Tangan mungil itu masih memegang erat tangan kekar Luis pria yang berusia 27 tahun itu. Luis menggendong putri tirinya itu membawanya keluar menuju pintu utama. Usia Camilla masih 8 tahun.
Perceraiannya dengan Anna sudah sah. Meninggalkan rumah itu yang telah ia bangun bersama dengan Anna setelah lima tahun hidup bersama ketika usia Camila dua tahun saat Luis menikahi Anna. Anna berselingkuh dengan bosnya karena pria selingkuhannya itu lebih kaya dan memanjakan nya dengan kemewahan.
Sementara Luis hanya seorang karyawan Bank yang hanya memiliki gaji yang tidak cukup untuk memenuhi impian Anna yang hidup bergelamor.
"Daddy. Jangan pergi...!" pinta Camila saat melihat dua koper milik ayahnya masuk ke dalam bagasi mobil.
"Daddy akan kembali suatu saat nanti untuk menjemputmu, sayang. Jangan sedih sayang..! Daddy tidak akan meninggalkan Camilla lebih lama di sini," ucap Luis lalu menurunkan Camilla yang masih menangis dalam gendongannya.
"Janji Daddy..!" pinta gadis kecil itu dengan memberi kelingkingnya pada Luis yang mengaitkan kelingkingnya di jari mungil Camila.
"Janji baby...! I love so much...!" ucap Luis membuat Camila kembali terguncang saat ayah tirinya masuk ke mobil taksi yang membawanya pergi dari tempat tinggal mereka.
"I love you more Daddy....! Daddy... "Please call Camilla every day!" Camilla asked.
Camilla berlari mengikuti mobil taksi yang membawa ayah tirinya pergi. Ia terus saja melihat mobil itu bergerak menjauhi nya. Luis melihat putrinya itu lewat kaca spion mobil. Hatinya juga sama sakitnya dengan putrinya karena perpisahan itu.
Gadis kecil yang ia rawat dengan segenap cintanya harus ia tinggalkan karena sang mantan mengkhianati cinta tulusnya. Ia harus kembali ke Amerika di mana ia tinggalkan kelurganya yang memiliki segalanya demi seorang janda cantik beranak satu. Ia tidak memiliki anak bersama Anna selama pernikahannya.
"Sayang. Jika kamu adalah anak kandungku, mungkin aku akan membawamu serta untuk tinggal bersamaku. Aku tidak memiliki hak untuk merebut mu dari ibumu yang jal*Ng itu. Apalagi untuk menjadi walimu. Tugasku sudah selesai sampai di sini.
Tumbuhlah dengan sehat sampai kamu dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Jangan seperti ibumu yang memiliki sikap buruk...!" batin Luis menatap jalanan yang terlihat ramai namun hatinya terasa kosong.
Camilla masuk ke dalam kamarnya dan kembali menumpahkan tangisnya di atas bantal. Seketika rumah itu terasa hampa tanpa ada ayahnya. Ketukan pintu kamarnya yang ia tahu adalah asisten rumah tangganya. Bibi Carla yang berusia 40 tahun itu menghampirinya.
"Nona. Apakah kamu tidak ingin makan siang?" bibi Karla duduk di samping tempat tidur sambil membelai lembut rambut hitam Camilla.
"Aku hanya ingin makan bersama Daddy, bibi. Aku kangen sama daddy, bibi," ucap Camilla di sela tangisnya.
"Nona. Itu semua tidak akan terulang lagi. Daddy nona sudah pergi kembali ke negaranya. Jika nona ingin bertemu Daddy, cepatlah besar dan menjadi gadis cantik. Dengan begitu kamu bisa tinggal dengan Daddy karena kamu punya hak untuk memilih dengan siapa kamu hidup, Nona. Daddy mu ataukah mommy mu," hibur bibi. Carla.
Mendengar nasehat itu, Camilla langsung bangkit dari tidurnya. Duduk menatap wajah bibi Carla dengan antusias. Hatinya sedikit terhibur.
"Butuh usia berapa aku bisa hidup dengan Daddy?" tanya Camilla.
"Mungkin usia 17 tahun setelah nona lulus SMA dan ingin kuliah di negaranya Daddy," ucap bibi Carla.
"Itu sangat lama bibi. Sementara usiaku sekarang baru 10 tahun," ucap Camilla kembali sendu.
"Dari pada nona tidak bertemu sama sekali dengan tuan, setidaknya nona masih punya harapan dan kesempatan untuk bisa hidup bersama dengan tuan."
"Bagaimana kalau daddy sudah menikah lagi dan aku tidak akan bertemu dengannya lagi, bibi? Dia pasti mencintai anak dan istrinya. Keluarga barunya," ucap Camilla sedih.
"Bertemu dulu. Setelah itu pikirkan sisanya," ucap asisten pribadinya itu.
"Terimakasih bibi. Aku akan menjaga kesehatanku seperti yang Daddy sering nasehati aku. Jaga kesehatan dan jaga pergaulan. Aku akan ingat itu selalu. Tolong bawakan makan siang ke kamarku bibi...!" pinta Camila kembali bersemangat.
"Baiklah nona....!" Bibi Carla menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya nona mudanya itu mau makan dan memiliki semangat hidup.
"Kurang baik apa tuan pada nyonya. Mendapatkan suami setampan tuan Luis dan lebih muda 5 tahun darinya. Sekarang malah pilih kakek-kakek yang sudah mau mati," gerutu bibi Carla sambil membawa baki makanan untuk Camilla yang sedang memeriksa ponselnya namun tidak ada pesan masuk dari daddy-nya.
"Ini makanannya nona...! Dimakan dulu makanannya setelah itu baru istrahat..!" ucap bibi Carla.
Camilla memakan makanan itu sambil bercucuran air mata. wajah ayah tirinya yang selalu menyuapinya makan saat ia sedang sakit maupun ngambek terngiang di ingatan nya.
...----------------...
Setelah tiba di kediamannya di Manhattan New York city, Luis menatap mansion mewah keluarganya di mana saat ini hanya tinggal ibunya seorang bersama beberapa pelayan. Ayahnya telah meninggal dunia tanpa kehadirannya dua tahun silam setelah dirinya menikah dengan Anna.
Firasat seorang ibu begitu kuat. Nyonya Elice menatap ke luar dari jendela kamarnya. Melihat seorang pria dengan jaket kulit coklat yang sangat dikenalnya. Yah, jaket yang dia hadiahkan untuk putranya sebelum putranya meninggalkan mereka.
"Louis....!" panggilan akrab itu yang ia sematkan pada putra semata wayangnya. Tubuhnya yang belum terlalu tua namun energinya sedikit lemah tergerus pikiran karena kehilangan dua lelaki dalam hidupnya.
Yang satu telah pergi dan tak akan pernah lagi kembali menemani hidupnya yang kini sepi. Namun satu lelaki lagi yang telah kembali seakan doanya terjawab setelah sekian lama ia meratap untuk kembali kepadanya.
"Tuhan ...! Apakah itu putraku." Jalannya tertatih menyambut putranya yang lebih dulu disambut kepala pelayan mereka.
"Louis...! Nama itu kembali terucap di bibirnya yang bergetar hebat karena haru membalut hatinya terbungkus rindu yang tak terukur waktu.
Mata Excel Luis menatap dalam melihat interior rumahnya yang tak banyak berubah. Tatanan barang yang sama tetap di tempatnya seolah waktu berhenti di tempat. Sayup-sayup ia mendengar suara khas sang ibu memanggil namanya.
"Luis. Putraku."
"Mommy...!"
"Louis...!" suara Elice menggema sambil membuka lebar kedua tangannya.
"Mommy...!" pelukan keduanya dengan tangisan meraung pilu membaur bersama rindu yang sama-sama tersimpan rapi di hati. Ikatan darah yang bisa tersampaikan melalui signal doa yang terkirim melalui semesta. Akan di sampaikan harapan itu pada setiap jiwa yang menanti dalam sepi.
Keduanya saling menenangkan diri dan menceritakan bagian hidup mereka yang tidak pernah mereka ketahui masing-masing.
"Lupakan wanita itu, nak...! Kamu berhak bahagia dan mulailah hidup baru...!" ucap nyonya Elice menatap wajah tampan putranya yang terlihat sangat kusut.
"Baiklah mommy. Aku akan meneruskan bisnis Daddy. Aku akan membahagiakan mommy dan tidak ingin terlibat dengan perempuan dulu. Aku harus lebih sukses dari Daddy...!" ucap Luis sambil mengatupkan rahangnya hanya untuk membalas dendam pada mantan istrinya.
Selama ini perusahaan milik ayahnya dikelola oleh ibunya seorang diri. Apalagi dirinya adalah anak tunggal yang menjadi harapan keluarganya.
Manhattan
Nama Camilla disematkan Luis sebagai nama baru perusahaannya untuk mengenang putrinya. Selama sepuluh tahun itu, Luis sama sekali tidak menghubungi putri tirinya itu. Ia sibuk dengan bisnisnya dan masuk dalam organisasi liarnya sebagai seorang mafia yang disegani dan ditakuti di kalangan para mafia lainnya.
Luis termenung menatap langit yang sedang menyiram bumi dengan butiran hujan yang cukup menghalangi pandangannya ke gedung tinggi di hadapannya. Walaupun tidak pernah menghubungi putri tirinya itu, namun Luis tidak pernah melewatkan waktunya sedikitpn untuk memikirkan sang putri.
"Sebesar apa kamu sekarang, sayang? Pasti kamu sudah tumbuh menjadi gadis cantik saat ini," ucap Luis menatap wajah cantik nan imut Camilla di ponsel miliknya.
Bayangan perpisahan sepuluh tahun yang lalu masih saja menguras emosinya saat ini. Kadang ia menangis dalam kerinduannya seorang diri. Namun setelah itu ia kembali menjadi dirinya sendiri sebagai pengusaha sukses yang bersikap datar pada siapapun kecuali seorang wanita dalam hidupnya yaitu Camilla. Ibunya Elice sudah meninggal tiga tahun lalu karena serangan jantung.
Ia juga tidak ingin mencari tahu keadaan putrinya dan di mana putrinya tinggal sampai saat ini. Ia tidak ingin mengusik ketenangan putrinya yang mungkin sudah bahagia dengan ayah tirinya yang baru.
Ketukan pintu di luar sana cukup mengagetkan dirinya. Ia membalikkan kursi kebesarannya untuk melihat asistennya yang masuk membawa berkas. Tanpa banyak bicara Luis segera membubuhkan tandatangannya di mana ada surat perjanjian kontrak kerja sama dengan beberapa perusahaan lain dibelahan negara bagian yang ada Amerika Serikat.
"Tuan. Nanti malam ada pesta topeng di club milik tuan. Apakah tuan ingin bergabung?" tanya sang asisten bernama Mac.
"Lihat saja nanti...! Aku tidak bisa janji. Tapi, jika nanti aku datang juga, jauhkan aku dari jangkauan wanita manapun," ucap Luis lalu meletakkan lagi pena miliknya di tempatnya semula.
"Baik tuan. Saya akan pastikan anda aman di club nanti malam," ucap Mac lalu mengambil lagi berkas yang sudah ditandatangani oleh Luis.
Mac meninggalkan ruang kerja itu. Ia kemudian menghubungi manajer club milik tuan Luis. Sementara itu Camilla sedang bersiap-siap untuk berangkat ke club milik Luis. Ia bekerja di sana sebagai waiters. Ia baru sepekan bekerja di sana. Camilla sengaja mengambil kuliah di Amerika hanya untuk bertemu dengan Luis. Sayangnya ia tidak tahu keberadaannya Luis ayah tirinya itu. Ia hanya ingat kalau Luis hanya menyebutkan nama kota dan negara tempat kelahirannya.
"Tuhan. Tolong pertemukan aku dengan Daddy...! Aku sengaja kerja di sana hanya ingin bertemu Daddy," ucap Camilla lalu membuka pintu utama meninggalkan apartemen mungil nya.
Malam itu hujan mulai mengguyur lagi kota itu. Camilla menunggu bisnya. Ia berdiri dengan payungnya menatap ke jalanan. Tepat di saat itu jalanan sedikit macet. Mobil milik Luis berhenti di depannya. Luis menurunkan kaca mobil dan menjulurkan tangannya untuk merasakan butiran air hujan.
Mata indah Camilla menatap wajah tampan yang terlihat lebih berkharisma itu terkejut.
"Daddy....? Bukankah itu Daddy...?" Camilla merasakan sekujur tubuhnya kaku. Lidahnya tiba-tiba kelu hanya untuk memanggil sebuah nama. Jantungnya terpompa cepat dengan kilatan mata yang sudah mengembun. Rindunya sedikit terobati hanya melihat wajah yang selama ini melekat kuat dalam ingatannya.
"Dad...! Daddy...!" Mobil mewah itu kembali bergerak. Suara Camilla baru bisa terlepas melengking di udara bersama dengan derasnya hujan.
"Daddy....! Daddy....! Daddy.....!" teriak Camilla kembali berlari mengejar mobil Luis yang sudah menjauhinya.
Sementara itu Luis merasa kalau ada yang memanggilnya dengan nama Daddy. " Kenapa aku seakan mendengar suara Camilla memanggil ku? Ah...! Mungkin aku terlalu merindukannya jadi aku merasa suara manjanya terus memanggil namaku," batin Luis memejamkan matanya merasakan kehadiran putri tirinya itu.
Camilla membiarkan setengah tubuhnya yang basah namun payung masih melindungi kepalanya. Terpaan hujan disertai angin kencang yang membuat bajunya sedikit basah.
Camilla kembali menelan kecewa. Tapi hatinya cukup lega bisa bertemu kembali dengan sang ayah tiri setelah sepuluh tahun berpisah. Walaupun ia hanya melihat wajah Luis sepintas namun ia tidak merasa kalau dirinya mengenali orang yang salah.
...----------------...
Riuh gema musik dengan dansa ria terdengar di pesta topeng tersebut. Langkah kaki Luis berdegup samar memasuki club miliknya. Tempat duduk yang khusus untuknya telah menunggu dirinya. Ia disambut oleh manajer nya dengan sapaan kaku seperti biasanya karena Luis tidak pernah melemparkan candaan dengan siapapun.
"Malam tuan...! Apakah anda ingin minum sesuatu?" tanya Alex.
"Minuman yang sama dengan takaran yang sama. Aku tidak ingin mabuk," ucap Luis yang sudah mengenakan topengnya sambil menikmati para pengunjung sedang berada di lantai dansa.
Club itu tidak diijinkan untuk melakukan hubungan int*m ditempat itu dan juga tidak ada diijinkan minum sampai mabuk. Jika ada yang melanggar maka akan membayar denda yang sangat fantastis atau penjara. Setiap pengunjung sudah memenuhi persyaratan yang ada.
"Hei kau....! temani aku minum...! Teriak salah seorang pengunjung pada sang gadis yang baru saja meletakkan sebotol wine dengan beberapa cemilan di atas meja.
"Maaf. Kami dilarang untuk menemani tamu minum. Sudah ada wanita khusus yang akan menemani tamu di sini," ucap sang gadis dengan santun.
"Kau berani melawanku, hah?!" bentak tamu itu membuat sang gadis berusaha tenang walaupun jantungnya sangat tidak baik-baik saja.
"Maaf tuan...! saya harus membawakan minuman pada tamu lain yang sedang menunggu.
Tamu itu tidak terima ia segera beranjak lalu menarik rambut sang gadis yang langsung berteriak histeris hingga tubuhnya menyenggol meja dan akibatnya beberapa botol minuman sang tamu jatuh.
Prankkk ...
Musik berhenti sesaat. Sang gadis berusaha melepaskan tangannya sang tamu yang masih menjenggut rambutnya dengan kasar.
"Lepaskan rambut saya, tuan! Ini sakit," pinta sang gadis sambil meringis.
Adegan itu menjadi tontonan. Wajah tampan sang tamu menarik pinggul sang gadis yang langsung meronta.
"Tidak. Jangan...! Jangan menyentuhku....!" pekik sang gadis yang tidak lain adalah Camila.
"Lepaskan gadis itu....!" tegur Luis membuat suasana mencekam.
"Siapa kau....?! Apakah kau ingin menganggu kesenanganku, hmm!" ucap tamu itu menyeringai sinis.
"Aku adalah pemilik tempat ini dan dia adalah salah satu karyanya ku. Tinggalkan tempat ini atau kau ingin mati?!" ancam Luis membuat para tamu lainnya merasakan kengerian akan terjadi di tempat itu.
Tubuh Camila di dorong dengan kuat dan Luis segera menangkap nya. Tubuhnya gemetar ketakutan namun suara Luis membuatnya merasa tidak asing. Sayangnya Luis mengenakan topeng begitu pula dirinya.
Tamu yang bernama Marco itu segera meninggalkan club miliknya Luis. Club mewah dengan desain unik namun elegan membuat pengunjung betah berada di sana.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Luis pada Camila yang masih menangis.
"Dad...! Tolong aku hiks...!" lirih Camilla membuat Luis merasakan suara itu tidak asing baginya.
Deggg .....
Musik kembali terdengar menggema di ruangan itu setelah sekuriti mengamankan salah satu tamu yang arogan itu pergi dari club itu. Sementara itu Luis masih menenangkan Camilla yang merupakan karyawan di club itu.
"Sebaiknya kamu pulang saja nona...!" titah Luis melihat tubuh Camila yang masih gemetar ketakutan.
"Terimakasih tuan. Maaf, aku sudah menyusahkan anda," ucap Camilla tertunduk takut.
"Mau aku antarkan kamu pulang?" tanya Luis namun Camilla menggelengkan kepalanya.
"Tidak tuan. Daddy akan marah jika aku diantar oleh lelaki lain," ucap Camilla.
"Apakah Daddy mu akan menjemputmu?" tanya Luis namun Camilla kembali menggeleng lemah.
"Baiklah. Kalau begitu biar Alex meminta temanmu yang mengantarmu pulang. Aku akan meminta Alex mengantar kalian pulang," ucap Luis namun tetap ditolak Camilla.
"Saya mau naik bis saja, tuan. Permisi dan terimakasih atas pertolongan anda hari ini. Semoga anda selalu sehat, tuan," ucap Camilla yang lansung menuju ke ruang ganti.
Tiffany menghampirinya. Gadis ini sebenarnya tidak suka dengan Camilla karena selalu saja mendapatkan perhatian orang lain. Ditambah lagi Wajah Camilla yang sangat cantik dengan tubuhnya bak model.
"Eh, Cepatan gadis manja..! Bos menyuruhku untuk antarkan kamu pulang," ucap Tiffany sambil mengunyah permen karetnya.
"Eh iya. Maaf kak sudah merepotkan," ucap Camilla yang sudah mengganti bajunya yang masih basah.
"Cepatan...! nggak usah basa-basi." Tiffany memutar bola matanya malas lalu mengikuti langkah Camilla yang sudah siap pulang.
Setibanya di depan gerbang club itu, lagi-lagi Camilla melihat wajah Luis yang sedang mengendarai mobilnya dengan jendela terbuka.
"Bukankah itu Daddy. Daddy.... Daddy...Daddy....! Camilla berlari meninggalkan Tiffani yang juga ikut mengejarnya. Bahkan Camilla tidak memperdulikan lagi tubuhnya yang kini kembali basah karena hujan kembali turun dengan derasnya.
Hampir lima ratus meter Camilla terus saja mengejar mobilnya Luis yang sebenarnya sudah menjauh darinya. Tiffany yang melihat gadis itu meninggalkan dirinya dan akhirnya memilih untuk kembali ke club.
"Sialan. Dasar gadis gila...! Siapa lagi yang dia kejar? Bukankah tadi dia panggil Daddy? Apakah daddy-nya datang menjemputnya dan langsung pergi ketika dia tidak ada? Ah...! Membingungkan...!" ucap Tiffany lalu masuk ke ruang ganti dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
"Tiffany. Apa yang kamu lakukan disini? Bukankah aku memintamu untuk mengantar Camilla pulang?" tanya tuan Alex melotot ke arah Tiffany yang gugup.
"Sepertinya gadis itu pulang bersama ayahnya. Dia mengejar mobil ayahnya sepanjang jalan. Mungkin mereka sudah bersama sekarang, bos," ucap Tiffany asal.
"Kamu yakin dia pulang bersama ayahnya?" tanya Alex memastikan lagi ucapan Tiffany.
"Yakin bos." Tiffany terlihat salting didepan Alex yang selalu saja mengabaikan gadis itu.
"Baiklah. Kembalilah bekerja..!" titah Alex.
Camilla berjalan dibawah guyuran hujan. Ia memeluk tubuhnya karena kedinginan. Hatinya sangat sakit karena tidak menyangka akan bertemu lagi dengan ayah tirinya namun Luis tidak lagi mengenalinya.
"Apakah Daddy salah satu tamu di club itu? Kenapa aku tidak melihatnya tadi? Apakah karena ada pesta topeng dan kami tidak bisa mengenali satu sama lain? Apakah Daddy akan kembali lagi besok ke club itu?" Camilla menahan sebuah taksi yang melintas untuk pulang ke apartemennya.
Gadis itu bukanlah seorang gadis miskin. Ibunya masih sanggup membiayai hidupnya walaupun hubungan mereka tidak baik. Namun obsesi Camilla terhadap ayah tirinya membuat Camila sangat membenci ibu kandungnya itu. Beruntunglah ia masuk kuliah di Harvard itu dengan mendapatkan beasiswa penuh.
Tiba di unit apartemennya yang tergolong mewah, Camilla segera membersihkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Namun tangisnya belum juga reda karena rindunya pada ayah tirinya makin membuat hatinya sakit.
"Dad. Apa salahku? Kenapa kamu tidak pernah mencariku? Apakah kamu sudah memiliki kelurga baru dan melupakan aku?" tanya Camilla yang duduk dibawah shower sambil memikirkan Luis.
Setengah jam kemudian ia baru menyelesaikan mandinya dan mengenakan baju hangat. Camilla memilih tidur tanpa makan malam terlebih dahulu. Pikirannya lelah karena rindunya yang belum kesampaian.
...----------------...
Pagi tiba. Luis duduk di balkon kamarnya sambil menikmati sinar mentari pagi. Kebetulan saat ini sedang weekend. Ia malas melakukan aktivitas olahraga yang biasa ia lakukan. Dirinya sibuk mengingat lagi suara gadis yang ditolongnya semalam.
"Suara itu..? Walaupun gadis itu masih remaja tapi aku bisa mengenali suara khas Camilla sama persis dengannya. Apakah aku perlu mengetahui identitas lengkap gadis itu agar aku tidak penasaran? Sebaiknya dia bekerja di perusahaan ku. Dengan begitu gadis itu aman dan tidak akan diganggu oleh tamu yang lain jika masih bekerja di club itu," ucap Luis lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Alex.
"Selamat pagi Alex...!" sapa Luis.
"Pagi tuan...!" sahut Alex.
"Tolong kirim data pribadi gadis yang semalam saya tolong....!" titah Luis.
"Maksud tuan gadis yang bernama Camilla?" tegas Alex membuat posisi duduk Luis yang awalnya santai berubah menjadi duduk tegak.
"Camilla...?" batinnya mengulang nama itu. Jantungnya langsung berdegup kencang. Cairan bening memenuhi mata tajamnya.
"Tuan. Apakah anda butuh data pribadi nona Camilla Celia Anderson?" tanya Alex makin membuat tubuh Luis bergetar.
"Tidak perlu. Aku hanya butuh alamat tinggal gadis itu. Aku ingin bicara sesuatu padanya. Kirim saja alamatnya sekarang!" titah Luis tanpa banyak tanya lagi pada Alex yang merupakan manajer club Diamond.
"Baik tuan. Tunggu sebentar...!" Alex mencari alamat Camilla. Ia juga mengirim nomor kontak Camilla yang mungkin akan dibutuhkan oleh Luis.
Tidak berapa lama notifikasi pesan masuk ke ponselnya Luis yang langsung membukanya dengan buru-buru. Melihat alamat apartemen yang tertera di dalamnya membuat Luis makin sedih.
"Astaga...! Kediaman kami tidak begitu jauh namun aku tidak pernah tahu kalau gadis itu sangat dekat denganku," batin Luis segera mengganti bajunya.
Dalam dua puluh menit mobil mewah itu sudah tiba di apartemen dimana Camilla menetap. Lantai unit apartemennya Camilla berada di lantai 21. Luis menekan bel beberapa kali namun Camilla tidak juga membukakan pintu.
"Apakah sepagi ini gadis itu sudah pergi?" tanya Luis monolog.
"Ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya petugas cleaning service yang bertugas untuk membersihkan apartemen Camilla.
"Ya. Aku ingin melihat keadaan putriku. Tapi dia tidak kunjung membuka pintunya. Apakah kamu bisa menolongku membuka pintu ini?" tanya Luis tidak sabaran.
"Sebenarnya saya baru saja membersihkan kamarnya nona Camilla. Nona Camilla sedang sakit, tuan. Saya sudah menawarkan diri untuk mengantarnya ke dokter tapi dia menolak," ucap wanita berusia 40 tahun itu.
"Sakit...? Astaga...! Kalau begitu tolong bukakan pintunya dan biarkan aku yang membawa putriku ke rumah sakit..!" desak Luis penuh rasa kuatir.
"Baik tuan..!" Wanita itu menekan kode angka untuk masuk ke kamar Camilla.
Baru saja pintu itu terbuka tiba-tiba terdengar suara jatuh membuat Luis berteriak histeris.
"Camilla....!" Luis membuka pintu kamar Camilla dan melihat Camilla sudah tergeletak dilantai karena pingsan. Cairan merah keluar dari hidungnya membuat Luis makin panik. Ia menyentuh kening dan pipi Camilla dan matanya membulat penuh.
"Ya Tuhan. Demamnya sangat tinggi. Camilla, baby...! Ini Daddy sayang...!" Luis mengambil selimut lalu membalut tubuh Camilla. Camilla segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secara optimal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!