"Ko datang dengan kemasan perih yang tampak jelas di sorot mata sahabatku lewat kisah-kisah mencintai dalam diamnya."
♡♡♡♡
Tomboi, mungkin takkan bisa terlepas dan selalu tersemat pada Rara Fairus yang sedang sibuk merapikan jilbab berwarna putih depan cermin.
Terkadang ko cantik sekali atau de manis sebatas angin sepoi menyejukkan hati keluar lewat rongga malas tahu milik jiwa Rara.
Tidak ada yang spesial, karena dia bukan sebuah nasi goreng yang pakai karet merah atau terang bulan pakai keju lumer.
Terlalu banyak perempuan di luar sana lebih mementingkan gaya dibandingkan kebaikan hati, semakin menjadikan diri pongah dan membuncah kalau melihat perempuan lain jauh lebih menarik dibanding diri sendiri.
Kun anta. Dua kalimat sederhana tapi sulit dalam menerima dengan lapang dada.
“Haha,” kok ada sesuatu yang menggelitik perut Rara? Lucu, terkadang kembali mengingat kisah manis dari teman-temannya sendiri.
Datar, tak ada yang ditampilkan dengan sumringah terpantul oleh cermin. Diksi cantik tak diinginkan tersamat dalam hati yang bakal menjadi diri belagu. Cukup otak dibawah standar menohok jiwa-jiwa yang meringkih saat rumit mendapati posisi terbaik telah lama diidamkan.
Masuk lima besarlah mimpi Rara, jangan terlalu melambung tinggi buat bermimpi berada di peringkat pertama. Otak saja tidak mencukupi untuk bisa berada di sana.
Kenapa selalu saja Rara sensitif kalau bahas cantik depan sahabat sendiri sekalipun? Karena satu hal, dia tidak terlalu pandai dalam hal bidang pelajaran di sekolah hanya bisa di olahraga tok. Kadang buat dia diam-diam iri dengan kemampuan sahabat sendiri yang langganan mendapati posisi juara dua.
“Buat apa sih harus iri dengan sa? Cantik juga tidak,” terkadang sering bergumam
menuju sekolah mengemudi motor sendiri.
Rara bingung dengan pola pikir sahabatnya itu yang dikenal lewat sosmed, apa dengan
ukuran cantik cukup buat dahaga jiwa lega? Tidak. Kecantikan sebenarnya dari hati bukan paras.
Yang paling dipuji Rara adalah kecantikan luar dalam apalagi pintar dan rendah hati. Beh, patut di berikan jempol. Itu adalah cantik yang sesungguhnya.
Sampai di sekolah, merasa ada yang menjanggal pikiran gadis itu. Apa yah? Berusaha
menghilangkan kegelisahan dalam diam.
“Yang belum kenyang, silahkan kembali ke kantin, tapi ingat setelah makan jangan harap bisa masuk ikut pelajaran ibu, paham semua?!”
Kedua bola mata Rara masih saja gelisah memerhatikan guru killer duduk menjelaskan
depan kelas.
“Tidak tahu kenapa ibu geram sekali kalau masuk jurusan ini, bisingnya tidak bisa hilang.” Kesal beliau, saat sedang mencoret sesuatu di papan tulis.
Jangan ditanyakan lagi, memang jurusan multimedia sangat berisik. Susah buat diajak
kompromi diam sejenak saja saat jam pelajaran berlangsung.
“Baik, kumpulkan PR minggu lalu kalian depan kelas,” beliau duduk dengan menghelakan napas bersamaan menaruh spidol diatas meja.
Berbondong-bondong menaruh buku mereka ke depan kelas, malas berdesakan Rara lebih memilih sepi lalu mengumpulkan PR-nya ke depan.
Syukur..tadi bisa sempatkan waktu buat kerja, tra masalah sudah nanti nilainya seperti apa. Pikir Rara dengan riang.
Saat keributan berlangsung dan guru keluar sebentar menerima panggilan dari HP, dengan kecepatan kilat Rara mengerjakan tugas itu.
Rara sangat benci pelajaran Fisika, ah..pokoknya bersangkutan dengan angka bikin kepala mumet.
“Bagaimana tadi pelajaranmu, Ra?” Disambut dengan riang oleh Avisa, sahabatnya saat mereka sudah duduk di bangku kantin sekolah.
“Ah..pusing, tadi saja sa tulis PR kilat!” Gerutu Rara.
Avisa hanya tertawa mengejek, “makanya, jan selalu benci angka kah, Ra. Pelajarannya menyenangkan kok, hanya saja ko yang malas belajar.” Mulai deh di khotbah, semakin buat Rara memutar mata dengan jengah.
“Bisa ndak tra usah bahas pelajaran angka? Sa lapar jadinya dengar ko cinta pelajaran itu!” Rara berkata ketus lalu berjalan cepat ke dalam kantin.
“Ra..ih, sa bilang tuh su benar, siapa suruh malas belajar! Nanti pulang sekolah sa bantu ko memahaminya supaya nanti UN tra kesulitan.” Avisa mengejar lalu mengambil makanan yang ingin dikonsumsi bersama sahabatnya di meja kantin.
Rara melihat dengan tatapan sinis, “seumur hidup sa malas belajar, apalagi buat mencintai mereka-mereka yang ada sa tambah stres!” Dia pun berjalan dengan mood kurang baik.
“Masa sih ko terus-terusan malas belajar pelajaran angka? Itu penting loh buat ko masa depan nanti, Ra.” Avisa duduk depan sahabatnya dengan wajah bengong.
“Kan masa depanku bukan di ko tangan, jadi tra usah bacot makan sudah, nanti keburu bel masuk pelajaran kedua.” Kesal Rara, lalu mengunyah makanan dengan wajah sangar.
Fuh, baiklah Avisa mengalah kalau perdebatkan soal pendidikan takkan bisa menang, terlebih sahabatnya keras kepala.
Cukup lihat Rara rajin sekolah saja sudah buat perempuan itu senang.
♡♡♡♡
Rara sibuk duduk bersama kesunyian, ralat di tengah keramaian sekolah dia sedang terperangkap sepi. Karena memang faktanya seperti itu, setelah hubungan bersama Reihan berakhir tak ada lagi tawa derai seperti biasa di tampakkan gadis itu.
Hanya bermain dengan sunyi pun melamun tidak jelas. Terkadang kena teguran oleh guru yang sedang lewat di tangga sekolah.
Toh, itu urusan Rara kenapa mereka sibuk?
“Ra?!” Seru Avisa dari bawah tangga.
Dengan tergesa naik ke atas tangga lalu duduk disamping sahabatnya itu menampilkan wajah sumringah, jelas buat Rara mengernyit.
“Ih, Ra, kakak kelas itu loh, ganteng sekali! Sa pengen sekali jadi pacarnya. Tapi sayang, dia sudah punya pacar yang tra lain ko punya teman sekelas, Naura.” Diksi terakhir buat intonasi berganti lirih.
Bisa dengan jelas, ada ruas-ruas terdengar patah dari penuturan sahabatnya itu. Lalu, terbayang-bayang mengenai, “namanya Luthfi, Ra!” Seru Avisa, saat hampir terbentang nama lain di benak gadis itu.
Rara semakin bingung. Nama yang asing dan baru terdengar daun telinga gadis itu. “Ko suka dia dari kapan jadi?” Tanya Rara kepo.
Tampak sahabatnya berpikir, “eng..sejak SMP pas sa ketemu de tuh lewat kegiatan rohis.”
Oh, sudah lama toh. Tapi..Luthfi yang mana eh? Lah kok Rara semakin kepo dengan sosok nama yang di bahas sahabatnya dengan perasaan menggebu tapi sayang telah termiliki kekasih.
“Trus, de tahu kah tra soal ko suka sama dia?” Eh, diksi tersebut tercetus dengan spontan dari bibir Rara.
Dapat gelengan pelan dong dari Avisa semakin buat dia melongo tak percaya.
"Sudah ah, tra usah lihat ke tempat lain, gunanya sa buat ko cerita!” Greget Rara saat melihat perempuan itu sudah mulai menampakkan bola mata yang lirih.
Terlihat Avisa berbalik denga ekspresi desir, “tapi kan, Ra? Sa suka sama kakak itu karena de jago main gitar.”
Deg. Seperti aliran listrik buat detak itu abnormal berasal dari Rara. Jangan bilang rasa itu mulai tumbuh setelah mendengar penuturan sahabat sendiri?
Arg. Kok mendadak Rara berdecak kesal sih? Atau hanya kebetulan saja saat lihat penampilan yang tidak salah ingat Rara melihat salah satu anak band sumbang lagu saat acara sekolah mereka satu semester yang lalu?
Tapi, Rara tidak terlalu lihat dengan seksama siapa itu Luthfi, karena hanya lihat sepintas saja.
Duh, kenapa saat sudah menemukan sayap ke surga harus mendapati fakta kalau one the way menumbuhkan rasa dengan cowok yang sama untuk kedua kalinya?
Oh, tidak. Pertemuan mereka karena mantan yang sama itu pun yang kali pertama mengajak chat adalah Avisa semakin buat Rara saat itu bingung hebat. Ada perempuan asing chat dia di facebook.
Jujur, mantan sama adalah prantara mengirim sayap-sayap tulus ke Rara.
Ih, menyebalkan kan, sekarang ingatan itu terputar mengenai ..
Avisa :
Oh yah, Ra, pacarmu sih Drika toh? Awas, dia tuh cowok playboy, nanti yang ada ko disakiti sama dia.
Sempat buat Rara melongo dengan penuturan perempuan asing yang sudah jadi sahabatnya sekarang lalu..
Rara :
Masa sih? Tapi sejak pacaran sama dia, belum ada kata-kata menyakiti sa sih.
Tanpa sadar di lain tempat, perempuan itu berdecak gusar, “ji..orang kasih tahu pala batu kali! Yang ada nanti juga galau.” Sama seperti apa yang sudah Drika berikan ke sa dan kak Norma sih, imbuh Avisa dengan desiran hebat.
Setelah chat cukup berjangka waktu lama, tidak lama kemudian mereka menjadi teman dekat dan melihat status facebook kalau Avisa bakal menjalankan operasi usus buntu, jelas..buat Rara ingin datang membesuk pasca operasinya. Semakin buat Avisa bingung kok ada orang yang nekat datang ke rumah padahal baru kenal lewat sosmed.
Tak mau ambil pusing, mencoba memberikan alamat rumah tapi tidak lengkap hanya di jalan bandara. Pasti bercanda doang, pikir Avisa kala itu.
Bukan hanya dekat dengan Avisa melainkan mantan pertama Drika, bersama teman liqo Anidita. Setelah menunggu mereka turun dari taksi, menelpon, “sa alamat rumah di jalan bandara, warung makan padang.” Kata Avisa di seberang telepon.
Kala itu Rara bingung di mana letak rumah perempuan tersebut. Dan, saat bersua langsung kesan pertama yang bisa ditangkap Avisa kala itu tomboi dengan mengenakan baju dimana lengannya di lipat dan celana sobek-sobek sudah seperti preman pasar, saat itu Rara belum mengenakan jilbab.
Mereka dalam kamar bercanda dengan blak-blakkan hingga tercipta sebuah curhat dari Rara mengenai Drika yang sudah resmi jadi mantan.
Norma di mana yang menjadi mantan pertama Drika, hanya senyum-senyum menanggapi cerita gadis itu.
Dan memoar masa lalu dengan mantan sama, tak ingin mengundang luka satu sama lain. Karena cukup menjadi sahabat Avisa adalah hadiah terbaik dari Tuhan. []
notes :
Tra \= Tidak
Trada \= Tidak Ada
De \= Dia
Ko \= Kamu
Sa \= Saya
SMANSA itu adalah singkatan nama dari sekolah SMA Negeri Satu.
Kanjang \= Kantin Panjang.
...“Duh, kalau saja Avisa tahu sedang menyimpan angan mendapati kidung Luthfi mungkin sebatas imaji Rara. Karena impossible mendapati hati cowok itu. ”...
♡♡♡
Album terlampir lembar nostalgia, terbang oleh waktu tak kembali beri kebahagiaan saat tertawa lepas seperti dulu lagi. Dan, sekarang Rara hanya bisa termangu dan menerowong apa saja kesalahan saat masih bergandeng romansa dengan Reihan, “tidak ada sama sekali.” Cetus Rara dengan getir.
Cukup belum bisa melupakan mantan yang masih satu kelas dengannya, selama belum lulus yah berkecamuk lagi dengan masa lalu.
“Rara!” Teriak perempuan itu dari arah bawah, melihat dengan malas.
Tertawa hambar, kenapa sih ruas-ruas itu terdengar sangat ringkih? Apa salah tidak bisa bahagia dan ungkapan menyakiti bisa tak sampai di daun telinga Rara? Cukup berakhir dengan mantan yang masih terkasih, menyakiti hati kenapa lagi sih harus mendapati penuturan menyayat hati Rara?
“Kenapa sih masih hobi sendirian?! Tra baik melamun begini, nanti ko sakit lagi.” Avisa mengingatkan sambil mengelus pundak sahabatnya.
“Trada, sa hanya bingung hal apa yang harus bisa sa lakukan agar kebahagiaan bisa terus sa pegang. Padahal kan selama pacaran sama ko om sendiri, sa selalu lakukan yang terbaik kan? Bahkan..sempatkan isi pulsa dengan diam-diam tanpa sepengetahuannya.” Lagi, Rara tertawa hambar mengingat perpisahan menyakitkan dengan Reihan.
Avisa tertunduk melihat wajah yang masih sama, mencintai satu orang yang sulit terhapuskan begitu saja dalam dada.
“Bagaimana kalau kita ke kantin depan sekolah saja? Pen makan bakso,” rajuk Avisa dengan pupy eyesnya. Buat Rara tersenyum, lalu berdiri ke kelas mengambil dompet dalam ransel.
Saat sampai di sana,
“Kenapa ko lebih pilih masuk di smk sih? Bukannya ko mau masuk di smansa?” Rara heran sendiri sambil menunggu pesanan mereka datang.
Justru Avisa terdiam sambil memberikan senyum terbaik, itu bukan bahagia tapi menyembunyikan luka.
Tidak lama kemudian, “sa lebih pilih keperawatan saja, karena di smk ada ko, trapp sa
sudah ikhlaskan teman-temanku disana walau sempat di protes sih sa tra masuk sama-
sama mereka.” Setelah itu tertawa.
Bukan. Rara tidak menginginkan jawaban yang menenangkan perasaan nafsi, melainkan keterbukaannya kenapa harus ada dia di smk lantas mengorbankan pertemanannya sedangkan dia bukanlah sahabat terbaik, terkadang ada cekcok yang buat Rara sadar kalau sahabatnya lebih pantas dengan mereka yang di smansa, tapi
kenapa Avisa lebih pilih berada di sekitarnya?
Dan, bukan kali pertama saja mendengar penuturan kenapa masuk di smk. Pernah..menunggu martabak dibuat mereka bersandar di body motor, “sa pengen jadi
dokter, supaya bisa obati keluarga. Ko tahu sendiri toh, Ra? Kalau sa ade sering sakit-sakitan. Apalagi adeku yang paling kecil. Makanya, sa ambil jurusan keperawatan di smk.” Penuh dengan intonasi lirih pun bercampur harap.
Rara sendiri mengambil jurusan multimedia. Mimpi yang telah terwujud, sayang selalu
saja bawa gelar gagal setiap kali mengambil raport semester.
Ada satu cita dan menjadi sebuah impian Rara dalam masuk jurusan yang sudah
diambilnya. Tapi, mungkin akan di kemas sendiri bahkan tak ingin dulu berbagi dengan sahabat. Bakal menertawai diri sendiri, kalau saja mengumumkan hal tersebut tapi belum bisa mendapati dengan mulus. Sebab, otak yang tak di atas rata-rata.
“Ra! Kenapa makan sambel banyak! Sa kasih tahu ko nenek sekarang nih?!” Avisa berseru kesal, tak memerhatikan sahabatnya menuangkan sambel terbilang banyak dalam mangkuk baksonya.
“Ih, jan lebay sudah, sedikit ini lagian macam ko brani lapor sa nenek saja.” Rara justru membalas dengan mencemooh.
Avisa berdecak pinggang, tak habis pikir dengan dia. Selalu saja mencari cela buat menyakiti diri sendiri, “jangan dzolimi diri sendiri, Allah tidak suka itu, Ra.” Kokmendadak Avisa sangkutpautkan agama sih?
Oh, jujur Rara tidak protes dengan hal yang satu itu, karena sebagai sahabat saling mengingatkan ke jalan baik. Tapi, menyangkut sambel Rara tidak bakal mendengarkan, kalau tidak pedis seperti makan sayur tanpa garam.
Oh iya benar juga, saat makan bakso seperti ini dicegat jangan tuangkan sambel banyak jadi terpikir dengan kata-kata Faqih, teman sekelasnya. Sebenarnya bukan terfokus dengan kata itu melainkan kenangan bersama Reihan dulu, mencegat gadis itu jangan berlebihan makan sambel.
Tapi, kata-kata itu sangat penting ah tidak terlalu juga sih melainkan mengulang dan menyamakan dengan sikap Reihan sejak putus dengan Rara.
"Katanya sih Mamanya Reihan bilang ko orangnya matre, Ra. Makanya dia selalu dapat marah setiap kali minta uang jajan lebih, terutama uang pulsa. Selalu minta dan habis trus.” Terus terang Faqih kala Rara minta penjelasan to the point. “Tapi, Ra yang sa lihat dari matanya Reihan, masih ada rasa sayang dengan ko. Tapi, dia berusaha tutupi dengan cara cuek setiap kali ketemu ko.” Lanjut Faqih, saat sudah lihat temannya beranjak ke kantin. Tapi, suara itu cukup jelas Rara dengar.
Ingatan itu jelas buat Rara tertawa hambar dalam batin. Miris sekali. Mama Reihan melihat dari cover tapi tidak meneliti dengan jelas dalam hati. Memang yak, kalau orang sudah terlanjur membenci tidak akan berada di penempatan terbaik di hati mereka yang membenci.
“Kenapa?” Avisa yang peka langsung menangkap wajah nestapa sahabatnya.
"Ah, trada,” Rara berusaha mengelak.
♡♡♡
Lagi, terduduk dengan termangu menatap nostalgia tampak bertamu di pikiran Rara dengan belagu.
“Ra?” Ada yang memanggil dari arah bawah, tapi bukan suara Avisa.
Melihat ke arah bawah, tersenyum sekenanya saja.
Terkadang Rara sepi kalau sahabat belum usai pelajaran, selalu saja sama, tidak ada guru datang mengajar dalam kelas. Makanya buat dia gemar melamun di atas tangga menjadi pusat perhatian warga smk yang sedang berlalu-lalang menggunakan tangga atau berjalan dari bawah ke kantin.
Tidak terpedulikan Rara, yang penting jangan mengusik hidup mereka kenapa terbalik terlalu sibuk mengurusi hidup gadis itu? Semakin menimbulkan rasa risi.
“Ra?” Lagi panggilan dari suara yang sama.
Dibalas dehaman saja.
“Daa..”
“Eh?” Mendadak buat Rara melongo dong.
Dasar. Sa pikir mau tanya atau ajak makan kah. Rara berdecak kesal bersuara dalam batin.
“Dor! Kenapa melamun lagi sih? Masih pikir Reihan? Sudah ah tra usah berharap dia kembali, soalnya cowoknya pengecut!” Nah, ini baru Avisa sudah buat gadis itu semangat.
Hanya diam menanggapi. Apa sahabatnya tidak bisa menerawang lebih detail kalau hati belum juga bisa beranjak dari satu nama yang telah melupakan dirinya?
Rara pun beranjak lalu melangkah gontai ke kelas. Diikuti sahabatnya dari belakang.
“Ra..kenapa sih masih pikir dia? Sudah sa bilang kan, kalau ko butuh buktikan saja dengan apa yang sudah ditudukan tidak-tidak sama mamanya. Jujur, sa juga tra suka sama mamanya, sombong.” Kesal Avisa.
Syukur tidak ada teman sekelas Rara, mereka pada bertumpukan di kantin. Dan lebih pentingnya lagi tadi Avisa tidak melihat cogan itu daa ke Rara, bisa menjadi repot kalau perempuan itu tahu.
Jujur itu tidak menyakitkan? Kalau boleh, Rara pengen kasih tahu kalau sejak cerita manis di tangkap daun telinga gadis itu sudah timbul rasa penasaran dan lucunyapengen menjadikan Luthfi kekasih.
“Ko sudah jarang tidur toh di kelas?” Kok Rara terkejut mendengar penuturan sahabatnya sendiri.
“Kenapa jadi kalau sa tidur dalam kelas? Apa ada yang sa rugikan begitu?” Rara menjawab dengan sewot.
Avisa tersenyum sambil menghembuskan napas sabar, “bukannya begitu, Ra. Soalnya sa dengar teman-temanmu kalau ko bukan tidur tapi pingsan. Dan, sa tra percaya soal itu, kan sa tahu kalau ko tidur kek kebo, susah memang di kasih bangun.” Ucap Avisa dengan gemas.
Rara hanya tersenyum getir. Esok harinya, Rara sedang bergegas cepat menuju kelas, tapi terdengar ejekan dari Luthfi lalu tercipta sebuah lempar canda di lorong koridor samping kelas akuntansi.
Bukan hanya sekali tapi berulang kali kalau berpas-pasan dengan cogan tersebut. Apa salah kalau Rara menimbulkan perasaan yang ingin segera mendekap hati itu telah lama terisi oleh teman sendiri?
Duh, kalau saja Avisa tahu sedang menyimpan angan mendapati kidung Luthfi mungkin sebatas imaji Rara. Karena impossible mendapati hati cowok itu.
Sempat juga merasa baka kenapa bisa menggoda sahabat sendiri sekedar kepo ingin tahu lebih jauh mengenai perasaannya ke Luthfi, karena akhir-akhir ini Avisa tak pernah menceritakan kegegirangannya.
“Cie..sa sampaikan ko cinta ke dia kah?” Begitulah yang sempat di bilang Rara.
“Ah, jangan..jangan! Biar saja sa yang pendam perasaan ini, trapp kok. Sudah biasa tersakiti juga.” Dan yang paling malas Rara respon adalah nada yang dibuat lirih, tidak pantas mendampingi hati cowok ganteng. Begitulah yang ada dalam pikiran Avisa. []
Notes :
Su \= Sudah. *Logat Papua*
Baka \= Bodoh *Bahasa Jepang*
...“Sebatas bersemuka lewat delusi, tak dipermasalahkan selagi bisa mendekap kidung tanpa batas bahkan pengetahuan sahabat sendiri.”...
♡♡♡
Masih terbayang-bayang mengenai candaan yang tak sengaja bertabrakan lewat lorong koridor samping kelas akuntansi.
Tersenyum sumringah.
Kenapa sih, Visa, mamanya Reihan jahat sama sa? Apa..apa yang buat dia benci sampe nilai sa seburuk itu?! Lagian selama pacaran dengan dia juga, sa tra pernah nuntut lebih kok. Apalagi suruh dia rajin beli pulsa. Tetiba saja kalimat itu terulang
lagi.
“Ra..kenapa melamun?!” Suara itu mampu buat dia tertegun, meneguk ludah setengah mati.
Luthfi. Yang menengur cukup buat dia tertampar keras.
Hanya tersenyum membalas teguran itu. Kok masih saja di pandang lama-lama di bawah lalu balas dengan senyum ramah. Semakin buat Rara mengerucutkan bibir kesal.
Agak risi di pandang seperti itu. Walau sekalipun itu dari Luthfi.
Detik kemudian cowok itu pun masuk dalam kantin, buat Rara bernapas lega.
“Ra..” Ih, buat dia dongkol dipanggil lagi. Dengan cepat berdeham hm sangat manis menampilkan wajah itu.
Kok, “daa..” Dibalas cuek begini, buat Rara mencak-mencak kesal.
Rara pun bangkit dan berjalan kasar masuk kelas, menyumpal headset ke telinga yang diselimut jilbab.
“Ra..”
“Apa?!” Ketusnya.
“Dih, PMS kah? Sangar sampe..” Ujar teman sekelasnya dengan heran, Radit.
Rara melihat sekilas dengan sinis lalu kembali ke HP, ah daripada capek main lebih baik dia tidur saja.
“Ra..” Lagi, ada pengganggu semakin buat pemilik nama itu bangun dengan kesal.
“Ada Avisa cari ko.” Mendadak lunak dan mengarahkan bola matanya ke pintu kelas,
tersenyum riang menyambut kedatangan sahabatnya.
Setelah duduk di panggung sekolah yang jauh dari kelas mereka berdua, cukup buat Rara tak bisa menutupi wajah palsu depan sahabatnya sendiri.
“Kenapa tadi ko badmood di kelas?” Akhirnya Avisa buka percakapan.
“Trada, bosan saja duduk dalam kelas.” Sambil mengayunkan kaki dengan santai melihat pandangan ke lapangan lihat ade dan kakak kelas bermain basket.
“Kenapa? Soal Naura lagi?” Avisa mengambil jeda, “Ra? Sampai kapan ko mau seperti ini? Teman-temanmu humble dan jurusan lain tra punya itu!” Kesal Avisa dengan penekanan penuh tegas.
Dih, Rara berbalik tidak suka dengan penegasan sahabat sendiri, “kok tumben serius
begini? Bukannya ko tra suka sama Naura? Trus..siapa juga yang buat sa jauh sama mereka kalau bukan perempuan itu?!” Ucap Rara dengan ketus, tak mengalihkan pandangan dari lapangan basket.
“Ra, sa tahu dia yang buat ko jauh dari mereka, setidaknya jan habiskan waktumu dengan penyesalan di lain hari. Karena masa-masa ini tra bakal terulang dan asal ko tahu, suatu saat nanti ko bakal rindu keributan mereka saat belajar di kelas.”
Benar, apa yang sudah disampaikan Avisa dan itu cukup buat Rara bungkam dan tak ingin menonjolkan perasaan peduli ke teman multimedia, karena nanti bakal ada cemooh tak terduga dari mereka.
“Ko tra bakal bisa ngerti apa yang sa rasa, tapi cukup sa hargai ko saran.” Kata Rara dengan tulus.
“Sa ngerti dan asal ko tahu, dong tuh masih care hanya saja ko selalu menutupi diri dari
mereka.”
Deg. Apa benar yang dicetuskan oleh sahabatnya sendiri? Tapi kok yang dilihat Rara cuek dan tidak mengajak ngobrol membiarkan dia terlantar dari family multimedia.
Tertawa miris.
“Kenapa?” Avisa justru bingung.
"Kalau memang mereka humble apa yang ko nilai, kenapa tra kasih bukti kalau bakar-bakar tra pernah ajak sa? Apa itu disebut masih care sama sa? Sejak putus deng ko om sa benar-benar terasingkan.” Bahkan..mereka lebih prioritaskan Mayland daripada sa, yang jelas-jelas perempuan itu bukan sejurusanku. Imbuh Rara dalam batin dengan perasaan berdesir hebat.
Reihan yang dipanggil om adalah nama panggilan dan tradisi orang Padang. Biar sekalipun di jelaskan berulang kali tetap masih buat Rara bingung sampai sekarang.
Avisa menggeleng sangat pelan dan tertunduk gemas, “hanya ko perasaan saja, Ra. Mankanya jan datang ke sekolah dengan wajah galak, kalau sama kita wajar karna sudah tahu sifatmu. Kalau ko bikin ke mereka mana mengerti,” jeda tiga detik, “berusaha untuk terbuka dengan mereka.”
Apa yang disampaikan sahabatnya benar adanya sudah tidak bisa menyangkal lagi. Karena kalau sedang badmood dan memasang wajah sangar ke sahabatnya sudah jelas kalau ingin di manjakan.
Apa Rara cukup dingin dengan teman sejurusan sendiri?
Yang jelas masih belum ingin terbuka apalagi tahu otak tak sepintar mereka dan kesulitan berbicara fasih makanya kebanyakan diam dalam kelas, namun diam-diam menyimpan asa mereka ngajak ngobrol atau nongking di sekolah.
♡♡♡
SATU hari ini tidak belajar, hanya asik bermain dalam kelas dan kerjaan Rara hanya tidur benar dugaan Avisa.
“Rara pingsan?!” Buat mereka panik, saat tidak berhasil membangunkan gadis itu.
Dan bangun-bangun sudah tiba di sofa kepala sekolah. Bodohnya kenapa ngigau memanggil nama Reihan semakin menjadi bahan lelucon mereka.
Segera bangun dengan sedikit pusing di kepala, pengen pulang guru-guru melarang dan kata mereka sudah menelpon orangtuanya buat datang jemput.
Sempurna. Apalagi lihat ekspresi pongah milik Reihan yang sedang berdiri di samping
pintu terhubung di ruang guru.
Arg. Gemeretak dalam hati, kenapa sih mereka mengambil keputusan membawa dia ke
kantor? Kenapa tidak meninggalkan Rara saja dalam kelas dan simpan kunci biar nanti
besok buka pintu kelas, susah kah?
Ih, sumpah..Rara jadi kesal sekali. Menjadi tontonan guru dan teman sekelasnya yang
masih ada beberapa tinggal menemani. Tiba-tiba teringat kata sahabat sendiri mereka
masih care sama ko, tersenyum miring.
Di rumah,
Malas mengambil pusing mengenai hal memalukan tadi. Melainkan mengiramakan
sebuah not dalam imajinasi terbang begitu saja dengan manis lewat ruang pikir Rara sendiri.
Kembali memotret wajah penuh ramah itu, tersenyum.
“Visa, maaf..kalau sa mengkhianati persahabatan kita.” Gumam Rara, tersadar dari keasikannya sendiri.
Tapi, selagi sahabat nafsi tidak tahu-menahu persoalan perasaan, tetap akan melambungkan irama simfoni bermain dalam kidung delusi.
Dan, Rara tahu juga sadar diri kalau kemampuan menulisnya masih absurt, tak masalah sudah menceritakan tentang membayangkan mengenai kidung dalam delusi miliknya.
Akan tetap terkemas rapi dan takkan menyiarkan ke Avisa.
Mengenai tulisan yang absurt itu adalah hobi Rara sejak SMP saat mengenal apa namanya merah jambu. Masih mengenakan buku dilabelkan diary cukup alay sih saat mengenang masa-masa just for fun saat bercerita dalam diary sendiri.
Dan kalau tidak salah ingat, Rara sempat diajak bersama teman SMP ke toko buku terdekat, melihat-lihat ada novel menarik perhatian gadis itu lalu dibawa langsung ke kasir.
Setelah pulang dari sana, dia tidak sabar buat baca dan menjadi kebiasaannya buat datang ke toko buku sampai sekarang.
Tetiba saja ada ide dalam memupukkan mimpi menjadi penulis, kala itu Rara ditunjuk oleh guru bahasa indonesianya, Bu Tri untuk ikut kompetensi menulis cerpen. Darisana sudah terproduksi banyak cerpen mengenai Reihan.
Sebatas kesenangan saja dalam menuangkan perasaan Rara, belum ada niat untuk dapatkan gelar novelis dan dijadikan mimpi saja dulu.
“Rara?” Suara yang berasal dari luar pintu kamar gadis itu.
“Kenapa, Ma?” Berhenti menulis lalu menutup buku tersebut.
“Avisa ada di luar itu.”
Eh? Bentar, kok Rara bingung sih sejak kapan anak itu bisa diizinkan orangtuanya keluar apalagikan ini malam.
Kok Rara terkekeh lucu. Lalu membuka pintu kamar, sudah tidak melihat Fahmi, Mamanya. Mungkin di dapur, pikir Rara dengan santai.
“Cie..anak rumahan bisa keluar sendiri. Tumben, biasanya tunggu sa datang dulu baru
bisa keluar.” Disambut dengan ejekan dong.
“Yeh..kalau sa tra disuruh beli sayur, mungkin sa tra mampir di ko rumah. Mau ikut
keluar makan kah tidak nih?” Kesal Avisa tapi ujung-ujungnya ngajak makan diluar.
“Traktir nih ceritanya?” Kok Rara semakin meledek sahabatnya.
“Sa pulang nanti nih?!” Avisa semakin dongkol.
Masih terdengar tawa menderai tak henti masuk kamar buat pakai jilbab diekori sahabat sendiri.
“Ko pakai celana tidur nih, Ra? Tra salah lihat kah?” Kata Avisa protes.
“Kenapa jadi? Buat apa gaya-gaya kalau hanya mo makan saja diluar, bukan mo ke gramedia mo.” Jawab Rara dengan santai.
“Ayo sudah, keburu sa orangtua telpon suruh pulang tra jadi traktir tuh.” Avisa pun malas mengambil pusing dengan setelan sahabatnya yang benar-benar menurut ia aneh.
Dalam perjalanan tidak tahu kenapa Rara membahas tempat parkir perempuan itu.
“Paling beta eh parkir di depan panggung sekolah.”
“Malas yah kalau parkir depan SD susah keluar.”
“Haha..bilang saja tra bisa kasih geser motor yang halangi ko buat keluar.” Ih, Avisa langsung menimpuk kepalanya yang terpakai helm itu.
Meringis sakit, “kepala masih dipake!” Rara berujar protes.
“Siapa suruh cari masalah trus.”
“Besok ke sekolah sama-sama kah? Sa jemput?” Kata Rara mengusulkan.
“Boleh..boleh, tapi ko jan datang ngaret nanti yang ada kita bisa di hukum sama Pak Rizki karena terlambat. Besok upacara tuh.” Avisa mengingat.
Tidak tahu kenapa mendengar kekegembiraan sahabat, ada satu ruas patah dan menyesal kenapa bisa menumbuhkan perasaan itu. Rara tidak bisa menghindari rasa suka yang datang dengan alami itu. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!