat seorang perempuan cantik dengan mata bersinar seperti api biru, sedang berdiri di tepi jurang, memanggil namanya. Di belakangnya, ada bayangan hitam dengan jejak kaki seperti tangan yang mengarah ke belakang, berjalan mendekati Bagus...
*
Pencarian Pak Wayan yang hilang berlangsung selama tiga hari penuh, dan menyebabkan kelelahan serta kecemasan yang meresap ke setiap sudut desa Banjaran. Warga yang awalnya bersatu dalam harapan kini mulai terpecah belah oleh rasa takut dan kecurigaan.
Atmosfer desa Banjaran berubah drastis tidak lagi tenang dan bersahaja seperti biasanya. Kecurigaan yang sebelumnya tersembunyi kini menguar di udara, pekat seperti asap dupa wangi yang tak kunjung hilang.
Tatapan dan bisik-bisik warga terhadap Bagus semakin intens, seolah-olah pria itu adalah pembawa sial. Kedatangan Bagus seperti penyebab dari semua malapetaka yang menimpa desa mereka.
Ada salah satu pria yang merupakan pengurus Pura Desa pernah nyeletuk, dia berkata dalam bahasa Bali, "Ne be jlema ane ngaba sangkala dini! Cuih!" (ini dah orangnya yang membawa musibah di sini) ucap pria itu sambil meludah saat Bagus melewatinya.
Kini bahkan anak-anak yang dulu menyapa Bagus dengan senyum ramah, malah bersembunyi di balik badan ibu mereka, menatap pria itu dengan mata penuh waspada.
Komang, si pemuda pemarah yang sejak awal tidak menyukai kehadiran Bagus, kini tak lagi menyembunyikan rasa bencinya. Dia sengaja menghadang Bagus suatu sore di jalan setapak menuju rumah Marni. Wajah Komang terlihat bengis dan matanya menyala penuh amarah.
"Sejak kau datang, banyak masalah yang berdatangan di desa kami ini!" hardik Komang, suaranya tajam seperti sayatan pisau. "Pak Wayan menghilang. Lalu kau juga menemukan tengkorak. Itu semua bukan kebetulan!" ucap Komang lagi.
Bagus mencoba tetap tenang, meski dadanya bergemuruh menahan kesal karena dituduh. "Aku tidak pernah punya maksud jahat, aku hanya ingin membantu," kata Bagus, suaranya bergetar namun tegas.
"Bantuan terbaik darimu adalah pergi dari desa kami!" bentak Komang, dia mendekati Bagus dengan langkah mengancam. "Kau tidak mengerti apa-apa. Marni... dia sudah cukup menderita. Jauhkan dirimu darinya. Jangan menambah beban hidupnya lagi!" ucap Komang lantang.
Saat nama Marni disebutkan, hal itu terasa seperti tamparan keras bagi Bagus. Dia menyadari ada perasaan aneh yang tumbuh di hatinya sejak pertama kali bertemu gadis itu.
Bagus seperti ingin melindungi Marni, ada sedikit penasaran yang melebihi tuntutan penelitian akademis yang dia lakukan. Bagi Bagus, gadis itu bukan hanya subjek penelitian, tapi seseorang yang membuatnya merasa terikat, meski Bagus sendiri belum sepenuhnya memahami kenapa dia sampai berpikir demikian.
Malam itu, Bagus memberanikan dirinya menanyakan tentang Leak pada Marni. Mereka duduk di beranda rumah, ditemani cahaya lentera minyak yang berkelap-kelip tertiup angin dan suara hewan malam yang bersuara merdu.
Wajah Marni tampak pucat dan lesu, gadis itu kelelahan karena pencarian sang Ayah yang tak kunjung membuahkan hasil. Mata beningnya menerawang ke arah hutan yang gelap, seolah menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Leak itu bukan setan, Mas," bisik Marni pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Ibu bilang, mereka adalah jelmaan orang-orang yang tersesat karena ilmu hitam dan memiliki luka mendalam di hati mereka. Orang-orang ini terjebak di antara dua dunia karena ilmu hitam yang mereka pelajari, karena kutukan, atau pengkhianatannya sendiri pada Tuhan. Mereka sebenarnya menderita, dan penderitaan itu membuat mereka LAPAR." terang Marni panjang lebar.
"Lapar?" tanya Bagus bingung tapi mencoba memahami.
"Lapar akan zat kehidupan, lapar akan darah, lapar akan pengganti yang suatu saat nanti akan mewarisi ilmu hitam mereka, Mas. Mereka bisa mengganggu, menakut-nakuti, bahkan... mengambil nyawa, saat mereka merasa terganggu atau jika ada seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi pengganti mereka." terang Marni, lagi.
Marni menarik selendang merahnya lebih kencang, seperti ingin melindungi dirinya dari sesuatu yang tak terlihat. "Ayah... Dia pernah bilang padaku, di hutan Banjaran ada sesuatu yang terbangun. Dari sana sering muncul suara-suara aneh, atau bau busuk yang tiba-tiba menyengat penciuman. Saat itulah Ayah pergi untuk memeriksanya. Dan, sampai saat ini, Ayah belum kembali." ucap Marni dengan tatapan sendu.
Bagus menatap Marni dengan prihatin. "Kenapa kamu tidak pergi dari sini, Marni? Kamu masih muda. Kamu bisa memulai hidup baru di tempat lain."
Marni memandangnya, dan untuk pertama kalinya, Bagus melihat air mata menggenang di matanya. "Darah saya terikat di sini, Mas. Seperti kamu, meski kamu mencoba melupakannya."
Pernyataan itu membuat Bagus tertegun. Ia ingin bertanya lebih lanjut, namun belum sempat melakukannya, teriakan pecah dari ujung desa.
"Mereka menemukan sesuatu! Di gua dekat sungai!" teriak salah seorang warga desa.
Bagus dan Marni bergegas mengikuti kerumunan warga yang membawa obor. Suasana panik dan ketakutan terasa menyelimuti semua orang. Di mulut gua yang sempit dan gelap, tergeletak celengan tanah liat milik Pak Wayan. Benda itu pecah berantakan. Dan di sampingnya, tergeletak sobekan kain dari sarung yang biasa dikenakan Pak Wayan. Sobekan kain itu berlumuran lumpur dan sesuatu yang berwarna coklat kemerahan.
Mang Dirga, tetua desa yang dikenal memiliki pengetahuan tentang hal-hal gaib, sudah berada di lokasi. Dia memeriksa sobekan kain itu dengan wajah muram. "Ini bukan darah manusia," gumamnya, tapi cukup keras untuk didengar oleh Bagus. "Ini adalah tanda. Dia telah diambil."
"Pak Wayan diambil oleh siapa?" tanya Kepala Desa Tulus, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
Mang Dirga menatap langsung ke arah Bagus. "Oleh yang LAPAR." jawabnya.
Kata-kata itu menggema di kepala Bagus. Dia tidak bisa lagi menganggap hal ini hanya kebetulan atau kepanikan biasa. Ia menyaksikan langsung keputus-asaan di mata Marni, ketakutan primitif di wajah para warga desa, dan kenyataan mengerikan dari kain berlumuran "tanda" itu. Logikanya mulai retak, digantikan oleh rasa takut yang merayap pelan namun pasti.
Kembali ke rumah Marni, Bagus tidak bisa tidur. Dia duduk di lantai, memandangi daun lontar pemberian Mang Dirga. Dengan bantuan lampu senter, ia mencoba memecahkan kode tulisan kuno itu. Tangannya gemetar, matanya tampak lelah, namun tekadnya bulat. Satu frase lagi yang berhasil dia terjemahkan membuat darahnya membeku. Sebuah kalimat pun terbaca, "Leak Warisan tidak bisa lari. Darah memanggil darah."
Bagus tersentak ketika dia mendengar suara langkah pelan di beranda. Bukan langkah kaki manusia biasa, tapi seperti sesuatu yang diseret. Perlahan, Bagus mengintip dari celah jendela.
Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat bayangan panjang yang tidak berwujud, kepalanya terlalu besar, dan kakinya, jejak kakinya di tanah bukanlah jejak kaki manusia, tapi cap seperti telapak tangan yang terbalik, mengarah ke belakang.
Bayangan itu berhenti persis di depan pintu kamar Marni. Bagus, dengan jantung berdetak kencang, memberanikan diri membuka pintu.
Tidak ada apa-apa... Hanya angin malam yang dingin.
Tapi ketika ia menunduk, di depan pintu kamar Marni, ada secarik kertas kecil yang dilipat. Dengan gemetar, ia mengambil dan membukanya. Tulisan di dalamnya sederhana tapi membuat Bagus merinding.
"Dia adalah milik kami. Kau berikutnya."
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!