NovelToon NovelToon

Benci Yang Tercinta

Awal yang Tak Diinginkan

"Selamat ya, semoga langgeng dan bahagia selalu"

Ucapan itu dilontarkan entah oleh siapa. Mungkin dari saudara jauh, atau dari tetangga yang bahkan tak Nina kenali namanya.

Gaun pengantin putih yang saat ini membungkus tubuhnya terasa seperti belenggu. Bukan karena ketat, tapi karena ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan laki-laki yang paling ingin Nina lupakan seumur hidupnya, namun juga diam-diam masih sering hadir dalam mimpinya.

Jefan Arkansa.

Laki-laki itu berdiri di sampingnya. Tegak, dingin, tatapannya tegas namun kosong, seperti batu karang tajam yang tak bisa disentuh, sepanjang proses pernikahan mereka nyaris tak berbicara, hanya sepatah dua patah kata formal, layaknya orang asing yang dipaksa duduk dalam ruangan yang sama. Bahkan mungkin situasi itu bisa lebih baik dari ini.

"Harusnya kau tersenyum sedikit meski hanya formalitas" bisik Nina dengan nada jengah.

"Kau siapa mengaturku?"

Deg!

Rahang Nina mengeras, ia menatap Jefan penuh benci, nafas nya memburu ingin memaki namun gejolak sabar menahannya untuk tetap tenang.

Setidaknya jangan memalukan dirinya sendiri didepan banyak orang saat ini.

Masa bodoh orang mau berpikir apa tentang pernikahan yang terlihat suram ini, Nina tidak perduli lagi.

Setelah acara pernikahan yang canggung dan jauh dari kata membahagiakan itu selesai, Nina kini sudah berada didalam rumah mewah bernuansa putih marmer yang luas tapi sunyi.

Tentu rumah ini bukan miliknya. Ini milik laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya.

Malam itu, kamar pengantin yang sudah terhias indah hanyalah menjadi ruangan biasa. Tak ada tawa, tak ada sentuhan, tak ada suasana hangat yang menyelimuti. Hanya ada, dua manusia yang duduk diujung ranjang yang sama dengan diam.

Mawar-mawar yang disusun membentuk pola hati dengan rapih tak membuat hati keduanya berbunga, yang ada Nina ingin langsung mengacak dan membuangnya ke sembarangan tempat.

"Kau bisa mandi lebih dulu" ujar dingin Jefan yang sedang melepas jam tangan nya.

Nina hanya melirik singkat, tak ada keinginan menjawab.

Jefan membuka jas hitamnya, meletakkannya di gantungan kayu yang ada dipojok kamar. Ia berjalan ke balkon, menyalakan sebatang rokok, dan memandang langit malam yang luas.

"Tidak perlu khawatir, aku tidak akan menyentuh mu" ujar Jefan tanpa menatap Nina dengan nada datar.

Nina meremas gaun putih yang masih dikenakannya, menahan emosi yang masih menumpuk dalam dada. Tubuh tinggi yang kekar itu, dengan menatap nya saja rasanya membuat seluruh tubuh Nina merasakan sakit yang menyayat.

"Aku juga tidak akan membiarkan itu terjadi"

Tanpa menunggu jawaban apa-apa Nina membawa tubuhnya kedalam kamar mandi, ia menatap dirinya yang masih terbalut make-up rupawan dicermin.

Padahal bagi wanita, pernikahan adalah hal sakral yang menjadi kenangan berarti sekali seumur hidup, tapi bagi Nina pernikahan adalah lembar awal kehidupan barunya yang paling tidak ia inginkan.

Jauh dari lubuk hati Nina, ada puluhan pertanyaan yang terus menyeruak. Kenapa laki-laki yang dulu meninggalkannya dengan luka, kini mencoba menyelamatkan nya dari jurang neraka?

Untuk apa dia melakukan itu semua, padahal Nina tau dia bahkan tidak mencintai dirinya.

Dan terlepas dari itu semua, dengan segala kebodohannya, dari segala kebencian yang ada, kenapa Nina masih memiliki keinginan kecil yang tersembunyi jauh di lubuk hatinya, pada laki-laki itu? Nina merindukan tatapan yang dulu selalu menjadi hal favoritnya.

Tatapan hangat nya.

Senyum nya yang menenangkan.

Laki-laki itu. Jefan Arkansa. Cinta pertamanya dulu.

"Nenek, kenapa hidupku jadi seperti ini? Haruskah aku terus menatap orang itu setiap hari? Rasanya tubuhku terasa semakin hancur setiap kalian menatapnya." lirih Nina sembari menatap pantulan dirinya di cermin.

Benar-benar terlihat sangat menyedihkan.

Nina melepas gaun yang melilit nya sejak pagi, kemudian membasuh wajahnya untuk membersihkan make-up dengan kasar hingga membuat kulit nya memerah.

"Tidak. Perasaan ini harus kukubur dalam-dalam, aku tidak akan membiarkan hatiku jatuh lagi pada laki-laki itu. Tidak akan boleh."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hai~Hai~

Halo para readers!!

Aku Rumachi, penulis newbie disini. Ini karya pertama ku, mungkin masih banyak kurangnya jadi mohon kritik dan dukungannya yaa^^

Terimakasih buat yang sudah mampir baca dan pencet lope-lopee:*

See you next bab ya cinta~~

Bagai Barang Jual Beli

"Ini semua karena Ayah, haah aku bahkan tidak ingin menyebutkan nya dengan panggilan itu"

Nina menatap kertas-kertas yang ada diatas meja riasnya, bahkan setelah dua minggu pernikahan berlangsung. Kertas dengan cap notaris itu masih ia simpan, menampilkan angka hutang yang terlalu besar untuk Nina yang tak memiliki apa-apa, dan terdapat tanda tangan pria bernama Jefan Arkansa di sudut kanan bawah.

Rp 882.000.000.

Nominal yang cukup besar untuk menjual dirinya, karena bahkan meski harus bekerja mati-matian selama 5 tahun penuh, Nina tidak akan mendapatkan uang sebanyak itu

Nina masih menatap berkas itu dengan berat, ia menghela napas kasar dan menjambak rambutnya frustasi jika mengingat kembali awal ini bermula.

Nominal besar itu adalah hutang yang melilit nya, dan lebih parahnya bukan dia yang menggunakan uang itu, melainkan ayahnya sendiri, pria yang selalu berteriak tapi tak pernah benar-benar hadir sebagai pelindung, telah mengajukan pinjaman dengan nama Nina sebagai penjamin dengan dalih untuk "usaha keluarga." Padahal semua tahu, itu hanya untuk menutup judi dan utang lama yang tak pernah benar-benar selesai.

Nina kembali terngiang kejadian memilukan yang belum lama terjadi menimpa dirinya.

...----------------...

~Flashback~

“Kau itu harus balas budi! Dan anggaplah ini bayaran dari kerja kerasku selama ini membesarkanmu, cepat bayarkan hutang itu!”

Nina membanting sapu yang ada ditangannya "Ayah yang berhutang, ayah yang berjudi kenapa aku yang harus membayarnya!"

Plak!!

Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi Nina, membuat Nina sedikit terperanjat dalam diam. Matanya sudah memerah karena amarah dan tangis yang tertahan.

Disekeliling nya sudah banyak orang-orang yang berbisik melihat kearahnya, menyaksikan tontonan drama keluarga yang memalukan.

Ayahnya membawa dua penagih hutang ke tempat dimanna Nina bekerja untuk meminta uang, karena selama ini Nina selalu kabur dari ayahnya yang tak pernah merasa cukup dari pemberian Nina.

Hal ini bukan hanya menyakitkan tapi juga memalukan bagi Nina. Hidupnya memang tak pernah mudah, tapi kenapa jalannya selalu sesulit ini.

"Kau ini bocah tak tau diri! Susah-susah aku membesarkan mu, tapi kau malah jadi anak durhaka!"

Nina menatap tajam kearah ayahnya "Apa aku minta untuk itu?! Kalau ayah keberatan harusnya jangan besarkan aku dan biarkan aku mati!"

Ayah Nina membelalak tajam, tangan tebal nya kembali terangkat untuk bersiap memberi pukulan yang kedua pada putrinya itu. Namun sebuah tangan asing menahan nya dengan cepat.

"Berapa hutangmu?"

"Siapa kau?"

Nina melangkah mundur, air matanya menetes menatap sosok yang baru saja datang dihadapannya. Dia, orang yang sangat Nina benci. Kenapa dia harus menyaksikan bagian hidup Nina yang sangat menyedihkan ini. Kenapa Nina harus terlihat berantakan didepan dirinya setelah sekian lama?

"Katakan berapa hutangnya" ujarnya pada dua laki-laki penagih hutang yang berada di samping Nina dengan tatapan tajam.

"delapan ratus juta lebih"

Laki-laki itu melirik Nina singkat, tatapan dan wajahnya sama datarnya. Nina masih terkejut dalam diam, otak dan seluruh tubuhnya seakan membeku tak mampu merespon apa-apa.

"Aku akan membayar semua hutangmu, tapi berikan putri mu padaku"

"Apa? kau bercanda?"

"Tidak"

"Hahaha! yah putriku memang cantik sih itu harga yang pas untuk mendapatkan nya, baiklah! aku setuju!"

"Ayah!!!" Nina memekik, kini lidahnya yang kelu bisa ia gunakan kembali.

"Bisa-bisa ayah melakukan itu padaku? Setelah ayah menggunakan ku untuk berhutang sekarang ayah mau menjualku? Bagaimana bisa ayah begitu mudahnya memberikan ku pada orang lain? Apa ayah tau siapa dia? Dia adalah orang yang sangat aku benci! Aku sangat membencinya!"

"Kau mengenalnya Nina? bukankah itu lebih baik dari pada orang asing, lagipula aku juga akan memberikan mu pada dua orang itu kalaupun tidak ada pria ini"

"Brengsek! Kau bukan seorang ayah, kau bahkan tidak pantas disebut manusia!"

Mendengar perkataan Nina, ayahnya kembali tersulut emosi, wajahnya memerah dan berurat menatap gadis kurus dengan seragam pelayan berwarna merah itu. Saat akan maju dan melayangkan sebuah bogeman kearahnya, terlebih dahulu sebuah tinju mendarat diwajah gelambirnya, dan langsung membuatnya tersungkur ke lantai.

"Jefan.. " lirih Nina menatap Jefan yang baru saja berhasil mengambrukan ayahnya.

Jefan berjongkok, melemparkan kartu namanya pada ayah Nina yang masih meringis "Aku akan membayar untuk itu juga"

"Karena aku akan membeli putri mu, jadi kau tidak boleh merusaknya bukan? aku ingin dia dalam kondisi bagus saat kujadikan istri"

Nina menatapnya seperti orang gila. Apa? Istri? terlebih bagaimana bisa dia menyebut nya seakan dia barang yang sedang diperjual belikan.

“Jangan main-main Jefan! Aku bukan barang jual beli! Dan siapa juga yang mau jadi istri mu!"

Jefan tak bergeming, bahkan tak menoleh sedikitpun, dia hanya menatap tajam ke arah ayahnya yang masih dalam posisi tersungkur.

"Saya mengerti. Baiklah saya akan menjaganya sampai dia menjadi istri mu"

Setelah itu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Jefan pergi begitu saja, meninggalkannya dengan kondisi yang sudah hampir gila karena kekacauan ini.

~Flashback Off.~

...----------------...

Di kamar mereka yang dingin dan mewah, Nina duduk di dekat jendela besar. Hujan turun rintik-rintik. Jefan belum pulang malam ini. Ia selalu pulang larut, dan berangkat pagi buta, meski serumah dan sekamar Nina jarang bisa melihat suaminya itu karena pasti dia sudah tertidur saat pulang, dan masih tertidur saat dirinya berangkat.

Ketakutan Nina untuk menyaksikan sosok laki-laki itu setiap harinya jadi terbantahkan, karena entah bagaimana, seperti Jefan juga menginginkan hal yang sama jadi ini caranya untuk menghindari Nina.

Hidup bersama sekalipun. Tak membuat mereka merasakan kebersamaan itu sendiri.

Jefan memang menikahinya.

Tapi mungkin lebih tepat jika dibilang ia membelinya.

Dia menyelamatkannya dari neraka keluarganya sendiri. Itu adalah hal yang Nina inginkan sejak lama, yaitu terlepas dari keluarga toxic itu.

Tapi setelahnya dia mengurungnya di penjara baru bernama pernikahan, dan menyiksa nya dalam kesendirian. Sama aja membawanya keluar dari masalah untuk masuk ke masalah baru.

Sampai sekarang, Nina bahkan belum tahu kenapa, dan untuk apa Jefan melakukan hal itu padanya.

Kata yang Menusuk

Langkah kaki Nina menggema pelan di lorong rumah besar itu, saat melangkah pelan menuju kamarnya. Terlalu bersih dan rapi. Terlalu sepi dan sunyi. Tak ada suara tawa atau obrolan ringan yang menandakan adanya kehidupan mengisi rumah ini.

Hanya suara detak jam dan desahan napasnya sendiri, yang kadang terasa seperti beban.

Kamar tidur nya terasa sangat besar untuk dua orang yang tidak saling bicara. Tempat tidur king size hanya dipakai separuh, seolah ada garis tak terlihat yang membatasi dunia Nina dan dunia Jefan.

Dan di tengah itu semuanya, Nina mulai gila dalam sunyi.

Terkadang dia ingin berteriak, atau bahkan ingin menghancurkan sesuatu, hanya agar dirinya merasa hidup dalam kesunyian ini.

Nina menghembuskan napas nya panjang "Sebenarnya untuk apa dia menjadikan ku istri? Apa karena saat itu dia kasihan padaku?

Ceklek~

Suara pintu kamar terbuka, Nina yang sedang berbaring langsung membangkitkan dirinya. Jefan memasuki kamar dengan langkah tenang tanpa suara. Alis Nina mengkerut, ini pertama kalinya Jefan pulang lebih awal semenjak mereka menikah.

“Kau pulang lebih awal hari ini?”

Jefan tidak menjawab, ia meletakkan tas kerja nya di sofa kecil yang ada dikamar, dan mengendurkan dasi yang terlilit rapih dikerahnya.

Nina tertawa sinis "Apa kau tuli? Atau kau bahkan tak menganggap ku ada disini?"

Perkataan itu berhasil membuat Jefan meliriknya sekilas.

"Kau mengharapkan apa?" ujarnya dengan suaranya pelan.

Dan suara pelan itu menghantam keras hati Nina seketika. Ia berdiri menatap tajam ke arah suami nya itu, ingin rasanya Nina memaki sekencang-kencangnya.

"Sebenarnya kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Apanya?"

"Menyeretku menjadi istrimu, bahkan kau tidak mencintai ku bukan? Apa karena kasihan?"

"Ya kau memang terlihat sangat menyedihkan waktu itu"

Nina meremas bajunya menahan luapan emosi, matanya sedikit memerah bukan hanya karena sakit hati tapi karena ia merasa sangat rendah dihadapan suami yang dibencinya ini.

"Lalu kenapa harus menikahiku? Kau kan bisa memerasku dengan hal lain"

Jefan menatap dalam diam, sejenak keheningan menyelimuti, ia terpaku menatap Nina tanpa ekspresi.

"Bukankah tidak ada hal lain lagi yang berharga dihidupmu?"

Kamar luas itu kembali terjebak dalam keheningan sesaat. Menyisakan dua orang yang berdiri kaku saling adu tatap.

Nina kemudian sedikit tertawa dengan mata yang berair, badannya bergetar karena tawa yang ia keluarkan. "Kau benar-benar berhasil membuatku semakin membencimu tau"

Jefan hanya menatap gadis itu yang masih tertawa pilu. Meski begitu ekspresi nya tak bergeming, tak ada tatapan bersalah karena ucapan nya barusan.

"Teruslah membenciku, itu lebih baik" ucap Jefan sarkas dan melangkah keluar dari kamar. Meninggalkan Nina yang tersungkur ke lantai begitu pintu kamar tertutup.

Pertahanan nya runtuh seketika, ia meremas dadanya yang terasa sangat sakit. Nina menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangis yang berusaha keluar dari mulutnya.

"Bodoh! Harusnya aku melawannya, harusnya aku memakinya! Kenapa aku malah seperti itu!" Nina memukul kepalanya berulang kali.

"Padahal dia sudah membuat hidupku hancur dulu, kini dia mau menambah lukaku lagi?"

Tangan nya menyikapi dress selutut yang ia kenakan, memperlihatkan paha kanannya yang putih namun terdapat bekas luka goresan yang cukup mengerikan.

Kilasan suara masa lalu muncul tiba-tiba, begitu nyata. Nina memeluk lututnya, tangan kananya meremas rambutnya mencoba menghilangkan bayangan gelap yang kembali menghantui nya.

Namun hal itu tak berhasil, napas Nina semakin terasa sesak beriringan dengan kenangan kelam yang terus berputar.

Dengan tubuh gemetaran, Nina merangkak menuju meja rias dan mengambil obat yang ia simpan didalam lacinya, meminumnya dua butir bulat-bulat lalu tergeletak sepenuhnya kelantai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pagi harinya Nina sudah terbangun diatas kasur, ia mengucek matanya perlahan dan menyingkirkan selimut yang menutupi tubunya.

Nina menoleh kesamping ranjangnya, sudah kosong dan rapi. Tentu saja, Jefan pasti sudah pergi bahkan sebelum Nina membuka matanya.

Tapi...

Bukankah semalam dirinya tak sadarkan diri dilantai? Jadi Jefan memindahkan nya? Apa dia lagi-lagi terlihat menyedihkan di matanya?

Nina menggelengkan kepalanya kencang-kencang "Memalukan sekali"

Nina berjalan gontai keluar kamar, matanya memandang ruangan luas yang kosong, hari nya selalu terasa sesak tiap menghabiskan waktu dirumah seluas ini, sendirian.

Saat tiba di dapur, Nina membuka tudung saji yang ada dimeja makan, sudah bersih tak ada lagi makanan yang tersisa, entah kenapa hatinya selalu lega tiap melihat makanan yang sudah disiapkannya habis.

Jefan memang selalu menghabiskan makan malam yang Nina siapkan apapun itu, meski Nina sendiri tidak pernah benar-benar menyaksikan lelaki itu melahap masakannya, tapi tiap pagi ia selalu mendapati masakan yang memang sengaja Nina buatkan untuk suaminya itu bersih dari meja makan.

Jadi, Nina berpikir bahwa Jefan selalu menghabiskannya sesudah pulang kerja.

Sedangkan untuk sarapan, Nina bahkan tidak pernah benar-benar tau kapan lelaki yang menyandang sebagai suaminya itu membuka mata.

"Apa yang harus kumasak hari ini?" gumamnya sembari membuka kulkas.

Hanya tersisa beberapa potong tahu, dan beberapa butir telur saja dikulkas besar itu. Nina sekarang selalu merasa jengah tiap melihat kekosongan dalam bentuk apapun itu.

"Baiklah, aku harus berbelanja dulu" Nina melangkahkan kakinya kembali menuju kamar untuk membasuh diri. Mengambil dompet yang ada didalam tasnya.

Sebelum benar-benar keluar, Nina membuka dompet nya, terdapat dua kartu debit didalamnya, satu miliknya. satu ia dapat dari Jefan tanpa instruksi apapun, sehari setelah menikah ia menemukan ini diatas tas nya. Tanpa meninggalkan catatan atau pesan apapun.

Nina mengerti ini sengaja Jefan berikan karena bagaimana ia adalah istrinya, tapi untuk apa memakainya? Nina tidak mau terlihat se-membutuhkan pada uang. Dan mau dianggap sangat bergantung pada power laki-laki itu.

Jika untuk kebutuhan sehari-hari, tabungan Nina dari kerja paruh waktunya sebelum menikah masih sangat cukup, setidaknya untuk beberapa bulan kedepan.

"Sepertinya, aku harus mencari kerja lagi setelah ini" ucap Nina dan melangkah kan kaki nya menuju supermarket yang tidak begitu jauh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!