Matahari menyinari bumi di pagi yang begitu lembab. Kicauan burung menggema di penjuru langit. Zara berdiri di balkon kamarnya sambil menatap ke arah sana, dimana awan-awan berkumpul menciptakan panorama indah di pagi yang begitu cerah.
Gadis itu menikmati keindahan matahari terbit, terlihat sesekali ia menyampirkan anak rambut yang menghalangi wajahnya akibat ditiup angin. Kehangatan menyusup masuk ke dalam dadanya. Hingga ia tak menyadari sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah.
Gadis itu teringat kembali memori masa lalu bersama mendiang ayahnya. Di umurnya yang baru menginjak 12 tahun begitu banyak suka cita yang ia rasakan. Hari itu ia berjanji kepada sang ayah untuk belajar dengan giat.
"*Zara janji Ayah, Zara tidak akan mengecewakan Ayah." ucap Zara kecil di hadapan Sang Ayah.
"Gadis pintar! Berlajarlah dengan giat, oke?" ucap sang ayah sambil mengelus pucuk kepala gadis itu.
"Siap Ayah." jawab Zara semabari memberi hormat*.
Tersadar dari ingatan masa lalu yang menyelinap ke permukaan, gadis itu lantas mengela napas untuk menenangkan kembali pikirannya. Bahkan kedua sudut matanya telah menggenang, namun dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk menahan agar genangan air mata itu tak jebol.
"Ayah, aku merindukanmu." ucap gadis itu parau.
Mengingat sosok ayah baginya adalah sebuah duka. Figur pahlawan sekaligus cinta pertamanya itu telah pergi meninggalkan ia dan ibunya. Tepat 3 tahun sudah sosok itu tak lagi menemani hari-harinya. Banyak yang berubah, bahkan semangat hidupnya pun perlahan terkikis. Hingga ia dan ibunya memutuskan untuk pindah rumah dan menetap di kota yang berbeda agar mereka tak diliputi oleh nestapa yang berkepanjangan.
Zara mengingat dengan jelas bagaimana lelaki paruh baya itu menjadikannya seperti seorang putri kerajaan. Menaunginya dengan kasih sayang serta membimbingnya ke jalan yang benar. Tak lupa, pendidikan kekeluargaan yang tak ia dapatkan di bangku sekolah. Semua itu tersimpan dengan rapi di dalam memori otaknya seperti sebuah film.
Tak lama berselang terdengar suara langkah kaki mendekat, sudah bisa ditebak jika itu ibunya. Siapa lagi, mereka hanya tinggal berdua di rumah sederhana itu.
Zara menoleh ketika wanita paruh baya itu memanggilnya. "Nak, di bawah ada tamu. Turun dan bantu ibu menyiapkan minuman untuknya." ucap Tamara.
Zara mengangguk pelan "Iya Bu, aku segera turun."
Tamara pun beranjak dari kamar gadis itu menuju ruang tamu. Zara menyusul langkah ibunya, namun segera ia bertolak ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh hangat.
Sementara di ruang tamu sosok lelaki muda telah duduk dengan tenangnya. Tamara menghampiri seraya tersenyum, pemuda itu balas tersenyum pula.
Beberapa menit berselang Zara muncul dari arah dapur membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua cangkir teh. Sontak langkah kaki gadis itu terhenti. Ia terperanjat melihat sosok lelaki muda yang tampak begitu tampan tengah berbincang dengan ibunya. Seketika debaran jantung gadis itu berpacu dengan cepat. Tanpa menunggu lagi ia segera meletakkan satu cangkir teh untuk lelaki itu lalu duduk di samping sang ibu.
Kedatangan lelaki itu membuat kepala Zara menimbulkan sebuah tanda tanya. Gadis itu tampak bingung, terlihat ada sebuah koper yang dibawa pemuda itu.
"Lalu bagaimana kabar Ibu dan Ayahmu, tidakkah mereka ingin berkunjung kemari?" tanya Tamara.
"Mereka baik-baik saja bibi. Haha, masalah ingin mengunjungi kemari, aku sama sekali tidak tahu." Balas Ran sambil tersenyum.
"Baiklah sepertinya mereka sibuk." lanjut Tamara.
Zara tampak memerhatikan interaksi keduanya. Masih dalam mode tanda tanya, kepala gadis itu meneleng sejenak sembari berpikir siapa lelaki ini? Kenapa Ibunya tampak begitu akrab.
'Mungkin lelaki ini anak teman ibu?' pikir gadis itu dalam hati.
Wajah tampan lelaki itu membuat Zara sejenak mematung. Apalagi mata sipit lelaki itu terlihat aestetic baginya. Rahang tegasnya pun membuat gadis itu seketika menelan ludah. Sunggung lelaki sempurna.
"Kudengar ayahmu pensiun, benarkah itu?" tanya Tamara.
"Benar bibi." jawab Ran.
Tamara mengangguk paham. "Minumlah teh mu."
"Terima kasih bibi."
Zara mulai merasa bosan. Perbincangan ini begitu canggung hingga gadis itu menggaruk tengkuknya sendiri. Lama sekali ia menunggu hingga tak lagi memerhatikan apa yang mereka berdua bicarakan.
"Baiklah Ran, seperti kesepakatan antara Ayah Zara dan Ayahmu. Kau akan tinggal di sini bersama kami mulai hari ini." ucap Tamara yang berhasil menyita perhatian Zara.
Ran mengangguk antusias. "Baik bibi."
Tamara menoleh pada putrinya yang tampak beraut kebigungan. Ia kemudian mengelus pundak gadis itu. Sontak Zara terkejut, kemudian menatap heran pada sang ibu.
"Nak Ran, ini Zara anak bibi. Zara, ini Ran. Dia adalah anak Paman Akira." ucap Tamara memperkenalkan mereka satu sama lain.
'Oh jadi dia anak paman Akira, yang artinya dia sepupuku?' tanya Zara dalam hati.
Lelaki bernama Ran itu menundukkan kepala sekilas yang dibalas serupa oleh Zara. Keduanya terlihat begitu canggung, maklum lah pandangan pertama. Setelah itu Zara terlihat mematung dengan pikiran tak pasti. Gadis itu mengernyit.
Tamara berbalik melihat ekspresi putinya yang sedang mengernyitkan dahi tampak sedang berpikir. "Zara, ada apa Sayang?" Suara sang Ibu membuatnya sadar dari lamunan.
"Tidak kok Bu, tidak apa-apa." elak Zara sambil tersenyum.
"Kalo begitu kau antar Ran ke kamar yang ada di depan kamarmu yah Sayang."
"Baik Bu." jawab Zara seraya bangkit diikuti Ran.
Kemudian gadis itu segera mengajak Ran untuk pergi ke kamar yang ada di depan kamarnya. Tempat itu akan menjadi kamar milik Ran selama ia berada di rumah tersebut. Zara membuka pintu kamar, dari luar terlihat lumayan besar. Ran menoleh ke dalam dan tak lama kemudian membawa barangnya masuk.
Zara menyerahkan kunci kamar itu kepada Ran setelah semua barang bawaan lelaki itu masuk ke dalam. Ran mengajak gadis itu masuk untuk melihat-lihat. Karena merasa penasaran sabab tak pernah masuk kesana, Zara akhirnya mengindahkan ajakan lelaki itu.
Setelah masuk rasa penasarannya perlahan sirna. Tak ada perbedaan antara kamarnya dengan kamar tersebut bahkan letak temapt tidur dan peralatan yang lain. Rumah ini baru beberapa hari ditinggali oleh ia dan ibunya, itulah sebabnya kamar tersebut belum pernah ia kunjungi.
"Sungguh, kamar ini tak jauh berbeda dengan kamarku di seberang." ucap gadis itu, spontan.
"Benarkah?" sela Ran. Lelaki itu tampak heran dengan Zara yang bersikap seolah-olah sudah dekat dengannya.
Zara seketika tersadar, apa yang barusan dia ucapkan tidak seharunya terucap. Menagapa dirinya seperti sudah akrab dengan lelaki bermata sipit ini? Zara mengerjap, kemudian mengalihkan pandangannya.
"Maaf, aku kurang sopan." sambil menundukkan kepalanya.
"Tidak masalah." balas Ran pelan.
Zara hendak bernajak, namun suara lembut dari bibir Ran menghentikan langkahnya. "Aku Ran, salam kenal."
Gadis itu menoleh dan mengangguk sekilas, "Zz.. Zara." ucapnya gugup. "Aku akan kembali ke kamar, kau istirahat saja dulu." Ucapnya lagi pada Ran.
Ran tersenyum membalas ucapan gadis itu, tak lama Zara akhirnya menghilang di balik pintu. Setelah kepergian Zara, lelaki itu segera menutup pintu kamar kemudian mulai merapikan barang-barangnya.
Sementara Zara yang sudah kembali ke kamarnya sedang bersandar di balik pintu yang tertutup. Sembari memegang dadanya yang berdebar-debar akibat berbicara dengan Ran, pria yang merupkan sepupunya itu.
"Kenapa Ayah mengutus pangeran ke rumah ini?" ucapnya dalam hati.
Gadis itu berjalan menuju balkon sembari terus membayangkan wajah tampan Ran. Ketika bersandar pada pembatas balkon, Zara menengok ke arah pekarangan rumahnya. Di sana sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir. Sontak ia tersadar, sepertinya mobil itu sudah tiba sejak tadi ia menatap ke arah langit untuk menikmati pemandangan matahari terbit.
"Apa mobil itu miliknya?" gumam Zara kemudian tersenyum tipis, entah mengapa hari ini terasa begitu berbeda.
Kedatangan Ran adalah sesuatu yang tak pernah terbersit olehnya. Bahkan ia baru tahu jika memiliki sepupu seperti Ran.
"Tampan." sekali lagi ia bergumam.
.
.
.
bersambung....
Menatap lurus ke arah cermin. Zara memerhatikan pantulan cahaya dirinya di sana. Sembari bercermin gadis itu terbayang wajah Ran. Orang itu masih saja memenuhi kepala Zara hingga seutas senyum di bibirnya mengembang. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada kesempatan melihat manusia yang terlihat layaknya malaikat seperti Ran. Kesempurnaan lelaki itu tak bisa dipungkiri.
Setelah berhasil mengurai rambutnya, Zara beranjak dari cermin menuju meja kerjanya. Gadis itu meraih pena dan buku journal hitam. Tak lama kemudian beberapa tetes tinta tersemai indah di atas kertas putih bergaris itu. Rupanya Zara tengah menulis buku harian.
*Tanda jika kau mulai menyukai seseorang adalah ketika pikiranmu hanya dipenuhi olehnya. Kemanapun kau melangkah hanya senyum masinya yang terus menemani langkahmu.
Tapi aku masih ragu. Apa aku menyukainya? Padahal hari ini adalah pertama kalinya kami bertemu. Bisakah kusimpulkan bahwa aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama?
Oh ya, namanya Ran. Dia adalah sepupuku. Anak dari saudara lelaki Ayahku. Sungguh, dia tampan. Mata sipitnya begitu memukau. Dia adalah lelaki kedua yang kusukai. Tapi anehnya aku merasa dia yang pertama*.
Sambil tersenyum Zara terus saja menggoreskan tinta penanya ke atas kertas bergaris itu. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12.30 siang. Setelah merasa puas menceritakan sosok Ran di buku journalnya, ia pun mulai bangkit.
"Waktunya makan siang. Sepertinya ibu sudah memasak di dapur." gumam gadis itu sambil mulai melangkah keluar dari kamarnya.
Tepat di koridor, ternyata Ran juga baru saja keluar dari kamarnya. Sontak Zara merasa gugup ketika mereka berjalan beriringan hingga menuruni tangga. Gadis itu melirik sekilas dan tampak pada kedua matanya Ran sedang bermain ponsel dengan satu tangan dan tangan yang lain dimasukkan ke dalam saku celana.
'Sungguh tampan. Gayanya begitu cool.' celetuk Zara dalam hati.
Tanpa sadar ternyata langkah kaki Ran mendahuluinya, lelaki itu telah sampai di anak tangga terakhir dan langsung melaju ke arah dapur tanpa berniat memerhatikan sekitar.
Sementara Zara masih perlu menuruni beberapa anak tangga lagi. Namun nampaknya gadis itu masih dalam mode mengkhayal, dengan santainya ia melangkahi dua anak tangga sekaligus hingga tubuhnya terperosot ke lantai.
"Aakkhh." pekiknya.
Ran mengernyit di tengah langkah kakinya menuju dapur, seperti ada suara jatuh tapi lelaki itu malah memilih melanjutkan langkahnya.
Sementara Zara memegangi pergelangan kakinya yang terkilir akibat terjatuh. "Ya ampun sakit sekali." ucapnya sambil memerhatikan sekitar. Untung saja Ran tak melihat adegan itu, yang membuat Zara sedikit bernapas lega.
Dengan rasa malu yang terlanjur mencuat, ia berusaha berdiri untuk melanjutkan langkahnya menuju dapur sebelum ada yang melihat. Sambil sedikit terpincang Zara tetap berjalan berusaha menyamarkan raut wajah malu dan kesakitannya.
Hingga ia sampai di dapur lalu duduk di meja makan bersama Ran dan juga ibunya. Mereka berdua tampak berbincang hingga tak memerhatikan kedatangan Zara. Gadis itu berusaha agar tidak terlihat kaku ataupun aneh.
Tapi lagi-lagi rasa sakit akibat terkilir tadi masih saja terasa hingga gadis itu merasa tak bisa mengunyah. Ia terus menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa itu.
'Apa kukatakan saja yah pada ibu jika tadi aku terjatuh?' ucapnya dalam hati sambil terus meringis.
Tak lama tatapan kedua orang tersebut tertuju pada Zara. Ia tak menyadari dan masih saja asik meringis kesakitan.
"Zara ada apa denganmu?" sahut sang ibu.
Baru menyadari, Zara buru-buru menggeleng. "Tidak ada bu."
Tamara tampak mengernyitkan dahi. "Lalu mengapa dari tadi kau meringis? Apa kau sakit?"
Mata Ran menatap wajah gadis itu dengan intens. Ia ingat tadi ketika beranjak dari tangga, lelaki itu mendengar ada suara sreset terdengar. Tapi tak tahu apa yang terjadi.
"Kau terjatuh?" sahut Ran tiba-tiba.
Zara menoleh sambil membulatkan matanya. "Kenapa kau bisa tahu?"
"Oh itu, tadi aku mendengar suara aneh dari tangga. Jadi benar kau terjatuh?" jawab Ran lalu kembali bertanya.
Zara menunduk kemudian mengangguk sebanyak dua kali. Melihat itu membuat Tamara tampak tersenyum.
"Jadi yang mana lecetnya?" tanya Tamara.
Kegiatan makan siang tertunda sejenak akibat Zara. Gadis itu menunjukkan pergelangan kakinya yang memar pada sang ibu. Tamara meraih kaki gadis itu dan mulai memeriksanya.
"Kau terkilir cukup parah, bagaimana kau bisa seperti ini? Apa kau berlari saat menuruni tangga?" sungut Tamara.
Zara menggeleng. Dia memilih untuk diam karena malu jika harus menjawab.
"Ran tolong ambilkan krim di dalam lemari itu." pinta Tamara seraya menunjuk lemari dekat kulkas.
"Baik bi." jawab Ran.
'Memalukan sekali. Hanya karena aku mengkhayalkan wajahnya, aku terjatuh dari tangga. Ya ampun aku merasa otakku sudah tidak waras.'
Setelah mengambilkan krim dan memberikannya pada sang bibi, Ran kembali duduk untuk menyuap makanannya. Sementara Zara terlihat menahan rasa sakit akibat sentuhan tangan Tamara pada kakinya. Ran memerhatikan wajah itu. Imut juga, pikirnya. Tetapi karena tidak begitu peduli, lelaki itu hanya diam.
"Akkh, bu kenapa semakin sakit?" gerutu Zara.
"Namanya juga diobati, memang sakit Zara." tegas Tamara.
"Sudah bu, aku sudah tidak tahan lagi." Zara berusaha menahan tangan ibunya yang kemudian membuat ia semakin meringis kesakitan.
"Sabar dulu. Jika tidak segera diobati bisa-bisa kau tidak akan ke sekolah besok."
Zara akhirnya mengalah pada sang ibu. Matanya memejam kuat merasakan tekanan dari tangan lembut itu. Melihat wajah Zara memerah, Ran tersenyum tipis. Lelaki itu merasa sedikit terhibur.
"Aku sudah selesai, aku duluan bi." pamit Ran.
Tamara mencegah. "Tunggu!"
"Ada apa?" tanya Ran bingung.
"Bantu dia menaiki tangga, kalau perlu gendong dia!" pinta Tamara sembari menunjuk putrinya.
Zara membulatkan mata karena tidak terima. "Ibu." sahutnya cepat.
"Sudah terima saja. Ayo Ran." ucap Tamara telak.
Zara mendengus pelan seraya menggelengkan kepalanya. Ada rasa gugup menerjang dirinya. Namun tanpa disangka Ran langsung saja mengangkat tubuh mungilnya.
"Ah, ya ampun." ucap Zara.
Ran tampak tak acuh. Lelaki itu fokus menggendong tubuh Zara hingga menaiki satu persatu anak tangga. Zara mulai menutup mata karena merasa sangat malu.
Beberapa saat berlalu akhirnya mereka sampai di kamar Zara. Perlahan Ran menurunkan gadis itu di atas ranjang. Lelaki itu lalu menegakkan tubuhnya lalu menatap Zara. Zara tampak kikuk keika mendapati Ran tengah menatap dirinya.
"Apa butuh sesuatu?" tanya Ran.
Zara yang tadi menunduk seketika mendongakkan kepalanya menatap lelaki itu. "Sepertinya tidak."
Dan detik itu juga jantungnya kembali berdebar cepat. Karena Ran menyunggingkan senyum menawan. Tidak lebar tapi tidak pula terkesan datar.
"Kau belum makan kan?" tanya Ran lagi.
"Hm." jawab Zara malu-malu.
"Tadi kau terlalu asik meringis hingga lupa makan. Aku akan mengambilkannya untukmu. Tunggu disini!" ucap Ran kemudian berlalu.
Zara menunduk dalam. Kekonyolan ini membuatnya merasa sangat malu. Untung saja tidak ada yang tahu. Berselang beberapa menit Ran kembali dengan sebuah nampan berisi makanan di atasnya. Lelaki itu menyerahkan nampan tersebut pada Zara.
"Makanlah. Lain kali jangan mengkhayal ketika sedang berada di tangga." ucap Ran dan kemudian beranjak.
Zara mengerjap. 'Ya ampun, bahkan dia tahu jika aku tadi mengkhayal. Sungguh aku malu.'
.
.
.
bersambung..
Pagi itu Zara, Ibunya dan juga Ran sedang sarapan di meja makan yang terletak di bagian dapur. Zara menyuap makanannya dengan mata yang sesekali melirik ke arah Ran. Kejadian semalam membuat gadis itu sedikit penasaran terhadap tanggapan lelaki itu, pasalnya ia merasa begitu malu.
Ran merasakan sinyal dari tatapan gadis itu, dengan spontan ia menoleh. Zara tertangkap oleh tatapan Ran, kemudian dengan cepat gadis itu menarik pandangannya.
Karena merasa sedikit malu Zara mempercepat suapan ke dalam mulut hingga piring di hadapannya kosong melompong. Lalu berdiri sambil meraih tas yang tergantung di kursi. Ia meraih tangan Tamara dan mencium punggung tangannya seraya pamit untuk pergi ke sekolah. Gadis itu masih sempat melirik sekilas ke arah Ran yang dari tadi hanya diam.
Tanpa membuang masa lagi, gadis itu langsung beranjak menuju teras lalu memakai sepatu sekolahnya. Ketika selesai memasang sepatu tiba-tiba Ran keluar dengan mengenakan seragam kantoran. Ia baru sadar, ternyata lelaki itu sudah rapi sejak di dapur tadi.
Seketika Zara merasa percaya diri akan diajak berangkat bersama. Ia menunggu lelaki itu selesai mengenakan sepatunya, namun setelah selesai ternyata Ran langsung masuk kedalam mobil tanpa menoleh barang sedikit ke arah Zara.
Masih melongo, Zara menatap Ran yang mengemudikan mobil sedan hitamnya keluar dari pagar dan berlalu begitu saja. Sontak Zara merasa kikuk sekaligus kesal dengan sikap Ran yang tiba-tiba dingin dan cuek.
Gadis itu bangkit sambil mengerutkan kening. Bibirnya menggerutu tanpa henti hinggga kakinya sudah menapaki gerbang sekolah. Sebelum masuk ia menatap kakinya, lalu teringak kejadian kemarin lagi. Gadis itu menutup wajahnya lalu meringis pelan.
"Aku malu, Ya Tuhan." ucapnya lirih sambil terus berjalan.
Saat di kelas, ia terus saja berceloteh panjang lebar mengenai sosok Ran yang begitu mengusik pagi harinya. Bahkan Faykah sahabat gadis itu menutup telinga ketika mendengar gerutuan yang terdengar seperti protesan.
"Zanzaraaaa... Sudah!. Aku lelah mendengarmu berceloteh." Ujar Faykah sambil menutup kupingnya.
"Iihhh Fay, kau menjengkelkan sekali sih. Aku sedang kesal pada seseorang, kenapa malah menyuruhku dia....." ucapan Zara terpotong karena tangan Faykah telah membungkam mulutnya.
"Cukup Zara, cukup! Aku lelah mendengarkan celotehanmu. Nanti terdengar samapai ke kelas lain, apa kata mereka nanti?" Perlahan Faykah menarik tangannya dari mulut Zara.
Gadis itu terlihat cemberut setelah mulutnya dibungkam, Faykah paham bahwa sahabatnya itu mulai merajuk. Akhirnya sebagai sahabat yang baik dan pengertian Faykah berusaha membujuk Zara dengan sebuah pujian.
"Zara cantik, jangan merajuk yah. Oke, Aku minta maaf kalau begitu. Kau yang paling cantik, jadi jangan merajuk yah. Nanti kecantikanmu luntur, loh."
Zara seketika mengubah ekspresi wajahnya saat mendengar pujian Faykah, sontak hal itu membuatnya kembali tersenyum.
"Nah begitu lebih baik. Jangan cemberut lagi yah." Ucap Faykah. Zara mengangguk.
Tak lama berselang Raka yang juga merupakan teman kelas Zara datang menghampiri dengan senyum manis di bibirnya. Melangkah dengan angkuh seperti pejabat negara.
"Pagi Zara, Faykah." Sapanya ramah tentu saja dibuat-buat.
"Pagi.." Jawab Faykah mewakili Zara. Gadis itu bungkam.
Tentu saja Zara hanya diam, dia sedang tidak ingin berbicara pada siapapun di situasinya sekarang. Apalagi jika lawan bicaranya adalah Raka, lelaki mesum yang sangat menyebalkan itu yang setiap harinya hanya bisa berbuat onar untuk mencuri perharian Zara.
Lelaki itu menatap wajah cemberut Zara yang tak menjawab sapaanya. Sejenak dahi Raka berkerut. Lelaki itu beralih menatap Faykah meminta penjelasan.
Sementara orang yang ditatap hanya mengendikkan bahu. Bukannya tidak tahu, Faykah juga sama malasnya dengan Zara untuk hanya sekedar menjawab pertanyaan dari Raka.
Tak lama Raka memutuskan untuk menyuruh Faykah meninggakkan mereka berdua di dalam kelas yang kebetulan hanya ada mereka bertiga. Dengan cepat Faykah berdiri lalu beranjak dari hadapan keduanya. Bukan tega, tetapi Faykah benar-benar malas meladeni lelaki itu.
Setelah kepergian Faykah, lelaki bernama Raka Adijaya itu mulai duduk di samping Zara yang terlihat menekuk wajahnya. Ia mendekat seraya memiringkan kepala untuk melihat wajah gadis itu dengan sempurna.
"Zara, kau kenapa?" Tanya Raka sok peduli.
"Tidak apa-apa." Jawab Zara singkat dengan nada jutek.
Raka kurang puas dengan jawaban singkat Zara, ia kemudian beralih menarik bahu gadis itu hingga wajah mereka saling berhadapan. Zara sedikit kesal dengan sikap Raka, ia memutar kedua bola matanya lalu menampakkan raut wajah tak suka. Karena memang gadis itu tak pernah nyaman dengan kehadiran Raka.
"Jangan begitu Zara!" Tegur Raka pada Zara yang memperlakukannya tidak enak.
Zara berdecak kesal. "Ada apa kau, kenapa menggangguku?"
"Aku tidak mengganggumu. Justru aku ingin menanyakan keadaanmu, sebab sejak tadi kau terus saja menekuk wajah." balas Raka.
Gadis itu bukannya senang tapi malah dibuat kesal dua kali lipat, "Ada apa denganmu? Bukannya dari dulu aku sudah pernah bilang kalau aku tak suka berada di dekatmu?" Ucap Zara yang sontak menusuk hati Raka.
Seketika wajah lelaki itu berubah saat mendengar ucapan pedas yang keluar dari mulut Zara. Tadinya ia berniat menghibur gadis itu agar bisa jatuh hati padanya tapi rencana itu seketika buyar.
Raka membangkitkan tubuhnya kemudian pergi meninggalkan gadis itu tanpa kata dan dengan raut wajah yang sengaja dibuat kecewa. Melihat raut wajah lelaki berambut acak-acakan itu yang langsung berubah seketika, membuat Zara merasa bersalah.
Ia pun berdiri hendak mengejar lelaki itu bersama dengan langkah kaki Faykah yang sudah kembali masuk ke kelas bersama beberapa siswa lainnya. Faykah menyampaikan pesan yang dititip Raka padanya.
"Raka berkata padaku jika dia meminta maaf karena sudah mengganggumu." Ucap Faykah.
"Tidak Fay, aku yang salah. Aku harus kejar dia." kata Zara lalu pergi mengejar Raka.
Gadis itu berlari dengan nafas yang tidak teratur hingga ia melihat sosok yang ia cari. Lelaki itu ternyata sedang berdiri di pinggir lapangan. Zara menghampirinya sambil mengatur napas. Raka menoleh hingga mereka berdiri saling berhadapan.
"Raka, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak enak." Ucap Zara dengan nada bersalah.
Raka menatap gadis itu tanpa kata. Dan sekali lagi Zara meminta maaf padanya sampai akhirnya Raka memaafkannya tapi dengan satu syarat.
"Apa? Aku harus menjadi kekasihmu?" tanya Zara memastikan. Lelaki itu mengangguk.
"Oh, tidak-tidak, Kau pasti bercanda kan?" Zara menggeleng pelan.
"Apa Kau menolak hm? Oh ya sudah, aku tidak akan memaafkanmu." Ucap Raka mengancam.
Zara menimbang-nimbang persyaratan lelaki itu. Menurutnya mungkin tidak buruk jika sehari atau dua hari kedepan ia menjalin hubungan sebagai kekasih Raka, toh hanya sebentar saja, pikirnya.
Karena rasa bersalah yang terus menghantui akhirnya ia setuju dengan persyaratan tersebut. Karena sejujurnya, Zara tak bisa membiarkan seseorang menaruh amarah padanya. Raka pun tersenyum hingga membuat Zara lega.
'Ini hanya sebentar. Begitu hari telah berganti maka aku akan mengakhirinya.' Zara membatin.
"Nah seperti itu lebih baik, Kan aku jadi senang." Ucap Raka lagi-lagi tersenyum. Zara mengangguk sekilas dan merutuki kebodohannya dalam hati ketika senyum mesum yang menyebalkan itu tersungging di bibir Raka.
'Sial! Sepertinya hidupku akan berubah setelah ini, huft.' ucap Zara dalam hati untuk kedua kalinya.
.
.
.
.
.
bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!