NovelToon NovelToon

Cinta Di Atas Abu

Chapter : 1

Langit putih mulai menghitam yang menandakan bahwa ibu kota pada sore ini akan kedatangan hujan badai.

Seorang gadis muda yang berusia 20 tahun ini tengah sibuk menata barang-barang kirimannya disebuah toko garment yang tidak terlalu besar namun sangat maju.

Sesekali ia memandang ke arah jam tangan yang melingkar dipergelangan tangganya. Ditambah guntur yang masuk ke indra pendegarannya semakin membuat gadis itu kalang kabut.

“Okeyy beres”ucapnya sembari menyeka peluh keringat yang menetes di bagian dahinya.

“Nara, lu mau pulang sekarang?” Tanya puput teman kerja sekaligus sahabat nara. Puput sedang berjalan dari arah pintu menuju ketempat dimana nara tengah duduk sehabis membereskan kerjaanya.

“Iya put, kayaknya udah mau hujan, tadi kuat banged suara petirnya” jawab nara dan langsung bangkit dari kursi menuju locker room dan mengambil tas miliknya.

“Mau bareng gua gak? Hari ini gua dijemput sama gebetan gua,mayan gak usah pesen taxi.Tapi dia pakek mobil kantornya sih katanya dia gak lembur sampe malam, jadi dia nawarin buat jemput gua, lu mau sekalian ma gua gak nar?” Tawar puput pada nara yang sedang memakai jaketnya.

“Terima kasih put, tapi gapapa aku pulang pakek taxi aja. Soalnya aku juga mau mampir ke toko roti dulu” tolak nara dengan lembut, karena selama bekerja dikota dia sering pulang menggunakan taxi langganannya yaitu pak riyo.

Pak riyo tak lain adalah tetangganya yang sama-sama tinggal di pinggiran kota sama seperti nara. Bisa dikatakan pak riyo dan istri sudah seperti keluarganya sendiri.

Sebenarnya puput berasal dari daerah yang sama, hanya saja lebih awalan tempat tinggal puput dibandingkan dengan nara.

“Yaudah put, aku duluan ya” ucap nara yang langsung bergegas pamit untuk pulang.

“Iya Nar hati-hati ya”

“Iya put babayy”

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

“Aghhhh… dasar kau perempuan j*lang, pengkhianat!” Teriakan pria itu menggema di dalam bar. Emosinya meledak. Gelas-gelas pecah di tangannya, dan wajah tampannya basah oleh air mata dan amarah yang tak tertahan.

Ia duduk terhuyung di bangku bar. Napasnya berat. Sekuat apa pun ia mencoba menahan luka di dadanya, semuanya terasa percuma.

Cintanya hancur. Dikhianati.

“Tuan, Anda sudah terlalu banyak minum.”

Ray, orang kepercayaannya, berbicara dengan sabar, meski cemas.

“Lebih baik kita pulang.”

“Aku tidak mau pulang, Ray!” Suara pria itu berat, nyaris seperti erangan.

“Kalau kau ingin pulang, pergilah sendiri!”

Lalu tiba-tiba

BUGHHH!

Satu pukulan keras mendarat di wajah Ray saat ia mendekat untuk mengantarkan pulang tuannya. Tubuhnya tumbang, membuat orang-orang di sekitar kaget dan berlarian menghampiri.

Sementara itu, sang pria berjalan keluar dari bar seperti orang kesurupan. Bajunya basah terkena minuman, langkahnya limbung, namun tak ada yang berani menghalangi. Matanya kosong, seperti kehilangan jiwa.

Di luar bar, hujan turun deras.

Pria itu berjalan tanpa arah, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Di wajahnya, air mata bercampur air hujan. Ketampanannya masih tampak, namun porak-poranda.

Sementara itu, Nara baru saja keluar dari toko roti. Di tangannya, kantong belanja dan payung kecil. Ia hendak menunggu jemputan di halte ketika…BRAK!

Tubuhnya ditabrak oleh seorang pria. Ia tersentak mundur, kaget, dan sedikit takut.

“Maaf, saya tidak sengaja,” ucapnya kaget.

“Anda… tidak apa-apa?”

Pria itu menatapnya dalam kabut hujan, matanya merah dan sembab.

“Lusi…? Kau dari mana saja?” suaranya lirih, mabuk, dan patah.

“Saya bukan Lusi, Anda salah orang,” jawab Nara, mundur satu langkah.

Tapi pria itu malah mencengkeram tangannya.

“Jangan bohong! Kau habis tidur lagi dengan lelaki itu?!”

Suara pria itu meninggi. Nafasnya kasar. Tangannya mencengkeram lebih erat.

Nara panik.

“Tolong lepaskan saya! Saya bukan Lusi!”

Pekiknya. Payungnya jatuh. Ia berusaha melepas pegangan si pria, tapi semakin kuat.

“Akan kubuat kau merasakan seperti yang pria itu berikan padamu,” bisik pria itu serak, tak sadar diri.

Nara berteriak. Ia menangis keras, menjerit minta tolong. Tapi hujan menelan suaranya. Tak ada satu pun yang lewat.

Ia terus memohon, tapi pelukannya makin erat. Tak lagi bisa membedakan antara kesedihan dan kemarahan.

“Tidak! Tolong! Anda salah orang!”

Jerit Nara sambil meronta.

Pria itu mengangkatnya ke pundaknya. Tenaganya lebih besar. Nara berusaha menendang, meninju, tapi tak berhasil. Ia dibawa menuju mobil hitam mewah yang terparkir tidak jauh dari sana.

Mobil itu melaju dalam kondisi tak stabil.

Di dalam, Nara terikat sabuk pengaman yang disimpul seperti tali. Ia menangis terus sepanjang jalan. Mulutnya bergetar, tapi tak ada suara keluar. Ketakutan dan bingung.

“Tuhan, kenapa cobaan ini harus menimpaku?” Batin Nara, gemetar.

Mereka tiba di rumah besar. Rumah itu tak terlalu luas, tapi elegan dan berkelas. Hujan belum berhenti. Pria itu membuka pintu mobil dan langsung menarik Nara keluar. Ia menggendongnya, setengah kasar, masuk ke dalam rumah.

Nara terus melawan. Tapi pria itu tak peduli.

Ia membawanya ke kamar, membuka pintu, lalu menjatuhkan Nara ke atas tempat tidur empuk. Tangan gadis itu masih terikat.

“Tolong, saya mohon… jangan lakukan ini. Saya bukan Lusi.” Isak tangis Nara makin keras. Bahunya gemetar.

Pria itu hanya menatapnya. Matanya sendu, kecewa, marah, hancur. Namun yang ia lihat bukan Nara. Ia melihat Lusi, cinta yang membuatnya kehilangan akal.

Malam itu menjadi malam paling kelam dalam hidup Nara.Ia terus menangis. Ia terus memohon. Tapi semua sia-sia.

Setelah semuanya terjadi, pria itu tertidur. Lelah.Tak sadar.Nara masih terisak, tubuhnya gemetar. Air matanya belum berhenti mengalir. Ia ingin kabur, tapi tubuhnya terlalu lelah.

Ia menatap langit-langit kamar, bertanya dalam hati. “Apa salahku? Kenapa aku harus mengalami ini?”

Lalu kesadarannya perlahan memudar. Matanya tertutup. Ia terlelap, dalam ketakutan yang belum selesai.

Chapter : 2

Tringg!! Tringg!!

Suara alarm nyaring dari atas nakas menyayat sunyi pagi itu. Nara terbangun dengan napas tertahan, tubuhnya menggigil. Sekelilingnya asing,kamar besar bernuansa gelap, wangi parfum maskulin yang tajam, dan selimut tebal yang berat di tubuhnya.

Ia mencoba duduk, namun rasa nyeri di bagian tubuh bawah langsung membuatnya meringis.

“Aghh…” rintihnya pelan. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ditahan.

Malam itu terulang di kepalanya,tangisan, hujan, teriakan, dan genggaman tangan pria asing itu yang menyeretnya masuk dalam kekelaman. Suara mabuk yang memanggilnya Lusi, teriakan panik yang tak didengar siapa pun.

Ia memandangi lengannya sendiri. Memar. Luka. Tubuhnya penuh bekas.

Lalu ia melihat ke bawah… dan hatinya mencelos.

Bercak darah di atas seprai putih itu, jejak nyata kehormatannya yang direnggut paksa.

“Aku… aku sudah tidak suci lagi…”

Ia menangis terisak, menutup mulut agar tak membangunkan pria di sebelahnya. Lelaki itu masih terlelap, tidur dengan posisi setengah telentang, wajah tenang seperti tak pernah menyakiti siapa pun.

Nara memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihatnya.

Pelan-pelan, ia turunkan kakinya dari ranjang. Lantai terasa dingin menyentuh telapak kaki. Tubuhnya masih lemas, tapi ia tahu satu hal, ia harus pergi. Sekarang juga.

Ia menunduk, mencari barang-barangnya. Di bawah meja dan dekat sofa, ia melihat tasnya tergeletak terbuka, isinya berserakan. Ponselnya, dompet, dan tisu terlihat kusut dan basah sebagian, seolah semalam ia dijatuhkan tanpa peduli.

Dengan tangan gemetar, ia merangkak pelan, mengambil satu per satu barangnya, merapikan sekadarnya ke dalam tas. Air mata tak berhenti mengalir. Namun ia menahan suara.

Lalu matanya menangkap sesuatu di lantai dekat meja,sebuah kartu nama berwarna hitam elegan.

Zean Anggara Pratama.

Ia menggenggam kartu itu sebentar. Nama itu akan terpatri dalam ingatannya, entah untuk dendam… atau luka. Ia tak tahu. Tapi ia tahu, pria itu akan terus membayanginya.

Pakaian? Sudah tak mungkin dikenakan. Semalam, bajunya dirobek dan basah oleh hujan dan cengkeraman. Ia melihat sebuah bathrobe putih tergantung di pintu kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ia kenakan itu, panjangnya nyaris selutut, cukup untuk menutupi tubuh yang lelah.

Masih tertatih, ia keluar dari kamar itu, melewati lorong rumah yang sunyi. Hujan di luar masih menyisakan aroma tanah dan langit kelabu. Saat membuka pintu depan, angin pagi menyambutnya, menusuk kulit.

Dengan gemetar, ia mengambil ponselnya dan memesan taksi. Jantungnya berdegup kencang, seolah takut Zean akan muncul kapan saja dan menyeretnya kembali.

Taksi datang cepat.

Sopir taksi memandang heran saat melihat Nara berdiri di depan rumah mewah hanya dengan bathrobe, rambut kusut dan mata bengkak. Tapi Nara langsung bicara, dengan suara bergetar namun meyakinkan.

“Pak, tolong antar saya ke toko pakaian, ya semalam saya kehujanan dan baju saya rusak. Saya harus cepat ke tempat kerja”

Sopir itu mengangguk, tak bertanya lebih jauh.

Nara duduk di kursi belakang, memeluk tasnya erat-erat. Pandangannya kosong ke luar jendela. Sisa hujan menempel di kaca, seperti luka yang belum hilang di hatinya.

“Tuhan….kenapa nasib ku harus begini?”

Ia tak tahu ke mana langkah ini akan membawanya. Tapi satu yang pasti, hidupnya telah berubah. Dalam satu malam, semuanya hancur.

Dan pria bernama Zean Anggara Pratama,telah meninggalkan luka yang begitu menyakitkan didalam hati yang tak bersalah itu.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai kamar, menyinari wajah seorang pria yang masih tertidur lelap di ranjang besar. Perlahan, matanya terbuka, dan rasa nyeri langsung menghantam kepalanya.

Zean mengerang pelan sambil memegang pelipisnya. Kepalanya berat, pikirannya kosong. Efek dari terlalu banyak minum semalam masih membekas.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan seketika tubuhnya menegang. Ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun, dan ini… bukan kamar hotel, melainkan rumah pribadinya,rumah yang jarang sekali ia tempati.

Zean mengernyit, mencoba mengingat apa yang terjadi.

Matanya menoleh ke sisi ranjang.

Bekas darah.

Ia langsung terduduk. Wajahnya pucat. Tubuhnya kaku. Kenangan samar semalam mulai muncul seperti kabut yang perlahan menyingkap. hujan, seorang gadis muda, air mata, ronta, teriakan, dan nama Lusi yang terus ia teriakkan dalam mabuk.

“Tidak mungkin…” gumamnya, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri.

Panik mulai menguasai pikirannya. Ia bangkit dari ranjang dan menemukan kaos wanita yang sudah robek tergelatak di lantai.

Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari atas lantai. Ia membuka rekaman CCTV rumah. Dengan cepat ia putar kembali kejadian semalam.

Di layar, tampak seorang gadis basah kuyup, mengenakan bathrobe, berjalan tertatih keluar dari kamar sambil terus menangis. Ia menunduk saat memungut barang-barangnya di lantai, lalu keluar rumah dengan langkah lemah dan gemetar.

Zean memalingkan wajah. Ia menutup mata, giginya mengatup.

“ARGHHHH!!! SIAL!!!”

Suara teriakannya menggema, meluncur dari rongga dada yang penuh rasa bersalah dan kekacauan.

Dalam satu gerakan cepat, ia menekan kontak di layar.

“Cepat ke rumah. Sekarang. Aku tidak suka menunggu.” ucapnya datar namun tajam, sebelum langsung memutus panggilan.

Beberapa menit kemudian, Ray muncul di ambang pintu kamar.

“Tuan, Anda…”

Zean menoleh dan mengerutkan dahi melihat wajah Ray yang memar.

“Kau kenapa? Adu tinju?” tanyanya heran.

Ray menghela napas, menatap tuannya tanpa ekspresi.

“Anda yang meninju saya tadi malam. Di bar.”

Zean sempat terdiam. Tapi bukan itu fokus utamanya saat ini. Ia mengalihkan pandangan dan berjalan keluar menuju ruang kerja.

“Lupakan soal itu. Aku butuh bantuanmu sekarang juga.”

Di ruang kerja, ia menunjukkan rekaman CCTV.

“Cari gadis ini.”

Ray menatap rekaman itu dengan alis terangkat. Gadis muda, basah kuyup, wajahnya merah oleh tangis. Seketika Ray bisa menyusun potongan peristiwa yang hilang dari semalam.

Ia mengangguk pelan. “Sekarang, Tuan?”

“Tidak. Tahun depan,” jawab Zean ketus sambil berjalan menuju komputer server pribadi mereka.

“Tentu saja sekarang.”

Sekitar satu jam berlalu.

Ray masuk kembali ke ruang kerja dengan selembar kertas di tangannya. Zean masih duduk di kursi, menatap layar laptop, namun ia langsung menoleh saat Ray datang.

“Bacakan.”

Chapter : 3

Ray membuka catatan di tangannya.

“Nama gadis itu Anara Syazakisha. Umur dua puluh tahun. Tinggal di pinggiran kota. Hidup sendiri. Orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan. Saat ini bekerja di sebuah toko garment di pusat kota.”

Ray menyerahkan lembaran data itu ke tangan Zean.

Zean menatap foto di sana.

Seorang gadis muda dengan wajah lembut, hidung mancung, pipi bulat, dan mata teduh. Ia tampak sederhana dan begitu polos.

Namun, meskipun wajah gadis itu manis, di mata Zean ia tetap hanya seorang gadis biasa.

“Cari dia. Undang ke restoran Jack. Pesan ruang VVIP.” katanya dingin, lalu berdiri.

“Aku akan menunggunya malam ini.”

Ray hanya mengangguk, meski hatinya sempat ragu. Ia tahu, ini bukan soal makan malam biasa.

Zean berjalan keluar tanpa menoleh.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Setelah berbelanja pakaian, Nara segera menuju sebuah hotel di pusat kota. Ia melakukan check-in untuk menginap semalam, berharap bisa menghindari pertanyaan dari Pak Rio dan istrinya. Tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih kacau. Ia sudah mengabari tempat kerjanya bahwa hari ini ia tidak bisa masuk karena alasan demam tinggi, akibat kehujanan semalam. Meski kenyataannya jauh lebih buruk dari sekadar flu biasa.

Di kamar hotel kecil itu, Nara hanya diam. Bukan karena lelah fisik, tapi pikirannya terkunci. Jiwanya seperti terperangkap dalam sangkar gelap yang tak memiliki pintu keluar.

Bayangan malam itu kembali berputar seperti film rusak. Genggaman tangan asing, tubuh berat yang menindihnya, suara hujan dan erangan mabuk yang memanggil nama wanita lain. Berkali-kali ia terbangun dengan napas tersengal, menjerit tanpa suara.

Ia memeluk tubuhnya sendiri.

Tapi pelukan itu dingin. Ia merasa asing, bahkan dari dirinya sendiri.

“Kenapa… kenapa aku gak bisa lupa…?” bisiknya. Tubuhnya berguncang. Nafasnya pendek dan tidak teratur.

Setiap suara dari koridor hotel membuat tubuhnya gemetar. Dunia di luar sana serasa ancaman. Orang-orang adalah bahaya.

Setiap kali ia menatap cermin kecil di dinding, ia melihat wajah yang tidak dikenalnya. Mata sembab, kulit pucat, dan sorot kosong. Ia memandang dirinya sendiri, lalu memalingkan wajah.

“Ini bukan aku…”

Tangannya turun menyentuh kulit di bawah bathrobe, tempat memar-memar halus tersembunyi.

Ia merasa jijik. Bahkan terhadap tubuhnya sendiri.

“Tubuh ini… bukan milikku lagi.”

Air matanya kembali mengalir, tanpa bisa ia hentikan.

Beberapa kali, Nara sempat berpikir untuk keluar hotel… hanya untuk berdiri di jembatan terdekat. Ia memandangi ponsel di meja, terbayang satu kalimat, “Apa gunanya hidup kalau dunia bahkan tak bisa kau percayai lagi?”

Tapi ia tak sanggup. Bahkan untuk menyerah pun, ia tidak kuat.

“Haruskah aku mati saja?

Lalu, ia duduk di lantai, membiarkan air mata mengering di pipinya.

“Aku korban.”

Lalu pikirannya membantah.

“Atau… aku yang salah?”

Pikiran gelap itu menyergapnya lagi.

“Seandainya aku gak mampir ke toko roti… Seandainya aku ikut Puput pulang… Seandainya aku melawan lebih keras…”

Tangannya mengepal.

“Seandainya…”

Ia membenci dirinya sendiri. Ia marah. Bukan hanya pada Zean. Tapi pada tubuhnya. Pada pikirannya. Pada semua yang ada di dunia.

Sampai ia membisikkan satu nama.

“Zean…”

Tubuhnya bergetar hebat. Matanya kosong.

“Kenapa aku harus bertemu orang sepertimu…”

Hening.

Lama Nara duduk di sana. Ia sendiri, ditemani suara detak jam dan rasa asing dalam tubuhnya.

Tapi ketika malam benar-benar jatuh, ia perlahan bangkit. Tubuhnya lemas. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Rasa marahnya… mulai berubah.

Ia tak ingin membenci dirinya lagi. Ia tahu, jika terus seperti ini, dia akan benar-benar mati. Bukan oleh tangan Zean. Tapi oleh pikirannya sendiri.

“Kalau aku tetap di sini… aku gak akan pernah bebas.”

Dengan sisa tenaga, ia melangkah menuju kamar mandi. Ia membuka shower. Air panas menyentuh tubuhnya. Sakit. Tapi ia membiarkan.

Ia menangis di bawah air itu. Bukan lagi tangisan putus asa. Tapi pembersihan.

Setelah membersihkan tubuhnya, ia berdiri di depan cermin. Rambutnya basah. Wajahnya sembab. Tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang dulu disebutnya harapan.

Dengan hembusan nafas berat, ia memaksakan diri untuk bangkit. Ia butuh makan, butuh obat. Ia ingin sembuh secepat mungkin, setidaknya agar bisa kembali bekerja esok hari dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Nara menurunkan kuncir rambutnya, membiarkannya tergerai menutupi bekas merah di lehernya. Ia tahu, ia tidak bisa menunjukkan itu pada siapa pun.

Dengan langkah gemetar, ia berjalan di trotoar. Setiap orang yang lewat membuat jantungnya berdetak kencang. Ia terus menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikutinya.

Paranoia.

Atau… kenyataan?

Saat ia hendak menyeberang jalan, tangan asing menutup mulutnya dari belakang. Ia tersentak. Tubuhnya ditarik kasar.

“Tolong… tolong!!” Tapi teriakan itu hanya terdengar di dalam pikirannya.

Ia mencoba melawan. Tapi tubuhnya tak sekuat itu. Ia diseret masuk ke dalam mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di dekatnya.

Semua kembali gelap.

Pikiran Nara panik. Ia pikir malam itu terulang. Ia pikir ia akan dihancurkan untuk kedua kalinya.

“Tolong… kumohon… jangan…” bisiknya di dalam mobil. Tubuhnya gemetar hebat. Suaranya parau. Napasnya putus-putus.

Mobil terus melaju. Ia tak tahu ke mana

Dan pada akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah restoran mewah. Nara dibawa masuk dengan paksa ke ruangan VVIP. Ia masih meronta, pikirannya kembali pada kejadian semalam, dan ketakutan itu kembali menelan dirinya.

“Tidak! Kumohon, jangan lagi!” Tangisnya pecah, suaranya parau dan panik.

Pintu terbuka, dan seseorang keluar. Nara terdiam. Matanya membelalak ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

Zean.

Tatapan mereka bertemu. Wajah sembab Nara menatap penuh ketakutan, sementara Zean menunjukkan ekspresi datar, sulit ditebak antara rasa bersalah atau tidak peduli.

“Masuklah. Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu. Aku tidak akan menyakitimu,” ucap Zean, suaranya tenang namun terdengar memaksa.

Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan Nara masuk ke dalam. Di dalam ruangan, hanya mereka berdua.

Suasana hening. Nara hanya terduduk kaku, tubuhnya masih gemetar. Isaknya perlahan mulai mereda, tapi dadanya terasa sesak. Zean mempersilakannya makan, tapi Nara tak menanggapi. Ia hanya memalingkan wajah, menahan tangis.

Zean menghela napas panjang. “Maaf… maafkan aku atas apa yang terjadi padamu,” ucapnya perlahan.

Nara tidak menjawab. Ia bahkan tak menoleh. Zean kembali berbicara.

“Aku… malam itu aku sedang mabuk. Aku pikir kau adalah Lusi, mantan kekasihku yang pernah menghancurkan hidupku. Aku tidak sadar, sungguh.”

Nama itu,Lusi.membuat Nara akhirnya menoleh, walau dengan tatapan penuh luka. Ia menatap Zean, matanya menyala penuh kemarahan.

“Jadi… karena wanita lain, anda merusak hidupku? Setelah anda hancurkan hidup perempuan-perempuan lain, kini anda juga merusak kesucianku juga?” suaranya bergetar, tapi tegas.

Zean menegang, wajahnya berubah. “Apa maksudmu? Merusak banyak kesucian wanita? Jangan asal bicara! Ini juga… yang pertama bagiku. Sama seperti kau!” serunya, emosinya hampir tak terkendali.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku akan bertanggung jawab. Berapa pun yang kau minta, akan kubayar.”

Nara memandangnya tajam. "Apa Anda pikir saya perempuan yang bisa dibayar? Saya bukan seperti wanita yang mungkin rela Anda beli dengan uang. Apa yang Anda ambil dari saya tak bisa dinilai dengan nominal."

Zean mengusap keningnya yang tiba-tiba terasa berat. Diam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau begitu… kita menikah saja.”

Nara terdiam, menatapnya penuh ketidakpercayaan.

“Aku serius. Kita menikah selama dua bulan. Kalau kau tidak hamil, dan ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu,” ucapnya tegas. “Kau takut suatu saat mengandung dan anak itu tidak punya ayah, bukan?”

Nara tetap bungkam. Kepalanya menunduk, pikirannya berputar,berat dan rumit.

“Dan satu lagi,” lanjut Zean. “Pernikahan ini tidak akan didasari cinta. Hatiku masih bersama Lusi. Aku tidak ingin kau berharap terlalu jauh.”

Nara menatap Zean lekat-lekat, mencoba membaca isi hatinya yang sulit ditebak.

“Kita akan tampak seperti pasangan manis di mata publik. Tapi di balik itu, kita bebas. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, dan kau juga tidak berhak mencampuri hidupku. Dua bulan. Setelah itu, jika kau ingin pergi, aku akan mengurus semuanya. Tanpa merugikanmu.”

Nara menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah." Pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan pilihan terakhir. Jika takdir membawa kehidupan tumbuh dalam dirinya, setidanya anak itu tak akan lahir tanpa nama ayah. la harus rela menjalani semua ini.

Zean mengangguk singkat, menganggap perjanjian mereka sah.

“Oh ya, satu lagi,” ucap Zean. “Jika kita berpisah nanti, aku akan memberikan sebagian hartaku padamu. Sebagai bentuk tanggung jawab.”

Nara menatapnya tajam. "Saya tidak butuh uang Anda. Jika suatu hari saya pergi, saya akan pergi dengan harga diri saya. Bukan dengan harta Anda."

Zean tak membalas. Ia hanya menatap Nara dalam diam. Di antara kesunyian itu, keduanya sama-sama tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.bukan dengan cinta, tapi dengan luka dan perjanjian dingin yang sulit diterima hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!