Pagi itu suasana kantor PT Arkanata Pratama sudah ramai. Suara ketikan keyboard, dering telepon, hingga langkah-langkah karyawan yang sibuk mondar-mandir memenuhi ruangan. Namun di sudut lift lantai lima, seorang gadis muda berdiri sambil terengah-engah. Nafasnya masih tidak beraturan, rambutnya sedikit berantakan, dan keringat membasahi pelipisnya.
“Astaga… kenapa harus macet banget sih pagi ini?” gumamnya lirih.
Gadis itu bernama Aruna Prameswari, seorang karyawan baru di divisi administrasi. Hari ini adalah minggu ketiganya bekerja di perusahaan besar tersebut, tapi ia sudah sering mendapat tatapan tidak enak dari atasannya. Semua orang tahu, atasannya bukan orang sembarangan. Arkan Dirgantara, CEO muda perusahaan, terkenal dengan sifat dingin, perfeksionis, dan galak. Bahkan karyawan senior pun sering dibuat gemetar hanya dengan satu tatapan tajamnya.
Aruna buru-buru merapikan kemejanya, mencoba menenangkan diri. Ia melangkah cepat ke ruang kerjanya, berharap tak ada yang menyadari keterlambatannya. Namun sial, baru saja ia duduk, suara berat menggema di seluruh ruangan.
“Siapa yang baru datang jam segini?”
Semua karyawan spontan berhenti mengetik. Suasana ruangan mendadak hening. Tatapan mereka serentak mengarah ke Aruna yang masih berusaha menyalakan komputernya.
Aruna menelan ludah, tangannya gemetar. Belum sempat ia menjawab, seorang pria berjas hitam dengan wajah datar berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, langkahnya mantap, dan sorot matanya tajam menusuk. Dialah Arkan, bos galak yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan.
“Kamu!” suara Arkan tegas, penuh wibawa. “Kamu pikir ini pasar? Bisa seenaknya masuk jam berapa saja?”
Aruna buru-buru berdiri, wajahnya pucat pasi.
“Maaf, Pak… jalanan macet, dan—”
“Alasan!” potong Arkan cepat. Tatapannya menusuk seperti pisau. “Kalau kamu tidak bisa disiplin, silakan keluar dari sini sekarang juga. Perusahaan ini tidak butuh karyawan pemalas.”
Semua karyawan terdiam, tak ada yang berani membela. Aruna menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu Arkan memang galak, tapi tidak menyangka akan dipermalukan seperti ini di depan semua orang.
“Saya janji tidak akan terlambat lagi, Pak,” ucapnya lirih, hampir tidak terdengar.
Arkan mendekat, menatapnya dari jarak dekat hingga Aruna bisa merasakan aroma parfum maskulin yang menusuk hidung. “Kata-kata tidak ada artinya tanpa tindakan. Saya akan mengawasi kamu. Sekali lagi terlambat, kamu keluar.”
Aruna menunduk, menahan perasaan campur aduk antara takut, malu, dan kesal. Setelah mengatakan itu, Arkan berbalik meninggalkan ruangan. Suasana yang tadinya mencekam perlahan kembali normal, tapi jantung Aruna masih berdetak kencang.
“Kasian banget, Na,” bisik salah satu rekan kerjanya, Mira, sambil menepuk pundaknya. “Tapi emang udah sifatnya Pak Arkan. Semua orang di sini udah pernah kena semprot.”
Aruna tersenyum kecut. “Tapi kenapa harus aku yang dipermalukan di depan semua orang?”
Siang harinya, Aruna mencoba fokus bekerja, tapi pikirannya kacau. Setiap kali mengingat tatapan tajam Arkan, jantungnya berdegup tak karuan. Antara marah karena dipermalukan dan… entah kenapa ada rasa bergetar yang tidak bisa ia jelaskan.
Saat jam istirahat, Aruna memilih makan sendiri di pantry. Ia duduk sambil menatap nasi kotak yang sudah mulai dingin.
“Gila, bos itu galak banget. Kalau bukan karena butuh pekerjaan ini, aku udah resign dari tadi,” gumamnya sambil menghela napas.
Namun mendadak pintu pantry terbuka. Sosok tinggi dengan jas hitam masuk. Aruna sontak terbatuk, hampir tersedak makanannya.
“Pak Arkan?!”
Arkan menatapnya sebentar, ekspresinya tetap dingin. Ia berjalan menuju mesin kopi, membuat kopi hitam tanpa sepatah kata pun. Suasana mendadak canggung. Aruna menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya.
“Kalau kamu masih ingin bekerja di sini,” ucap Arkan tiba-tiba, tanpa menoleh, “belajarlah disiplin. Dunia kerja tidak bisa mentoleransi kecerobohan.”
Aruna mengangguk cepat. “Ba-baik, Pak.”
Arkan mengambil cangkir kopinya, lalu berjalan keluar begitu saja. Aruna hanya bisa menatap punggungnya, hatinya berkecamuk. Galak, menyebalkan, tapi… karismanya memang luar biasa.
Malam itu, sepulang kerja, Aruna baru saja masuk rumah ketika ibunya menyambut dengan wajah serius.
“Aruna, besok kamu harus ikut Mama ke rumah keluarga Pak Dirgantara.”
Aruna mengernyit bingung. “Pak Dirgantara? Yang punya perusahaan tempat aku kerja?”
Ibunya mengangguk. “Ya. Mereka sudah lama punya hubungan baik dengan keluarga kita. Dan… Mama sudah setuju kalau kamu akan dijodohkan dengan putra mereka.”
Aruna sontak terbelalak. “Apa?! Dijodohkan?!”
“Ya, kamu akan bertunangan minggu depan. Calon suamimu adalah Arkan Dirgantara.”
Dunia seakan berhenti berputar bagi Aruna. Tubuhnya membeku, mulutnya terbuka tanpa suara.
Arkan? Bos galak itu?
Pria yang baru saja mempermalukannya di depan semua karyawan?
Sekarang… akan menjadi suaminya?
Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika Aruna terbangun dengan mata bengkak. Semalaman ia tidak bisa tidur. Bayangan wajah Arkan yang dingin terus menghantui pikirannya. Bagaimana mungkin pria yang baru kemarin mempermalukannya di depan kantor, kini tiba-tiba jadi calon suaminya?
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong. Rasa sesak menghimpit dadanya. Menjadi istri bos galak? Apa ini hidupku atau mimpi buruk?
Tok. Tok. Tok.
“Na, sudah bangun?” suara ibunya terdengar dari balik pintu.
Aruna buru-buru menyeka wajahnya. “I-iya, Ma.”
“Cepat siap-siap. Jam sepuluh kita harus ke rumah keluarga Dirgantara. Jangan bikin malu Mama.”
Aruna menggigit bibirnya. Perintah itu seperti cambuk yang memaksanya bangun. Dengan tubuh lemas ia menuju kamar mandi, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya. Namun air itu tak mampu meredakan gemuruh dalam dadanya.
Setelah mandi, Aruna segera bersiap-siap mengenakan baju yang cocok kemudian ia menuju dapur untuk sarapan, Ia duduk di meja makan bersama ibunya, tangannya gemetar ketika menyendokkan nasi ke piring. Aroma sayur sop buatan Mama tercium, tapi rasanya hambar di lidah.
“Na, makan yang banyak. Jangan bikin wajahmu pucat saat nanti di rumah keluarga Dirgantara,” ucap Mama dengan nada setengah menegur. Tatapannya tajam, seolah bisa membaca pikiran Aruna yang berusaha menolak kenyataan.
Aruna menunduk, menahan air mata yang nyaris pecah lagi. Ia memaksa mulutnya mengunyah, walau tiap suapan terasa seperti batu yang menyesakkan kerongkongan.
“Ma…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Aruna benar-benar nggak sanggup.”
Sendok di tangan Mama terhenti. Perempuan paruh baya itu menatapnya tajam. “Sanggup atau tidak, ini sudah keputusan keluarga. Kamu harus patuh. Jangan egois, Aruna. Nama baik keluarga ini jauh lebih penting daripada perasaanmu.”
Kalimat itu menusuk dada Aruna. Ia ingin berteriak, ingin menolak dengan segala daya, tapi napasnya seperti tercekat. Yang terdengar hanyalah suara jam dinding berdetak, mendesak waktu agar terus berjalan menuju pukul sepuluh—waktu yang ia takuti.
Mobil sedan abu-abu milik Papa melaju di jalan raya, membawa mereka menuju rumah keluarga Dirgantara. Sepanjang perjalanan, Aruna hanya menatap keluar jendela. Pohon-pohon dan bangunan berkelebat, tapi pikirannya kosong. Sesekali ia menggenggam ujung rok yang ia kenakan, begitu erat hingga jemarinya memucat.
Mama di kursi depan sibuk menata kalimat yang nanti harus ia ucapkan, sementara Papa hanya fokus menyetir. Suasana hening, kecuali suara mesin mobil dan deru kendaraan lain.
Aruna memejamkan mata. Dalam benaknya, wajah Arkan muncul. Sorot mata dingin, bibir yang tak pernah tersenyum, dan tatapan meremehkan yang sempat ia dapatkan di kantor dulu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Kenapa harus dia? Dari semua laki-laki di dunia, kenapa harus dia?
Rumah keluarga Dirgantara akhirnya terlihat di kejauhan. Sebuah bangunan megah bergaya modern dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Pagar besi otomatis terbuka perlahan, menyambut mobil mereka masuk ke halaman yang luas.
Aruna merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya dingin, keringat dingin membasahi pelipisnya. Saat mobil berhenti, ia enggan keluar. Rasanya seperti berjalan menuju ruang pengadilan untuk menerima vonis.
“Cepat turun,” bisik Mama di telinganya. “Jangan bikin malu.”
Dengan langkah berat, Aruna turun dari mobil. Angin sepoi menerpa wajahnya, namun tak mampu menenangkan debaran jantungnya. Ia mendongak, menatap rumah besar itu—rumah yang bisa jadi akan menjadi tempat tinggalnya nanti, bersama pria yang paling ia benci.
Pintu rumah terbuka. Dari dalam, keluar seorang wanita elegan bergaun hijau muda. Wajahnya ramah, senyum terukir lebar. “Selamat datang, Bu Ratna, Pak Surya. Silakan masuk.”
Aruna mengenali wanita itu sebagai Ibu Dirgantara, ibunya Arkan. Senyum yang hangat itu sekilas menenangkan, tetapi justru membuat Aruna makin takut—karena di balik keramahan itu, ia tahu ada kesepakatan besar yang tak bisa ia hindari.
Ruang tamu keluarga Dirgantara sungguh mewah. Sofa besar berlapis beludru, lampu gantung kristal yang berkilauan, karpet tebal berwarna merah marun. Aroma wangi bunga segar tercium samar dari vas di atas meja.
Aruna duduk dengan tubuh kaku di samping Mama. Pandangannya ia arahkan ke lantai, enggan menatap siapa pun.
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Aruna menahan napas, jantungnya seolah berhenti. Ia tahu persis siapa yang datang.
Arkan.
Pria itu muncul dengan kemeja putih sederhana dan celana hitam. Rambutnya rapi, wajahnya tetap dengan ekspresi dingin yang selalu Aruna kenal. Ia berjalan tanpa terburu-buru, sorot matanya tajam, menusuk, hingga Aruna merasa tubuhnya mengecil.
“Silakan duduk, Nak,” kata Ibu Dirgantara sambil tersenyum bangga pada putranya.
Arkan hanya mengangguk tipis, lalu duduk di sofa berhadapan langsung dengan Aruna.
Untuk sesaat, mata mereka bertemu. Aruna buru-buru menunduk lagi. Ada rasa perih di dada—campuran marah, takut, dan entah apa. Tatapan itu bukan tatapan seorang calon suami, melainkan tatapan bos yang selalu siap menghakimi.
Percakapan formal pun dimulai. Orang tua mereka berbicara mengenai tanggal, persiapan, dan rencana. Kata-kata tentang pernikahan, pesta, undangan, dan masa depan meluncur begitu saja, seolah pernikahan itu hanya sekadar proyek.
Sementara Aruna? Ia duduk membeku. Suara-suara itu terdengar seperti gema jauh, tak masuk ke telinganya. Ia hanya bisa merasakan kepalanya pusing, dadanya sesak.
Sesekali, pandangan Arkan terarah kepadanya. Tatapan dingin itu membuat Aruna ingin menghilang. Apa dia juga sama terpaksa seperti aku? Atau justru dia menikmati semua ini?
“Aruna, sayang, kenapa diam saja?” tiba-tiba Mama menyentuh lengannya. Suara itu menyadarkan Aruna dari lamunan. Semua mata kini tertuju padanya.
Aruna mengangkat wajah perlahan. Pipinya memanas, tangannya gemetar. “S-saya… saya hanya mengikuti keputusan orang tua.” Suaranya nyaris tak terdengar.
Ibu Dirgantara tersenyum puas. “Bagus sekali. Itu tanda kamu anak yang berbakti.”
Aruna hanya mengangguk lemah.
Arkan, di sisi lain, tetap tanpa ekspresi. Namun Aruna menangkap sekilas—sangat sekilas—tatapan matanya yang seakan mengamati dirinya lebih dalam. Hanya sebentar, sebelum kembali dingin seperti es batu.
Acara pembicaraan berlanjut hingga hampir tengah hari. Semua terasa menyesakkan bagi Aruna. Saat akhirnya mereka dipersilakan makan siang bersama, Aruna berdiri terlalu cepat hingga hampir kehilangan keseimbangan.
“Na!” Mama menegurnya pelan.
Aruna tersipu, buru-buru menunduk. Ia melangkah ke ruang makan, dan tanpa sadar tumit sepatunya tersangkut karpet. Tubuhnya oleng ke depan.
Seketika, sebuah tangan kuat menangkap lengannya.
Aruna terperangah. Tatapannya bertemu langsung dengan wajah Arkan, begitu dekat hingga ia bisa merasakan aroma segar parfumnya.
“Jangan ceroboh,” suara Arkan rendah, dingin, namun ada nada samar yang sulit diartikan.
Aruna buru-buru menarik tangannya, wajahnya memerah. “M-maaf.”
Arkan tak menanggapi lagi. Ia berjalan mendahului, meninggalkan Aruna yang masih berdebar keras.
Makan siang berlangsung hening bagi Aruna. Ia hanya menunduk, menyendokkan makanan tanpa benar-benar menikmatinya. Sementara orang tua mereka asyik berbincang, Arkan tetap dingin, hanya sesekali menjawab singkat.
Namun ada satu hal yang membuat Aruna bingung. Setiap kali ia merasa hampir tersedak, segelas air selalu sudah tersedia di depannya—entah sejak kapan Arkan menyodorkannya. Ia tidak pernah melihat langsung gerakan itu, tapi gelas itu selalu ada.
Hatinya berdesir aneh. Kenapa dia…? Tidak mungkin dia peduli, kan?
Usai makan siang, pembicaraan ditutup dengan salam hangat antara kedua keluarga. Tanggal pernikahan sementara sudah disepakati, beberapa minggu lagi. Aruna merasa dunianya runtuh.
Saat hendak pulang, Aruna berjalan paling belakang. Ia berharap bisa menghindari tatapan Arkan. Namun tiba-tiba, suara itu terdengar di telinganya.
“Aruna.”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh perlahan. Arkan berdiri di dekat pintu, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tetap dingin, tapi sorot matanya… entah kenapa terasa berbeda.
“Aku nggak pernah minta ini terjadi,” katanya datar. “Tapi kalau memang sudah diputuskan, jangan tunjukkan kelemahanmu di depan orang lain.”
Aruna terdiam. Kata-kata itu bagai tamparan. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa semua ini bukan salahnya. Namun mulutnya terkunci.
Arkan menundukkan wajahnya sedikit, lalu melangkah pergi begitu saja.
Aruna berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Kata-kata Arkan terus terngiang di kepalanya. Dingin, tapi… entah kenapa ada sisi lain yang sulit ia pahami.
Siapa sebenarnya Arkan Dirgantara?
Malam harinya, kamar Aruna terasa begitu sesak. Lampu kamar menyala temaram, jendela tertutup rapat, dan jam dinding berdetak begitu lambat seakan sengaja mempermainkannya. Ia berbaring di ranjang, namun matanya tetap terjaga. Bayangan wajah Arkan terus muncul—tatapan dingin, suara datar, juga kalimat terakhirnya di depan pintu tadi siang.
“Aku nggak pernah minta ini terjadi. Tapi kalau memang sudah di putuskan, jangan tunjukan kelemahanmu di depan orang lain.”
Aruna memeluk bantalnya erat, menahan sesak yang makin kuat di dadanya. “Kenapa aku? Kenapa harus aku?” bisiknya pada diri sendiri. Matanya basah lagi. Ia sudah terlalu sering menangis sejak kabar itu datang, namun air mata tak juga habis.
Seharusnya ia marah. Seharusnya ia benci. Dan memang begitu adanya. Namun entah kenapa, setiap kali mengingat genggaman tangan Arkan yang sempat menangkapnya saat hampir jatuh, ada rasa aneh yang ia benci rasakan.
Arkan itu dingin, galak, keras kepala. Dia bukan pria yang bisa kucintai… kan?
Detik jam terasa makin lambat. Hingga akhirnya, mata Aruna benar-benar berat, dan ia tertidur dengan sisa air mata masih membekas di pipi.
Keesokan paginya, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Aruna terbangun dengan kepala pening. Begitu menatap cermin, wajahnya tampak pucat, kantung matanya menghitam. Ia menghela napas panjang, lalu berusaha merapikan diri.
Begitu keluar kamar, ia mendapati Mama sudah duduk di meja makan dengan beberapa lembar brosur pernikahan.
“Na, sini duduk,” panggil Mama tanpa basa-basi.
Aruna mendekat dengan langkah berat. Pandangannya langsung jatuh pada brosur-brosur itu—gaun pengantin, dekorasi pelaminan, undangan elegan. Semua tampak indah, tapi justru menyesakkan dada.
“Kita harus cepat pilih. Keluarga Dirgantara minta persiapan jangan berlama-lama. Minggu depan kalian fitting baju pengantin. Mama nggak mau kita terlihat setengah-setengah,” jelas Mama, matanya tajam.
Aruna menggenggam rok tidurnya erat-erat. “Ma… aku masih belum siap. Aku—”
“Aruna!” suara Mama meninggi. “Berapa kali Mama harus bilang? Kamu pikir pernikahan ini permainan? Ini bukan tentang siap atau tidak siap. Ini tentang kehormatan keluarga kita!”
Aruna terdiam. Tenggorokannya kering. Kata-kata itu seperti cambuk yang menampar wajahnya. Ia ingin melawan, tapi tubuhnya lemah, suaranya hilang.
Siang hari, rumah mereka kedatangan tamu dari pihak wedding organizer. Ruang tamu berubah ramai dengan tumpukan katalog gaun dan dekorasi. Mama sibuk memilih, Papa sesekali memberi pendapat, sementara Aruna hanya duduk diam seperti patung.
Setiap kali ditanya, ia hanya mengangguk pelan. Bahkan saat diminta mencoba membayangkan gaun impian, bibirnya kelu. Baginya, tak ada kata “impian” dalam pernikahan ini. Semua terasa seperti drama yang ia paksakan perannya.
Di tengah keramaian itu, ponsel Mama berdering. “Halo, Bu Dirgantara… oh, iya… tentu… besok? Oh, baiklah, kami datang.”
Aruna menegakkan tubuhnya. Jantungnya langsung berdebar. Mama tersenyum puas setelah menutup telepon.
“Besok kalian fitting di butik keluarga Dirgantara. Arkan juga akan datang. Jadi persiapkan dirimu, Aruna. Jangan bikin malu Mama.”
Aruna terdiam. Napasnya terasa berat. Besok. Itu artinya ia harus bertemu lagi dengan pria itu—Arkan, calon suaminya yang dingin.
Malam itu, Aruna mencoba mencari ketenangan dengan keluar sebentar ke teras. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma harum parfum yang ia pakai. Ia mendongak ke langit, menatap bintang-bintang.
Kalau saja aku bisa kabur sejauh mungkin… kalau saja aku punya keberanian untuk menolak semua ini.
Namun bayangan wajah Mama muncul. Tatapan kecewa itu. Kata-kata keras yang selalu mengingatkan tentang kehormatan keluarga.
Aruna meremas dadanya sendiri, menahan tangis. Ia terjebak. Tidak ada jalan keluar.
Akhirnya Aruna memasuki rumah dengan perasaan yang masih sedih, ia berbaring di kasur miliknya berharap bahwa semuanya tidak pernah terjadi.
Keesokan harinya, suasana butik megah itu begitu asing bagi Aruna. Lampu kristal, deretan gaun putih mempesona, aroma bunga melati yang wangi. Semua orang tampak sibuk: desainer, asisten, penjahit.
Aruna melangkah pelan di samping Mama, tubuhnya kaku. Hingga matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat cermin besar—Arkan.
Ia mengenakan setelan jas hitam sederhana. Tubuh tegapnya terlihat semakin gagah, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi.
Tatapan mereka sempat bertemu. Aruna buru-buru menunduk, hatinya berdetak keras.
“Ah, kalian sudah datang. Mari kita mulai,” sambut desainer butik itu ramah.
Aruna digiring ke ruang ganti. Ia mencoba beberapa gaun satu per satu. Tiap kali keluar, semua mata tertuju padanya. Mama berulang kali memberi komentar keras:
“Itu terlalu sederhana.”
“Yang ini kurang pantas.”
“Aruna, jangan malas berdiri tegak!”
Aruna hanya menurut. Wajahnya pucat, senyumnya hilang.
Hingga akhirnya, ia mengenakan sebuah gaun putih berpotongan sederhana namun anggun. Begitu keluar, semua terdiam. Gaun itu jatuh sempurna di tubuhnya.
Mama tersenyum puas. “Nah, ini baru cocok.”
Aruna berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Rasanya asing. Siapa gadis di cermin itu? Benarkah itu dirinya?
Tanpa sadar, tatapannya bergeser ke arah Arkan yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu menatapnya lekat, tanpa berkata apa-apa. Hanya tatapan itu—dingin, tapi dalam.
Aruna buru-buru memalingkan wajah, pipinya panas.
Setelah sesi fitting selesai, mereka duduk sebentar sambil menunggu catatan desainer. Aruna duduk di kursi pojok, mencoba menyembunyikan diri.
Tiba-tiba, suara rendah terdengar di sampingnya.
“Gaun itu cocok untukmu.”
Aruna terperanjat. Ia menoleh, mendapati Arkan duduk di sebelahnya. Wajah pria itu tetap datar, namun kata-katanya jelas terdengar.
“A-apa?” suara Aruna tercekat.
“Gaun itu. Cocok,” ulang Arkan singkat.
Aruna tercekat. Ia tak tahu harus berkata apa. Bagian dalam hatinya bergetar aneh. Ia menunduk lagi, menggenggam ujung roknya erat-erat.
Arkan tidak berkata apa-apa lagi. Hanya diam. Tapi diamnya justru membuat suasana semakin berat.
Perjalanan pulang, Aruna hanya menatap keluar jendela. Mama di sampingnya terus berbicara tentang detail pernikahan, tapi telinganya terasa tuli.
Yang terus terngiang hanyalah kalimat sederhana Arkan, “Gaun itu cocok untukmu.”
Kenapa kata sesederhana itu bisa membuat hatinya bergetar? Kenapa ia merasa seolah ada sisi lain dari Arkan yang tidak pernah ia lihat?
Air matanya jatuh tanpa sadar. Bukan karena sedih semata, tapi karena ia benar-benar bingung.
Apakah ia masih membenci Arkan? Atau… mulai goyah?
Pertanyaan itu menghantui pikirannya, membuat malam itu kembali sulit ia lewati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!