Hujan pertama yang turun pada malam kelahiran Mauryn menjadi penanda. Langit desa itu kelabu, di sambar guruh yang seakan tak sabar menyatakan keberadaannya.
Orang-orang di kampung kecil di kaki bukit itu percaya, setiap anak yang lahir membawa pertanda dan pertanda yang datang bersama Mauryn bukanlah yang baik.
Bayi itu lahir dengan tangisan panjang, bukan sekedar tangis lapar atau tangisan rindu pelukan ibu. Tangisannya pecah-pecah, terputus lalu tersambung, seakan ada sesuatu yang menekan dada bayi mungil itu.
Bidan yang membantu persalinan itu menatap bingung, lalu ia berbisik lirih
“Seakan-akan ia mendengar sesuatu”
Ibu Mauryn seorang perempuan sederhana bernama Larasati, tidak memperhatikan hal itu. Baginya anak adalah karunia, tetapi malam itu bahkan sebelum Mauryn membuka matanya, orang-orang yang berkumpul di luar rumah sudah berdesis.
Mereka melihat kilat yang membelah langit bersamaan dengan tangisan bayi. Mereka mendengar angin menumbuk jendela dan genteng, seakan marah. Bagi mereka semua itu bukan kebetulan.
Mauryn tumbuh dengan mata yang terlalu tajam untuk anak seumurannya. Mata hitamnya sering menatap lurus ke arah orang dewasa, membuat banyak dari mereka merasa tak nyaman.
Ia jarang rewel, jarang menangis tanpa sebab. Namun saat usianya 3 tahun ‘keanehan’ itu mulai nyata.
Suatu sore, ketika tetangga mereka datang membawa buah tangan, Mauryn yang sedang duduk dipangkuan ibunya tiba-tiba berkata polos.
“Kenapa bibi bilang buah ini manis, padahal di hati bibi bilang”
“ah, kasih saja sisanya, toh mereka orang miskin”
Suasana seketika beku, sang tetangga seketika tercekat, wajahnya pucat pasih. Ibu Mauryn menepuk bahu anaknya, berusaha menutupi dengan tawa gugup.
Namun kabar itu sudah menyebar lebih cepat dari pada angin. Esoknya hampir seluruh kampung tahu bahwa anak kecil Larasati bisa mengucapkan isi hati orang.
Awalnya orang-orang hanya menertawakan.
“Paling cuma anak kecil berkhayal”
Tapi semakin lama semakin sering Mauryn mengulang isi hati mereka dengan tepat. Bahkan hal-hal yang sangat rahasia, yang tak pernah berani mereka ucapkan.
Seorang laki-laki yang suka berjudi pernah bertandang ke rumah Larasati. Ia tersenyum ramah, berkata hendak meminjam uang untuk biaya anaknya sekolah. Mauryn yang baru berusia 5 tahun, menatapnya lama lalu berkata
“Om tidak mau bayar sekolah. Om mau pergi ke rumah judi. Om janji tidak akan kalah kali ini. Tapi di hati om sendiri bilang akan kalah lagi”
Lelaki itu tersentak, lalu berlari pergi tanpa kata. Sejak itu, ia tak pernah kembali. Tetapi desa mulai resah, apa yang semula di anggap keisengan bocah, kini terasa menakutkan.
Mereka mulai menjauhi Mauryn, anak-anak sebayanya dilarang bermain dengannya. Orang tua mereka berbisik-bisik, menyebutkan anak kutukan, titipan makhluk gaib. Bahkan ada yang mengatakan ia adalah jelmaan roh yang sengaja diturunkan untuk mengusik ketenangan kampung.
Mauryn yang masih belia tidak mengerti mengapa tatapan mata orang dewasa berubah tajam setiap kali ia lewat. Ia hanya tahu bahwa suara-suara itu tidak pernah berhenti.
Bisikan yang bukan bisikan telinga, melainkan bisikan hati. Ia mendengar ketakutan, kebohongan, niat busuk, juga harapan rapuh yang dipendam orang-orang.
Malam-malamnya sering ia habiskan dengan menangis.
“Ibu, kenapa aku bisa mendengar kata-kata aneh itu?”
“Kenapa mereka bilang aku kutukan?”
Tanya Mauryn suatu kali, ketika hujan deras kembali turun, mengingatkan pada malam kelahirannya.
Larasati hanya bisa memeluk anaknya dengan erat.
“Kamu bukan kutukan nak, kamu karunia”
“Hanya saja dunia tidak selalu mengerti pada sesuatu yang berbeda”
Namun, kata-kata lembut tidak cukup melindungi Mauryn dari pandangan tajam masyarakat.
Saat usianya 7 tahun, terjadi peristiwa yang membuat jarak antara dirinya dan dunia semakin jauh. Di sebuah hajatan, Mauryn duduk dipojok menonton orang dewasa bercakap-cakap.
Seorang laki-laki tampak duduk bersama istrinya, tersenyum ramah, seakan pasangan bahagia. Tapi suara hati laki-laki itu terdengar jelas di kepala Mauryn.
“Perempuan di rumah ini hanya beban. Hati ini sudah milik orang lain, wanita dikota yang lebih cantik”
Tanpa sadar Mauryn mengulang kalimat itu dengan polos, lantang ditengah keramaian. Tawa, musik, dan suara obrolan seketika terhenti. Istrinya menoleh dengan wajah pucat, tamu-tamu berbisik, dan lelaki itu berdiri dengan marah, menuding Mauryn sebagai pembohong.
Namun beberapa bulan kemudian, semua orang tahu ucapan Mauryn benar adanya. Lelaki itu benar-benar meninggalkan istrinya demi perempuan lain.
Bagi orang-orang kampung, kebenaran itu bukan alasan untuk menerima Mauryn. Justru semakin menegaskan bahwa ia adalah ‘anak yang membuka aib’.
Mereka percaya, anak kecil seharusnya tidak tahu rahasia orang dewasa, kecuali ia punya hubungan dengan dunia gaib.
Mauryn semakin terasing, ia berjalan ke sekolah sendirian, duduk di bangku paling ujung, dan sering pulang dengan luka kecil akibat gangguan teman-teman yang takut sekaligus benci padanya.
Guru-gurunya pun ragu mendekat, takut kalau-kalau bocah itu bisa membongkar isi hati mereka juga.
Di dalam kesepian itu Mauryn sering duduk menatap langit. Ia membayangkan dirinya seperti burung kecil yang ingin terbang tinggi, menjauh dari segala bisikan.
Tapi suara itu selalu ada di mana pun ia berada. Kadang ia menutup telinganya dengan tangannya, tetapi suara orang-orang menembusnya.
Hanya ada satu saat di mana ia merasa damai, ketika berada disamping ibunya. Hati Larasati adalah suara yang paling ia kenal. Tidak ada dusta, tidak ada niat buruk.
Hanya cinta, kekuatan, dan doa-doa panjang agar anaknya bisa bahagia. Suara itu, bagai nyanyian lembut yang meredam kebisingan dunia.
Namun, dunia luar tidak berhenti menekan. Suatu malam, ketika batu dilempar ke atap rumah mereka. Suatu hari ketika orang menutup pintu rapat-rapat saat Mauryn lewat. Bahkan keluarga besar Larasati pun mulai berjarak, takut menanggung aib yang melekat pada bocah itu.
Mauryn belajar untuk diam, ia tidak lagi mengulang isi hati orang dengan lantang. Ia hanya mendengar, menahan, dan menyimpannya dalam hati. Tapi semakin ia menahan semakin sesak rasanya.
Suatu malam, ia berbisik pada ibunya
“Kalau aku benar kutukan, apa aku harus pergi bu, supaya mereka tidak marah lagi?”
Air mata Larasati jatuh tanpa suara, ia menggeleng memeluk anaknya erat.
“Jangan pernah berpikir begitu nak, kamu bukan kutukan”
“Kamu adalah cahaya, suatu saat nanti kamu akan tahu mengapa Tuhan memberi telinga yang bisa mendengar hati manusia”
Kata-kata itu tersimpan dalam ingatan Mauryn, ia tidak benar-benar mengerti tapi ia percaya ibunya.
Namun, jauh didalam dirinya ada luka yang perlahan membesar. Luka karena ia berbeda, luka karena dunia menolak kehadirannya, luka karena suara hati orang lain selalu lebih nyaring dari pada suaranya sendiri.
Dan dari luka itu lah, Mauryn mulai di tempa menjadi seseorang yang akan berbeda dari kebanyakan manusia.
Bersambung…
Selamat datang di karya baru aku lagi, semoga karya baru ini bisa di sukai banyak orang 🥰
Jangan lupa like dan komennya yah biar othor semangat terus 🫰🏻
Mauryn beranjak remaja dengan satu kesadaran ‘iya tidak akan pernah diterima di kampung itu’ . Tatapan orang-orang sudah cukup jelas, mereka tidak ingin dekat, tidak ingin bersinggungan, apalagi berbagi kehidupan dengannya.
Saat usianya enam belas tahun, ia memberanikan diri berbicara pada ibunya.
“Bu, aku mau merantau, aku mau cari hidup sendiri”
Larasati menatapnya lama yang penuh air mata.
“Kamu masih terlalu muda nak”
“Tapi kalau aku disini, aku akan jadi beban. Mereka sudah terlanjur melihatku sebagai aib. Aku.. aku ingin tahu apakah aku bisa hidup tanpa bergantung pada siapa pun”
Larasati tau ia tidak bisa menahan. Gadis itu keras kepala, sama seperti ayahnya dulu. Jadi ia hanya mengangguk pelan, lalu memasukkan sedikit bekal ke dalam tas kain.
Beberapa pakaian, uang tabungan kecil, dan syal wol buatan tangannya sendiri.
“Jangan pernah lepaskan ini” kata Larasati sambil mengenakan syal itu di leher Mauryn.
“Kalau kamu merasa dingin, takut, atau sendirian, bayangkan aku memelukmu”
Mauryn memeluk ibunya lama sekali. Ada rasa sakit saat meninggalkan rumah kecil itu, tapi juga ada kelegaan, akhirnya ia akan mencoba menjadi dirinya sendiri.
\~
• Kota Baru •
Perjalanan menuju kota memakan waktu sehari penuh. Mauryn menumpang bus tua yang berderit setiap kali menanjak. Di dalamnya, ia duduk diam memandangi orang-orang dengan wajah asing.
Suara hati mereka berkelebatan, ada yang mengeluh soal uang, ada yang merencanakan kebohongan kecil, ada juga yang diam-diam agar perjalanan selamat.
Mauryn menarik napas panjang. Di tempat baru ini ia harus hati-hati. Tidak semua isi hati ia dengar, apalagi diucapkan.
Sesampainya dikota, ia terkejut sekaligus gugup. Jalan ramai, gedung tinggi menjulang, suara klakson bersahut-sahutan. Beda sekali dengan sunyi kampung.
Ia menyewa kamar kecil di gang sempit, cukup untuk tidur dan menyimpan barang seadanya.
Hari-hari pertamanya dikota tidak mudah. Ia mencoba melamar pekerjaan di toko, warung makan, hingga pabrik rumahan. Namun selalu saja ia gagal, bukan karena ia tidak mampu, tapi karena ia sering tanpa sadar membaca isi hati calon majikannya.
Pernah suatu kali, seorang pemilik toko roti tersenyum ramah.
“Kalau kamu rajin, kamu bisa kerja disini lama”
Tetapi dalam hatinya ia berkata.
“Ah, paling anak ini cuma bertahan seminggu, lagi pula aku tidak mau bayar penuh”
Mauryn yang mendengar itu hanya tersenyum tipis lalu menolak tawaran tersebut. Ia tahu bertahan di tempat yang penuh kebohongan hanya akan menyakitinya.
\~\~
Akhirnya Mauryn menemukan cara lain untuk hidup. Ia pandai merajut sejak kecil, diajari oleh ibunya. Jadi ia mulai membuat syal, sarung tangan, dan tas rajut sederhana, lalu menjualnya di pasar.
Pasar itu ramai dan keras, pedagang saling berteriak menawarkan dagangan, pembeli menawar habis-habisan, dan terkadang ada yang mencoba menipu dengan uang palsu. tapi Mauryn berbeda dari pedagang lain, ia tidak pernah tertipu.
Suatu hari seorang lelaki mencoba membayar dengan lembaran lusuh.
“Semoga anak ini tidak sadar, uang ini palsu”
Mauryn menatapnya tenang.
“Pak, uang ini tidak asli. Kalau mau belanja pakai uang yang benar”
Lelaki itu terdiam, lalu kabur dengan wajah memerah. Sejak saat itu kabar menyebar, ada pedagang muda yang tidak bisa dibohongi.
Makin lama dagangannya habis, bukan hanya karena rajutannya bagus, tapi karena orang juga percaya padanya.
Ia tidak suka menawar berlebihan, ia jujur soal harga, dan ia tahu kapan seseorang benar-benar butuh dan kapan hanya pura-pura miskin.
Dengan uang itu ia bisa membayar uang sewa kamar, makan sederhana, bahkan menabung sedikit demi sedikit. Hidupnya memang keras tapi ia menikmatinya, untuk pertama kalinya ia merasa punya kendali.
Meski begitu kesepian tetap menjadi teman setia. Mauryn bisa mendengar isi hati orang lain tapi sangat jarang ada yang mau mendengar isi hatinya.
Saat malam ia sering duduk di jendela kecil kamarnya menghabiskan waktu, memandang kota. Ia mendengar suara hati orang-orang di sekitarnya.
Keluh kesah tentang hidup, rencana rahasia, atau sekedar doa agar esok lebih baik. Tapi tidak ada yang bertanya bagaimana perasaannya.
Kadang ia menulis di buku catatan tua, hanya di sana ia bisa jujur tentang rasa lelah, tentang keinginannya punya sahabat, tentang kerinduannya pada pelukan ibu.
Namun ia tidak menyerah memilih jalan ini, setidaknya dikota ia tidak di sebut kutukan. Ia hanyalah gadis sederhana yang berjualan rajut, itu sudah cukup.
Suatu sore saat pasar mulai sepi, seorang pria muda berjas lusuh berdiri tak jauh dari lapaknya. Mauryn memperhatikannya.
Wajah pria itu tampak lelah, matanya gelisah, seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tanpa sengaja suara hatinya terdengar jelas.
“Aku harus menemukan orang itu..seseorang yang bisa membedakan lawan dan kawan. Kalau tidak semua akan hancur”
Mauryn membeku, kata-kata itu berbeda dari bisikan orang lain. Biasanya isi hati orang di penuhi hal remeh, tapi suara pria ini di penuhi luka sekaligus harapan besar.
Ia tidak tahu pertemuan sore itu akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Bersambung..
Terimakasih sudah mampir 🥰
Jangan lupa supportnya yah 🫰🏻
Pasar sudah hampir tutup ketika Mauryn mulai membersihkan lapaknya. Syal dan tas rajut ia masukkan ke dalam kotak, uang receh dihitung dengan cepat. Langit mulai jingga, pertanda hari sudah berakhir.
Namun matanya tertumbuk pada sosok pria berjas lusuh yang berdiri tidak jauh. Dari tadi ia tidak bergerak hanya menatap sekeliling dengan wajah tegang.
Mauryn pura-pura sibuk, tapi telinganya menangkap jelas suara hati pria itu.
“Aku tidak boleh salah. Waktu sudah semakin sedikit. Aku harus menemukan orang itu..”
Pria itu akhirnya melangkah mendekat.
“Permisi” suara dalam tapi agak serak
“Kamu yang berjualan disini setiap hari, kan”
Mauryn menatapnya sekolah lalu mengangguk.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu mencoba tersenyum meski jelas-jelas kelelahan.
“Aku.. sebenarnya butuh tempat untuk bertanya. Aku baru di kota ini”
Mauryn menyipitkan matanya, suara hatinya lebih nyaring dari pada kata-katanya.
“Apa dia orang yang kucari? Atau hanya kebetulan lewat? Tidak.. wajahnya terlalu tenang”
“Kalau soal alamat mungkin saya bisa bantu” jawab Mauryn datar
Pria itu tertawa kecil.
“Alamat, ya? Mungkin nanti. Tapi sekarang aku hanya butuh duduk sebentar. Boleh?”
Mauryn mengangguk, ia menunjuk kursi kayu kecil di samping lapak. Pria itu duduk, melepas napas panjang seakan baru saja berlarih jauh.
“Namaku Revan” ucapnya sambil mengulurkan tangan
“Mauryn” menyambut sekedarnya
“Kamu masih muda untuk berdagang sendiri, tidak takut ditipu orang?” Ucap Revan setelah menatapnya cukup lama.
“Orang boleh mencoba, tapi tidak akan berhasil” ucap Mauryn sambil tersenyum samar
“Kenapa begitu?”
Mauryn hampir menjawab jujur, tapi ia menahan. Tidak semua orang berhak tahu tentang kekuatannya.
“Karena aku sudah terbiasa”
Revan terdiam, menatapnya dengan tatapan yang sulit di baca.
“Ada sesuatu pada gadis ini. Matanya… seperti tahu lebih banyak daripada yang ia ucapkan”
Beberapa menit mereka hanya duduk, membiarkan angin sore membawa bau sisa pasar. Akhirnya, Revan membuka suara.
“Kamu percaya kalau ada seorang yang bisa menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya?”
Mauryn menoleh cepat, pertanyaan itu terlalu dekat dengan kenyataan.
“Maksudmu?”
“Kadang orang terlihat jujur, tapi sebenarnya penuh tipu daya. Kadang juga sebaliknya, tampak dingin tapi sebenarnya tulus”
“Kedengarannya seperti pengalaman pribadi” ucap Mauryn sambil menahan senyum
“Mungkin saja” ucap Revan sambil terkekeh singkat
Ia menatap jauh, suaranya melembut
“Aku kehilangan banyak hal karena salah percaya orang. Sekarang aku harus berhati-hati”
Mauryn menunduk pura-pura sibuk dengan kotaknya. Tapi ia mendengar isi hatinya jelas sekali.
“Jika aku salah pilih orang lagi, nyawaku taruhannya dan nyawa banyak orang juga”
“Kedengarannya berat” sambil menatap Revan lekat-lekat
“Lebih berat dari pada yang ku ceritakan pada orang asing”
“Lalu kenapa kamu cerita padaku?” Tanya Mauryn
“Entah, mungkin matamu bilang kalau kamu bisa dipercaya” sambil mengangkat bahu
Mauryn hampir tertawa kecil. Ironis, karena justru matanya yang sering membuat orang lain takut.
Seorang anak laki-laki kecil tiba-tiba mendekat, membawa keranjang penuh jeruk.
“Kak, kak mau beli jeruk? Manis semua kak, sumpah”
Revan mengeluarkan uang kertas, tapi anak itu dengan cepat menukar dengan beberapa jeruk busuk yang disembunyikan di bawah keranjang.
Mauryn tahu sebelum anak itu bertindak. Suara hatinya berbisik.
“Semoga mereka tidak sadar, jeruk ini sudah busuk. Kalau tidak aku rugi besar”
Ia menyentuh tangan Revan, seketika Revan pun menoleh ke arah Mauryn.
“Tunggu” ucap Mauryn
“Kalau mau jual, jual yang bagus. Jangan tipu pembeli” lanjutnya
Anak itu kaget, wajahnya merah padam.
“A-a-panya, ini manis semua kok kak”
“Ambil jeruk busuknya kembali, jangan coba-coba lagi” ucap Mauryn sambil menggeleng
Anak itu menunduk malu, lalu kabur. Sedangkan Revan menatap Mauryn dengan penuh tanda tanya.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Insting” jawab Mauryn
Tapi Revan tidak terlihat puas. Revan mencondongkan tubuhnya, menatap lebih dalam.
“Bukan sekedar insting kan? Kamu.. bisa membaca sesuatu”
Mauryn membeku. Tidak banyak orang bisa merasakan itu darinya.
“Kalau aku bilang iya, apa kamu akan takut?” Tanya Mauryn pelan
“Justru itu yang ku butuhkan” ucap Revan sambil tersenyum samar
Senja berubah menjadi malam, pasar benar-benar sepih. Revan berdiri, merapikan jas lusuhnya.
“Aku tidak akan memaksamu”
“Tapi kalau kamu memang punya kemampuan yang berbeda, aku ingin kamu membantuku”
“Membantu apa?” Ucap Mauryn sambil mengerutkan dahi
“Membaca siapa lawan, siapa kawan” ucap Revan dengan serius
“Aku sedang mengejar sesuatu yang besar. Terlalu bahaya untuk orang yang biasa, tapi.. aku rasa kamu bukan orang biasa” lanjutnya
Mauryn tertawa kecil, kali ini pahit.
“Biasanya orang bilang begitu. Tapi biasanya mereka pakai kata lain. Kutukan”
“Bagi mereka mungkin kutukan” ucap Revan
“Tapi bagiku, itu bisa jadi penyelamat” lanjutnya
Mauryn terdiam, didalam dirinya suara hati Revan masih bergema. Tulus, penuh luka, tapi juga penuh tekad. Tidak ada kebohongan di sana dan itu yang membuatnya berbeda.
“Aku butuh waktu, aku tidak suka jadi pion di permainan orang”
“Aku akan menunggumu, besok aku akan datang lagi” ucap Revan sambil mengangguk
Revan berjalan pergi, ia meninggalkan Mauryn dalam perasaan campur, bingung, takut, dan.. sedikit harapan.
Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihat kekuatannya bukan sebagai aib, tapi sebagai jawaban.
Dan Mauryn tahu ini hanyalah awalan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Bersambung..
Terimakasih yang sudah like, komen dan gift 🥰
Semoga kalian terhibur dengan cerita baru othor 🫰🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!