Novel ini adalah sekuel dari novel pertama Author 'Since You Married Me'. Untuk kenyamanan dalam memahami alurnya, disarankan untuk membaca novel yang pertama dulu. Terima kasih.
___________________________________________
Cuaca mendung mengiringi langkah kaki seorang bocah mengantarkan kedua orang tuanya ke tempat peristirahatan yang terakhir sore itu.
Matanya sendu menyaksikan dua orang yang paling dicintainya itu dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan saat sedikit demi sedikit tanah mulai ditimbun kembali ke dalam lubang, airmata kembali mengalir membasahi pipinya. Bocah itu tersedu sembari menggosok matanya menggunakan punggung tangan.
Dialah Evan Bramasta. Bocah yang baru saja kehilangan sandaran dalam hidupnya beberapa jam yang lalu. Usianya baru sembilan tahun, tapi ia sudah menanggung sebuah cobaan yang begitu berat, bahkan untuk orang yang telah dewasa sekalipun.
Ibu Evan meninggal karena penyakit kelainan jantung yang sejak lahir dideritanya. Sedangkan ayahnya juga menyusul karena ikut terkena serangan jantung, hanya berselang satu jam setelah istrinya dinyatakan meninggal. Mereka berdua pergi, meninggalkan kesedihan pada putra semata wayang yang mereka tinggalkan.
Dan yang paling miris adalah fakta jika Ayah Evan juga baru saja kehilangan semua harta dan tabungannya karena ditipu oleh seseorang, tepat sebelum istrinya meninggal. Hal itu juga yang rupanya memicu jantungnya berhenti bekerja secara tiba-tiba. Hingga dia pun juga ikut menyusul sang istri.
Sesaat setelah seorang dokter menyatakan jika kedua orang tuanya meninggal, Evan tertegun dengan mata yang basah. Ia tak hanya sedih, tapi juga bingung. Sebelumnya Evan sempat mendengar Ayahnya menelfon seseorang untuk meminjam uang agar bisa membayar biaya rumah sakit Ibunya. Itu berarti Ayahnya masih punya sangkutan yang harus diselesaikan.
Dan benar saja, tak lama kemudian, pihak administrasi rumah sakit bertanya pada Evan siapa yang menjadi penanggung jawab untuk melunasi biaya rumah sakit kedua orang tuanya yang ternyata tidak sedikit.
Evan semakin bingung, pasalnya mereka tidak punya kerabat dekat yang bisa di mintai pertolongan. Airmata bocah itu kembali mengalir. Hanya menangis yang bisa dia lakukan saat ini. Dia sungguh tak tahu harus berbuat apa. Tapi tentu saja dia tak bisa di salahkan. Usianya memang terlalu kecil untuk memikul beban berat ini.
Hingga akhirnya seorang lelaki datang dan menghibur Evan.
"Jangan sedih. Paman akan membantumu melunasi biaya rumah sakit dan juga akan memakamkan kedua orangtuamu dengan layak," ujar lelaki itu lembut pada Evan.
Evan hanya bisa mengangguk menanggapi lelaki itu tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Sesekali bocah itu menghela nafas karena menahan gemuruh di dadanya. Di usianya yang masih sangat kecil, harusnya saat ini dia sedang asyik bermain, tapi kenyataannya sekarang dia malah berada dalam situasi yang menuntutnya untuk mampu mengendalikan perasaannya. Sungguh memprihatinkan.
Lelaki itu mengusap kepala Evan lembut sembari menatap iba pada bocah tegar itu.
"Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya," ujar lelaki itu lagi mencoba menyemangati Evan.
Evan bergeming. Airmatanya kembali luruh. Entah dia kuat dari segi mana, tapi rasanya hal itu tidak benar. Evan tidak sekuat itu. Dia hanyalah anak kecil biasa yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan kedua orang tuanya.
Seandainya Evan bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin kehilangan kedua orang tuanya. Sampai detik itu, Evan masih berharap yang dialaminya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang datang dalam tidurnya. Lalu tak lama lagi dia akan segera terbangun dan mengakhiri mimpi itu. Tapi sayangnya, hal itu tidak akan pernah terjadi, karena semuanya adalah sebuah kenyataan, bukan mimpi.
Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, lelaki yang tadi menghibur Evan juga membantu mengurus pemakaman kedua orang tua bocah itu. Akhirnya, Evan bisa bernafas lega karena Ayah dan Ibunya bisa mendapatkan pemakaman yang layak.
Dan disinilah Evan sekarang. Bocah malang itu duduk bersimpuh di antara makam kedua orang tuanya. Kesedihan yang tadinya bersembunyi di balik rasa bingung, kini menyeruak kembali dari sudut hatinya.
Evan kembali tersedu sambil memeluk nisan Ayah dan Ibunya secara bergantian. Dia tak tahu harus apa setelah ini. Orang tua yang menjadi sandarannya telah tiada. Rumah tempatnya pulang juga sudah tiada. Entah apa yang masih tersisa untuknya sekarang. Evan hanya bisa menangis meratapi kemalangannya.
"Kita harus meninggalkan tempat ini, Nak. Hari sudah semakin sore." Suara lelaki yang membantu Evan hari ini sedikit membuyarkan kesedihannya.
Evan mendongak. Dilihatnya lelaki itu mengulurkan tangannya, hingga membuat Evan mau tidak mau menyambut uluran tangan itu. Evan melangkahkan kakinya mengiringi langkah seseorang yang menuntunnya saat ini. Lalu saat dirinya sudah semakin menjauh, dilihatnya kembali makam kedua orang tuanya untuk yang terakhir kali.
"Mama, Papa, selamat tinggal ...," ujar Evan lirih. Airmatanya kembali mengalir untuk yang kesekian kalinya.
Lelaki yang sedang menggenggam jemari mungil Evan berhenti sejenak. Lalu dia kembali mengusap kepala bocah malang itu sambil menatapnya iba.
Lelaki itu kemudian membawa Evan ke sebuah penginapan untuk bermalam. Dia juga membawa makanan dan membelikan Evan beberapa potong pakaian. Dia tampaknya tahu jika rumah peninggalan orang tua Evan sudah disita beberapa hari yang lalu, hingga Evan tak bisa lagi pulang ke sana.
Bocah itu juga tidak tahu kemana semua barang-barang milik orang tuanya disingkirkan, sehingga yang dimilikinya saat ini benar-benar hanya pakaian yang melekat di tubuhnya saja. Evan benar-benar telah kehilangan segalanya. Entah bagaimana dia harus menjalani hidupnya setelah ini.
"Paman, kalau saya meninggal juga, apakah saya akan bertemu dengan Mama dan Papa saya?" Tiba-tiba Evan bertanya pada lelaki yang menolongnya tadi.
Lelaki itu terdiam dan tak langsung menjawab. Ditatapnya wajah sendu Evan dengan tatapan yang sulit di jelaskan.
"Saya ingin menyusul Papa dan Mama saja, Paman. Saya tidak mau sendirian di sini," tambah Evan lagi dengan lirih.
"Mama Papamu pasti sedih jika mendengar kamu bicara seperti ini, Nak. Mereka pasti tidak ingin melihat putra mereka putus asa," ujar lelaki itu akhirnya. Kembali diusapnya dengan lembut kepala Evan dengan tujuan menghibur bocah malang itu.
"Alasan mereka tidak mengajakmu pergi bersama mereka adalah karena mereka ingin kamu melanjutkan hidupmu meski tanpa mereka. Kamu masih kecil, masa depanmu masing panjang," ujar lelaki itu lagi.
Evan tampak mencerna kata-kata yang di dengarnya barusan. Tapi meski telah berusaha memahami, tetap saja Evan tidak terlalu bisa menerima kata-kata itu. Terlebih jika menyangkut dengan masa depan. Entahlah. Setelah melewati hari yang tak terlupakan ini, Evan merasa jika dirinya tak lagi punya masa depan. Evan tak tahu bagaimana akan menjalani kehidupannya setelah hari ini.
Yang ada di benaknya saat ini hanyalah bagaimana cara agar bisa berkumpul dengan ayah dan ibunya lagi.
Bersambung...
Hai gaess, ketemu lg sm emak othor. Semoga ga bosen buat baca cerita emak.
Lima bab awal kayaknya kita akan kupas tentang kehidupan Evan bersama Zaya, sebelum akhirnya ketemu sm Carissa. Sabar yak😙😙😙
Happy reading❤❤❤
Keesokan harinya, lelaki yang menolong Evan membawa bocah itu ke sebuah tempat. Dia mengatakan pada Evan jika tempat itu akan menjadi tempat tinggal Evan, dan Evan akan memiliki keluarga baru di sana.
Dan ternyata tempat yang dimaksud adalah sebuah panti asuhan yang terletak di pinggiran kota. Sepertinya lelaki tersebut berniat untuk menitipkan Evan di sana.
"Nak, hanya ini yang bisa Paman lakukan untukmu. Paman tidak bisa membawamu pulang, jadi mulai saat ini kamu akan tinggal dan bersekolah di sini. Inilah keluarga barumu. Paman berharap kamu bisa bersikap baik. Paman akan doakan kamu menjadi orang sukses nantinya," ujar lelaki itu setelah menyerahkan Evan pada pihak pengurus panti.
Evan terdiam beberapa saat. Lalu dia mengangkat wajahnya dan memberanikan diri melihat wajah orang yang telah membantunya ini.
"Terima Kasih, Paman," ujar Evan akhirnya. Meskipun dia tidak bisa mengatakan sesuatu yang berarti, setidaknya Evan tetap harus berterima kasih pada seseorang yang telah berbuat baik padanya.
Jika saja kemarin lelaki ini tidak datang, entah apa yang akan terjadi. Mungkin saat ini jasad kedua orang tuanya masih belum dimakamkan, dan Evan saat ini mungkin sedang terlunta- lunta di jalanan.
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum tipis.
"Paman. Boleh Saya tahu nama Paman," pinta Evan kemudian.
Lelaki itu tak langsung menjawab dan tampak sedang mempertimbangkan.
"Nugraha," jawab lelaki itu akhirnya.
"Itu adalah nama keluarga Paman," tambahnya lagi.
Evan terdiam dan berusaha mengingat dengan benar nama yang tadi didengarnya. Evan tidak boleh sampai lupa dengan orang yang menolongnya ini.
"Apa Paman teman Papa?" tanya Evan lagi.
Lelaki itu tersenyum.
"Kami hanya pernah bertemu beberapa kali di masa lalu. Tapi Papamu melakukan hal baik yang secara tidak langsung membuat Paman berhutang budi padanya. Lalu Paman dengar dia mendapat musibah, jadi sekarang Paman juga yang harus membantu. Tapi sekali lagi, hanya ini saja yang bisa Paman lakukan. Paman tidak bisa membantu lebih banyak lagi," ujar lelaki itu. Lalu dia kembali mengusap kepala Evan lembut sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
Kini tinggalah Evan tercenung memandang mobil yang di kendarai oleh lelaki yang menolongnya tadi hingga menghilang di ujung jalan. Kemudian pengurus panti membawa Evan masuk ke dalam bangunan panti dan menunjukkan tempat tidur yang bisa Evan tempati nanti malam. Pengurus panti juga memperkenalkan Evan pada anak-anak lain yang tinggal disana.
Evan disambut dengan cukup baik, tapi kesedihan masih mendominasi dirinya hingga Evan tidak terlalu bisa menerima sambutan tersebut. Bocah itu memilih untuk tidak ikut bermain dengan teman-temannya sesama penghuni panti. Dia menyingkir perlahan dan duduk sendirian di bawah sebatang pohon yang terletak tidak jauh dari panti.
Evan kembali teringat pada kedua orang tuanya yang saat ini telah terbaring di dalam tanah. Airmatanya kembali mengalir tanpa terasa. Evan tak bisa berlagak kuat. Dia merasa sangat sedih dan menangis tersedu seorang diri.
"Kakak kenapa menangis?" Tiba-tiba suara seorang anak perempuan membuat Evan sontak menghentikan tangisannya.
Evan mendongakkan wajahnya yang beruraian airmata. Tampak di hadapannya berdiri seorang gadis kecil yang sedang menatap ke arahnya.
Gadis kecil itu terlihat berusia sekitar lima sampai enam tahun. Tubuhnya kurus dan mungil. Tapi wajahnya sangat manis. Ia mempunyai bibir merah yang tipis dan hidung yang juga mungil. Dan yang paling mempesona adalah matanya yang saat ini sedang menatap ke arah Evan. Matanya besar disertai bulu mata yang lentik. Maniknya berwarna hitam dan sangat jernih. Saat gadis kecil itu mengedipkan sesekali matanya, ia tampak seperti manekin hidup.
Evan sedikit terperangah. Tiba-tiba kesedihannya tadi menguap entah kemana. Matanya yang basah menatap balik ke arah gadis kecil itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Kakak jangan menangis lagi, nanti wajah Kakak jadi tidak tampan lagi kalau banyak menangis," ujar gadis itu lagi sambil menyodorkan sesuatu. Evan melihat ke arah benda yang di sodorkan gadis kecil itu. Secarik kain yang warnanya telah agak pias.
Tampaknya gadis kecil itu menganggap kain di tangannya sebagai sapu tangan yang bisa digunakan untuk menghapus airmata Evan.
Evan bergeming. Lalu karena melihat Evan tak meresponnya, gadis kecil itu maju dan menyeka airmata Evan menggunakan kain yang tadi disodorkannya.
Mata Evan membulat menerima perlakuan itu. Ekspresi wajahnya terlihat semakin sulit dijelaskan.
Gadis kecil itu tersenyum memperlihatkan giginya yang ternyata ompong di bagian depan, sehingga membuat wajahnya semakin lucu dan menggemaskan. Evan yang melihatnya mau tak mau jadi ikut tersenyum, meskipun sangat tipis.
"Nah ... kalau begitu, kan, wajah Kakak jadi kelihatan tambah tampan. Zaya suka," Ujar gadis kecil itu. Ia terlihat sangat senang saat melihat senyuman Evan tadi.
"Zaya?" Evan bergumam setengah bertanya.
Gadis kecil itu mengangguk cepat.
"Iya. Nama aku Zaya Diandra. Bagus, kan?" ujarnya bangga dengan mimik wajah lucu khas anak kecil.
"Nama Kakak siapa?" tanya Zaya kemudian.
"Evan," jawab Evan pelan.
Zaya kecil kembali tersenyum dan memperlihatkan giginya yang ompong.
"Kak Evan kalau tidak punya teman, main sama Zaya saja. Zaya juga sering tidak diajak main sama teman-teman Zaya, tapi Zaya tidak menangis," ujar Zaya kemudian. Tampaknya gadis kecil ini sedang berusaha untuk menghibur Evan.
"Kata Ibu Guru, kalau mau jadi anak pintar tidak boleh cengeng," tambah Zaya lagi. Kali ini ia berbicara sambil memainkan telunjuknya dan menggelengkan kepalanya. Sekali lagi Evan tersenyum melihat gadis kecil di hadapannya ini. Zaya tampaknya berhasil mengalihkan kesedihan yang Evan rasakan sebelumnya.
"Kamu tidak pernah menangis?" Akhirnya Evan tidak bisa menahan lagi untuk tidak bertanya pada Zaya.
Zaya tak langsung menjawab. Gadis kecil itu tampak sedang mengingat-ingat.
"Kadang-kadang menangis, kadang-kadang tidak," jawab Zaya dengan polosnya.
Dan untuk yang ketiga kalinya Evan kembali mengulas senyuman tipis. Sosok di hadapannya ini sungguh telah berhasil mengalihkan perhatiannya meski baru beberapa menit mereka bertemu.
"Tapi, kan, Kak Evan laki-laki, jadi Tidak boleh gampang menangis," ujar Zaya lagi.
"Kata siapa?" tanya Evan.
"Kata Bu guru." Zaya kembali menjawab dengan raut polos.
"Kak Evan, Zaya pergi dulu, ya. Zaya harus mengerjakan pr dulu baru boleh main. Kakak jangan menangis lagi. Kalau pr Zaya sudah selesai, kita main sama-sama." Zaya berpamitan pada Evan, lalu pergi meninggalkan Evan yang termangu.
Gadis kecil itu sudah tidak ada lagi di hadapan Evan, tapi Evan kembali mengulas senyumannya sekali lagi. Sepertinya kesedihannya telah berkurang banyak saat Evan melihat sosok mungil nan lucu tadi.
Di hari pertamanya berada di panti, Evan telah menemukan penghiburannya.
Bersambung...
Happy reading❤❤❤
Sejak hari itu, Zaya menjelma menjadi seseorang yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan Evan. Gadis kecil bertubuh mungil itu mampu mengalihkan kesedihan yang Evan rasakan hanya dengan senyuman.
Setiap kali melihat wajah ceria Zaya, Evan seakan mendapatkan obat untuk luka hatinya yang begitu menyakitkan. Perlahan Zaya menjadi sosok yang sangat berarti bagi Evan. Zaya seakan menjadi arah baru bagi bocah lelaki itu. Karena celotehan polos Zaya, Evan bisa kembali tersenyum dan melupakan kemalangan yang dialaminya, hingga Evan bisa kembali bersekolah dan melanjutkan hidupnya lagi dengan normal seperti anak-anak lainnya.
Semakin lama, Zaya dan Evan semakin dekat satu sama lain. Bahkan Evan punya panggilan sendiri untuk gadis kecil itu. Dee. Panggilan yang diambil Evan dari nama belakang Zaya, Diandra. Dan Zaya sendiri sangat suka dengan nama panggilan yang diberikan Evan padanya.
Hari-hari selanjutnya, mereka semakin lengket. Di mana ada Zaya, hampir bisa dipastikan jika ada Evan juga di sana. Kedua bocah ini banyak menghabiskan waktu bersama. Entah itu belajar atau pun bermain. Evan juga seringkali bertindak sebagai malaikat pelindung Zaya, yang tak akan tinggal diam jika ada yang mengganggu gadis kecil itu.
Hingga akhirnya tak hanya Evan yang mulai merasakan ketergantungan untuk selalu berada di dekat Zaya, Zaya pun perlahan merasakan hal yang sama. Jika Evan membutuhkan Zaya agar bisa melupakan kesedihannya, maka Zaya juga membutuhkan Evan agar dia tidak dibuli teman-temannya lagi.
Evan juga seringkali membantu Zaya yang saat itu baru mulai bersekolah untuk belajar membaca, hingga belajar menuliskan namanya sendiri. Tapi lucunya, nama yang pertama kali berhasil Zaya buat dengan benar justru adalah nama Evan, bukan namanya sendiri.
Dan siapa yang tahu jika itu adalah salah satu momen yang akhirnya membuat Evan tak bisa berpaling dari Zaya hingga dia dewasa.
Siang itu, Evan baru pulang dari sekolah. Seperti biasa, Evan pergi ke tempat dia dan Zaya biasa belajar ataupun bermain dengan membawa serta buku tugasnya. Tampaknya bocah ini akan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya di sekolahnya tadi.
"Kak Evan, Dee sudah pulang." Tiba-tiba Evan di kejutkan dengan suara Zaya saat tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Evan mendongak. Dia sedikit terkesiap. Hari ini penampilan Zaya agak berbeda dari biasanya. Gadis kecil itu mengenakan gaun anak-anak serta memakai pita di kepalanya.
Terlihat semakin manis dengan senyuman yang tersungging di wajahnya yang menggemaskan.
Hari ini Zaya memang tidak pergi ke sekolah karena diajak oleh Ibu pengurus panti untuk menghadiri pernikahan putri kerabatnya. Dan tampaknya sekarang dia baru kembali dari acara pernikahan itu.
"Dee bawa kue buat Kakak," ujar Zaya sambil menyodorkan kotak snack yang dibawanya dari acara pernikahan tadi.
Evan yang sebelumnya tertegun, kembali tersadar dan melihat ke arah kotak snack yang disodorkan Zaya. Evan menerima kotak itu dan membukanya. Ada dua potong kue di dalamnya.
"Ini untuk Kakak?" tanya Evan.
Zaya mengangguk mengiyakan.
"Apa Dee sudah makan kue ini di sana?" tanya Evan lagi.
Kali ini Zaya menggeleng dengan polosnya.
Evan tersenyum sambil meletakkan menutup kotal snack itu. Lalu dia menyuruh Zaya untuk duduk di dekatnya.
Gadis kecil itu pun menurut dan mendudukkan dirinya di dekat Evan. Tapi kali ini dia bergerak lebih anggun dari biasanya karena takut jika gaun pesta yang dikenakannya hari ini rusak atau pun kotor. Maklum saja, itu adalah pakaian bagus satu-satunya yang Zaya punya. Jadi dia tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan pada pakaian kesayangannya ini.
Evan mengulum senyumnya saat melihat gaya duduk Zaya hari ini. Gadis kecil itu duduk dengan anggun layaknya seorang tuan putri.
"Kalau Dee juga belum makan, kenapa kuenya Dee kasih ke Kak Evan?" tanya Evan kemudian.
Zaya tampak terdiam sesaat.
"Soalnya, kan, Kak Evan juga sering begitu. Makanan punya Kak Evan sering Kakak kasih sama Dee, padahal Kakak juga belum makan," jawab Zaya akhirnya dengan nada lirih. Tampaknya saat ini gadis kecil itu sedang ingin membalas apa yang selama ini Evan lakukan untuknya.
Evan tersenyum dan menatap sosok pelipur lara di hadapannya ini dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Tapi itu karena Kakak masih kenyang dan Kakak sedang tidak ingin makan makanan itu," bohong Evan.
"Memangnya sekarang Dee sedang tidak mau makan kuenya?" tanya Evan.
Zaya terdiam sambil melihat kearah Evan.
"Sebenarnya ... Dee mau," jawab Gadis kecil itu akhirnya sambil masih melihat ke arah Evan dengan mata jernihnya.
Evan akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak terkekeh. Bocah lelaki itu tertawa kecil sembari menyodorkan kembali kotak snack yang tadi diberikan Zaya padanya.
"Ini. Dee saja yang makan kalau begitu," ujar Evan.
Zaya melihat ke arah kotak itu dan wajah Evan secara bergantian.
Melihat Zaya yang tampak ragu, Evan pun membuka kotak itu kembali dan mengambil isinya, lalu di suapinya ke mulut Zaya. Mau tidak mau Zaya menerima suapan dari Evan. Kue berukuran tidak terlalu besar itu masuk ke dalam mulutnya dalam satu suapan hingga pipinya membulat.
Evan tertawa semakin keras saat melihat wajah Zaya yang tampak semakin menggemaskan. Lalu karena tidak terima ditertawakan, Zaya pun mengambil potongan kue yang satunya dan memasukkannya juga ke dalam mulut Evan yang terbuka karena tertawa.
Mulut Evan juga penuh dengan pipi membulat, seperti Zaya sebelumnya.
Kini berganti Zaya yang tertawa terbahak-bahak melihat wajah Evan. Meraka berdua akhirnya saling menertawakan dengan mulut terisi kue. Untung saja kedua bocah ini tidak ada yang sampai tersedak.
Beberapa saat kemudian, tawa keduanya mereda, seiring dengan mulut mereka yang kembali kosong.
"Kak Evan, tadi pengantin perempuannya cantik sekali. Dia pakai gaun pengantin warna putih. Gaunnya panjang ... sampai ke lantai. Terus dia bawa bunga. Terus di kepalanya ada mahkota kecil seperti tuan putri. Dee suka ... Kalau sudah besar nanti, Dee juga mau jadi pengantin cantik seperti itu," Ujar Zaya kemudian.
Evan menoleh ke arah Zaya yang tampak sedang tersenyum.
"Memangnya kalau sudah besar Dee mau menikah sama siapa?" tanya Evan.
"Sama Kak Evan," jawab Zaya dengan entengnya.
"Sama Kakak?" tanya Evan lagi. Siapa yang tahu jika saat ini dia menjadi agak gugup karena tiba-tiba merasakan perasaan aneh yang tidak dipahaminya.
"Iya. Kalau sudah besar nanti Dee mau jadi pengantinnya sama Kak Evan saja. Soalnya Kakak baik sama Dee. Kakak tidak pernah mengganggu Dee seperti teman-teman Dee yang lain."
Jelas terdengar jika yang dikatakan Zaya hanyalah celotehan anak kecil. Tapi entah kenapa celotehan itu justru sangat membekas di hati Evan seolah yang di katakan Zaya adalah sebuah sumpah.
"Apa Dee mau berjanji jika sudah besar nanti Dee hanya akan menikah dengan Kakak?" tanya Evan pada Zaya dengan raut serius.
Zaya mengangguk dengan cepat.
"Dee janji," jawabnya tanpa ragu
Gadis kecil itu kembali tersenyum senang sambil melihat kearah Evan. Dia tidak menyadari jika kata-kata remeh yang diucapkannya tadi punya pengaruh yang begitu besar pada bocah lelaki di hadapannya ini, hingga mengikat hati bocah itu sampai dia dewasa.
Dan rasa cinta yang tak berujung itu pun di mulai hari itu.
Bersambung ....
Tengkyu buat yang udah ngikutin sampe kesini, cium duyu semuanya😙😙😙
Happy reading❤❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!