NovelToon NovelToon

Sepotong Nada Yang Hilang

1. Tentang Ko

“Ko datang dengan kemasan perih yang tampak jelas di sorot mata sahabatku lewat kisah-kisah mencintai dalam diamnya.”

❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹

Tomboi, mungkin takkan bisa terlepas dan selalu tersemat pada Rara Fairus yang sedang sibuk merapikan jilbab berwarna putih depan cermin.

Terkadang ko cantik sekali atau de manis sebatas angin sepoi menyejukkan hati keluar lewat rongga malas tahu milik jiwa Rara.

Tidak ada yang spesial, karena dia bukan sebuah nasi goreng yang pakai karet merah atau terang bulan pakai keju lumer.

Terlalu banyak perempuan di luar sana lebih mementingkan gaya di bandingkan kebaikan hati, semakin menjadikan diri pongah dan membuncah kalau melihat perempuan lain jauh lebih menarik di banding diri sendiri.

Kun anta. Dua kalimat sederhana tapi sulit dalam menerima dengan lapang dada.

“Haha,” kok ada sesuatu yang menggelitik perut Rara? Lucu, terkadang kembali mengingat kisah manis dari teman- temannya sendiri.

Datar, tak ada yang di tampilkan dengan sumringah terpantul oleh cermin. Diksi cantik tak di inginkan tersemat dalam hati yang bakal menjadi diri belagu. Cukup otak di bawah standar menohok jiwa-jiwa yang meringkih saat rumit mendapati posisi terbaik telah lama di idamkan.

Masuk lima besarlah mimpi Rara, jangan terlalu melambung tinggi buat berandai-andai berada di peringkat pertama. Otak saja tidak mencukupi untuk bisa berada di sana.

Kenapa selalu saja Rara sensitif kalau bahas cantik depan sahabat sendiri sekali pun? Karena satu hal, dia tidak terlalu pandai dalam hal bidang pelajaran di sekolah hanya bisa di olahraga tok. Kadang buat dia diam-diam iri dengan kemampuan sahabat sendiri yang langganan mendapati posisi juara dua.

“Buat apa sih harus iri dengan sa? Cantik juga tidak,” terkadang sering bergumam sendiri menuju sekolah dengan mengemudikan motor.

Rara bingung dengan pola pikir sahabatnya itu yang di kenal lewat sosmed, apa dengan ukuran cantik cukup buat dahaga jiwa lega? Tidak. Kecantikan sebenarnya dari hati bukan paras.

Yang paling di puji Rara adalah kecantikan luar dalam apalagi pintar dan rendah hati. Beh, patut di berikan jempol. Itu adalah cantik yang sesungguhnya.

Sampai di sekolah, merasa ada yang mengganjal pikiran gadis itu. Apa ya? Berusaha menghilangkan kegelisahan dalam diam.

“Yang belum kenyang, silahkan kembali ke kantin, tapi ingat, setelah makan jangan harap bisa masuk ikut pelajaran ibu, paham semua?!”

Kedua bola mata Rara masih saja gelisah memerhatikan guru killer duduk menjelaskan depan kelas.

“Tidak tahu kenapa ibu geram sekali kalau masuk jurusan ini, bisingnya tidak bisa hilang.” Kesal beliau, saat sedang mencoret sesuatu di papan tulis.

Jangan di tanyakan lagi, memang jurusan multimedia sangat berisik. Susah buat diajak kompromi diam sejenak saja saat jam pelajaran berlangsung.

“Baik, kumpulkan PR minggu lalu kalian depan kelas,” beliau duduk dengan menghelakan napas bersamaan menaruh spidol di atas meja.

Berbondong-bondong menaruh buku mereka ke depan kelas, malas berdesakan Rara lebih memilih sepi lalu mengumpulkan PR-nya ke depan.

Syukur..tadi bisa sempatkan waktu buat kerja, tra masalah sudah nanti nilainya seperti apa. Pikir Rara dengan riang.

Saat keributan berlangsung dan guru keluar sebentar menerima panggilan dari HP, dengan kecepatan kilat Rara mengerjakan tugas itu.

Rara sangat benci pelajaran Fisika, ah pokoknya bersangkutan dengan angka bikin kepala mumet.

“Bagaimana tadi pelajaranmu, Ra?” Di sambut dengan riang oleh Avisa, sahabatnya, saat mereka sudah duduk di bangku kantin sekolah.

“Ah..pusing, tadi saja sa tulis PR kilat!” Gerutu Rara.

Avisa hanya tertawa mengejek, "makanya, jan selalu benci angka kah, Ra. Pelajarannya menyenangkan kok, hanya saja ko yang malas belajar.” Mulai deh di khotbah, semakin buat Rara memutar mata dengan jengah.

“Bisa ndak tra usah bahas pelajaran angka? Sa lapar jadinya dengar ko cinta pelajaran itu!” Rara berkata ketus lalu berjalan cepat ke dalam kantin.

“Ra! Ih.. Yang sa bilang tuh su benar. Siapa suruh malas belajar! Nanti pulang sekolah, sa bantu ko pahami sudah. Supaya nanti UN ko tidak kesulitan.” Avisa mengejar lalu mengambil makanan yang ingin di konsumsi bersama sahabatnya di meja kantin.

Rara melihat dengan tatapan sinis, “seumur hidup sa malas belajar, apalagi buat mencintai mereka-mereka yang ada sa tambah stres!” Dia pun berjalan dengan mood kurang baik.

“Masa sih ko terus-terusan malas belajar angka? Itu penting loh buat ko masa depan nanti, Ra.” Avisa duduk depan sahabatnya dengan wajah bengong.

“Kan masa depanku bukan di ko tangan, jadi tra usah bacot makan sudah, nanti keburu masuk bel pelajaran kedua.” Kesal Rara, lalu mengunyah makanan dengan wajah sangar.

Fuh, baiklah Avisa mengalah kalau perdebatkan soal pendidikan takkan bisa menang, terlebih sahabatnya keras kepala. Cukup lihat Rara rajin sekolah saja sudah buat perempuan itu senang.

❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹❤️‍🩹

Rara sibuk duduk bersama kesunyian, ralat di tengah keramaian sekolah dia sedang terperangkap sepi. Karena memang faktanya seperti itu, setelah hubungan bersama Rey berakhir tak ada lagi tawa derai seperti biasa di tampakkan gadis itu.

Hanya bermain dengan sunyi pun melamun tidak jelas. Terkadang kena teguran oleh guru yang sedang lewat di tangga sekolah.

Toh, itu urusan Rara kenapa mereka sibuk? “Ra?!” Seru Avisa dari bawah tangga.

Dengan tergesa naik ke atas tangga lalu duduk di samping sahabatnya itu dan Rara melihat wajah kegembiraan di sana, sedikit.. Mengundang rasa bingung dari Rara.

“Ih, Ra, kakak kelas itu loh, ganteng sekali! Sa pengen jadi pacarnya. Tapi sayang.. Dia sudah punya pacar yang tra lain ko punya teman sekelas, Naura.” Diksi terakhir buat intonasi berganti lirih.

Bisa dengan jelas, ada ruas-ruas terdengar patah dari penuturan sahabatnya itu. Lalu, terbayang-bayang mengenai, “namanya Juna, Ra!” Seru Avisa, saat hampir terbentang nama lain di benak gadis itu.

Rara bingung. Karena nama yang asing dan baru terdengar daun telinga gadis itu. Tapi.. “Ko suka dia dari kapan jadi?” Mode on kepo Rara muncul tiba-tiba.

Tampak sahabatnya berpikir, “eng..sejak SMP pas sa ketemu de tuh lewat kegiatan rohis.”

Oh, sudah lama toh. Tapi..Juna yang mana eh? Rara berbisik dalam batin.

“Trus, de tahu kah tra soal ko suka sama dia?” Eh, diksi tersebut tercetus dengan spontan dari bibir Rara.

Dapat gelengan pelan dong dari Avisa semakin buat dia melongo tak percaya.

“Sudah ah, tra usah lihat ke tempat lain, gunanya sa ada tuh buat ko cerita!” Rara sebal sendiri, karena sudah lihat dua bola mata sahabatnya menampilkan wajah sedih.

Tampak belum puas dengan perasaan sendiri, “tapi kan, Ra? Sa suka sama kakak itu karena de jago main gitar.”

Deg. Mendadak ada yang abnormal berasal dari dada gadis itu. Ada apa? Bisik Rara dalam diri sendiri.

Arg. Kenapa jadi sebal begini? Tidak ada yang kebetulan, bukan? Karena tidak salah ingat, Rara pernah lihat vokalis band kakak kelasnya, sumbangkan lagu saat ada acara sekolah, satu semester tahun lalu.

Sepintas saja Rara melihat wajah kakak kelas itu, saat kebetulan lewat di koridor sekolah mau ke arah kantin.

Dia mendadak merasakan ada dentum berbeda. Sayap menuju surga?

Astaga. Langsung dengan cepat Rara menghilangkan rasa ingin tahu siapa kakak kelas itu. Cukup mengenal sahabatnya itu lewat mantan sama, kebetulan. Karena Avisa lebih awal mengirimkan dia chat di facebook.

Pertama kali gadis itu menemukan sayap tulus bernamakan sahabat yang di berikan oleh perempuan hijabers, walau prantara mantan yang sama. Sangat bersyukur. Ada yang melihat dirinya sebagai manusia, bukan sampah.

Ih, menyebalkan kan, sekarang ingatan itu terputar mengenai ..

Avisa :

Oh yah, Ra, pacarmu sih Drika toh? Awas, dia tuh cowok playboy, nanti yang ada ko di sakiti sama dia.

Sempat ada kebingungan menghiasi wajah Rara kala itu. Apa benar perkataan itu?

Lagi, Rara lihat ulang balasannya sendiri untuk Avisa.

Rara :

Masa sih? Tapi sejak pacaran sama dia, belum ada kata- kata menyakiti sa sih.

Tanpa dia sadari saat mengirimkan balasan chat itu, Avisa berdecak kesal, “kepala batu sekali kah! Orang sudah kasih tahu juga, masih percaya dengan cowok playboy seperti Drika.” Avisa sangat ketus, berbicara sendiri, sambil memerhatikan benda pipih tersebut.

Cuma beberapa kali mengirim chat di facebook. Rara melihat ada status yang di mana Avisa akan menjalankan operasi usus buntu dan minta doa kelancarannya. Tidak butuh waktu lama, gadis itu nekat untuk minta alamat rumah, mau datang menjenguk.

Avisa terheran-heran di buat oleh tingkah random gadis itu. Sudahlah. Begitu yang ada dalam pikiran Avisa lalu jalan bandara sudah di berikan alamat rumahnya ke Rara.

Tidak terlalu lengkap. Sengaja. Karena pikiran Avisa kalau gadis itu hanya bercanda saja. Mana mungkin mau datang jenguk, karena baru mengenal beberapa minggu di sosial media.

Rara akui, memang agak dekat, tapi itu sebatas layar HP Saja. Untuk tahu letak rumah, buntu maps. Syukur, dia bisa datang bersama dua ukhti, kebetulan yang satu kakak kelas di sekolah dan satu mantan Drika juga, yang saling melempar kabar di facebook lewat kolom komentar di status Avisa yang usai operasi.

Sudah sampai di lokasi yang di kasih tahu Avisa, saat sudah melihat kedua orang itu turun dari taksi, “sa alamat rumah di jalan bandara, warung makan padang.” Lagi dengar suara Avisa lewat telfon.

Mereka bertiga pun jalan mencari rumah padang. Dapat. Tapi, warung itu terbuka sedikit. Mengetuk sopan, yang keluar pria berusia lima puluhan.

“Yah? Cari siapa, Dek?” Sahut pria tua itu.

“Maaf, om, apa benar ini rumahnya Avisa?” Rara memastikan.

Setelah mendapatkan anggukan dan di persilahkan masuk. Sampai di kamar.. Avisa sedikit syok, tapi masih bisa di minimalisirkan ekspresi itu depan Rara.

Baju dengan lengan pendek di lipat dan celana sobek-sobek, sudah ada di depan Avisa. Tomboi. Itulah kesan pertama yang di nilai dari Rara, saat kali pertama pertemuan mereka hari ini. Karena Rara masih belum mengenakan jilbab.

Sudah seperti sahabat lama terpisah, blak-blakkan dalam kamar hingga curhat berasal dari mulut Rara persoalan rasa tentang Drika telah resmi jadi mantan.

Norma yang menjadi mantan pertama, hanya senyam-senyum melihat tingkah random Rara.

Rara memang sedang membuka percakapan masa lalu, di mana ikatan itu berasal; mantan yang sama. Tidak ingin melukai satu sama lain. Oke. Rara akui, tidak melukai Avisa, tapi lewat Drika-lah, mereka bisa menjadi sahabat. []

Notes :

Kun Anta adalah Jadilah Diri Kamu Sendiri *Bahasa Arab*

Ko \= Kamu *Bahasa Papua*

Sa \= Saya *Bahasa Papua*

Tra/Trada \= Tidak/Tidak Ada *Bahasa Papua*

De \= Dia *Bahasa Papua*

Jan/Jang \= Jangan *Bahasa Papua*

SMANSA itu adalah singkatan nama dari sekolah SMA Negeri Satu.

2. Angan sebatas Imajiku

“Mendadak kepikiran saat bermain petikan gitar, bisa menjadi warning kalau Avisa tahu, menginginkan sebuah kidung tersebut.”

Album terlampir lembar nostalgia, sambil memikirkan apa kesalahan diri di masa lalu, “tidak ada sama sekali.” Cetus Rara dengan getir.

Cinta yang di berikan oleh mantan, begitu sulit di lupakan, karena hanya ia dan Avisa menganggap dirinya manusia saat yang lain melihat sampah tidak berguna.

“Rara!” Teriak perempuan itu dari arah bawah, melihat dengan malas.

Hambar. Perasaan itu berkecamuk. Setiap kali ingin bernostalgia di tangga sendiri, selalu saja telinga Rara mendapatkan penuturan begitu berbalut keki dari sahabat.

“Kenapa sih masih hobi sendirian?! Tra baik melamun begini, nanti ko sakit lagi.” Avisa mengingatkan sambil mengelus pundak sahabatnya.

Sakit? Apa kah orang rumah bakal menaruh peduli saat tahu Rara merasakan sakit.

Avisa amnesia kah? Kalau di rumah saja, tidak memiliki tempat untuk pulang mengadu, kenapa harus peduli dirinya melamun begitu?

Kehilangan semangat. Saat Rey memilih pergi.

“Jangan siksa diri lagi, Ra. Kasihan badanmu.” Avisa mencoba menenangkan patah hatinya.

“Trada, hanya bingung saja sih. Padahal kan, dulu sa isikan Rey pulsa tanpa sepengetahuannya, supaya de tidak dapat marah, karna minta jatah pulsa di Mamanya ulang-ulang.” Ada yang sakit, saat mengatakan kalimat itu.

Avisa tertunduk melihat wajah yang masih sama, mencintai satu orang yang sulit terhapuskan begitu saja dalam dada.

“Bagaimana kalau kita ke kantin depan sekolah saja? Pen makan bakso,” rajuk Avisa dengan pupy eyesnya. Buat Rara tersenyum, lalu berdiri ke kelas mengambil dompet dalam ransel.

Saat sampai di sana,

“Kenapa ko lebih pilih masuk di smk sih? Bukannya ko mau masuk di smansa?” Rara heran sendiri sambil menunggu pesanan mereka datang.

Justru Avisa terdiam sambil memberikan senyum terbaik, itu bukan bahagia tapi menyembunyikan luka.

Tidak lama kemudian, “sa lebih pilih keperawatan saja, karena di smk ada ko, trapp sa sudah ikhlaskan teman- temanku di sana walau sempat di protes sih sa tra masuk sama-sama mereka.” Setelah itu di selingi tawa.

Bukan. Ada senyum miring di tampilkan, karena yang di butuhkan Rara adalah keterbukaan bukan menenangkan diri. Harus kah mengorbankan pertemanan untuk memilih Rara yang tidak sebaik mereka di sekolah yang berbeda dengannya?

Tidak, ini bukan kali pertama Rara mendengarkan alasan itu, karena dulu menunggu martabrak, lagi nyander di samping motor, “sa pengen jadi dokter, supaya bisa obati keluarga. Ko tahu sendiri toh, Ra? Kalau sa ade sering sakit-sakitan. Apalagi adeku yang paling kecil. Makanya, sa ambil jurusan keperawatan di smk.” Penuh dengan intonasi lirih pun bercampur harap.

Apa kah itu adalah alasan utama yang menjadi prioritas Avisa berada di smk?

Rara mengambil jurusan multimedia. Jurusan yang menjadi mimpi waktu masih sekolah menengah pertama. Tak luput dari gagal, saat pengambilan nilai raport di sekolah.

Ada cita ingin di kembangkan lewat jurusan yang di pilihnya. Hanya sebatas dalam angan pun di kemas sendiri tanpa bercerita, sebab otak di bawah rata-rata.

“Ra! Kenapa makan sambel banyak! Sa kasih tahu ko nenek sekarang nih?!” Avisa berseru kesal, tak memerhatikan sahabatnya menuangkan sambel terbilang banyak dalam mangkuk baksonya.

“Ih, jan lebay sudah, sedikit ini lagian macam ko brani lapor sa nenek saja.” Rara justru membalas dengan mencemooh.

Avisa berdecak pinggang, tak habis pikir dengan dia. Selalu saja mencari cela buat menyakiti diri sendiri, “jangan dzolimi diri sendiri, Allah tidak suka itu, Ra.” Kok mendadak Avisa sangkutpautkan agama sih?

Jelas Rara senang dan tidak ada protes yang di perlihatkan setiap kali di nasehati. Sebagai seorang sahabat bukan hanya senang saja melainkan mengajak ke jalan kebaikan. Hanya kalau sudah masuk persoalan sambel, Rara tetap ngeyel.

Mendengar tutur kata yang mencegat makan sambel, Rara teringat perkataan Faqih dalam membicarakan diri Rara yang tidak sesuai fakta. Itu sangat sakit. Rara tidak terfokus soal perasaan yang masih sama, melainkan kenangan manis yang di lakukan Avisa, sama persis.

“Katanya sih Mamanya Rey bilang ko orangnya matre, Ra. Makanya dia selalu dapat marah setiap kali minta uang jajan lebih, terutama uang pulsa. Selalu minta dan habis trus.” Terus terang Faqih kala Rara minta penjelasan to the point. “Tapi, Ra yang sa lihat dari matanya Rey, masih ada rasa sayang dengan ko. Tapi, dia berusaha tutupi dengan cara cuek setiap kali ketemu ko.” Lanjut Faqih, tapi Rara sudah berjalan gusar ke kantin tetap masih terdengar di telinga.

Menusuk tanpa melihat pembuktian nyata, dulu Rara sembunyi-sembunyi mengirimkan pulsa lebih. Kenapa, selalu saja di salah pahamkan sama orang lain? Mereka hanya pandai menilai dari cover namun bodoh dalam menganalisis lebih detail.

Selalu saja peka dan menangkap nestapa di wajah Rara. “Kenapa?” Lalu di berikan sebuah tanya penasaran.

“Ah, trada,” Rara berusaha mengelak.

●●●●●●

Lagi, terduduk dengan termangu menatap nostalgia tampak bertamu di pikiran Rara dengan belagu.

“Ra?” Ada yang memanggil dari arah bawah, tapi bukan suara Avisa.

Hanya melihat ke arah bawah dan memberikan senyum sekena saja.

Sejak Rey mengumandangkan pamit dari dua puluh empat januari, Rara merasakan sepi. Seolah-olah teman sejurusan pada pergi dari dirinya. Apalagi tahu Avisa belum keluar kelas.

Itulah yang buat dia hobi duduk melamun, bukan mencari validasi melainkan ketenangan diri yang bahkan sudah menjadi pusat perhatian warga smk sedang berlalu-lalang menggunakan tangga.

“Ra?” Lagi, dengan suara yang sama. Lalu di balas dehaman saja.

“Daa..”

“Eh?” Spontan buat Rara melongo.

Ah. Kenapa ada desir aneh lagi bertebaran di perut seperti.. Jatuh cinta?

“Dor! Kenapa melamun lagi sih? Masih pikir Rey? Sudah ah tra usah berharap dia kembali, soalnya cowoknya pengecut!” Bukan semangat, saat Avisa datang menghampiri melainkan sedikit risi, karena ada desir yang mengusik isi hati gadis itu.

Fiuh. Harus kah memaksa seseorang melupakan perasaan yang selama ini menanggapi nafsi manusia setelah di perilakukan tak adil di rumah?

Rara tidak banyak bicara, melainkan berjalan gontai ke kelas yang di susuli Avisa di belakang.

“Ra, kenapa sih, masih pikir dia? Kan, sudah sa bilang, kalau ko butuh buktikan saja dengan apa yang sudah di tuduhkan tidak-tidak sama mamanya. Jujur, sa juga tra suka sama mamanya, sombong.” Kesal Avisa.

Syukur sama sekali tidak ada teman sekelas Rara yang mengenal dekat Rey. Jadi, umpatan dari mulut Avisa tidak perlu di dengar. Lebih bagus lagi, kalau daaa barusan tidak perlu Avisa tahu. Bakal repot.

Sisi lain, menginginkan lebih dekat semenjak beberapa hari lalu mendengar kakak kelas itu jago bermain gitar pun barusan di berikan daaa begitu cukup manis bagi Rara.

Lucu memang. Tapi, tidak tahu kenapa ada angan sebatas imaji ingin menggandeng jemari itu menjadi kita bukan kakak-adik kelas saja.

“Ko sudah jarang tidur toh di kelas?” Sedikit terkejut, saat di bangunkan dari lamunan panjang, pun penuturan di luar nalar.

“Kenapa jadi kalau sa tidur dalam kelas? Apa ada yang sa

rugikan begitu?” Rara menjawab dengan sewot.

Avisa tersenyum sambil menghembuskan napas sabar, “bukannya begitu, Ra. Soalnya sa dengar teman-temanmu kalau ko bukan tidur tapi pingsan. Dan, sa tra percaya soal itu, kan sa tahu kalau ko tidur kek kebo, susah memang di kasih bangun.” Ucap Avisa dengan gemas.

Rara hanya tersenyum getir. Tidak tahu kenapa, badannya terasa berat, kalau sudah tidur nyenyak dalam kelas yang mengira dirinya pingsan.

Ini terjadi sejak putus dengan mantan kekasih.

Esok hari,

Rara tergesa untuk segera masuk ke kelas, karena ini jam pertama dari Bu Tri. Tapi, di lorong menuju toilet sekolah, dia bertemu tidak sengaja dengan kakak kelas yang selalu mengusik isi pikiran gadis itu, terdengar ledekan itu sangat akrab.

Kenapa bisa? Rara bertanya bingung.

Kadang merasa diri baka saat menggoda Avisa yang akhir-akhir ini selalu membicarakan kakak kelas mempunyai petikan gitar yang sudah mencuri dua hati perempuan itu.

Menyangkal, kalau Rara juga menyuarakan isi hati, tidak mau mengulang kisah terpahit; mantan sama. Dan menyimpan kecemburuan.

“Cie, sa sampaikan ko cinta ke dia kah?” Begitulah yang sempat Rara cetuskan.

“Ah.. Jangan-jangan! Biar saja sa yang pendam perasaan ini. Trapp kok. Sudah biasa tersakiti juga.” Hal paling sangat di benci Rara adalah kalimat tersakiti.

Kenapa cantik selalu di utamakan dalam percintaan? Bukan kah nyaman jauh lebih menguntungkan? \[\]

Notes :

Pen \= Pengen \*Singkatan Bahasa Gaul Papua\*

Trapp \= Tidak Apa-Apa \*Bahasa Papua\*

Trada \= Tidak ada \*Bahasa Papua\*

Baka \= Bodoh \*Bahasa Jepang\*

SMANSA adalah Sekolah SMA Negeri Satu Sentani

3. Kidung Delusi

...“Sebatas bersemuka lewat delusi, tak dipermasalahkan selagi bisa mendekap kidung tanpa batas bahkan pengetahuan sahabat sendiri.”...

 

♡♡♡

 

Masih terbayang-bayang mengenai candaan yang tak sengaja bertabrakan lewat lorong koridor samping kelas akuntansi.

Tersenyum sumringah.

Kenapa sih, Visa, mamanya Reihan jahat sama sa? Apa..apa yang buat dia benci sampe nilai sa seburuk itu?! Lagian selama pacaran dengan dia juga, sa tra pernah nuntut lebih kok. Apalagi suruh dia rajin beli pulsa. Tetiba saja kalimat itu terulang

lagi.

“Ra..kenapa melamun?!” Suara itu mampu buat dia tertegun, meneguk ludah setengah mati.

Luthfi. Yang menengur cukup buat dia tertampar keras.

Hanya tersenyum membalas teguran itu. Kok masih saja di pandang lama-lama di bawah lalu balas dengan senyum ramah. Semakin buat Rara mengerucutkan bibir kesal.

Agak risi di pandang seperti itu. Walau sekalipun itu dari Luthfi.

Detik kemudian cowok itu pun masuk dalam kantin, buat Rara bernapas lega.

“Ra..” Ih, buat dia dongkol dipanggil lagi. Dengan cepat berdeham hm sangat manis menampilkan wajah itu.

Kok, “daa..” Dibalas cuek begini, buat Rara mencak-mencak kesal.

Rara pun bangkit dan berjalan kasar masuk kelas, menyumpal headset ke telinga yang diselimut jilbab.

“Ra..”

“Apa?!” Ketusnya.

“Dih, PMS kah? Sangar sampe..” Ujar teman sekelasnya dengan heran, Radit.

Rara melihat sekilas dengan sinis lalu kembali ke HP, ah daripada capek main lebih baik dia tidur saja.

“Ra..” Lagi, ada pengganggu semakin buat pemilik nama itu bangun dengan kesal.

“Ada Avisa cari ko.” Mendadak lunak dan mengarahkan bola matanya ke pintu kelas,

tersenyum riang menyambut kedatangan sahabatnya.

Setelah duduk di panggung sekolah yang jauh dari kelas mereka berdua, cukup buat Rara tak bisa menutupi wajah palsu depan sahabatnya sendiri.

“Kenapa tadi ko badmood di kelas?” Akhirnya Avisa buka percakapan.

“Trada, bosan saja duduk dalam kelas.” Sambil mengayunkan kaki dengan santai melihat pandangan ke lapangan lihat ade dan kakak kelas bermain basket.

“Kenapa? Soal Naura lagi?” Avisa mengambil jeda, “Ra? Sampai kapan ko mau seperti ini? Teman-temanmu humble dan jurusan lain tra punya itu!” Kesal Avisa dengan penekanan penuh tegas.

Dih, Rara berbalik tidak suka dengan penegasan sahabat sendiri, “kok tumben serius

begini? Bukannya ko tra suka sama Naura? Trus..siapa juga yang buat sa jauh sama mereka kalau bukan perempuan itu?!” Ucap Rara dengan ketus, tak mengalihkan pandangan dari lapangan basket.

“Ra, sa tahu dia yang buat ko jauh dari mereka, setidaknya jan habiskan waktumu dengan penyesalan di lain hari. Karena masa-masa ini tra bakal terulang dan asal ko tahu, suatu saat nanti ko bakal rindu keributan mereka saat belajar di kelas.”

Benar, apa yang sudah disampaikan Avisa dan itu cukup buat Rara bungkam dan tak ingin menonjolkan perasaan peduli ke teman multimedia, karena nanti bakal ada cemooh tak terduga dari mereka.

“Ko tra bakal bisa ngerti apa yang sa rasa, tapi cukup sa hargai ko saran.” Kata Rara dengan tulus.

“Sa ngerti dan asal ko tahu, dong tuh masih care hanya saja ko selalu menutupi diri dari

mereka.”

Deg. Apa benar yang dicetuskan oleh sahabatnya sendiri? Tapi kok yang dilihat Rara cuek dan tidak mengajak ngobrol membiarkan dia terlantar dari family multimedia.

Tertawa miris.

“Kenapa?” Avisa justru bingung.

"Kalau memang mereka humble apa yang ko nilai, kenapa tra kasih bukti kalau bakar-bakar tra pernah ajak sa? Apa itu disebut masih care sama sa? Sejak putus deng ko om sa benar-benar terasingkan.” Bahkan..mereka lebih prioritaskan Mayland daripada sa, yang jelas-jelas perempuan itu bukan sejurusanku. Imbuh Rara dalam batin dengan perasaan berdesir hebat.

Reihan yang dipanggil om adalah nama panggilan dan tradisi orang Padang. Biar sekalipun di jelaskan berulang kali tetap masih buat Rara bingung sampai sekarang.

Avisa menggeleng sangat pelan dan tertunduk gemas, “hanya ko perasaan saja, Ra. Mankanya jan datang ke sekolah dengan wajah galak, kalau sama kita wajar karna sudah tahu sifatmu. Kalau ko bikin ke mereka mana mengerti,” jeda tiga detik, “berusaha untuk terbuka dengan mereka.”

Apa yang disampaikan sahabatnya benar adanya sudah tidak bisa menyangkal lagi. Karena kalau sedang badmood dan memasang wajah sangar ke sahabatnya sudah jelas kalau ingin di manjakan.

Apa Rara cukup dingin dengan teman sejurusan sendiri?

Yang jelas masih belum ingin terbuka apalagi tahu otak tak sepintar mereka dan kesulitan berbicara fasih makanya kebanyakan diam dalam kelas, namun diam-diam menyimpan asa mereka ngajak ngobrol atau nongking di sekolah.

 

♡♡♡

SATU hari ini tidak belajar, hanya asik bermain dalam kelas dan kerjaan Rara hanya tidur benar dugaan Avisa.

“Rara pingsan?!” Buat mereka panik, saat tidak berhasil membangunkan gadis itu.

Dan bangun-bangun sudah tiba di sofa kepala sekolah. Bodohnya kenapa ngigau memanggil nama Reihan semakin menjadi bahan lelucon mereka.

Segera bangun dengan sedikit pusing di kepala, pengen pulang guru-guru melarang dan kata mereka sudah menelpon orangtuanya buat datang jemput.

Sempurna. Apalagi lihat ekspresi pongah milik Reihan yang sedang berdiri di samping

pintu terhubung di ruang guru.

Arg. Gemeretak dalam hati, kenapa sih mereka mengambil keputusan membawa dia ke

kantor? Kenapa tidak meninggalkan Rara saja dalam kelas dan simpan kunci biar nanti

besok buka pintu kelas, susah kah?

Ih, sumpah..Rara jadi kesal sekali. Menjadi tontonan guru dan teman sekelasnya yang

masih ada beberapa tinggal menemani. Tiba-tiba teringat kata sahabat sendiri mereka

masih care sama ko, tersenyum miring.

Di rumah,

Malas mengambil pusing mengenai hal memalukan tadi. Melainkan mengiramakan

sebuah not dalam imajinasi terbang begitu saja dengan manis lewat ruang pikir Rara sendiri.

Kembali memotret wajah penuh ramah itu, tersenyum.

“Visa, maaf..kalau sa mengkhianati persahabatan kita.” Gumam Rara, tersadar dari keasikannya sendiri.

Tapi, selagi sahabat nafsi tidak tahu-menahu persoalan perasaan, tetap akan melambungkan irama simfoni bermain dalam kidung delusi.

Dan, Rara tahu juga sadar diri kalau kemampuan menulisnya masih absurt, tak masalah sudah menceritakan tentang membayangkan mengenai kidung dalam delusi miliknya.

Akan tetap terkemas rapi dan takkan menyiarkan ke Avisa.

Mengenai tulisan yang absurt itu adalah hobi Rara sejak SMP saat mengenal apa namanya merah jambu. Masih mengenakan buku dilabelkan diary cukup alay sih saat mengenang masa-masa just for fun saat bercerita dalam diary sendiri.

Dan kalau tidak salah ingat, Rara sempat diajak bersama teman SMP ke toko buku terdekat, melihat-lihat ada novel menarik perhatian gadis itu lalu dibawa langsung ke kasir.

Setelah pulang dari sana, dia tidak sabar buat baca dan menjadi kebiasaannya buat datang ke toko buku sampai sekarang.

Tetiba saja ada ide dalam memupukkan mimpi menjadi penulis, kala itu Rara ditunjuk oleh guru bahasa indonesianya, Bu Tri untuk ikut kompetensi menulis cerpen. Darisana sudah terproduksi banyak cerpen mengenai Reihan.

Sebatas kesenangan saja dalam menuangkan perasaan Rara, belum ada niat untuk dapatkan gelar novelis dan dijadikan mimpi saja dulu.

“Rara?” Suara yang berasal dari luar pintu kamar gadis itu.

“Kenapa, Ma?” Berhenti menulis lalu menutup buku tersebut.

“Avisa ada di luar itu.”

Eh? Bentar, kok Rara bingung sih sejak kapan anak itu bisa diizinkan orangtuanya keluar apalagikan ini malam.

Kok Rara terkekeh lucu. Lalu membuka pintu kamar, sudah tidak melihat Fahmi, Mamanya. Mungkin di dapur, pikir Rara dengan santai.

“Cie..anak rumahan bisa keluar sendiri. Tumben, biasanya tunggu sa datang dulu baru

bisa keluar.” Disambut dengan ejekan dong.

“Yeh..kalau sa tra disuruh beli sayur, mungkin sa tra mampir di ko rumah. Mau ikut

keluar makan kah tidak nih?” Kesal Avisa tapi ujung-ujungnya ngajak makan diluar.

“Traktir nih ceritanya?” Kok Rara semakin meledek sahabatnya.

“Sa pulang nanti nih?!” Avisa semakin dongkol.

Masih terdengar tawa menderai tak henti masuk kamar buat pakai jilbab diekori sahabat sendiri.

“Ko pakai celana tidur nih, Ra? Tra salah lihat kah?” Kata Avisa protes.

“Kenapa jadi? Buat apa gaya-gaya kalau hanya mo makan saja diluar, bukan mo ke gramedia mo.” Jawab Rara dengan santai.

“Ayo sudah, keburu sa orangtua telpon suruh pulang tra jadi traktir tuh.” Avisa pun malas mengambil pusing dengan setelan sahabatnya yang benar-benar menurut ia aneh.

Dalam perjalanan tidak tahu kenapa Rara membahas tempat parkir perempuan itu.

“Paling beta eh parkir di depan panggung sekolah.”

“Malas yah kalau parkir depan SD susah keluar.”

“Haha..bilang saja tra bisa kasih geser motor yang halangi ko buat keluar.” Ih, Avisa langsung menimpuk kepalanya yang terpakai helm itu.

Meringis sakit, “kepala masih dipake!” Rara berujar protes.

“Siapa suruh cari masalah trus.”

“Besok ke sekolah sama-sama kah? Sa jemput?” Kata Rara mengusulkan.

“Boleh..boleh, tapi ko jan datang ngaret nanti yang ada kita bisa di hukum sama Pak Rizki karena terlambat. Besok upacara tuh.” Avisa mengingat.

Tidak tahu kenapa mendengar kekegembiraan sahabat, ada satu ruas patah dan menyesal kenapa bisa menumbuhkan perasaan itu. Rara tidak bisa menghindari rasa suka yang datang dengan alami itu. []

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!