Hari itu, langit tampak mendung, meski belum ada tanda-tanda hujan akan turun. Jalan raya lintas kota masih ramai, dipenuhi bus, truk besar, dan mobil pribadi yang berlalu-lalang. Di salah satu bus pariwisata yang melaju dengan kecepatan sedang, suasana cukup tenang. Sebagian penumpang tidur, sebagian lagi sibuk dengan ponselnya. Aroma makanan ringan dan harum minyak kayu putih bercampur di udara.
Di bangku nomor tujuh, dekat jendela, duduk sepasang suami-istri muda bersama putri kecil mereka yang baru berusia dua tahun. Balita itu, dengan rambut halus sebahu yang dikuncir dua, duduk dipangkuan sang ibu. Di tangannya tergenggam boneka kecil berbentuk kelinci. Sesekali ia bersuara cadel, berceloteh tentang apa saja yang ia lihat di luar jendela.
“Papa, itu mobil besar banget,” katanya sambil menunjuk sebuah truk kontainer yang menyalip bus mereka.
Sang ayah, seorang pria berkacamata dengan senyum hangat, mengangguk sambil mengusap kepala putrinya.
“Iya sayang, itu namanya truk. Hebat ya kamu bisa bilang ‘mobil besar’.”
Balita itu terkekeh bangga, lalu memeluk bonekanya erat-erat.
Sang ibu, dengan wajah teduh, menatap putrinya penuh kasih. Putrinya memiliki kelebihan ya itu sudah bisa berbicara lancar dan jelas “Nak, jangan terlalu dekat jendela, ya. Anginnya kencang.” Ia menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
“Iya, Mama,” jawab si kecil, meski kemudian ia kembali melirik keluar dengan mata berbinar. Dunia baginya adalah sesuatu yang indah dan penuh kejutan.
Bus terus melaju. Di dalam kabin, beberapa penumpang sudah mulai terlelap. Suara dengkuran samar terdengar. Radio sopir memutar lagu lawas yang menenangkan. Semua terasa normal hingga beberapa menit kemudian.
---
Sopir bus yang sudah berpengalaman lebih dari sepuluh tahun itu tampak sedikit mengantuk. Kelopak matanya berat, sementara jalan raya di hadapannya cukup panjang dan lurus. Hanya sesekali ia melihat spion, lalu menarik napas panjang. Di kursi paling depan, seorang kernet sedang bermain ponsel tanpa menyadari tanda-tanda bahaya.
Saat itu, dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju terlalu kencang. Sopir truk berusaha menyalip kendaraan di depannya tanpa memperhitungkan jarak. Jalan yang seharusnya aman, seketika menjadi celaka.
Teriakan terdengar dari beberapa penumpang yang menyadari truk itu sudah berada tepat di jalur mereka.
“Pak! Awas!!” seseorang bersuara panik.
Sopir bus terkejut, reflek membanting setir ke kiri. Namun karena kaget dan tidak siap, bus kehilangan keseimbangan.
Brakkk!!!
Suara benturan keras menggetarkan kabin. Jeritan penumpang menggema. Barang-barang dari bagasi atas berjatuhan menimpa kepala orang-orang. Bus terguncang hebat, menabrak pagar pembatas jalan, lalu terguling ke samping. Suara logam beradu dengan aspal mengerikan, kaca jendela pecah berhamburan.
Anak kecil itu menjerit keras dalam pelukan ibunya. Sang ibu memeluk tubuh mungil itu erat-erat, berusaha melindungi meski tubuhnya sendiri terbentur keras ke kursi depan. Sang ayah pun menutupi mereka, mencoba menjadi tameng terakhir.
Segalanya hanya berlangsung beberapa detik, tapi terasa begitu panjang. Saat akhirnya bus berhenti dengan posisi miring, suasana menjadi kacau balau. Darah, tangisan, dan teriakan memenuhi udara.
---
Beberapa menit kemudian, suara sirine ambulans mulai terdengar mendekat. Petugas medis dan polisi berlari menuju lokasi. Jalan raya segera ditutup.
Tim SAR berusaha membuka pintu darurat yang penyok, sementara paramedis bergegas menolong penumpang yang terjepit. Bau bensin menyengat, bercampur dengan asap dan debu.
Di antara reruntuhan kaca dan kursi, seorang petugas menemukan pasangan muda yang sudah tak bernyawa, tubuh mereka penuh luka, namun masih dalam posisi melindungi seorang anak kecil. Balita itu pingsan, wajahnya pucat, darah menempel di pelipisnya.
“Anak ini masih hidup! Cepat, bawa ke ambulans!” teriak seorang paramedis.
Tanpa menunggu lama, gadis kecil itu digendong dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.
---
Malam itu, di ruang gawat darurat Rumah Sakit Utama Bagaskara, suasana begitu sibuk. Dokter-dokter berlarian, perawat membawa brankar, dan keluarga korban memenuhi lobi sambil menangis histeris.
Di salah satu ruangan, dr. Arini, seorang dokter anak berusia tiga puluhan, baru saja menyelesaikan pemeriksaan pasiennya. Ia berwajah lembut, berhijab sederhana, dan selalu membawa aura tenang. Meski sudah empat tahun menikah dengan Bagas, seorang pengusaha muda yang sibuk namun penuh perhatian, Arini belum dikaruniai anak.
Saat hendak pulang, ia mendengar kabar ada korban kecelakaan bus masuk ke ruang darurat. Nalurinya langsung membawanya kembali. Ia masuk ke ruang IGD, dan pandangannya segera jatuh pada seorang anak kecil yang tak sadarkan diri di atas ranjang darurat.
Balita itu tampak begitu rapuh. Tubuh mungilnya penuh memar, pelipisnya diperban, dan wajahnya pucat sekali. Namun yang paling menusuk hati Arini adalah boneka kelinci kecil yang masih tergenggam di tangan anak itu seolah tak ingin dilepaskan meski dalam keadaan koma.
Arini mendekat, memeriksa denyut nadi dan kondisi vital. Syukurlah, anak itu masih bernapas, meski sangat lemah.
“Anak ini… usianya sekitar dua tahun,” gumamnya lirih. “Tolong siapkan CT-scan, pastikan tidak ada perdarahan otak.”
Perawat segera berlari mengikuti instruksinya.
Sejenak Arini berdiri terpaku. Ada rasa sesak menyelinap di dadanya. Ia tahu, anak ini kehilangan orang tuanya. Wajah pucat sang ibu dan ayah yang dibawa ke kamar jenazah masih terbayang. Hati seorang ibu meski ia belum punya anak seakan bergetar hebat.
---
Malam itu Arini tak jadi pulang. Ia duduk di kursi samping ranjang anak kecil itu, memegang tangannya dengan hati-hati. Suaminya sempat menelpon, menanyakan kenapa ia belum pulang.
“Ada anak kecil korban kecelakaan, Mas. Dia… sendirian sekarang. Aku nggak tega ninggalin.”
Bagas terdiam di ujung telepon, lalu berkata lembut, “Kalau begitu temani dia. Aku ngerti perasaanmu.”
Jam terus bergulir. Tengah malam, ruang perawatan sudah lebih tenang, namun Arini tetap di sana. Sesekali ia mengecek monitor jantung, memastikan si kecil bertahan. Lalu, tanpa sadar, ia mengelus kepala mungil itu sambil berbisik, “Nak, bertahanlah. Kamu nggak sendirian.”
Air mata menetes tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang tumbuh dalam hatinya rasa sayang yang begitu kuat, seolah-olah anak ini memang ditakdirkan hadir dalam hidupnya.
---
Pagi berikutnya, berita kecelakaan itu tersebar luas di televisi dan media daring. Jumlah korban jiwa mencapai belasan orang, sebagian besar luka berat. Di antara daftar korban meninggal, tercantum nama kedua orang tua balita itu.
Arini berdiri di depan layar TV rumah sakit dengan hati perih. Ia menunduk, berdoa dalam hati.
“Ya Tuhan, lindungi anak ini. Jangan biarkan dia sendirian.”
Hari-hari berikutnya, balita itu tetap dalam kondisi koma. Namun Arini tidak pernah absen. Setiap pagi ia datang, menyentuh tangannya, bercerita, membacakan doa, bahkan menyanyikan lagu anak-anak pelan-pelan. Perawat-perawat lain sering berbisik kagum, melihat betapa sayangnya dokter itu pada pasien mungilnya.
Sampai akhirnya, seminggu kemudian, sesuatu terjadi.
---
Mata mungil itu bergerak. Kelopak yang lama terpejam perlahan terbuka. Cahaya lampu putih menyilaukan, membuatnya berkedip pelan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah seorang wanita berhijab dengan senyum lembut, duduk di sampingnya.
“Subhanallah… kamu sadar, Nak?” suara Arini bergetar menahan haru. Ia cepat memanggil perawat, “Cepat, panggil tim dokter! Pasien kita sudah sadar!”
Balita itu mengerjap, lalu menoleh sedikit. Matanya yang bulat bening memandang sekitar, penuh kebingungan. Namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya… bukan seperti anak dua tahun biasa. Ada kedalaman di sana, seolah ia mengerti apa yang sedang terjadi.
Tangan kecilnya perlahan menggenggam jari Arini.
“Ma…” suaranya serak, lirih sekali.
Arini terdiam, dadanya bergetar. Air mata menetes di pipinya tanpa bisa ditahan. Ia tahu, sejak saat itu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bersambung
Ruangan itu terasa hangat pagi itu. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menyinari ranjang mungil di mana seorang balita tengah terbaring. Monitor jantung berdetak stabil, suara "beep" teratur menjadi musik paling indah setelah berhari-hari penuh ketegangan.
Dr. Arini duduk di kursi samping ranjang, masih tak percaya dengan apa yang baru ia lihat semalam. Balita korban kecelakaan itu yang sempat koma selama hampir dua minggu akhirnya membuka mata. Dan sejak saat itu, rasa hangat yang sudah lama bersemayam di hati Arini semakin menguat.
Anak itu kini terjaga, duduk dengan tubuh lemah, boneka kelinci yang sudah lusuh tetap erat dalam pelukannya. Mata bulatnya menatap sekitar dengan penuh rasa ingin tahu, meski jelas ada kesedihan yang samar di sana.
“Bagaimana perasaanmu, sayang?” tanya Arini lembut sambil mengelus kepala anak itu.
Balita itu menoleh, bibir mungilnya bergerak. “Sakit… di sini,” ia menunjuk pelipisnya yang masih diperban. Suaranya lirih, tapi jelas.
Arini tersenyum haru. “Iya, wajar kalau sakit. Kamu hebat sekali, Nak. Kamu sudah kuat bertahan.” Ia menahan air mata yang hampir jatuh.
Seorang perawat masuk, membawa catatan perkembangan pasien. “Dok, kesadarannya bagus sekali. Tidak ada tanda-tanda komplikasi sejauh ini. Memang aneh, anak seusia ini biasanya masih linglung, tapi dia… terlihat paham.”
Arini mengangguk kecil. Ia pun memperhatikan lagi tatapan anak itu. Benar, ada sesuatu yang berbeda. Seolah ia bisa merasakan situasi, meski baru berusia dua tahun.
---
Hari-hari berikutnya, gadis kecil itu mulai pulih. Ia lebih sering duduk di ranjang, bermain dengan bonekanya, dan sesekali menatap jendela. Namun ia jarang sekali berbicara banyak. Arini mengerti, itu mungkin karena trauma.
Setiap ada waktu senggang, Arini selalu datang menemaninya. Kadang membawakan buku cerita bergambar, kadang membawakan jus buah. Sesekali, ia mengusap kepala kecil itu dan membisikkan doa.
“Nak, kamu tahu nggak? Tante Arini seneng banget bisa lihat kamu sehat lagi,” katanya suatu sore.
Anak itu menoleh, menatapnya lama, lalu tiba-tiba berkata, “Tante… Mama mana?”
Pertanyaan sederhana itu menghantam dada Arini seperti pisau. Ia tercekat, hampir tak bisa menjawab. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa mama dan papa anak ini sudah tidak ada?
Ia menelan ludah, lalu mengelus pipi kecil itu. “Mama… sekarang sudah tenang di tempat yang indah, sayang.”
Anak itu diam. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Lalu, tanpa sepatah kata, ia menyandarkan kepalanya di pangkuan Arini. Saat itu, air mata Arini pun pecah. Ia memeluk erat tubuh mungil itu, seakan berjanji dalam hati bahwa ia tak akan pernah membiarkannya sendirian lagi.
---
Beberapa hari kemudian, Arini pulang lebih cepat dari rumah sakit. Ia menemukan Bagas, suaminya, sedang duduk di ruang kerja rumah mereka, menatap tumpukan dokumen perusahaan.
“Mas…” Arini masuk perlahan, membawa segelas teh hangat.
Bagas mendongak, tersenyum tipis. “Istriku sudah pulang. Capek, ya?”
Arini duduk di kursi sebelahnya. Ia terdiam cukup lama, lalu menarik napas dalam.
“Mas… aku mau ngomong sesuatu. Penting.”
Bagas menutup dokumen dan menatapnya penuh perhatian. “Apa itu?”
“Anak kecil korban kecelakaan bus kemarin… aku sudah merawatnya sejak dia masuk IGD. Mas tahu kan, orang tuanya meninggal di tempat.”
Bagas mengangguk pelan. “Aku baca di berita. Kasihan sekali.”
Arini menunduk, jemarinya saling menggenggam gelisah. “Mas… aku ingin mengadopsinya. Aku merasa… Tuhan menitipkan anak itu untuk kita.”
Ruangan itu mendadak hening. Bagas menatap istrinya lama, berusaha membaca kesungguhan di matanya. Ia tahu, empat tahun pernikahan mereka tanpa anak membuat Arini sering menangis diam-diam. Ia pun tahu, betapa besar kasih sayang istrinya pada setiap pasien kecilnya.
“Arin…” Bagas menghela napas panjang. “Ini keputusan besar. Adopsi itu nggak semudah membawa pulang anak. Ada proses hukum, ada persetujuan keluarga korban, ada juga kesiapan kita.”
“Aku tahu, Mas. Aku sadar itu. Tapi… aku nggak bisa membiarkan dia sendirian. Aku merasa… kalau aku ninggalin dia, aku akan menyesal seumur hidup.” Suara Arini bergetar, matanya berkaca-kaca.
Bagas menatapnya lama, lalu tersenyum lembut. Ia menggenggam tangan istrinya. “Kalau itu yang benar-benar kamu mau, aku akan mendukungmu. Kita jalani bersama-sama.”
Air mata Arini jatuh seketika. Ia memeluk suaminya erat-erat. “Terima kasih, Mas…”
---
Keesokan harinya, Arini memberanikan diri menemui pamannya, dr. Hendra, Direktur Rumah Sakit Utama Bagaskara. Beliau adalah sosok berwibawa, tegas, tapi berhati baik.
“Om, aku mau bicara soal anak kecil korban kecelakaan itu,” Arini memulai dengan suara hati-hati.
Hendra mengangguk, menyilakan keponakannya duduk di kursi ruang kerjanya. “Anak itu? Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Alhamdulillah, membaik. Sudah bisa jalan pelan, sudah mau bicara. Tapi… Om tahu, dia sekarang sendirian.”
Hendra menghela napas. “Iya, Om tahu. Kasihan sekali.”
Arini memberanikan diri. “Om, aku ingin mengadopsinya. Aku sudah bicara dengan Bagas, dia setuju. Kami berdua siap jadi orang tua untuk anak itu.”
Hendra langsung terdiam. Wajahnya serius, alisnya mengernyit. “Arini… Om tahu kamu sayang sama anak-anak. Tapi kamu nggak bisa gegabah. Kamu dokter, kamu harus paham prosedur. Adopsi bukan hal mudah. Bagaimana kalau ternyata masih ada keluarga anak itu? Kakek-neneknya, om, tante, atau siapa pun?”
“Tapi Om—”
“Tidak, Arini.” Suara Hendra tegas. “Om nggak mau kamu kecewa. Kita harus pastikan dulu, baru bisa bicara soal adopsi.”
Arini menunduk. Hatinya perih mendengar penolakan itu. Tapi ia juga mengerti, pamannya benar. Tidak boleh ada satu pun keluarga kandung yang diabaikan.
“Kalau begitu… izinkan aku merawatnya dulu, Om. Sampai semua jelas.”
Hendra menatapnya lama, lalu menghela napas. “Baiklah. Kamu boleh merawatnya selama di rumah sakit. Tapi jangan berharap lebih dulu.”
Arini mengangguk patuh, meski dalam hatinya doa tak berhenti.
---
Hari-hari berikutnya, Arini semakin dekat dengan anak kecil itu. Ia memanggilnya Celin nama yang ditemukan di kalung kecil yang terlepas dari lehernya saat kecelakaan.
Celin mulai ceria kembali. Ia sering duduk di pangkuan Arini, menyuapi dirinya sendiri dengan sendok kecil, bahkan tertawa kecil ketika Arini membacakan cerita bergambar. Para perawat sering berkomentar, “Dokter Arini itu seperti ibunya.”
Namun di balik semua itu, ada proses panjang yang harus dijalani. Bagas, sang suami, diam-diam mulai mencari tahu asal-usul keluarga Celin. Ia menyewa orang kepercayaannya untuk menelusuri data kependudukan, mencari apakah masih ada sanak saudara yang bisa mengasuhnya.
Minggu demi minggu berlalu. Hingga suatu malam, Bagas pulang membawa kabar.
“Arin…” katanya sambil menyerahkan map cokelat. “Aku sudah dapat hasil penyelidikan.”
Arini menatapnya dengan jantung berdebar. “Bagaimana, Mas?”
Bagas membuka map itu. “Kedua orang tuanya memang yatim piatu. Mereka merantau, hidup sederhana, dan tak punya saudara kandung. Tidak ada catatan keluarga dekat. Hanya ada teman-teman kerja, tapi bukan keluarga. Artinya… Celin benar-benar sendirian.”
Arini tertegun. Air matanya langsung menetes. Ia menutup mulutnya, tak percaya dengan kenyataan itu. “Jadi… benar-benar nggak ada siapa-siapa lagi?”
Bagas mengangguk. “Tidak ada.”
Arini menatap suaminya dengan penuh haru. “Mas… berarti kita bisa…?”
Bagas tersenyum tipis. “Kita bisa mulai proses adopsi, Arin. Kita urus semuanya sesuai hukum. Celin akan resmi jadi anak kita.”
Saat itu, Arini tak bisa menahan tangisnya. Ia menengadah, berdoa syukur kepada Tuhan. Lalu memeluk Bagas erat-erat. “Terima kasih, Mas. Aku janji… aku akan jadi ibu terbaik untuknya.”
---
Malam itu, Arini kembali ke rumah sakit. Celin sudah tidur pulas di ranjangnya, boneka kelinci masih dipeluk erat. Arini duduk di sampingnya, mengelus rambut halus itu sambil berbisik.
“Nak… mulai sekarang kamu nggak sendirian lagi. Mama akan jagain kamu. Selamanya.”
Seolah mendengar dalam tidurnya, Alya tersenyum kecil. Senyum polos seorang anak yang akhirnya menemukan rumah baru untuk hatinya.
Bersambung
Pagi itu, rumah sakit terasa berbeda bagi Arini. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi langkahnya terasa lebih ringan ketika memasuki ruang anak tempat Celin dirawat. Sejak malam kemarin, setelah Bagas memberitahu bahwa Celin benar-benar tidak memiliki keluarga lagi, hatinya penuh dengan keyakinan baru.
Di dalam ruangan, Celin sudah duduk di ranjang. Boneka kelincinya tetap setia di pelukan, rambut halusnya sedikit acak-acakan. Saat melihat Arini masuk, matanya langsung berbinar.
“Tanteee…” suaranya melengking, membuat Arini tersenyum lebar.
“Pagi, sayang,” jawab Arini sambil mendekat. Ia mencium kening Celin lalu duduk di sampingnya. “Tidurnya nyenyak?”
Celin mengangguk, lalu menunjuk ke jendela. “Matahari… terang.”
Arini terkekeh kecil. Di usianya yang baru dua tahun, Celin seakan punya cara berbicara yang lebih jelas dibanding anak sebayanya. Setiap kalimatnya singkat, tapi penuh makna.
“Betul, sayang. Hari ini cerah sekali. Sama seperti senyum Celin.”
Gadis kecil itu terkikik, lalu menyodorkan kelincinya. “Peluk.”
Arini menerima boneka lusuh itu, lalu berpura-pura berbicara dengan suara lucu, “Hai, aku kelinci Celin. Aku seneng banget punya mama baru.”
Celin terkesiap. Ia menatap Arini lekat-lekat. “Mama…?” suaranya lirih, seakan takut salah dengar.
Arini terdiam sejenak, hatinya bergetar. Ia tidak berniat menyebut kata itu, tapi lidahnya lebih cepat dari pikirannya. Tangannya langsung meraih jemari mungil Celin.
“Celin mau panggil Tante… Mama?” tanya Arini lembut.
Mata bulat itu berkaca-kaca. Bibir mungilnya bergetar, lalu dengan suara pelan tapi jelas ia berkata, “Mama…”
Arini langsung memeluknya erat-erat. Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. “Iya, sayang. Iya… mulai sekarang Mama akan selalu ada buat kamu.”
---
Hari-hari setelah itu, ruangan Celin jadi lebih hidup. Para perawat yang biasanya menjaga bergantian kini sering menemukan Celin duduk di pangkuan Arini sambil mendengarkan cerita. Arini membawakan buku bergambar, kadang boneka tangan, dan Celin selalu memperhatikan dengan seksama, seakan menyerap setiap detail cerita.
“Dok, anak ini luar biasa,” ujar salah satu perawat, Sinta, suatu sore. “Biasanya anak usia segini belum bisa merangkai kalimat jelas. Tapi dia… cepat sekali tanggapnya.”
Arini mengangguk. “Iya. Aku juga perhatiin. Mungkin memang dia anak istimewa.” Ia menatap Celin yang tengah menggambar dengan krayon di atas kertas. Goresannya memang belum rapi, tapi ia bisa membentuk lingkaran besar dengan titik-titik kecil di sekelilingnya.
“Matahari,” kata Celin sambil menunjuk.
Arini tersenyum bangga. “Pintarnya anak Mama.”
Celin tersipu, pipinya memerah. Sejak pertama kali memanggil Arini dengan sebutan Mama, anak itu semakin lengket, seolah menemukan rumah baru yang selalu ia cari.
---
Sementara itu, Bagas mulai mengurus dokumen adopsi dengan bantuan seorang pengacara keluarga. Meski prosesnya panjang, ia tahu setiap langkah penting untuk memastikan tidak ada masalah hukum di kemudian hari.
Suatu malam, Bagas pulang lebih larut dari biasanya. Arini sudah menunggu di ruang tamu, masih mengenakan piyama. “Mas, gimana hasilnya?” tanyanya cemas.
Bagas duduk, melepas dasinya. “Masih panjang, Arin. Kita harus ajukan permohonan ke pengadilan, ada investigasi sosial, dan butuh persetujuan dari dinas perlindungan anak. Tapi kabar baiknya, karena Celin benar-benar nggak punya keluarga, peluangnya besar.”
Arini mengangguk, berusaha sabar. “Aku akan lakukan apa pun, Mas. Aku nggak peduli berapa lama. Yang penting Celin bisa resmi jadi anak kita.”
Bagas tersenyum lembut, lalu menggenggam tangannya. “Aku tahu. Dan aku akan selalu dukung kamu.”
---
Beberapa minggu berlalu. Celin makin sehat, bekas luka di pelipisnya berangsur membaik. Ia sudah bisa berjalan lincah di koridor rumah sakit, menyapa perawat dan dokter dengan ramah. Semua orang di rumah sakit jatuh hati padanya.
Suatu pagi, Arini mengajak Celin ke taman rumah sakit. Udara masih segar, embun belum hilang sepenuhnya. Celin berlari kecil di atas rumput, tertawa riang.
“Mama, bunga!” teriaknya sambil menunjuk sekuntum bunga kertas merah muda.
Arini tersenyum, mengambil bunga itu, lalu menyelipkannya di telinga Celin. “Cantiknya anak Mama.”
Celin terkikik, lalu tiba-tiba menatap langit lama sekali. “Papa di sana?”
Pertanyaan itu membuat langkah Arini terhenti. Hatinya kembali terasa perih. Ia mendekat, berjongkok di depan Celin. “Iya, sayang. Papa sama Mama Celin ada di surga sekarang. Mereka pasti seneng lihat Celin sehat dan bahagia.”
Celin diam sejenak, lalu menggenggam tangan Arini erat. “Mama jangan pergi.”
Arini langsung menahan air matanya. Ia memeluk Celin erat-erat. “Mama nggak akan pernah pergi, sayang. Mama di sini, selalu.”
---
Malamnya, ketika Arini bercerita pada Bagas tentang percakapan itu, suaminya hanya mengangguk pelan. “Anak sekecil itu sudah bisa mengerti kehilangan… dia memang istimewa.”
Arini menatap suaminya. “Aku merasa, Mas, Celin bukan cuma anak biasa. Ada sesuatu yang Tuhan titipkan lewat dia. Rasanya… sejak dia ada di hidup kita, rumah sakit ini, bahkan rumah kita sendiri jadi lebih hangat.”
Bagas mengusap pipi istrinya. “Mungkin benar. Bisa jadi dia anugerah yang kita tunggu-tunggu selama ini.”
---
Suatu sore, dr. Hendra memanggil Arini ke ruangannya. “Arini, Om sudah dengar kamu dan Bagas serius soal adopsi Celin.”
Arini mengangguk. “Iya, Om. Kami sudah mulai urus dokumennya.”
Hendra menghela napas, menatapnya dengan sorot penuh makna. “Om awalnya ragu. Tapi setelah lihat kamu dan anak itu… Om pikir, mungkin memang sudah jalannya. Dia butuh keluarga, dan kamu butuh anak. Jadi… Om restui.”
Arini terharu, matanya berkaca-kaca. Ia bangkit lalu memeluk pamannya. “Terima kasih, Om… terima kasih.”
Hendra tersenyum tipis. “Tapi ingat, jadi orang tua itu bukan cuma soal rasa sayang. Butuh kesabaran, pengorbanan, dan komitmen seumur hidup. Kamu siap?”
Arini menatapnya dengan yakin. “Aku siap, Om. Demi Celin.”
---
Hari berganti minggu. Celin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hari itu, Arini dan Bagas menjemputnya. Celin tampak ceria dengan gaun sederhana berwarna kuning muda, boneka kelinci tetap dalam pelukannya.
Begitu sampai di rumah, matanya membesar takjub. Rumah besar keluarga Bagaskara dengan halaman luas terasa seperti dunia baru baginya. Ia berlari kecil ke ruang tamu, menyentuh sofa, vas bunga, lalu menatap tangga besar dengan kagum.
“Rumah Mama?” tanyanya polos.
Arini tersenyum, mengangguk. “Iya, sayang. Mulai sekarang ini rumah Celin juga.”
Celin menatapnya lama, lalu tersenyum lebar. “Rumah… Mama…”
Hati Arini meleleh. Ia menunduk, mencium pipi mungil itu. Bagas yang berdiri di belakang mereka hanya bisa tersenyum hangat melihat pemandangan itu.
---
Malam pertama di rumah, Celin tidur di kamar yang sudah disiapkan khusus untuknya. Dindingnya dicat warna biru muda dengan stiker bintang-bintang. Sebuah ranjang kecil dengan sprei bergambar kelinci menunggu di sudut ruangan.
Sebelum tidur, Arini duduk di tepi ranjang, membacakan cerita. Celin mendengarkan dengan mata berbinar. Lalu, ketika Arini hendak berdiri, tangan kecil itu menahan lengannya.
“Mama… jangan pergi. Tidur sini.”
Arini tersenyum, lalu berbaring di sampingnya. Celin memeluk boneka kelinci, lalu perlahan menutup mata. Namun sebelum benar-benar terlelap, ia berbisik, “Aku sayang Mama.”
Air mata Arini kembali menetes. Ia mengecup kening Celin. “Mama juga sayang kamu, sayang. Selamanya.”
Dan malam itu, di rumah besar keluarga Bagaskara, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arini benar-benar merasa lengkap. Bukan lagi hanya seorang dokter anak yang mencintai pasiennya, tapi seorang ibu yang akhirnya memiliki anak kandung hati.
Sementara di luar jendela, bulan bersinar terang, seakan ikut merestui ikatan baru yang mulai tumbuh di antara mereka.
---
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!