NovelToon NovelToon

Salah Kamar

Dijodohkan jadi istri keempat Juragan Agus

"Alizha! Jangan banyak alasan lagi! Kau harus menikah dengan Juragan Agus. Titik!" suara bibi Ramlah meledak di ruang tamu yang pengap itu.

Alizha mendongak dari kursi rotan yang sudah reok—nyaris patah, wajahnya kaku menahan marah. "Saya masih delapan belas tahun, Bi. Juragan Agus itu sudah empat puluh. Apa Bibi tidak sadar, kalau itu sama saja menyerahkan saya pada lelaki setengah baya?"

Bibi Ramlah menghentakkan sandalnya ke lantai. "Justru itu bagus! Juragan Agus orang kaya. Lihat rumahnya, mobilnya, kebunnya! Kau pikir dengan apa kita bisa melunasi utang ini, hah?"

"Kami sudah mengambil banyak uang dari Juragan Agus, Lizha. Kalau kau menolak, habislah kita. Hutang kita tidak akan pernah lunas," kata Pakdenya yang sejak tadi diam sambil merokok dengan merk rokok suryo yang lumayan mahal.

Alizha terdiam sejenak, dadanya naik-turun. Ia memang tahu keluarga bibinya terjerat utang, tapi menyerahkannya ke lelaki beristri tiga itu? Itu terlalu kejam, kan?

"Biar saja saya kerja, Bi. Saya bisa cari uang sendiri, tidak perlu dijual begini!" suaranya meninggi, gemetar antara takut dan marah. Melawan jelas dianggap durhaka.

Namun bibi Ramlah menatapnya dengan tatapan dingin. "Kerja apa yang bisa cepat menutup utang ratusan juta? Kau? Perempuan keras kepala yang baru lulus SMA? Jangan mimpi! Juragan Agus sudah bayar panjar. Kau hanya tinggal masuk kamar dan resmi jadi istrinya. Setelah itu semua selesai."

Alizha tertegun, tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Bibinya benar-benar sudah menjualnya.

Pakdenya mendesah, "Lizha, terimalah. Anggap saja ini pengorbananmu untuk keluarga."

Matanya terasa panas. Hatinya ingin menjerit-jerit biar Bibi dan Pakdenya sakit kepala. "Pengorbanan? Atau sebenarnya aku sedang dijadikan barang dagangan?" batinnya.

Alizha berdiri mendadak, kursi rotan itu hampir terguling. "Kalau begitu, saya tidak akan pernah nurut! Lebih baik saya lari, daripada hidup jadi istri keempat seorang juragan tua!"

Bibi Ramlah menyeringai sinis. "Kau kira bisa kabur, hah? Jangan lupa, malam ini Juragan Agus sudah pesan kamar hotel. Kau harus ikut. Suka atau tidak, Lizha, mulai malam ini kau resmi jadi miliknya."

Alizha menutup telinganya. "Tidak ...."

Alizha menjerit-jerit tidak karuan. Kemungkinan saja, tetangga sebelah rumah mereka—ikut mendengar suara teriakan itu.

lagi pula, emangnya siapa yang mau dinikahi oleh pria tua? Yang bahkan, istrinya saja ada tiga. itu artinya, Alizha akan menjadi istri keempat.

"Tidak!" Alizha menjerit lagi. "Aku tidak mau jadi istri keempat!"

"Jangan teriak-teriak!" Bibi Ramlah menggetok kepalanya. "Kalau tetangga sampai dengar, habis kau!" ancamnya.

Alizha kembali duduk dengan asal, sampai lupa jika kurai rotannya sudah bergeser. Alhasil, Alizha pun terjatuh ke lantai pecah-pecah itu.

"Aduh!" keluhnya.

Bibi Ramlah langsung menunjuk dengan kesal. "Tuh, rasain! Kualat kau! Makanya jangan melawan!"

"Siapa yang melawan sih, Bi?" dengan lembut, dia usap bokongnya yang mungkin saja kena debu. "Saya hanya menolak. Menyampaikan pendapat, keinginan, dan persetujuan saya. Masa begitu saja dikatain durhaka."

"Makanya nurut!"

"Sudah, sudah!" Pakde mencoba melerai mereka. Tapi rokok sudah hampir habis tiga batang. "Zha, turutin saja. Kau akan hidup enak bareng Juragan Agus. Beliau orang kaya, Zha."

Alizha tepuk jidat, kepalanya menggeleng kuat. membayangkan jika dirinya benar-benar menikah dengan Juragan Agus. Dirinya yang masih muda, bertemu dengan calon kakek-kakek.

"Malam pertama, otewe encok dong dia?" Ia membatin sambil mengusap roknya yang berdebu. "Ya Allah, ngerinya."

Bule rusia

Malamnya, Alizha benar-benar tidak bisa kabur. Bibinya terus mengungkit soal biaya hidupnya, biaya sekolah, dan biaya rumah sakit almarhum ayahnya. Alhasil, dia menurut dengan ribuan ide untuk kabur.

Mobil tua milik tetangga Pakde—berhenti di depan hotel bintang dua yang lampunya berkilauan. Dari balik kaca, Alizha memandang dengan mata membelalak, tubuhnya bergetar menahan amarah. Malam ini, dia akan melayani pria tua yang memiliki istri tiga.

"Kenalan katanya, padahal mah udah kenal. Ngapain coba, harus berduaan di kamar hotel?" batinnya.

"Turun! Jangan bikin malu! Juragan Agus sudah menunggu di dalam," bentak Bibi Ramlah sambil menarik lengannya.

Alizha menepis kasar. "Saya ini berhijab, Bi! Kepala ketutup kerudung. Ya kali jual diri sama calon kakek-kakek begitu!" suaranya pun menggelegar, membuat beberapa tamu hotel menoleh penasaran.

Bibi Ramlah langsung menekan bahunya dengan tatapan galak. "Jaga mulutmu! Kau pikir berhijab itu bisa bayar utang? Berhenti sok suci, Lizha! Kalau tidak mau, biar saya yang seret kau masuk!"

Pakdenya menunduk, tidak berani ikut campur. Ia hanya berdeham pelan. "Sudahlah, Lizha. Ikut saja, jangan bikin keributan di sini."

Alizha memutar tubuhnya dengan wajah memerah. "Keributan? Memang seharusnya ribut, Pakde! Saya dijual seperti barang murahan! Apa kalian tidak malu?!"

Bibi Ramlah semakin keras menarik tangannya. "Diam! Kau itu cuma numpang hidup di rumah ini! Kalau tidak mau balas budi, jangan salahkan kami kalau nanti kau dibuang ke jalan!"

Alizha terhuyung, tangannya masih ditarik. Tapi dia melawan dengan sekuat tenaga. "Lebih baik saya tidur di jalan daripada tidur sama juragan tua itu! Saya bukan barang dagangan, Bi!"

Suasana jadi ricuh. Beberapa orang mulai melirik, resepsionis menatap dengan bingung dari balik meja.

Bibi Ramlah mendekatkan wajahnya ke telinga Alizha, suaranya berdesis. "Kalau kau berani lari, Lizha, jangan pernah kembali ke rumah itu. Ingat, utang ini bisa menghancurkan semua orang. Termasuk hidupmu sendiri."

Alizha menegakkan kepalanya. Sorot mata perlawanan, tapi berkaca-kaca. "Kalau begitu, biarkan saya hancur sekalian. Saya tidak akan menjual diri hanya untuk memenuhi keserakahan kalian!"

Dengan tiba-tiba, dia menghentak lengannya sekuat tenaga—membuat Bibi kehilangan pegangan. Tanpa pikir panjang, Alizha berlari ke arah lorong hotel.

Di sisi lain, seorang pria tengah duduk di sofa hotel. Kemejanya terbuka, dasi acak-acakan, dan aroma vodka masih terasa di tubuhnya. Matanya merah, penuh amarah bercampur frustasi.

"Sialan! Bisa-bisanya dia lebih memilih pria seperti itu daripada saya!" gumamnya dalam bahasa Inggris tercampur Rusia.

Asistennya, buru-buru membantunya duduk lebih tenang di ranjang. "Mungkin dia mencari yang tidak ada pada Anda, Tuan," katanya dengan hati-hati.

Pria itu menoleh dengan tatapan tajam, wajahnya memerah. "Ahk! Vsyo odinakovoye! Semua wanita sama saja! Mau mencari apa? Semua bentuknya sama saja!"

Asistennya menelan ludah, sadar ucapannya barusan salah tangkap. "Maksud saya ... ah, bukan begitu, Tuan."

Pria itu mendengus keras, menyambar botol vodka yang tinggal separuh. "Mentang-mentang saya tidak ingin pamer selangkangan, dia malah mencari yang mau pamer! Dasar murahan!"

Asistennya ikut mengangguk cepat-cepat dengan wajahnya yang kaku. "Benar, sangat murahan sekali. Tapi sebaiknya Anda istirahat saja, Tuan. Your health is more important."

Pria itu menepuk dahinya sambil tertawa miris. "Health? Ha! Carikan saya gadis muda saja. Saya butuh seorang gadis, untuk bersenang-senang."

Asistennya langsung terperangah. "Tapi, Anda tidak pernah tidur dengan gadis mana pun, Tuan."

"Carikan satu gadis!" bentaknya sambil mendorong bahu asistennya. "Kalau tidak, ya uvolen! Saya pecat kau!"

Asisten itu menghela napas, menunduk pasrah. "Baik, Tuan."

Asistennya pun keluar dari kamar dengan wajah kusut, menggaruk kepala keras-keras. "Gadis? Gadis apa maksudnya? LC gitu? Gila aja, masa iya Tuan mau melepas keperjakaannya sama gadis bayaran? Yang benar saja!"

Dia menghela napas panjang. Pikiran bercampur aduk, antara takut dipecat dan bingung harus mencari di mana. "Kalau salah pilih, bisa-bisa kepala saya yang melayang."

Dengan berat hati, ia melangkah menyusuri koridor hotel. Pandangannya menyapu kanan-kiri, berusaha mencari sosok yang 'layak' tanpa membuat bosnya semakin marah.

"Cari gadis? Saya ini asisten, bukan calo, Tuan." Ia mengibaskan tangan, memilih mengabaikan keributan yang terdengar dari ujung lorong.

Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berlari—Alizha. Kerudungnya sampai bergeser, wajahnya pucat, matanya begitu liar mencari jalan untuk kabur. Di belakangnya, suara berat Juragan Agus menggema, "Alizha! Jangan lari! Kau tidak akan bisa sembunyi!"

Asisten itu hanya mendengus. "Bukan urusan saya." Ia segera berbelok ke sisi lain lorong, meninggalkan mereka.

Alizha hampir tersandung tumit sepatunya, jantungnya berdegup kencang. Tangannya meraih gagang pintu kamar satu per satu. Terkunci. Terkunci lagi.

"Ya Allah ... masa tidak ada yang terbuka, sih?!" bisiknya panik.

Sampai akhirnya, satu pintu tidak terkunci. Tanpa pikir panjang, ia mendorongnya masuk, dan menutup pintu dengan cepat.

Kamarnya gelap, remang-remang. Aroma alkohol menusuk hidungnya. Tapi dia tidak tahu itu aroma apa. Melainkan lebih fokus dengan Juragan Agus.

Alizha menempelkan punggungnya ke pintu, menarik napas panjang. "Alhamdulillah, akhirnya lolos dari juragan tua itu."

Ia tak sadar, di balik kegelapan kamar itu, ada sepasang mata yang sejak tadi menatapnya dengan tajam.

Alizha menempelkan telinganya ke pintu, napasnya memburu. Dari luar terdengar ketukan keras, disertai suara berat Juragan Agus.

"Alizha! Saya tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!"

Panik, Alizha berusaha menahan pintu dengan kedua tangannya. "Ya Allah, tolonglah! Jangan sampai kebuka," gumamnya, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya.

Saat bersamaan pula, dari belakangnya terdengar suara gesekan kain. Alizha terdiam kaku. Ada langkah berat menghantam lantai kamar yang remang-remang itu.

"Alamak, jangan bilang ini kamar orang?!" batinnya.

Belum sempat berbalik, ia merasakan sesuatu. Tubuh tinggi besar berdiri tepat di belakangnya, panas napasnya begitu dekat. Tangan kokoh itu tiba-tiba bergerak melewati pinggangnya, lalu—

Klik.

Ternyata dia mengunci pintu. Refleksi Alizha membelalak, membeku di tempat. Dari luar, ketukan pun berhenti.

Pria itu bergumam santai dengan suara berat, sedikit serak karena alkohol. "Anton memang bodoh. He brought me to this cheap hotel. Even the lock is manual." (Dia membawaku ke hotel murahan begini. Bahkan kuncinya masih manual.)

Alizha menahan napas. "Bahasa Inggris? Orang asing?" batinnya panik.

Perlahan ia menoleh, lalu berbalik sepenuhnya. Saat pandangannya jatuh pada wajah pria itu, mulutnya nyaris ternganga. Tubuh tegap, rahang tegas, sorot mata tajam meski terlihat lelah.

Jantung Alizha berdegup kencang. "Ya Allah, makhluk apa ini kok ganteng sangat?!" batinnya.

Ia sampai berkedip cepat, seolah ingin memastikan yang ia lihat bukan halusinasi. Alizha masih terpaku menatap wajah pria itu. "Astaga, kok bisa ya ada wajah sesempurna ini di dunia nyata?"

Jantungnya seakan mau copot, tapi kakinya kaku, tak bisa bergerak.

Tanpa banyak kata, pria itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya pelan. Suaranya yang berat, terdengar asing di telinga. "Пойдём со мной." (Ikut saya.)

Alizha membelalak. "Wow, wow, wow! No, no, no, mister. Ampun, mister. Saya nyasar ke sini, sumpah nyasar!" katanya reflek, panik setengah mati.

Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dengan dahi berkerut. Seakan tak mengerti ocehan Alizha yang campur aduk, ia bergumam lagi, kali ini dalam bahasa Inggris. "Relax. You’re too noisy."

Alizha makin panik. "Noisy? Ya jelas saya ribut! Saya bukan ... bukan cewek panggilan! Saya cuma—"

Namun pria itu tampak tidak peduli, malah bicara lagi dengan campuran Rusia yang terdengar dingin. "Vsyo prosto. Stay. Don’t move." (Sederhana saja. Tetap di sini. Jangan bergerak.)

Alizha mundur selangkah, niatnya hendak lari. Tangannya meraih gagang pintu, tapi ... Ia menoleh, wajahnya langsung memucat.

Pria itu dengan tenang mengeluarkan kunci dari sakunya, memainkannya di antara jari-jarinya. Sebuah senyum miring muncul di bibir.

Alizha hampir menjerit. "Ya Allah! Dia kantongi kuncinya! Mati aku!"

Pria itu hanya menatapnya dalam diam, seolah sedang menimbang sesuatu.

Alizha menelan ludah, pandangannya bergantian ke wajah pria tinggi itu dan kunci yang berputar di jarinya. "Astaga, Lizha, mati gaya banget kau! Pantang lihat yang handsome, handsome," batinnya.

"Aku harus jelasin! Harus jelasin!" batinnya lagi.

Ia mengangkat tangan dengan gelagapan. "Listen, mister! I am not, not ... lady service, oke? Saya bukan ... uh, open business girl!"

Pria itu mengerutkan dahi. "Что?" (Apa?)

Alizha makin panik. "No, no! I am pure girl! Very, very pure! Hijab, you see? This is hijab!" Ia menepuk kerudungnya sendiri dengan heboh.

Pria itu diam menatapnya, ekspresi antara bingung dan menahan tawa.

"Please understand, mister! I am not sell-sell! I am ... lost girl. Nyasar. Totally nyasar!" kata Alizha makin ngawur.

Pria itu memiringkan kepala, lalu mengulang pelan dengan aksen tebal, "Lost ... girl?"

"Yes! Yes! Lost! Like ... wrong door, salah kamar, gitu! Accident! Totally accident!" Alizha sampai mengibas-ngibaskan tangan, seolah menepis tuduhan yang tidak pernah ada.

Pria itu malah menatapnya makin tajam. "Hem. Interesting."

Alizha menutup wajah dengan kedua telapak tangan, wajahnya panas bukan main. "Ya Allah, bahasa Inggris aku kayak google translate rusak! Ini orang makin bingung pula!"

—tbc—

Sama-sama bingung.

Pria itu kini berdiri dengan dada bidangnya menghadap Alizha, satu tangannya berkacak pinggang sementara kepala dimiringkan sedikit. Tatapannya seperti heran, seperti sedang menilai makhluk aneh yang tersesat masuk ke kamarnya.

Alizha makin panik. Dia meremas ujung bajunya, mencoba bicara dengan bahasa Inggris seadanya.

"I am ... tourist! No, no—student. Uh ... I am not ... bad people. I am ... pure girl, halal, halal!" ujarnya asal-asalan.

Pria itu hanya mengedip sekali, bibirnya berusaha terkatup seakan menahan tawa.

Alizha makin frustasi. "You understand me? I ... lost. Very lost. Super duper lost!"

Karena pria itu masih menatapnya tanpa reaksi, Alizha gemas sendiri. Dia menghela napas, lalu menghentakkan kakinya keras-keras di lantai.

"Ya Allah! Kenapa bahasa Inggris-ku jadi amburadul gini sih?!" katanya dengan kesal, memprotes ucapannya sendiri.

Pria itu berkedip lagi, kali ini makin heran, lalu bergumam dengan suara berat, "Strannaya devochka." (Gadis aneh)

Alizha menutup wajah dengan kedua tangan, antara ingin menangis atau ketawa sendiri karena malu. Bingung dan bingung.

Lalu, Alizha semakin panik ketika melihat pria asing itu mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, lalu dasinya ia tarik sembarangan sampai terlepas.

"Ya Allah ... No, no, no! Jangan apa-apain saya, mister! Saya masih suci, saya berhijab! Saya bukan, bukan ...," kata-katanya tercekat, tangannya melambai-lambai di depan dada seperti kipas.

Pria itu justru terlihat malas untuk menanggapi. Setelah melepaskan kemejanya, ia lemparkan ke kursi terdekat. Lalu dengan santai ia duduk lagi di sofa, seolah Alizha hanyalah lalat ribut di sekitar telinganya. Tangannya meraih ponsel, menyalakan layar, lalu mulai mengetik sesuatu tanpa peduli dengan drama di hadapannya.

Alizha yang sejak tadi tegang, malah semakin kikuk. "Astaga, jadi dia cuma kepanasan? Bukan ... bukan mau macem-macem?" pipinya merona malu, tapi mulutnya masih tetap cerewet.

"Mister, you know ... saya bukan ... eh, not hotel girl. Saya nyasar, you understand? Nyasar! Accident masuk room!" katanya lagi, dengan bahasa yang kacau.

Pria itu mengangkat kepalanya sebentar, menatap Alizha dengan ekspresi serius. Ia bergumam dalam hati, "Ini makhluk apa sih?" lalu kembali menunduk ke ponselnya.

Alizha menghela napas keras, menghentakkan kaki dengan kesal. "Duh, kenapa lidahku belepotan gini sih!"

Sementara pria itu hampir saja tersenyum, menahan tawa karena melihat polahnya yang heboh. Pria itu menyandarkan tubuh ke sofa. Lalu suara berat yang datar, ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Rusia.

Alizha menajamkan telinganya, tapi tentu saja tidak paham sepatah kata pun. Hanya samar-samar terdengar 'devushka' dan 'angliyskiy', yang membuatnya tambah bingung.

"Astaga ... jangan bilang dia nelpon temennya buat culik aku?!" pikirnya panik, menatap pria itu penuh curiga.

Tapi kemudian wajahnya berubah, antara takut dan kagum.

Alizha dalam hati menjerit, "Alamakjang! Aku malah disuguhi bule ganteng begini. Ampun mataku ya Allah!"

Dia buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan, tapi jemarinya menyempil, tetap ngintip. "Istighfar, Zha, istighfar! Dosa, dosa!"

Sementara itu, pria itu malah masih saja tenang. Dia bicara ke asistennya, "Jangan buang waktu mencari seorang gadis lagi. Aku sudah menemukannya."

Alizha masih berdiri di depan pintu, kedua tangannya saling bertautan di dada, wajahnya penuh waspada. Pria itu—yang ternyata sedang serius berbicara lewat ponsel—sekali-sekali menatapnya.

Selesai menutup telepon, pria itu berdiri, berjalan ke arah dapur kecil, lalu mengambil botol minum yang ber-merk aneh. Baru saja meneguk, Alizha malah buru-buru mengangkat tangan seperti polisi lalu lintas.

"Stop! Jangan kasih saya racun ya, Mister! Saya belum nikah, belum punya anak!" teriaknya dengan logat Inggris yang masih saja belepotan, sampai-sampai membuat pria itu terhenti dan hanya memandanginya.

Dengan ekspresi penuh heran—pria itu memiringkan kepala, keningnya berkerut. "Я даже не понял, что ты сказала." (Saya bahkan tidak mengerti apa yang barusan kamu katakan.)

Alizha semakin panik. Ia menghentakkan kaki, lalu menunjuk botol minum itu dengan mata melotot. "Water? Poison? No, no! I die—finish!" katanya sembari menepuk dadanya sendiri dengan dramatis.

Pria itu akhirnya tidak tahan, menutup wajah dengan tangan karena hampir tertawa. "Ты сумасшедшая." (Kamu gila.)

Lalu ia kembali menenggak air dengan santai.

Alizha yang melihatnya langsung terbelalak. "Astaghfirullah! Nih bule malah uji nyali minum racun depan saya!"

Pria itu masih berdiri sambil menegak habis botol minumnya. Kepala yang tadi berdenyut karena efek alkohol seketika terasa lebih ringan—bukan karena minuman, melainkan ulah gadis desa yang heboh itu. Dia berjalan santai menuju ranjang, lalu menjatuhkan tubuhnya duduk dengan elegan. Tangannya terulur, menepuk sisi kasur—memberi isyarat agar Alizha duduk di sebelahnya.

Alizha langsung melotot. Wajahnya merah padam, mulutnya terbuka lebar. "Oh no, no, no! Mister jangan panggil-panggil saya begitu! Saya bukan ... bukan ... apa itu?!" Dia gelagapan, tangannya berkibar-kibar seperti kipas.

Pria itu mengangkat satu alis, kepalanya sedikit miring menatap dengan heran. "Садись." (Duduk.)

Alizha semakin panik. "No! Saya bukan cewek panggilan mister! Jangan bikin saya duduk di kasur! Itu ... itu dosa besar, tahu! Astaghfirullah!"

Dia bahkan sampai menghentakkan kakinya sendiri, berputar ke kiri-kanan seperti ayam kehilangan arah.

Pria itu akhirnya menutup wajahnya dengan telapak tangan, bahunya berguncang menahan tawa. "Что за цирк?" (Pertunjukan apa ini?) gumamnya dengan geli tercampur bingung.

Alizha oun semakin salah paham. "Apa lagi itu?! Kau mau santet saya, ya, mister?! Aduh mati aku. Ya Allah, kalau aku mati, kuburannya jangan jauh-jauh dari emak!"

Pria itu menepuk sisi ranjangnya sambil menatap Alizha dengan wajah serius. "Tуда, сядь." (Duduk sini.)

Alizha langsung melotot. "Duduk maksudnya? Duduk apaan! Saya nggak mau, mister! Saya masih suci, saya nggak rela!"

Pria itu menghela napas panjang, sabarnya ternyata sudah hampir habis. Ia bangkit, lalu menarik pergelangan tangan Alizha dengan pelan.

"Aah! No! Jangan tarik-tarik saya begitu! Saya bukan kambing, mister!" Alizha meronta sampai kakinya menghentak-hentak lantai.

Pria itu mengeraskan rahang, lalu kembali mengucapkan, "Сядь спокойно." (Duduk tenang.)

"Apa? Duduk spoy ... spoy? Oh Tuhan, ini kode aneh apalagi! Jangan-jangan ini mantera bule buat bikin saya pingsan?! Tidak, mister!"

Ia malah semakin heboh, sampai kerudungnya berantakan dan dasternya tersangkut ke kursi. Pria itu akhirnya berhasil menariknya ke sisi ranjang, menepuk bahunya agar diam.

Alizha langsung menutup matanya sambil kedua tangan menutupi wajah. "Aduh Ya Allah, kalau memang harus diculik bule ganteng. Semoga dia minimal ngajak ke restoran dulu, jangan langsung gini dong!"

Pria itu mendengus, jelas-jelas menahan tawa, tapi wajahnya tetap terlihat datar. "Боже мой." (Ya Tuhan) gumamnya sambil mengusap wajah sendiri.

Alizha mencoba mengumpulkan keberaniannya, meski suara hatinya bergetar hebat. Dia menatap tajam ke arah pria itu sambil menunjuk dengan jari gemetaran.

"Ingat, Mister! Malaikat tidak tidur untuk mencatat dosa kita! Saya tidak mau begini, ya! Dosa besar!" katanya dengan nada tegas penuh ceramah ala ustazah dadakan.

Pria itu hanya menaikkan sebelah alis, tidak mengerti satu kata pun. Wajahnya malah terlihat makin bingung, seolah sedang menatap tontonan lawak siaran langsung.

Alizha buru-buru bangkit dari ranjang, hendak menghindar. Tapi pria itu sigap, langsung menarik pergelangan tangannya agar duduk kembali.

"Hei! Lepaskan, Mister! Saya bisa marah, lho!" teriak Alizha dengan panik.

Pria itu ikut mengomel dalam bahasa Rusia, "Сядь спокойно, глупая девчонка!" (Duduklah tenang, gadis bodoh!) sambil berusaha menahan Alizha yang memberontak.

"Apaan sih? Bahasa planet mana lagi tuh!" Alizha makin panik, menendang-nendang kakinya ke udara.

Pria itu semakin jengkel karena gadis itu terus meronta. Alizha berusaha mendorong dada bidang pria itu dengan kedua tangan mungilnya, tapi bukannya berhasil lepas, malah tubuhnya oleng.

"Waduh! Saya bilang jangan tarik-tarik! Saya bisa jatuh—"

Dan benar saja, tubuh Alizha terpeleset ke depan. Pria itu kaget, refleks meraih pinggangnya. Bukannya menyelamatkan dengan elegan, keduanya justru sama-sama kehilangan keseimbangan.

BRUK!

Mereka jatuh ke atas ranjang. Alizha meringis, wajahnya merah padam karena posisi mereka jadi serba salah.

"Astaghfirullah, Mister! Ini sudah dosa tingkat internasional! Huaaa!" teriaknya, menutup wajah dengan kedua tangan.

Sementara pria itu menghela napas panjang, masih menahan kepalanya yang pusing karena ulah gadis cerewet ini.

Ketukan keras di pintu membuat Alizha hampir meloncat dari kasur. Pria itu langsung bangkit, berjalan santai seolah tidak ada apa-apa, lalu membuka pintu.

Seorang pria muda dengan setelan rapi masuk sambil membawa map. Alizha langsung panik, matanya membesar. "Ya Allah, ini mah udah fix! Aku mau dijual ke mafia internasional!"

Dia buru-buru melompat ke sisi ranjang, mencari sesuatu untuk melindungi diri. Matanya menyapu sekeliling—dan yang paling dekat hanya bantal empuk. Tanpa pikir panjang, dia meraih bantal itu dan memeluknya di dada.

"Asisten mafia datang! Astaghfirullah, Zha! Jangan nangis, jangan nangis. Hadapi dengan iman!" batinnya, tubuhnya gemetar tapi matanya dipaksa melotot garang ke arah keduanya.

Pria itu menoleh ke arahnya, keningnya berkerut. Sementara asistennya ikut melirik dengan heran.

Alizha malah mundur ke dinding sambil mengangkat bantalnya seperti perisai. "Saya tahu, Mister! Kalian pasti komplotan! Jangan macam-macam, ya! Saya punya Allah yang Maha Kuasa! Sekali kalian sentuh saya, malaikat mencatat kalian masuk neraka jahannam!"

Asisten itu membeku, melirik tuannya dengan ekspresi bingung. "Ini gadis ngomong apa, Tuan?"

Pria itu justru mengangkat tangan ke pelipisnya, menahan tawa yang hampir saja lepas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!