NovelToon NovelToon

Kau Dan Aku Selamanya

Bab 1

Pagi itu cahaya berembus lembut melalui celah tirai kamar, menghadirkan sinar keemasan yang menyingkap debu-debu kecil menari di udara. Audy sudah lebih dulu terjaga, tubuhnya sigap bergerak di dapur, menyusun sarapan sederhana untuk Chandra, lelaki yang telah menemaninya selama lima tahun dalam ikatan pernikahan. Aroma kopi hangat bercampur dengan roti panggang memenuhi ruang makan, seakan hendak mengusir sisa kantuk yang masih melekat di dinding rumah mereka.

“Kamu jadi ke Singapore hari ini?” suara serak Chandra terdengar dari balik pintu kamar, masih kusut dengan rambut acak-acakan dan mata setengah terpejam.

Audy menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. “Jadi, Mas. Ini aku mau berangkat. Supir kantor sudah nunggu di depan.”

Chandra mengangguk pelan, tanpa upaya menyembunyikan nada malas dalam jawabannya. “Ya sudah, hati-hati. Kabari aja kalau udah sampai.”

Audy menatapnya sejenak—tatapan yang sarat makna, seperti seseorang yang ingin memastikan bahwa kepergian sementara ini benar-benar akan meninggalkan kerinduan. Ada getar halus dalam dadanya, tapi dia hanya menghela napas perlahan sebelum melangkah pergi, meninggalkan rumah yang selama ini mereka bangun bersama.

Mobil dinas yang menjemputnya meluncur tenang menembus jalanan Jakarta yang masih setengah terjaga. Jam masih terlalu pagi; kota metropolitan itu belum sepenuhnya menampakkan hiruk-pikuknya. Bangunan-bangunan tinggi berjejer kaku, diselimuti kabut tipis yang menolak pergi. Audy bersandar, matanya sempat terpejam, membiarkan pikirannya melayang pada hari-hari panjang yang menantinya di negeri seberang.

Namun ketenangan itu buyar ketika dering ponselnya memecah keheningan. Nama yang muncul di layar membuatnya sontak tegak. Direkturnya, Teddy.

“Iya, Pak…” suaranya terdengar resmi, penuh kesopanan.

Sepasang mata Audy menajam, menekuri setiap kata yang masuk ke telinganya. Dia mendengarkan dengan penuh konsentrasi, dari balik kaca sang supir dapat melihat raut wajah Audy yang tampak menegang, menahan marah. Lalu, tanpa banyak ragu, dia menutup telepon itu dan menatap ke arah supir.

“Pak, kita ke kantor saja. Tidak jadi ke bandara.”

Sopir sempat melirik melalui kaca spion, tapi profesionalismenya menutup rasa ingin tahu. Tanpa pertanyaan, dia memutar kemudi, membuat mobil itu berbalik arah. Roda berputar membawa Audy menuju Mega Kuningan, ke jantung kesibukan Jakarta yang mulai menggeliat.

Dan di dalam mobil itu, Audy hanya diam, menatap keluar jendela. Ada sesuatu dalam suaranya tadi—datar, tapi menyimpan riak yang tak biasa.

***

Langkah-langkah Audy terdengar terburu di lantai marmer gedung pencakar langit itu, bergema di antara lobi yang masih diselimuti aroma kopi pagi dan parfum para karyawan yang baru berdatangan. Wajahnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah energi amarah yang mendidih di dadanya butuh wadah untuk meluap.

Tanpa pikir panjang, dia mendorong pintu kayu berat bertuliskan Director Utama tanpa mengetuk. Pintu berayun keras menabrak dinding, membuat sosok di balik meja besar itu terperanjat.

“Pak Teddy!” suara Audy meluncur, tajam dan bergetar, seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Pak Teddy, pria paruh baya dengan jas rapi dan dasi kebiruan, mengangkat wajahnya. Wajahnya berkerut, bukan karena kaget, melainkan karena terusik. “Apa-apaan kamu, Audy? Datang-datang teriak-teriak begini. Ini kantor, bukan hutan! Di mana sopan santunmu?”

Namun Audy tak menggubris teguran itu. Nafasnya memburu, sorot matanya menyala penuh tuntutan. “Apa betul yang Bapak katakan di telepon tadi? Bahwa Laura yang akan jadi representative kantor kita, yang mengawasi proyek di sana?”

Sejenak, ruangan itu hening. Hanya terdengar denting jam dinding yang seolah mengejek ketegangan mereka. Pak Teddy menutup mata, memijit pelipisnya dengan gerakan lelah—atau mungkin sengaja, untuk menunda jawaban yang sudah jelas.

“Benar,” akhirnya dia berkata datar.

Seakan ada petir menyambar dadanya, wajah Audy memerah. Tiga bulan ia mengorbankan waktu, tenaga, bahkan sebagian dari dirinya, demi proyek yang dia rancang dengan penuh dedikasi. Dan kini, begitu saja dialihkan pada orang lain—pada seseorang yang jelas tidak lebih kompeten darinya.

“Saya tidak terima!” suaranya pecah, namun tegas.

Pak Teddy mengangkat alis, seperti menantang. “Apa maksud kamu?”

“Bapak tahu,” Audy maju selangkah, telunjuknya hampir menuding, “kalau saya menyiapkan proyek itu sendirian selama tiga bulan—tanpa bantuan siapa pun. Lalu tiba-tiba orang lain yang mengambil alih? Menurut Bapak, apakah ini pantas? Adil?”

Amarahnya merambat ke seluruh tubuhnya, membuat suaranya bergetar bukan karena takut, melainkan karena menahan luka yang terlalu dalam.

Pak Teddy hanya mendesah. “Lalu kamu mau apa? Ini sudah final. Laura bahkan sudah ada di Singapura sekarang. Kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa.” Nada suaranya licik, penuh kemenangan kecil.

Tapi saat itulah, bibir Audy melengkung tipis. Senyum yang bukan tanda menyerah, melainkan sebuah tantangan yang tersembunyi.

“Bapak salah.”

Pak Teddy menatapnya, sedikit terusik oleh ketenangan yang mendadak hadir dalam diri wanita itu.

“Saya berhenti, Pak.” Suara Audy tegas, penuh kepastian yang nyaris tak terbantahkan. “Saya tidak sudi bekerja di perusahaan yang tidak bisa bersikap adil dan menghargai karyawannya. Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi pada saya. Jadi, buat apa saya bertahan?”

Dengan gerakan mantap, dia meletakkan ID karyawan di atas meja kayu mengilap itu. Bunyi kecil dari kartu itu terasa seperti pukulan keras di telinga Teddy.

“Jangan main-main, Audy.” Wajah Teddy mulai kehilangan wibawanya, terselip panik di balik nada ancamannya.

Audy menatapnya dengan mata dingin. “Saya tidak main-main, Pak. Permisi.”

Dia berbalik, melangkah menuju pintu dengan kepala tegak. Namun sebelum benar-benar menghilang dari ruangan itu, dia berhenti sejenak, menoleh, dan melontarkan kalimat yang membuat jantung Teddy nyaris copot.

“Oh ya, Pak… rancangan proyek yang saya serahkan pada Bapak tahu kan kalau itu belum final, karena saya baru akan menyerahkan hasil finalnya hari ini. Tapi seperti yang bapak tahu, saya bukan lagi pegawai di perusahaan ini. Semoga saja Laura tidak mengacau di Singapura.”

Senyum tipis kembali menghiasi wajah Audy saat dia melangkah pergi, meninggalkan ruangan itu dengan keanggunan seorang pemenang.

Di balik meja kerjanya, Teddy mendadak terdiam. Wajahnya pucat, matanya membesar. Untuk pertama kalinya pagi itu, dia benar-benar panik.

***

Teddy terduduk kaku, menatap kosong pada kartu identitas yang tergeletak di meja. Benda mungil itu memantulkan cahaya lampu neon, dingin dan kaku, tetapi di matanya seakan berubah menjadi bom waktu yang baru saja diaktifkan.

Jemarinya gemetar ketika meraihnya, merasakan dingin plastik itu menempel di kulitnya, berat—terlalu berat untuk sesuatu yang seharusnya ringan. Seakan kartu itu menanggung seluruh beban dari keputusan gegabahnya.

“Rancangan proyek itu belum final… semoga saja Laura tidak mengacau di Singapura.”

Kata-kata Audy kembali menancap di telinganya, seperti bisikan kutukan yang tak bisa dia usir. Jantungnya berdetak tak beraturan, menghantam dadanya seperti ingin keluar.

Dia tahu benar apa yang sedang dipertaruhkan: proyek bernilai triliunan, kontrak jangka panjang, hubungan dengan investor asing. Segala sesuatunya bertumpu pada satu presentasi penting di Singapura. Dan semua fondasinya… ada di kepala seorang wanita yang baru saja meninggalkan pekerjaannya.

Teddy merasa dadanya mengerut. Bagaimana jika file itu hanyalah kerangka kasar? Bagaimana jika Audy sengaja meninggalkan jebakan? Investor asing bukanlah pihak yang bisa diminta memaklumi kesalahan sekecil apa pun. Satu cacat dalam presentasi, satu data yang tidak sinkron, bisa menjatuhkan reputasi perusahaan sekaligus kariernya.

Panik merayapi nadi. Dia meraih telepon dengan gerakan kasar. “Ratna! Hubungi Laura sekarang juga. Saya ingin laporan terbaru tentang persiapan presentasi di Singapura. Cepat!” suaranya pecah, sarat dengan ketegangan yang tidak lagi bisa disembunyikan.

Beberapa menit terasa seperti jam. Hingga akhirnya, suara Laura terdengar di ujung sambungan—ceria, percaya diri, terlalu ringan untuk beban sebesar ini.

“Tenang saja, Pak. Semua dokumen sudah di tangan saya. Saya akan presentasikan sesuai file yang saya terima dari bapak.”

Teddy menegang. “Kamu sudah cek semuanya? Detail teknis sudah dicek?”

Keheningan menyusul. Sebuah jeda yang terlalu lama, cukup untuk membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya.

“Ehm… saya yakin file itu sudah final, Pak. Saya mungkin bukan yang merancang proyek ini, tapi… ya, saya akan usahakan semaksimal mungkin.”

Suara itu terdengar ragu, goyah—dan bagi Teddy, bagaikan bunyi paku terakhir di peti mati.

Dia menutup telepon dengan kasar. Tubuhnya jatuh ke sandaran kursi, wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Ini bisa berakhir buruk. Sangat buruk. Jika Laura gagal, investor tidak akan peduli siapa yang salah. Nama yang pertama kali dipertaruhkan adalah Teddy—orang yang menandatangani laporan, yang memberi jaminan, yang sengaja bermain licik dengan mengirim Laura untuk menggantikan Audy.

Tangannya menghantam meja, menimbulkan dentuman keras yang membuat map-map berhamburan. “Sial!”

Tanpa pikir panjang, dia meraih ponselnya dan menghubungi Audy. Sekali. Dua kali. Lima kali. Setiap nada sambung yang berakhir tanpa jawaban seperti cambuk yang menghajar egonya. Dia mencoba lagi, kali ini dengan suara tercekat, penuh keputusasaan.

Tetap nihil.

Teddy menunduk, jemarinya meremas ponsel hingga buku-bukunya memutih. Tidak boleh begini. Aku harus mendapatkan dia kembali. Dengan cara apa pun.

Pikirannya berputar, liar. Membujuk dengan janji manis? Atau menekan dengan ancaman? Audy bukan tipe yang mudah digoyahkan, ia tahu itu. Namun waktu yang dia miliki terlalu sedikit. Presentasi tinggal hitungan jam.

Di balik kaca jendela yang menghadap ke kota Jakarta, langit sudah memutih disinari matahari siang. Lalu lintas di bawahnya mulai padat, klakson-klakson bersahutan. Dunia bergerak seperti biasa—seolah tidak ada yang salah.

Tapi di ruangannya, Teddy merasa dikelilingi badai dingin. Badai yang bisa meluluhlantakkan segalanya yang dia bangun selama bertahun-tahun.

Dan yang paling menakutkan dari semuanya adalah kenyataan sederhana ini: nasibnya kini berada di tangan seorang wanita yang baru saja membalikkan punggung, meninggalkannya dengan senyum tipis penuh kemenangan.

***

Bab 2

Singapura – Ruang Rapat Investor

Ruang rapat di lantai atas hotel bintang lima itu dipenuhi aura megah yang menekan dada. Dinding kaca menjulang, memperlihatkan panorama Marina Bay yang berkilau, namun di dalam ruangan itu, hawa dingin dari pendingin ruangan terasa seperti pisau tajam yang menusuk kulit. Para investor asing duduk berjejer rapi, jas mereka rapi, tatapan mereka tajam—bagaikan hakim yang siap menjatuhkan vonis.

Di ujung meja, Laura berdiri dengan senyum percaya diri. Rambutnya ditata sempurna, gaun kantornya elegan, dan di tangannya sebuah pointer kecil bergetar halus. Slide pertama muncul di layar.

“Good morning, ladies and gentlemen,” ucap Laura, suaranya lantang namun sedikit terburu. “Today, I will present to you our company’s strategic project plan…”

Kalimat pembuka mengalir, slide demi slide berganti. Tetapi tidak butuh waktu lama sebelum segalanya mulai runtuh.

Seorang investor mengangkat tangan. “Excuse me, Miss Laura. On page twelve, the financial projection doesn’t match the cost structure in appendix three. Can you explain?”

Laura tertegun. Matanya menyapu layar, lalu lembaran di tangannya. Senyum percaya diri yang tadi merekah mulai goyah. “Uh… I believe… it should be correct, maybe there is… a slight misprint?”

Tatapan tajam menyapu ruangan. Desahan kecil terdengar. Investor lain menyusul, kali ini dengan nada lebih tajam. “And on the technical design, the engineering blueprint is incomplete. There are missing variables. Was this approved?”

Peluh dingin menetes di pelipis Laura. Kata-kata Audy tentang rancangan “belum final” kini mewujud nyata dalam bentuk lubang-lubang memalukan di setiap halaman presentasi. Pointer di tangannya bergoyang liar, seolah ikut menggambarkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.

Suasana ruangan semakin berat. Investor mulai bertukar pandang, beberapa berbisik, bahkan ada yang geleng-geleng kepala. Suara Laura makin lirih, kalimatnya tersendat. Semua yang semula tampak meyakinkan, kini runtuh di depan matanya.

Dan untuk pertama kalinya dalam kariernya, Laura merasa telanjang di hadapan dunia.

Laura berusaha menjaga senyumnya, matanya berpindah-pindah antara layar besar di depan dan wajah para investor. Tetapi dari cara mereka saling pandang, saling mengangkat alis, dia bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.

Seorang pria berkacamata tipis dengan rambut memutih—ketua tim investor asal Jepang—angkat tangan. Suaranya datar, namun tajam seperti bilah samurai.

“On page twelve, your revenue forecast contradicts the cost analysis in appendix three. Can you explain the discrepancy?”

Laura menelan ludah. Ia menatap sekilas lembaran di tangannya, jantungnya berdegup kencang. “U-uh… I believe… the numbers should be aligned…”

Seketika, bisik-bisik terdengar di meja. Ada yang mencatat cepat, ada yang menatap Laura dengan dingin.

Belum sempat ia melanjutkan, seorang investor lain—wanita asal Singapura dengan suara tegas—menyambar,

“And what about the engineering section? On the blueprint, the load capacity formula is missing key variables. This cannot be a finalized design.”

Kata missing key variables menggema di telinganya seperti palu godam. Pointer di tangannya gemetar, nyaris terlepas.

Laura mencoba mengalihkan dengan menekan remote, mengganti slide berikutnya. Tetapi justru semakin buruk. Grafik tak lengkap, tabel melompong, catatan teknis terputus di tengah kalimat.

Seorang investor asal Eropa, dengan aksen berat, mencondongkan tubuhnya ke meja. “Are you telling us this project plan is unfinished? We came here for a comprehensive presentation. What exactly are you selling us, Miss Laura?”

Udara di ruangan itu mendadak menipis. Laura merasakan peluh dingin mengalir di punggungnya, membasahi kain tipis blus formalnya. Dia tersenyum kaku, mencoba mencari kalimat penyelamat. “I… I assure you, the final plan is solid. Maybe… maybe there was a small mistake in the files I received…”

“Small mistake?” suara pria Jepang tadi meninggi, kali ini tanpa lagi menyembunyikan kekesalannya. “Billions are at stake here. If you cannot even provide us with accurate documents, how can we trust your company’s capability?”

Ruangan bergemuruh. Suara kursi bergeser, investor yang berbisik dalam berbagai bahasa, wajah-wajah yang berubah dari penasaran menjadi muak.

Laura berdiri kaku, seperti boneka yang tali-talinya diputus. Suara-suara itu menusuknya, meluluhlantakkan setiap lapis percaya diri yang tadi ia bawa masuk.

Seorang investor lain, pria berusia tiga puluh lima dengan setelan abu-abu rapi, menyilangkan tangan dan berkata dingin, “If this is what your company calls a strategic project, then I’m afraid our partnership ends here.”

Kalimat itu seperti vonis.

Laura menunduk, wajahnya terbakar malu, tangannya gemetar mematikan slide yang belum tuntas.

Di sudut ruangan, manajer lokal yang mendampinginya menutup wajah dengan tangan, seolah ingin menghilang dari tempat itu.

Sementara itu, deretan investor bangkit satu per satu, “This is a waste of time.” ucap salah satu dari mereka yang kemudian meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.

Di ruang rapat Singapura yang kini hampir kosong, Laura duduk terpuruk di kursinya. Riasannya yang tadinya rapi mulai luntur oleh keringat. Dokumen-dokumen berserakan di meja, sebagian bahkan ditinggalkan investor tanpa peduli. Seorang pria asing yang terakhir keluar menoleh sebentar dengan tatapan dingin.

“Your company just lost a golden chance. We won’t reconsider.”

Pintu tertutup. Bunyi dentuman itu seperti gendang kematian.

Laura menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dadanya sesak. Dia tahu, berita ini akan menyambar cepat ke Jakarta, membawa badai besar yang tidak akan bisa dia hadapi sendirian.

***

Jakarta.

Teddy menghantam meja dengan tinjunya. “Sialan!” suaranya pecah, membentur dinding kaca. Ponsel di tangannya berulang kali ia tekan, nomor Audy dipanggil sampai layar merah menyala. Tak ada jawaban.

Dia lalu berlari ke pintu, hampir menabrak sekretarisnya. “Sudah berhasil hubungi Audy?”

Sekretaris itu menggeleng, wajah pucat. “Belum, Pak. Saya sudah coba hubungi semua kontaknya. Bahkan… kabarnya dia sudah keluar dari grup kantor.”

Seakan dunia Teddy runtuh. Lututnya lemas, dia kembali masuk ke ruangannya, menjatuhkan tubuh ke kursi. Kartu ID Audy masih tergeletak di atas meja, dingin, seolah mengejeknya.

Disisi lain telepon di meja Teddy berdering tak henti. Begitu dia angkat, suara gusar dari salah satu dewan komisaris meledak.

“Apa-apaan ini, Pak Teddy?! Investor kabur! Anda bilang proyek sudah siap, padahal dokumen masih belum final?!”

“B-bukan, Pak… saya—” Teddy tergagap, keringat menetes deras dari pelipisnya.

“Tidak ada alasan! Mereka menuduh kita tidak profesional, bahkan mempertimbangkan untuk memutus kontrak lama. Do you realize what this means?! Saham kita akan jatuh besok pagi!”

Pria separuh baya itu berkali-kali menepis keringat yang mengucur di pelipisnya sembari menggenggam gagang telepon ditelinganya, memohon  “Pak… beri saya waktu, saya bisa perbaiki. Saya hanya butuh… saya butuh Audy kembali. Dia satu-satunya yang bisa—”

“Diam, Pak Teddy!” bentak suara di seberang. “Jangan sebut nama dia lagi. Anda yang bikin dia keluar, dan anda yang bikin perusahaan ini di ujung jurang. Kami akan adakan rapat darurat sore ini. Dan sepertinya… kursi direktur sudah terlalu besar untuk anda.”

Sambungan telepon terputus dengan kasar. Teddy terdiam, tubuhnya bergetar. Kepalanya berdenyut seperti dipukul palu berkali-kali. Dia berusaha berdiri, tapi lututnya lemas, membuatnya kembali terjerembab di kursi.

Sementara itu, kabar buruk menyebar cepat seperti api menjilat kertas kering. Grup internal perusahaan mendidih—pesan demi pesan masuk:

“Investor batalin kontrak??”

“Katanya dokumen yang dibawa Laura belum final makanya presentasi kacau.”

“Itulah akibatnya kalau mencuri ide orang lain, Bu Audy sampai mengundurkan diri gara-gara ini.”

“Bisa gawat kalau begini terus”

Para karyawan mulai saling pandang dengan wajah pucat. Di lobi, gosip liar merebak, bisikan-bisikan yang biasanya hanya berani muncul di ruang pantry kini menggema lantang.

Nama Teddy disebut di mana-mana, bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai biang kehancuran.

***

Keesokan paginya, layar-layar elektronik di Bursa Efek Jakarta dipenuhi warna merah menyala. Angka demi angka merosot, grafik saham perusahaan Teddy terjun bebas, bagai pesawat kehilangan sayap.

Di ruang rapat darurat, suara para komisaris meninggi. Teddy duduk di ujung meja, wajah pucat, dasinya longgar, keringat membasahi kemejanya.

“Cukup sudah, Teddy! Perusahaan ini nyaris bangkrut gara-gara ulah anda. Anda sudah gagal!” bentak seorang komisaris tua.

“Tapi saya bisa perbaiki—”

“Tidak ada waktu! Anda resmi kami copot dari jabatan direktur utama, efektif per detik ini juga.”

Palu sidang rapat diketuk. Dentumannya menggema keras, mengunci nasib Teddy.

Sore itu, setelah rapat berakhir dan gedung mulai lengang, Teddy menyendiri di ruangannya untuk terakhir kali. Lampu redup membuat bayangan wajahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Meja yang dulu simbol kekuasaan kini terasa dingin dan kosong.

Dengan tangan gemetar, dia meraih ponselnya. Satu nama terpampang di layar: Audy.

Jari-jarinya ragu, namun akhirnya ia menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali.

Dia mencoba lagi. Kali ini, dia meninggalkan pesan.

“Audy, saya mohon. Saya rela melakukan apa pun. Tolong bantu saya membereskan kekacauan ini.”

Pesan itu terkirim. Tidak ada tanda terbaca.

Di tempat lain, Audy duduk memandang jalanan ibukota dari balik jendela kafe favoritnya sembari mengagumi langit senja Jakarta yang berwarna emas. Ponselnya bergetar, namun dia tidak bergerak untuk meraihnya. Ia tahu siapa yang mencoba menghubungi.

Dia hanya menghela napas, lalu mematikan ponsel itu sepenuhnya.

***

Bab 3

Langkah Audy terdengar berat ketika dia keluar dari taksi, menyeret koper yang kini terasa lebih mirip beban masa lalu ketimbang sekadar wadah pakaian. Malam sudah turun sepenuhnya, udara lembap Jakarta menempel di kulitnya. Ada kelelahan yang menekan bahunya, namun di sela rasa letih itu, terselip juga sebuah kelegaan tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia terbebas dari intrik kotor di kantornya—dari permainan licik yang tidak pernah memberi jalan bagi kerja kerasnya untuk benar-benar dihargai.

Rumah yang selama ini menjadi pelariannya tampak lengang. Lampu teras belum dinyalakan, membuat bayangan pepohonan di halaman memanjang seperti tangan hitam yang menggapai. Audy mengernyit. Chandra seharusnya sudah pulang… kenapa rumah segelap ini?

Namun saat dia mendekat, samar-samar terdengar percakapan dari dalam. Tawa. Nada akrab, nyaris intim. Dahinya berlipat. Ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan hati yang mulai digelayuti curiga, Audy membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menohok: Jenny, adik tirinya, duduk di ruang tamu bersama Chandra. Mereka bercanda, tawa mereka menyatu seolah rumah itu hanya milik berdua.

“Jen? Kapan kamu datang?” suara Audy pecah, setengah heran, setengah terkejut.

Jenny tersentak, tubuhnya kaku bagai pencuri yang tertangkap basah. “Loh, Kak? Kok Kakak ada di sini? Bukannya Kakak di Singapura?” suaranya gugup, lidahnya tergagap.

Audy memandangnya tajam sebelum akhirnya menjawab dengan tenang, meski ada getir terselip di ujung kalimatnya. “Perjalanan Kakak dibatalkan. Dan… Kakak juga sudah mengundurkan diri dari kantor.”

Jawaban itu seketika membuat Chandra bangkit dari sofa, wajahnya tegang. “Apa?? Kamu berhenti kerja?!” suaranya meninggi, lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.

Audy berdiri tegak, meski hatinya lelah. “Iya, Mas. Ngapain aku bertahan di tempat yang nggak pernah hargain aku?”

Tapi bukannya menenangkan, Chandra justru meradang. “Kalau kamu berhenti kerja, terus biaya hidup kita gimana? Kamu tahu sendiri penghasilan aku jauh dari cukup!”

Sebuah ironi pahit menusuk Audy. Dia baru saja melepaskan belenggu kantor demi menjaga harga dirinya, tapi kini rumahnya sendiri memperlakukannya seolah ia tak lebih dari mesin pencetak uang.

“Tenang aja, Mas. Kita nggak akan sampai kelaparan. Aku bisa cari kerjaan lain.”

Namun Chandra menolak berhenti. “Iya, tapi di mana lagi kamu bisa dapat gaji sebesar di kantor kamu sekarang? Pokoknya kamu harus balik kerja di sana! Terserah deh caranya, tapi kamu nggak boleh resign!”

Kata-kata itu, penuh tekanan, menghantam Audy lebih keras daripada bentakan siapa pun di kantornya. Dadanya bergemuruh.

“Mas!!! Kamu sadar nggak sama yang barusan kamu omongin?” teriaknya, matanya basah oleh amarah yang ditahan terlalu lama. “Kamu lebih suka aku diinjak-injak di kantor lama aku? Iya?! Lebih suka aku diperlakukan nggak adil, asal uangnya jalan?”

Chandra tercekat, kehilangan kata-kata. “B-bukan begitu. Aku cuma… sayang sama jenjang karier kamu. Mungkin kamu bisa pikirin dulu baik-baik,” katanya, kini suaranya melunak, hampir seperti merayu.

Audy menepis tangannya kasar. Ada dinding yang tiba-tiba tumbuh di antara mereka. “Udahlah, Mas. Aku capek. Mau istirahat. Dan kamu, Jen… sebaiknya kamu juga pulang.”

Dia tidak menunggu jawaban. Dengan langkah tegas meski hatinya bergetar, Audy menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan mereka berdua dalam ruang tamu yang mendadak terasa pengap.

Dari atas, dia bisa merasakan tatapan yang dilemparkan kepadanya—tatapan kesal, penuh ganjalan, seolah kehadirannya baru saja menggagalkan sesuatu yang mereka rencanakan.

Audy menghela napas panjang. Dia merasa akan ada badai lain yang menghantam.

Tapi malam itu, dia memilih menutup pintu kamarnya, membiarkan dunia di luar sana berkecamuk tanpa dirinya.

***

Pagi itu, cahaya matahari merambat pelan melalui celah gorden kamar Audy, mengusir sisa gelap yang masih bergelayut. Namun bukan cahaya itu yang membangunkannya, melainkan suara dering ponselnya yang meraung tanpa ampun. Audy mengerjap, meraih ponsel dengan mata masih berat, dan hampir saja terlonjak ketika melihat layar—185 panggilan tidak terjawab.

Nama-nama yang terpampang di sana bukan sekadar nomor asing, melainkan deretan rekan kerja, bahkan beberapa direktur yang biasanya terlalu sibuk untuk sekadar menghubunginya. Jantung Audy berdegup kencang. Ada sesuatu yang jelas-jelas tidak beres.

Dengan jari gemetar, dia menekan salah satu kontak: Yunita, sahabat sekaligus kolega yang paling dia percayai di kantor. Panggilan baru sempat berdering sekali ketika suara Yunita terdengar, tergesa dan nyaris panik.

“Audy! Akhirnya aku bisa hubungin kamu juga.... Dy, Kamu harus ke kantor sekarang juga!”

Audy mengernyit, duduk tegak di ranjang, rasa kantuk lenyap seketika. “Ngapain? Kan aku sudah resign?”

Di seberang, terdengar helaan napas panjang, nyaris putus asa. “Itu dia masalahnya. Pengunduran diri kamu… ditolak. Dewan komisaris sudah turun tangan. Mereka minta kamu datang untuk menyelesaikan proyek itu.”

Kata-kata Yunita menggema di kepala Audy, membuat dadanya terasa sesak. Dia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ditolak? Apa lagi yang mereka inginkan?

“Yun, aku nggak ngerti. Aku sudah serahin surat resign. Aku sudah pamit dari Teddy. Kenapa sekarang mereka…?” suaranya tercekat, di antara bingung dan marah.

Yunita menurunkan nada suaranya, nyaris seperti bisikan. “Presentasi Laura di Singapura berantakan, klien besar marah, dan sekarang semua orang panik. Mereka butuh kamu. Mereka nggak punya pilihan lain.”

Audy terdiam lagi. Ada semacam rasa puas yang dingin merayap di hatinya, bercampur dengan getir yang menusuk. Baru kali ini, semua mata di kantor itu menoleh padanya—bukan untuk meremehkan, bukan untuk menginjak, melainkan untuk memohon. Ironisnya, itu terjadi justru ketika dia sudah memilih pergi.

Dia menatap ponsel di tangannya, deretan panggilan tak terjawab masih terpampang seperti jejak kepanikan yang nyata. Satu sisi hatinya berteriak ingin membiarkan mereka semua menanggung akibat dari ketidakadilan yang selama ini mereka pelihara. Tapi sisi lain… ada bisikan lembut, entah dari mana, yang membuat dadanya bergetar: kesempatan balas dendam kini benar-benar ada di genggamannya.

Audy memejamkan mata, membiarkan napasnya tertahan sejenak. Untuk pertama kalinya, dia yang memegang kendali.

"Oke Nit, aku ke kantor hari ini" jawab Audy pada akhirnya.

***

Audy berdiri terpaku di depan gedung tinggi yang menjulang angkuh, seakan menantangnya dengan ribuan jendela kaca yang berkilau di bawah cahaya matahari. Gedung itu adalah saksi bisu perjalanan kariernya—tempat ia pernah bermimpi, terluka, dan akhirnya memilih pergi.

Begitu melangkah masuk ke lobi, hawa tegang segera menyergap. Udara seakan dipenuhi bisik-bisik resah, tatapan orang-orang yang terhenti pada dirinya. Beberapa karyawan menunduk, sebagian lain saling berbisik lirih, seakan kedatangannya adalah sebuah kabar besar yang tak pernah mereka duga.

Dari arah lift, Yunita muncul terburu-buru, wajahnya letih, mata sembab seperti kurang tidur berhari-hari. Begitu melihat Audy, dia berlari kecil dan meraih tangannya, seolah menemukan secercah cahaya di tengah kekacauan.

“Audy… akhirnya kamu datang juga, semua udah nungguin dari tadi” suara Yunita bergetar, penuh kelegaan.

Audy menatap sahabatnya itu, alisnya mengerut. “Kamu keliatan kacau banget, Nit.” Katanya pelan, matanya menelusuri wajah Yunita yang tampak jauh lebih tua dari terakhir kali mereka bertemu.

“Ini bukan kacau lagi, Dy. Ini tuh bencana.” Yunita menelan ludah, suaranya hampir pecah. “Pak Teddy sudah dipecat. Dan sekarang, dewan direksi lagi mati-matian melobi investor asing agar mereka nggak batalin kontrak kerja sama. Semua orang panik.”

Audy tertegun, langkahnya berhenti di tengah lobi yang mendadak terasa membeku. “Pak Teddy… dipecat?” suaranya pelan, nyaris tak percaya. Sosok Teddy—yang dulu begitu pongah, begitu merasa berkuasa—dilengserkan begitu saja?

“Iya. Dan itu baru awalnya doang,” jawab Yunita cepat, menatap sekeliling dengan gelisah seolah setiap dinding punya telinga. Dia menggenggam tangan Audy lebih erat. “Kita nggak bisa lama-lama di sini. Dewan direksi sudah nungguin kamu di ruang meeting. Yuk buruan.”

***

Mereka sampai di depan pintu besar ruang meeting. Dua daun pintu kayu berlapis pernis mengilat berdiri kokoh, dijaga oleh keheningan yang pekat. Yunita menelan ludah, lalu mendorong pintu itu perlahan.

Begitu pintu terbuka, seketika semua percakapan terhenti. Puluhan pasang mata berbalik serentak, menatap ke arah Audy. Beberapa wajah penuh kelelahan, sebagian lain menyiratkan keputusasaan, dan sisanya—dingin, namun menyimpan harapan yang nyaris putus. Namun ada satu sosok yang asing dimata Audy, tampak memperhatikannya secara intens. Menepis rasa penasarannya, Audy berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak, tatapannya tajam menelusuri ruangan. Sejenak, keheningan itu terasa seperti kilat sebelum badai.

Di ujung meja panjang berlapis kaca, para direktur menunduk seolah enggan menantang matanya. Seorang komisaris senior bahkan menghela napas panjang, lalu bersuara, “Silahkan duduk Bu Audy, bisa kita mulai meeting hari ini?"

"Baik pak" jawab Audy sambil mengangguk dan mengambil tempat duduk yang telah disediakan untuknya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!