"Aggh!" Nabila jatuh ke lantai. Namun, penderitaannya belum selesai.
Aryo, suaminya malah menendangnya bertubi-tubi. "Kamu benar-benar istri yang tidak punya otak, ya! Sekarang, bagaimana caranya aku membayarnya, hah!? Pake daun!? Kalau Haris sudah sekarat begitu, ya sudah ... biarkan saja! Toh, tak ada yang bisa membantunya selain menunggu ajal. Apalagi!?" Setelah puas menendang, ia lalu bertelak pinggang.
Nabila yang terisak, menengadah ke arah suaminya. "Tapi kita orang tuanya, Mas. Setidaknya kita berusaha agar dia merasa nyaman, bahkan di saat-saat terakhirnya ...." Kerudungnya sedikit miring karena tadi Aryo sempat menjambak kerudung segitiganya, sebelum mendorongnya ke lantai.
"Alah, sok kaya, kamu! Lalu sisanya, kamu bebankan padaku, hah!?" Aryo mendengus marah. Kedua matanya melebar karena kesal. "Kamu itu ...." Ia baru saja akan menendang lagi ketika sebuah tangan menahan bahunya.
"Hei, hentikan!"
Aryo menoleh. Seorang pria berkulit putih dengan tubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, tampak seperti eksekutif muda dengan jas biru tuanya, menatapnya dengan tatapan menghujam.
Aryo menepis tangan pria itu dengan kasar. "Apa urusanmu, hah!?" Ia sebenarnya sedikit tidak percaya diri di samping pria berpakaian mahal itu, tapi berusaha menutupinya dengan tetap memasang wajah galak. "I-ini urusan rumah tanggaku, kenapa kamu ikut campur!?"
"Ini rumah sakit. Apa kamu tidak tahu ada larangan untuk berisik!?" Pria itu mulai kesal dan menatap tajam Aryo seakan ingin menguliti pria berkulit sawo matang itu hidup-hidup!
"Lho, apa urusanmu?" sindir Aryo hampir tertawa. "Ini urusan rumah tanggaku, jadi ja—."
Sebuah tangan lain menyambar Aryo dengan cepat hingga tubuhnya tahu-tahu sudah menempel ke dinding. Aryo melebarkan matanya karena terkejut. Ternyata ada pria lain yang menolong pria berwajah tampan ini. "Kamu mau cari mati, hah!? Beraninya menghina Tuan Hextor!" Pria itu mengunci leher Aryo dengan lengannya.
"Hei, lepaskan aku!" Aryo kesulitan bergerak.
Nabila ketakutan. Ia berhenti menangis dan cepat berdiri sambil merapikan kerudungnya. Biar bagaimanapun, Aryo adalah suaminya. Ia harus menyelamatkannya.
"Tolong, Pak, lepaskan suami Saya." Nabila memohon pada Hextor dengan menyatukan kedua tangan.
Kebetulan lorong rumah sakit itu tampak sepi hingga keributan ini tak bisa mengundang siapa pun untuk datang.
Hextor malah menatap aneh pada Nabila. "Dia sudah menyiksamu, kenapa kamu masih membelanya!?"
"Itu karena kesalahan Saya, Pak," aku Nabila.
Hextor mengerut dahi. "Kesalahanmu?"
"Iya."
"Ibu Haris Pangestu." Seorang suster datang menyambangi.
"Iya, Saya." Nabila menoleh.
"Ibu, tolong selesaikan administrasinya ya, baru bisa membawa bayinya pulang."
"Iya, Sus. Terima kasih."
"Bayi?" Bola mata Hextor melirik Nabila.
Suster itu pun tak sengaja melihat Aryo yang tengah ditekan ke dinding. Ia terkejut. "Itu, kenapa lagi!? Ada apa ini!?"
Pria yang menempelkan Aryo ke dinding, segera melepaskan. "Oh, tidak. Hanya bercanda ... ha ha ha. Teman lama. Iya, 'kan?" Pria itu melirik Aryo sambil menepuk-nepuk bahunya.
"Dia ...." Baru saja Aryo ingin melapor, ia mendapat tatapan tajam Hextor. Tentu saja nyalinya seketika ciut. "Eh, iya. Teman," ujarnya sambil menelan ludah.
"Oh, ya sudah." Suster itu kembali menatap Nabila. "Cepat diurus ya, Bu. Kita tidak bisa menyimpan lama-lama jenazah anak ibu di sini."
Sambil menghapus air matanya, Nabila hanya bisa mengangguk.
"Bayi? Bayinya meninggal? Kenapa kebetulan sekali ...." Hextor kembali melirik Nabila. Mata elang pria itu seketika menangkap bentuk dadda wanita muda itu yang sepertinya cukup besar walau tertutup kerudung.
"Mas ...," ucap Nabila melirik suaminya setelah suster itu menjauh.
"Tunggu dulu. Bayi kalian meninggal dunia?" Mata Hextor bergantian menatap Nabila dan Aryo.
"Emang kenapa!? Lu mau bayarin biaya rumah sakit anak gua!?" Ketus Aryo semakin kasar.
"Kalau iya, bagaimana?" ucap Hextor dengan wajah angkuh. Ia merapikan kerah kemejanya.
Aryo melongo sedang Nabila terkejut.
Aryo nampak tak yakin. "Bercanda, kan?"
"Tapi ada syaratnya." Hextor melirik dengan mata elangnya ke arah Nabila. "Aku butuh istrimu untuk bekerja di rumahku."
Aryo dan Nabila saling pandang.
"Eh kenapa bukan aku saja. Aku butuh pekerjaan." Aryo tiba-tiba mengganti nada bicara menjadi lebih ramah. Sebagai pekerjaan serabutan, pastilah ia senang bekerja di sebuah rumah mewah dengan segala fasilitasnya.
Hextor menyipitkan mata dan berdehem sebentar. "Ini bukan pekerjaan untuk laki-laki. Aku butuh istrimu untuk menyussui bayiku di rumah!"
Kembali Aryo dan Nabila saling pandang.
"Mau atau tidak!? Aku sedang buru-buru, ini!" ucap Hextor dengan wajah sebal. Ia tanpa sengaja lewat di tempat itu dan melihat pertengkaran keduanya hingga akhirnya ikut terlibat.
"Eh, boleh saja, tapi harus lebihkan dua juta lagi untukku, bagaimana?" ucap Aryo mengangkat dua jarinya dengan wajah senang. Belum apa-apa, ia sudah membayangkan akan mendapat uang besar bila membiarkan istrinya bekerja pada orang ini.
Hextor mengerut dahi. "Buat apa?"
"Buat penguburan bayiku lah, Pak. Dan pengeluaran seperti acara pengajian, dan lain-lain. Itu saja masih kurang." Dengan beraninya Aryo bernegosiasi.
Nabila melongo. "Mas, kenapa minta uang sebanyak itu?"
Aryo melirik istrinya dan berbisik."Ck, jangan bodoh! Menyussui bayi bapak ini pasti gajinya tidak kecil. Lagi pula, pasti tidak hanya sebulan. Hitung-hitung, itu untuk depe kamu kerja di sana, bodoh!"
"Tapi ..."
"Ok, Saya akan bayar. Jadi, setelah itu istrimu akan ikut Saya karena Saya butuh segera," sela Hextor tak sabar.
"Tapi, Saya ingin mengurus penguburan anak Saya dulu, Pak," pinta Nabila menatap pria berwajah indo itu.
"Tidak bisa! Saya butuh kamu hari ini juga!" Hextor berkeras.
Nabila ingin menolak tapi sang suami meraih bahunya.
"Nabila, sudah ... nanti biar aku yang mengurusnya, oke?" ucap Aryo menepuk dadda sendiri.
Hextor mendengarnya. "Oh ... namanya Nabila ...."
"Tapi ...." Nabila terlihat bingung.
Aryo tersenyum lebar. Ia kemudian menegakkan punggung. "Ok, jadi kapan dibayarnya?"
***
Hextor menyerahkan tumpukan uang kertas berwarna merah ke tangan Aryo. "Sudah ya. Aku buru-buru."
"Iya, terima kasih."
Hextor melirik Nabila. "Ayo, ikut!"
"Tapi, Pak. Saya mau melihat bayiku dulu, sebentaar ... saja. Bagaimana?" Nabila memohon. Ia ingin melihat bayi Haris untuk terakhir kalinya.
Hextor memutar kepalanya ke belakang. Ia memberi kode hingga dua orang pria berbadan tegap mendatanginya. Ternyata, sedari tadi ia punya dua orang bodyguard yang mengamatinya dari jauh. "Bawa perempuan ini bersamaku."
"Baik, Pak!" Kedua orang itu menarik lengan Nabila di kiri kanannya sambil mengikuti Hextor.
"Eh-eh, tunggu dulu!" Namun, tentu saja Nabila tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya. "Mas ..." Ia menoleh pada suaminya.
Aryo hanya melambaikan tangan pelan dengan senyum di kulum. Ia tentu saja senang. Selain biaya berobat bayinya dibayar Hextor, ia juga dapat uang lebih. Dipandanginya uang itu dengan mata berbinar dan kemudian mengeccupnya. "Ah, begitu gampangnya dapat uang ini. Apalagi ya, yang akan kulakukan dengan ini ...." Ia terbayang lagi pacarnya yang tidak pernah diketahui Nabila. Padahal tinggal tidak jauh dari rumah mereka. "Ah, Marni ... aku datang ...," ucapnya setengah menari-nari melangkah ke tempat anaknya berada. "Tunggu aku ya, Sayang ... aku selesaikan cecunguk kecil ini."
Nabila mengikuti Hextor sampai ke sebuah pintu. Hextor yang berada di depan menoleh ke belakang. "Kalian tunggu di sini. Aku mau masuk dulu."
Nabila melihat nama ruangan itu di atas pintu. Pemulasaraan Jenazah. "Eh, ini 'kan tempat jenazah bayiku?"
Bersambung ....
Hector menatap Nabila dengan dahi berkerut. "Kata siapa? Bayimu langsung dibawa suamimu pulang ke rumah, tadi."
"Lalu, kita ke sini untuk apa?"
Hextor menatap wanita itu dengan pandangan sebal. Saat ini, ia malas menjawab pertanyaan ini. Dengan cepat ia membalik tubuhnya dan membuka pintu. Terlihat beberapa brankar yang berisi tubuh-tubuh yang ditutupi kain putih. Melangkah ke dalam membuatnya gelisah.
Seorang pria yang melihat kedatangannya, datang menyambutnya. "Bapak cari siapa, Pak?"
"Istriku, Helena Ibarez."
"Oh, di sini." Pria itu membawa Hextor mendatangi sebuah brankar yang berada di salah satu sudut ruangan. Saat Hextor mendekat, petugas itu menyingkap kain putih penutup bagian atas brankar itu. "Ini, Pak."
Terlihat wajah seorang wanita cantik yang tampak pucat, terbaring dengan mata tertutup. Di dahinya ada luka yang mulai mengering.
Walau Hextor sudah sering melihat orang meninggal dengan cara tragis, tapi melihat orang terdekatnya harus melalui ini, pertahanannya pun runtuh. Rasanya lutut terasa lemas hingga ia harus berpegang erat pada pinggir brankar agar tak jatuh. Di wajah dinginnya dari sudut mata, jatuh juga bulir-bulir air mata yang coba ia redam dengan memejamkannya. Namun, cara itu sepertinya tak berguna. Nyaris suara tangisnya terdengar walau ia ingin menangis tanpa suara. Mulutnya ia bekap agar tak terdengar jelas.
Petugas itu bisa memaklumi. Sesaat ia ingat sesuatu lalu mengambilnya dari sebuah rak dan menyerahkannya pada Hextor. "Ini, Pak. Sepertinya ini milik ibu Helena."
Hextor mengambilnya. Sebuah tas. Tas yang sering dibawa istrinya.
Kenapa istrinya tiba-tiba pergi, padahal masih menyussui? Ini terasa aneh, padahal tidak ada kepentingannya Helena melakukan itu. Istrinya biasanya di rumah karena tahu sedang di masa menyussui. Ada apa dengannya?
Tas itu sedikit rusak. Ia coba membuka dan memeriksa. Saat ia menemukan ponsel sang istri, layarnya tampak retak dan tak bisa dinyalakan. Ia bergerak ke pintu. Pria itu bahkan lupa tengah menangis. "Arman!"
Pria yang ternyata asistennya, masuk. Pria inilah yang tadi mengamankan Aryo. "Iya, Tuan." Pria berpostur tinggi kurus itu mendekat.
Hextor memberikan ponsel Helena pada asistennya. "Coba cari orang yang bisa membetulkan ponsel ini. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada istriku."
"Baik, Tuan!" Arman mengambil ponsel itu.
"Apa ada perkembangan dari polisi tentang kecelakaan ini?" Hextor mengusap sisa-sisa air matanya.
"Belum, Tuan."
"Pantau terus. Aku butuh data CCTV di tempat kejadian."
"Siap, Tuan."
Dari tadi, wajah Hextor tak lepas dari pengamatan Nabila. Sedikit demi sedikit, Nabila bisa menduga-duga apa yang terjadi dengan menghubung-hubungkan kata-kata yang didengarnya. "Dia menangis. Jadi, istrinya kecelakaan ya ...."
"Bawa Nabila ke rumah. Suruh langsung kerja, setelah itu kamu kembali ke sini. Bantu aku mengurus penguburan istriku." Hextor bicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nabila.
"Eh, baik, Tuan!" Tanpa bertanya, Arman menarik punggung Nabila, sedang Hextor kembali ke dalam.
Nabila terpaksa mengikuti Arman. Di mobil yang dikendarai seorang supir, ia duduk di belakang sendirian. Sambil mengingat lagi apa yang terjadi, ia menghela napas. Ia pikir, Hextor pria yang tak berperasaan tapi ternyata, pria itu punya alasan lain kenapa ia harus segera bekerja. Rupanya istri Hextor baru saja meninggal akibat kecelakaan. Pantas saja pria itu menyuruhnya cepat bekerja. Pria itu pasti kebingungan karena tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi istrinya untuk menyussui anaknya kecuali Nabila. Namun, Nabila sendiri harus memastikan bayi itu mau dengannya karena kalau tidak cocok, ia tak bisa menyussui bayi itu dan mau tak mau harus mengembalikan uang yang sudah diterima suaminya dan pikiran ini kembali membebaninya.
Nabila menatap ke luar jendela. Siang itu udara masih terik, tapi pikirannya kembali ke kejadian saat ia membawa bayinya ke rumah sakit. Ia tersenyum walau air matanya jatuh. Setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik untuk si kecil walau kini ia tak bisa mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. "Maafkan ibu, Haris. Tapi ibu akan selalu mendoakanmu dari jauh. Suatu saat ibu akan berkunjung ke pusaramu. Tunggu ibu ya, Sayang." Dihapusnya air mata dengan kepalan tangan dan mulai bersandar.
"Ah ...." Nabila kembali menegakkan punggung. Matanya menyipit menahan nyeri. Ia lupa, punggungnya pasti sedikit memar bekas tendangan suaminya tadi. Bukan sekali dua kali ia menerima ini, tapi ia selalu berusaha bersabar menghadapi sang suami yang sering tiba-tiba kasar memaki atau memukulnya.
Mobil akhirnya sampai di depan sebuah rumah dengan pintu gerbang yang tinggi. Walau begitu, Nabila bisa melihat rumah besar itu dari sela-sela pagar yang tinggi. Ketika pintu gerbang dibuka, terlihatlah bentuk rumah mewah itu dengan jelas.
Mobil parkir di depan pintu utama. Nabila kemudian turun mengikuti asisten Hextor yang lalu masuk melewati pintu depan yang dibuka oleh seorang pembantu.
Arman menaiki tangga sambil sesekali menoleh ke belakang. "Ayo, kita langsung ke kamar baby Enzo!"
"Baby Enzo?" Nabila melebarkan matanya.
"Kadang dipanggil begitu. Namanya Muhammad Vincenzo Ibarez."
Setelah melewati beberapa kamar, Arman membuka sebuah pintu. Saat pintu terbuka, terdengarlah suara tangis bayi yang menyayat hati.
Seorang wanita muda berpakaian pelayan berwarna hitam putih-seperti pembantu yang tadi membuka pintu, sedang menggendong seorang bayi berambut pirang yang tampak rewel dan tak berhenti menangis. Ia sedang membujuknya dengan sussu botol di tangan, tapi bayi itu menolak. Wajah sang bayi sudah memerah saking kencangnya menangis.
"Oh, Pak Arman." Wanita itu terkejut.
"Lani. Serahkan saja bayi itu pada Nabila. Mulai sekarang, dia yang akan mengurus baby Enzo," ucap Arman memberi tahu.
Lani terkejut. Diperhatikannya pakaian Nabila yang warnanya sedikit pudar. Seketika ia nampak kesal.
"Kenapa harus perempuan miskin ini ...."
"Dia pilihan Tuan Hextor!"
Mulut Lani seketika terkunci. Dengan berat hati ia menyerahkan bayi itu pada Nabila.
Nabila melihat bayi itu kebingungan saat menangis. Tentu saja. Karena bayi itu baru pertama kali melihat wajah Nabila. Dengan sendirinya, tangis bayi itu berhenti dan bayi itu memperhatikan wajah wanita berkerudung krem itu. Nabila menatapnya dengan lembut.
"Ayo, kamu keluar," lanjut Arman lagi.
"Tapi bagaimana kalau ...."
"Sudah ... dia akan menyussui baby Enzo, jadi sebaiknya kamu keluar saja!" Arman menarik lengan Lani hingga mau tak mau wanita itu terpaksa keluar.
Pintu kemudian ditutup. Nabila tersenyum mengagumi wajah bule Enzo. Dengan mata berwarna hazel, rambut yang pirang dan kulit putihnya, bayi itu tampak seperti boneka. Disentuhnya hidung kecil Enzo yang terlihat menggemaskan. "Namamu Enzo ya?" ucap Nabila dengan lembut.
Bayi itu malah tanpa sengaja menyentuh dadda Nabila yang padat. Enzo terkejut dan matanya terus menatap bentuk padat yang menggiurkan itu.
"Kamu haus?" tanya Nabila lagi.
Seketika bayi itu mulai merengek pada Nabila. Nabila tersenyum lebar. Ia mulai membuka kancing bajunya dan menggeser keluar sumber ASI yang dinantikan Enzo. Enzo seketika tak bisa diam. Ia baru diam saat sumber itu telah masuk ke dalam mulutnya. Ia meminumnya dengan rakus.
Nabila tak bisa berhenti tersenyum. Ini mengingatkannya bagaimana bayi Haris dulu juga minum. Persis seperti ini, rakus. Hampir saja air matanya jatuh mengingat ini. Namun, kemudian ia sadar, segala sesuatunya sudah ditakdirkan. Haris hanya bisa bertahan di umurnya yang baru beberapa bulan. Enzo sepertinya masih lebih muda dari Haris. Haris meninggal di umur empat bulan. Mungkin Enzo baru berusia dua bulan karena tubuhnya sangat kecil.
Bersambung ....
Ketika Nabila mulai duduk di tepi ranjang, tiba-tiba pintu terbuka. Lani kembali masuk ke dalam kamar dengan wajah cemberut!
Nabila terkejut. Ada apa lagi wanita itu ke sini?
Lani datang membawa sesuatu di tangan. Diletakkannya pakaian itu di samping Nabila. "Kamu harus pakai ini kalau mau kerja di sini," ucapnya setengah berbisik. Ia takut Enzo tidak nyaman menyussu, tapi tetap saja, bayi itu terganggu. Enzo berhenti menyussu dan melirik Lani.
"Apa?" Nabila menatap pakaian yang sudah terlipat rapi itu dan kembali melirik Lani. Bukankah itu baju yang sama dengan yang dipakai wanita ini? Mana mungkin ia memakainya. Roknya saja di atas lutut dengan lengan pendek yang mengembang, ditambah celemek dan penutup kepala kecil yang berwarna putih. Baju ini terlalu vulgar untuknya! "Tapi aku gak bisa pakai yang ini, Mbak. Apa gak ada yang model muslim?"
Mulut Lani makin cemberut. "Kamu gilla, apa? Di sini yang perempuan, semua pakai pakaian ini kalau kerja! Jadi, jangan banyak membantah!" Perlahan-lahan suara Lani meninggi membuat Enzo tak nyaman. Bayi itu mulai menangis.
Lani dan Nabila nampak kaget.
Mau tak mau, Lani terpaksa mengalah dan pergi. "Pokoknya, kamu harus pakai ini! Tuan Hextor paling gak suka ada yang kotor di dalam rumah. Ingat itu!" ucapnya sebelum menutup pintu.
Nabila hanya bisa menghela napas. Ia tak mungkin memakai pakaian itu kecuali mereka mengubahnya sesuai dengan pakaian yang bisa ia pakai.
Dipandanginya wajah Enzo yang kembali menyussu. Dengan lembut, Nabila mengusap rambut Enzo yang bercahaya ditimpa sinar matahari dari balik gorden tipis yang menutup jendela. Ia juga menghapus jejak-jejak air mata di pipi Enzo. Bayi itu tampak tenang sambil satu tangan mungilnya menggenggam baju Nabila yang terbuka. Enzo sangat menikmati menyussu dengan Nabila walau ia tahu, wanita ini belum pernah ia lihat sebelumnya. Nalurinya berkata, wanita ini orang baik dan hanya wanita ini yang punya apa yang ia inginkan setelah hampir beberapa jam ia berjuang mencari sussu yang sama seperti yang diberikan ibunya. Ia tak mau minum sussu lain yang beda sumbernya.
Tak lama Enzo tertidur. Pelan-pelan, Nabila memasukkan bayi itu ke dalam boks bayi dan kemudian mengancingi bajunya. Bayi itu tidur dalam damai. Benar-benar damai sampai Nabila tersenyum melihat bayi kecil itu tidur tak bergerak sama sekali. "Wajahnya sangat lucu, tapi kenapa rambutnya pirang? Apa ibunya bule? Mmh ... gak aneh sih karena Pak Hextor juga indo. Eh, tapi ... nama anak ini dimulai dari "Muhammad" ya, yang berarti orang islam. Mmh ...." Ia teringat kembali pada bayinya. "Haris ... berkat melahirkanmu, sussu ibu berguna buat Enzo. Terima kasih, kamu mau membaginya dengan adek Enzo." Kembali ia menitikkan air mata, tapi cepat-cepat ia menghapusnya.
Nabila kembali duduk di tepi ranjang. Ranjang ukuran besar yang terlihat nyaman dan empuk. Apakah ia akan tidur di tempat ini?
Nabila membaringkan tubuhnya di ranjang. Rasanya melegakan setelah sejak kemarin seharian berjuang membawa berobat bayinya sambil melihat sang bayi kesakitan dan demam. Hari ini tugasnya menjadi ringan. Setelah melihat bayi sendiri meninggal di rumah sakit, ia merasa lega. Penderitaannya telah berakhir. Walaupun punggungnya masih terasa sakit tapi karena kelelahan, Nabila tertidur di ranjang dengan cepat.
***
Wanita itu tersentak bangun. Untuk beberapa saat ia berusaha mencerna, kenapa ia berada di tempat indah mirip taman kanak-kanak itu. Dindingnya berhias gambar-gambar kartun dengan rak-rak mungil dan boks bayi. Ia terduduk dan menyadari kejadian yang barusan terjadi. Nabila masih di kamar Enzo. Bayi itu masih tertidur.
Entah berapa lama ia tertidur, ia pun tak tahu. Jam di dinding menunjukkan angka tiga lewat sepuluh menit. Mungkin sebentar lagi azan Ashar. Perutnya seketika berbunyi.
Diusapnya perut itu pelan-pelan. Ia baru sadar ia belum makan siang. Sebenarnya Nabila tak naffsu makan, tapi karena habis menyussui, perutnya minta diisi.
Pelan-pelan ia turun dari ranjang. Ia harus memastikan si kecil Enzo tidak terbangun. Dengan hati-hati ia melangkah menuju pintu dan keluar.
Di luar tampak sepi. Ia begitu lapar. Di mana dapur di rumah besar ini?
Dilihatnya langit-langit di rumah besar itu berada di lantai dua. Nabila menuruni tangga. Sambil melihat sekeliling dan mengagumi kemegahan rumah itu, ia mencari dapur. Pasti berada di bagian belakang. Ia melangkah sambil memperhatikan perabot rumah itu yang tampak mahal. Rumah itu mirip rumah antik di Eropa. Bahkan empat kali lebih besar dari rumah majikannya yang sering menitipkan cucian padanya.
Nabila menemukan sebuah ruang terbuka yang dilengkapi peralatan dapur modern yang mewah. Dapur itu sangat besar, tapi ke mana orang-orangnya?
"Hei, ngapain kamu ke sini!?" Lani berdiri dengan bertelak pinggang.
"Eeh ...." Nabila menyatukan kedua tangan dan meremmasnya. "Aku ingin makan. Apakah ada jatah untukku?"
"Mmh! Kamu pikir kamu siapa!? Ini bukan waktunya makan! Kamu hanya boleh makan nanti, satu jam setelah jam makan dan ini sudah lewat dari waktunya!"
"Tapi setidaknya ada mi, kan, yang karyawan bisa bikin sendiri? Aku bisa kok masak sendiri." Nabila bicara pelan.
"Ya, sudah. Ambil saja sendiri!" Lani kemudian pergi.
Padahal tangan Nabila sudah terulur ingin menanyakan letaknya. Terpaksa ia turunkan dan berusaha mencarinya sendiri di dapur yang besar itu. Baru saja ia membuka laci di bawah kompor, seseorang berteriak mengagetkannya.
"Hei, ngapain kamu di sini! Kamu siapa!?" Seorang pria muncul di dapur itu. Ia memperhatikan pakaian Nabila. "Hei, kamu pengemis ya. Kok, bisa masuk ke sini? Aku harus bilang penjaga di depan, kalo begini." Pria itu bergegas ke luar.
"Eh, tunggu dulu! Bukan gitu ...!" Tangan Nabila kembali terulur. Kenapa jadi salah paham? Bagaimana caranya ia makan?
Tak jauh dari situ ternyata ada Lani yang bersembunyi di balik pintu. Wanita itu tersenyum miring melihat Nabila panik. Bahkan ia menahan tawa dengan menutup mulutnya.
"Ada apa ini?" Seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan datang ke dapur dan bertemu pria itu.
"Bu, ini ada pengemis yang masuk sampai ke dapur, Bu. Ini kenapa penjaga gerbang bisa kecolongan ya." Terang pria itu.
Wanita itu menatap Nabila. "Benar begitu?"
"Eh, tidak begituu ... aku dibawa Pak Arman ke sini." sahut Nabila yang kebingungan.
Wanita itu mengerut dahi. "Untuk apa?"
"Untuk menyussui baby Enzo."
"Kamu yang menyussui baby Enzo?" Wanita itu masih tak percaya.
"Iya. Pak Hextor sendiri yang minta padaku." Nabila terpaksa menggunakan nama pria itu agar wanita ini percaya.
"Oh!" Wanita itu menghela napas. "Kenalkan. Saya Mei, kepala pelayan di sini, dan ini Chef Okto." Wanita itu memperkenalkan dirinya dan pria itu. "Jadi, untuk apa kamu ke sini?"
"Aku lapar habis menyussui ...." Nabila bicara sambil menunduk.
"Ok, kalau begitu, akan kami siapkan. Kamu mau makan di sini atau di kamar baby Enzo?"
"Disiapkan?" Nabila terdengar ragu. Orang seperti dirinya disiapkan makannya? "Eh, tapi Saya bisa masak sendiri kok. Saya makan sama mi aja."
"Tidak boleh! Apa yang masuk ke tubuh baby Enzo harus makanan bergizi. Kamu yang menyussui harus makan makanan yang sehat ya. Nanti kita kena marah Pak Hextor."
"Tapi ...."
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!