NovelToon NovelToon

Misteri 7 Sumur

BAB I RUMAH BERSARANG

     Wilujeung teupang wilujeung kepanggih malih, sinareng carios ingkang dipun medalakeun ing wanci puniki.

     Puja lan puji ingkang dumadi ingkang sampun nyukani nikmat lan anugrah sepepada.

     Sholawat sinareng salam dipun anugerahakeun dumateung junjungan Nabi Muhammad SAW, sinareng keluarga ughi sahabat sedaya.

     Kabuka ing salebete zaman ingkang dipun pakem , tumindak ing leulampah nira, harja ingkang diareul sempurna ing jaya kamulyan, sapta naba ing daleum kanugrahan alam, ampa ingkang jembar, gegana ingkang mayungi zaman, sigra mangso..........macapat ingkang tliti.

     Dalam perjalanan menuju sebuah daerah yang akan ia telusuri untuk mewujudkan sebuah nama yang kelak akan dikenang sepanjang zaman, ia mengatasnamakan dirinya dengan sebutan Sabdo.

    Sosok lelaki dengan tubuh tambun namun penuh kharisma dan tampak wajah yang sumringah dihiasi dengan keramahan dari jiwa yang telah menyatu dengan batinnya, Sabdo menuju sebuah warung di tepi jalan setapak.

    " Maaf ki sanak, ada teh tubruk tidak ya ?" tanya Sabdo sambil mengambil tempat duduk di dekat jendela.

     " Ada," jawab si pedagang warung ternyata laki-laki tua memakai pakaian kampret berwarna putih.

      Kakek pedagang warung itu kemudian membuat apa yang dipesan Sabdo, kemudian menyuguhkannya.

    " Ini teh tubruk nya, silahkan dinikmati ," kata kakek pedagang warung yang ternyata bernama Palon.

    " Maaf Kek, boleh saya bertanya sesuatu ?" kata Sabdo.

    " Boleh ki sanak, silahkan, semoga saya bisa menjawabnya, asal jangan yang aneh-aneh," seloroh kakek.

     " Begini Kek, perkenalkan nama saya Sabdo, mendengar cerita orang-orang di jalan waktu saya ke sini, apa benar di sini sering terjadi hal-hal aneh dari rumah kosong itu ?" tanya Sabdo.

    " Oh itu, dibilang begitu ya wajar saja ki sanak, soalnya rumah itu sudah lama ditinggal oleh pemiliknya, sudah puluhan tahun, ahli warisnya juga entah kemana, lama itu ki sanak," tutur kakek itu.

" Hmmmm....tapi kakek tahu siapa pemiliknya ?" kata Sabdo.

" Kalau tahu langsung sih tidak ki sanak, hanya dengar dari mulut ke mulut dan cerita orang tua, bahwa dulunya itu punya Lurah Sura, hanya itu saja ," kata kakek itu.

" Oh begitu, jadi dulunya itu punya Lurah Sura," gumam Sabdo.

" Ki sanak ini siapa dan tujuannya menanyakan itu, jangan-jangan ada hubungannya dengan pemilik rumah itu," tanya kakek seolah-olah penasaran dengan Sabdo.

" Kalau ada hubungan sih tidak Kek, cuma dulu itu Lurah Sura pernah mengamuk di daerah orang tua saya, terus dengan segala usaha, akhirnya Lurah itu dapat dihalau ," tutur Sabdo menjelaskan.

" Dimana itu ki sanak," tanya kakek.

" Di Mayapadha," jawab Sabdo.

" Oh....jadi ki sanak ini orang Mayapadha, iya betul, ada cerita bahwa Lurah Sura ingin menguasai daerah Mayapadha, tapi gagal, malah rakyatnya banyak yang mati, padahal tubuhnya besar-besar," kata kakek.

" Betul, saat itu saya belum ada Kek", jelas Sabdo.

Kemudian kedua orang itu terus berbincang-bincang sampai terkuak tujuan dari seorang Sabdo.

" Kalau begitu hati-hati saja ki sanak, takutnya ada sesuatu yang akan menimpah ki sanak," pesan kakek tadi yang bernama Palon.

" Terima kasih atas nasihatnya Kek, saya nanti akan selalu ingat nasehat itu," kata Sabdo seraya menghitung apa-apa yang dimakannya lalu membayar.

Tak terasa saat itu hari sudah masuk senja dan sebentar lagi gelap, sehingga Sabdo mencari tempat penginapan, yang pada akhirnya dapat juga, yaitu di rumah Ibu Bidara. Di tempat penginapan itu, Sabdo membaringkan tubuhnya, sementara pikirannya menerawang kemana-mana. Dalam benak Sabdo, terdapat rasa penasaran yang begitu mendalam, karena tidak bisa bertemu langsung dengan orang yang pernah memporak-porandakan daerah asal usulnya. Lama kelamaan matanya terpejam dan lelap dalam tidurnya.

Pagi itu, suasana Desa yang harmonis dan sangat indah pemandangannya, terdapat mata air dengan saluran yang saling berjajar menuju arah jatuhnya air itu, membentuk lengkungan yang elok dipandang mata, juga tampak bukit-bukit hijau yang saling menjulang di antara dataran rata, juga awan yang membentuk sebuah gumpalan dengan bentuk beraneka wujud, serta desiran angin yang menambah suasana sunyi penuh makna.

Sabdo memandang ke setiap sudut Desa itu, tampak para warga beraktifitas membuat kedamaian dan penuh kerja sama dalam kehidupan, banyak anak-anak terdengar suaranya sambil bernyanyi sesuai contoh dari si pengajar.

" Sudah bangun ki sanak," tanya Ibu Bidara sambil menjemur pakaian di bambu tergantung.

" Sudah Bu, rupanya Ibu begitu rajin , sekarang sudah menjemur pakaian," jawab Sabdo sembari memuji Ibu itu.

" Kalau mau sarapan, di warung ki Palon saja ki sanak, biasanya sudah buka waktu seperti ini," kaya Ibu Bidara memberitahu.

' Oh, iya Bu, nanti saya kesana sekalian mau ngobrol, soalnya ada sesuatu yang perlu dibicarakan," jelas Sabdo.

Selesai mandi, Sabdo menuju warung ki Palon, kebetulan di situ sudah ada dua orang yang sedang minum dan sarapan. Setelah memesan makanan, Sabdo duduk di dekat jendela, seperti biasa, ia menikmati makanan yang dibuat ki Palon.

" Tidak bisa , Mayapadha harus kita rebut, gara-gara daerah itu, orang tuaku sakit kena senjata, dan meninggal, aku harus membalas semua itu," kata salah satu tamu yang sudah memesan makanan tadi. Orangnya besar, berewokan dan rupanya memiliki orang tua yang tubuhnya besar, sementara yang satunya, usia lebih tua , dan selalu berkata lembut.

"Sabar Nak, nanti juga balas dendammu itu terwujud, dan bisa jadi Mayapadha itu takluk Nak," jawab yang tua tadi.

" Iya, paman, aku ingin peninggalan orang tuaku itu akan berdiri lagi, aku ingin membangunnya kembali paman," kata orang muda itu.

Sabdo hanya diam dan seolah-olah tidak mendengar, pandangannya ke depan namun di dalam hatinya sudah ada bara yang menyala, ternyata.......

Dalam diam, Sabdo sesekali melirik kakek Palon yang dari tadi juga ikut mendengarkan, matanya sesekali menyipit seakan-akan ia mengingat sesuatu yang susah untuk dibuka. Kakek Palon memandang Sabdo dengan penuh waspada, seandainya Sabda berbuat yang tidak-tidak. Namun sepanjang pembicaraan, tampak Sabdo diam seolah tidak ada apa-apa.

Sementara kedua orang itu setelah membayar lalu pergi, kemudian menghilang di perempatan jalan.

" Siapa tadi Kek," tanya Sabdo.

" Itu anaknya pemilik rumah kosong itu ki sanak, namanya Birawa, dia itu kasar dan suka mengancam orang kalau lagi makan di sini," jelas kakek Palon.

" Kok kakek paham sama dia, apa dia ada dan menetap di desa ini," tanya Sabdo.

" Tidak ki sanak, dia sudah jadi salah seorang bawahan Lurah Desa tetangga, ya masih kerabat dia juga", jelas kakek Palon.

" Saya baru paham Kek, berarti dia itu keturunan orang menjadi musuh orangtuaku, tunggu saja tanggal mainnya, akan saya hancurkan sifat sombongnya," kata Sabdo.

Setelah membayar makanan di warung kakek Palon, lalu Sabdo melangkahkan kakinya menuju rumah besar itu dari belakang , dengan tujuan mencari penghuni rumah bersarang itu.

BAB II GERBANG TENGKORAK

     Sabdo melangkah dengan hati-hati saat mendekati pintu belakang, ia melihat sekeliling terdapat puluhan tulang belulang berserakan, dalam hatinya berpikir bahwa dulu di tempat itu pernah terjadi perkelahian atau pertempuran yang memakan korban jiwa. Di mana-mana banyak tulang, bahkan di atas jeruji besi terlihat beberapa tengkorak manusia yang tertanjab, semua tengkorak itu sudah lama berada di tempat itu. Sabdo merasa bahwa tempat itu dulunya sebuah pintu rahasia untuk keperluan khusus. Dirinya melangkah untuk menyelusuri lebih ke dalam, banyak hiasan penuh dengan bekas darah. Sabdo tertegun saat melihat tumpukan tulang.

    Beberapa saat kemudian, kakinya menyentuh sebuah senjata yang berbentuk keris, setelah lama mengamati, ia membawa keris itu dan melanjutkan langkahnya, tiba-tiba.....

     " Dulu ada kejadian mengerikan ki sanak," kata seseorang dari belakang Sabdo.

      Sabdo menengok ke belakang, di sana berdiri kakek Palon yang tengah membawa bungkusan dari kain, dan meletakkan di atas meja kayu berukir.

    " Apa itu Kek ?" tanya Palon sambil mendekati meja tadi.

   " Itu sebuah catatan yang tadinya berserakan, lalu ada yang memungutnya, namun belum tersusun ki sanak," jawab Palon.

     Lalu Sabdo membuka bungkusan itu, kemudian mengambil satu lembar yang terdapat tulisan dengan huruf yang indah. Tangannya terus melihat tiap lembar demi lembar.

    " Ini harus disusun dulu Kek, supaya rapi dan bisa dibaca nantinya," usul Sabdo.

    Dengan teliti dua sosok itu menyusun lembaran tadi, dan dalam waktu se peminuman , akhirnya tersusun juga, lalu diikatlah kumpulan lembaran itu dan dibungkus kembali lalu dimasukkan ke dalam sebuah tas dari kain.

    " Kenapa kakek tidak di warung untuk berjualan, di sana tentu banyak pelanggan datang," kata Sabdo penasaran.

" Saya hanya memastikan dirimu saja selamat atau tidak masuk ke sini ki sanak, banyak sesuatu yang tak terduga setelah orang masuk ke sini, begitu masuk langsung tinggal nama, begitu kabarnya dari beberapa tahun," tutur kakek Palon.

" Berarti tempat ini penuh misteri juga kek, pasti ada sesuatu di dalam sana," kata Sabdo sambil menunjuk ke arah dalam ruangan yang tampak tanpa penghuni itu.

Akhirnya Sabdo melangkah menuju ke dalam ruangan yang mirip aula itu, baru saja beberapa langkah, terdengar suara seperti orang berjalan di atas dedaunan kering, terdengar agak pelan, lalu semakin jelas, makin dekat, dan...jlugh.....sosok sesuatu berdiri di depan Sabdo, dia mundur selangkah, lalu berpaling ke arah kakek Palon yang sedang jongkok, tiba-tiba sosok itu tertawa, ha...ha...ha...ha....

Suara tawa itu menggelegar dan membuat ruangan itu seolah bergetar, kemudian....sosok itu berjalan mendekati Sabdo, dan karena jangan sampai tertangkap, Sabdo menyelinap di antara tiang-tiang bangunan itu, sementara Kakek Palon telah hilang dari pandangan Sabdo, ia hanya mengawasi sosok itu. Tubuhnya tinggi dengar dada yang lebar, wajahnya penuh bercak darah, giginya besar dan bertaring, setiap ia tertawa, maka banyah tumpahan seperti lendir yang jatuh, lendir itu berbau busuk dan warnanya hijau bercampur merah darah.

Sabdo selalu waspada, matanya sangat tajam, ia melirik ke cela-cela tiang bangunan, tampak di depan sana, sosok itu mendengus-dengus seperti mencium bau sesuatu.

" Darah.....ada darah segar....darah segaaaaaaar...ha ..ha...ha...ha," ucap sosok itu.

Wajahnya penuh bekas luka sayatan senjata tajam, banyak kulit yang menganga dengan darah yang masih tampak, matanya merah, salah satu matanya menonjol dan tampak bola matanya meneteskan darah bercampur nanah. Sejak munculnya sosok itu, ruangan tersebut sungguh berbau busuk, hampir saja Sabdo muntah mencium aroma di ruangan itu, ia menahan rasa muntahnya.

Sosok itu berjalan menuju ke tiang dimana Sabdo sembunyi, terdengar langkahnya mendekat, bayangan dari sosok itu terlihat semakin besar, Sabdo kemudian sedikit langkahnya bergeser ke sisi kiri, tanpa suara ia terus menggeserkan kakinya, semakin dekat sosok itu, semakin kuat bau busuk yang tersebar. Sabdo dengan hati-hati terus memutari tiang itu, sementara sosok tersebut terus mencari bau darah yang tercium.

Saat Sabdo mau menengok ke kiri, ia melihat wajah mengerikan itu berada di hadapannya, betapa terkejutnya Sabdo, wajah itu menyeringai di depan Sabdo, rasa mau muntah dari tadi sudah tak tertahankan lagi, saat sosok itu menyeringai Sabdo pun akhirnya muntah juga. Perutnya begitu tidak kuat menahan mual yang amat sangat. Sabdo lalu beringsut ke kanan, namun ia kini sudah dalam genggaman makhluk itu, ia sudah berada di depan mulut makhluk itu, ia tak berani menatapnya, namun ia sempat melihat di antara gigi-gigi sosok itu terdapat ribuan belatung yang baunya begitu busuk.

Dengan sekuat tenaga, Sabdo berusaha untuk lepas, namun sia-sia, semakin ia mengeluarkan tenaga, semakin kuat genggaman sosok itu.

"Hoooooakh....hoooooakh, kembali Sabdo muntah, ia sudah tidak kuat lagi, pandangan matanya mulai redup, nafasnya sesak dan keringat keluar sangat banyak, saat itu, sebuah jeritan terdengar sangat keras.

" Aaaaaaakh....aaaaaaakh,.....sosok iti menjerit keras, tubuhnya oleng ke kiri, dan kemudian sosok itu tersungkur, Sabdo masih dalam genggamannya, ia pun ikut terjatuh, tubuhnya membentur lantai, namun Sabdo ingin lepas, hingga dia berusaha untuk menarik tubuhnya, genggaman itu semakin renggang, ia pun akhirnya bisa melepaskan diri. Kini Sabdo memandang sosok itu, ada sebuah tombak yang menancap di dadanya, darah mengucur dari tempat tombak itu menancap, sementara ribuan belatung keluar dari mulut sosok itu, Sabdo menoleh ke arah kanan, tampak sosok kakek Palon berdiri dengan tangan habis melempar sesuatu, Sabdo sadar bahwa tombak itu dilempar oleh kakek Palon.

Sabdo akhirnya mendekati kakek Palon.

" Makhluk apa itu kek, baunya sungguh amat busuk, beberapa kali aku muntah, siapa dia kek ?" tanya Sabdo.

" Dia itu siluman berjenis raksasa, yang menjadi tameng dari Lurah Sura , dia pemakan bangkai manusia di sini , saat ada acara ritual korban daging manusia. Syukurlah kau selamat ki sanak," kata kakek Palon.

Akhirnya Sabdo kembali melangkah lagi menuju ke arah lain, matanya selalu waspada akan bahay yang menghadangnya. Di kamar itu ia tidak menemukan apapun, kecuali sebuah lembaran tulisan dan sebuah lencana dari perak dengan gambar wajah menyeramkan dengan taring panjang dan bertuliskan Jayasura. Sabdo pun akhirnya menuju ke kamar yang lain, baru beberapa langkah, ia menemukan secarik kain yang penuh noda hitam, tampak kain itu berbau bangkai makhluk aneh, begitu busuk, amis dan anyir. Di depan sana terdapat cermin berbingkai tulang-tulang yang tersusun , di tengah tulang itu ada cermin, saat ia memandang cermin itu, tiba-tiba terdapat asap di dalam cermin itu.

Sabdo bergegas untuk pergi, namun ia mendengar suara,

" Jangan pergi ki sanak, tetaplah diam, nyawamu akan terancam bila pergi," kata suara itu ternyata kakek Sabdo.

Sabdo hanya diam dan hanya memandang cermin itu, pada akhirnya beberapa saat setelah itu, asap tadi membentuk sesuatu sosok perempuan.

BAB III KAMAR BERDARAH

      Sabdo merasa sesuatu yang mengawasi dirinya, dengan langkah yang pelan, ia kemudian kembali mendekati cermin tadi, darahnya begitu mengalir deras, keringat mengucur dan membasahi tubuhnya, ia lalu menunggu gerangan apa yang akan muncul itu. Sabdo berhenti dan saat itulah kepulan asap yang membentuk sosok itu keluar dari balik cermin tadi, sosok itu ternyata mengalami cacat, yah....sosok perempuan dengan kondisi lumpuh, wajahnya pucat, rambutnya penuh dengan noda darah, matanya putih, tidak ada bulat hitam, jari-jari tangannya berkuku panjang, bertaring. Perempuan itu mendekati Sabdo, dengan keinginan untuk mencakar atau mencekiknya, ia terus mendekati Sabdo. Dalam situasi seperti itu, Sabdo mengeluarkan senjatanya. Ia berpikir bahwa itu sejenis makhluk halus , dan bukan manusia.

Sambil menjaga jarak, Sabdo mencari perlindungan pada sebuah dinding, sementara suara desahan maut itu semakin dekat dengan aroma bau bunga kenanga. Dengan sebuah senjata itu, Sabdo menunggu kedatangan perempuan itu, tiba-tiba...

" Huaaaaa....huaaaaa...huaaaa" , suara perempuan itu datang dari arah belakang, membuat Sabdo kaget bukan kepalang. Sementara bau bunga kenanga begitu menyengat hidung, kini Sabdo dalam keadaan susah untuk menghindar, akhirnya ia menghunus senjata itu, namun perempuan itu tak tampak di depannya.

Sabdo kemudian memutar badan dan saat itulah ia mendapat sebuah cakaran kuku yang begitu pedih terasa, Sabdo menjerit singkat, lalu cakaran berikutnya datang lagi, membuat Sabdo mundur satu langkah, namun usaha itu tak ada rubahnya, ia malah mendapat cakaran ketiga, tepat di dada Sabdo, membuat darah keluar dari dadanya. Kemudian ia kembali ke ruangan pertama, di sana tampak kakek Palon sedang menghadang perempuan itu dengan panah yang siap dilepaskan. Sabdo paham akan hal itu, ia pun bertiarap, maka melesatlah anak panah dengan suara " wuuuuuuuuush.

Anak panah itu hampir mengenai kepala perempuan itu , nyaris kepala itu terkena anak panah. Perempuan itu selamat dari sasaran anak panah, lalu di belakang sana terdengar suara ledakan yang menggelegar. Asap mengepul dan beberapa barang terbakar, membuat ruangan itu diselimuti asap, Sabdo lalu berdiri dan melihat sosok perempuan itu, ia sudah dekat dengan dirinya. Sabdo beranjak pergi namun kakinya hanya terpaku di sana, dalam benaknya ia akan terkena cakaran berikutnya. Akhirnya Sabdo merasa pasrah, beberapa jari lagi Sabdo akan mendapat cakaran itu, dan tiba-tiba...perempuan itu tersungkur di depan Sabdo, suaranya melengking lalu hilang, hanya kepulan asap yang tampak, sementara tubuh perempuan itu lenyap hanya suara lengkingan yang masih terngiang.

Sabdo hanya berdiri terpaku melihat itu semua, tubuhnya penuh dengan rasa perih. Kini Sabdo hanya bisa berdiri, hanya bisa memandang tanpa ada rasa.

" Sudahlah ki sanak, nanti urusannya tidak selesai dalam 1 hari, sebaiknya lanjutkan di kamar lain," ujar Palon sambil menarik tangan Sabdo.

Sabdo kembali melanjutkan langkahnya menuju ke ruang berikutnya, di ruang itu Sabdo melihat banyak kain-kain penuh noda darah, dari mulai tirai , seprai juga pembungkus sofa, di sana banyak lalat juga kecoa, membuat suasana menjadi berbau yang menjijikan. Sabdo lalu mendekati sebuah peti yang kusam, dengan hiasan bunga-bunga kematian.

Dengan rasa penasaran, Sabdo mencari kunci dari peti itu, namun sudah putar- putar tidak ditemukan juga. Ia melanjutkan lagi hingga 7 kali, namun tetap tidak ditemukan. Akhirnya dengan senjata yang ia bawa, dicongkellah peti itu, selama beberapa saat, akhirnya terbuka sedikit. Begitu terkuak, bau busuk tersebar di ruangan itu, Sabdo terhuyung ke belakang, tubuhnya teresa lemas, ia pun tersungkur karena racun.

Sementara itu, peti tadi bergetar dan bergerak-gerak sampai berbunyi kretek-kretek, dan dari dalam peti itu keluarlah asap hijau dengan suara mendesis...." ssssst.....ssssst....ssst". Dan tutup peti itu terangkat dan keluarlah ular sebesar pohon kelapa. Kepala ular itu berwarna hitam, matanya merah menyala, lidahnya menjulur sambil meneteskan air liur berbisa, sisik-sisiknya besar. Ular itu mendesis dan mendekati tubuh Sabdo, air liurnya sedikit lagi mengenai tubuh Sabdo, tiba-tiba air liur itu terpental melesat ke arah pintu kamar, dan.....duuuuuuar.

Pintu itu meledak dan mengeluarkan bau gosong, ular itu menengok ke pintu itu, lalu kembali menatap tubuh Sabdo, kini mulutnya menganga, giginya begitu runcing, terdapat taring yang siap menembus tubuh Sabdo, dan terlihat sebuah benda melesat dan menembus tubuh ular itu. Ular besar itu terpental hingga peti tadi terbawa bersamanya dan di ujung ruangan itu terdengar suara ledakan dahsyat.

" Bangunlah ki sanak, semua sudah selesai, bangunlah," bisik kakek Palon.

Tubuh Sabdo hanya diam tak bergerak, akhirnya kakek Palon mengeluarkan botol berisi cairan. Kemudian dengan ujung jari telunjuknya, air itu dioleskan ke dahi Sabdo. Beberapa saat, tubuh Sabdo terbangun dan memandang sekeliling, terdapat pintu berantakan dan anak panah yang menancap di tembok dengan bekas adanya ledakan.

" Apa yang terjadi kek ? Tanya Sabdo merasa keheranan dengan tubuhnya yang sembuh dari rasa nyeri akibat cakaran perempuan siluman.

" Bangun dan berdirilah Sabdo, tugasmu belum selesai," kata kakek Palon.

Akhirnya Sabdo berdiri dan kembali melangkahkan kakinya ke ruangan belakang. Di sana terdapat sebuah guci besar, dan di dindinhnya tampak bekas kobaran api, sana sini penuh warna hitam. Lalu Sabdo memandang ke arah sudut kanan, di sana ada sebuah gambar hias dengan suasana hutan dan beberapa binatang yang sedang dimakan sosok besar yang berjumlah 3 wujud raksasa. Sedangkan hewan yang dimakan itu ada menjangan, kuda dan banteng.

Dalam gambar itu, ketiga raksasa tadi memakan dalam kondisi masih hidup, ada darah yang menetes, dan tampak ketiga raksasa itu dengan mata terbelalak menahan nikmat. Sabdo merasa itu suatu keanehan, apakah di sini dulu yang menghuni adalah para raksasa itu, ia berpikir, namun dalam diam itu, Sabdo dikagetkan dengan tiga sosok manusia kerdil namun semuanya tampak begitu dewasa.

Sabdo berpikir, apakah itu sosok di gambar tadi ,atau ini sosok lain, bukan manusia atau raksasa. Ketiga manusia kerdil itu melihat Sabdo dan mendekati Sabdo sambil membawa senjata masing-masing. Sabdo hanya menunggu, tapi begitu sudah dekat, sosok kerdil itu berubah menjadi besar, ketiganya tertawa menggema, membuat ruangan itu bergetar keras, bahkan ada atap yang jatuh.

" gluprak...gluprak..gluprak "

Ketiga sosok itu kini sudah menjadi raksasa seperti di gambar tadi. Tiba-tiba.....

" Hai manusia.....engkau lah keturunan dari musuhku, engkau lah yang harus bertanggung jawab atas hancurnya generasiku, kini kau hadir maka kami akan balas dendam atas semua itu," kata sosok berbaju merah.

" Siapa kalian, aku tidak paham," jawab Sabdo.

" Hai pengecut, kau adalah utusan Mayapadha bukan, kau itu manusia laknat, akan aku hancurkan , aku janji akan melumat kau hidup-hidup", kata yang berbaju hitam.

" Aku tidak kenal kalian," jawab Sabdo sambil memandang raksasa berbaju hijau yang akan bicara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!