“Liora, aku tidak bisa menikahi mu. Keluargaku tidak pernah benar-benar menerima kehadiranmu. Aku sudah memilih wanita lain. Maafkan aku.”
Kalimat itu berputar-putar di kepala Liora, menghantam pikirannya tanpa henti. Vodka dalam gelasnya habis dengan sekali tenggak, meninggalkan panas membakar di tenggorokan. Jemari mungilnya bergetar, namun dia kembali mengangkat tangannya, memanggil bartender. “Satu lagi,” desisnya.
Sang bartender menatapnya penuh ragu. “Nona, sepertinya Anda sudah terlalu banyak—”
“Aku bilang satu lagi!” potong Liora, suara seraknya mengandung amarah bercampur putus asa.
Dengan helaan napas berat, lelaki itu akhirnya menuangkan kembali vodka. Liora meraihnya tanpa basa-basi, lalu menenggaknya seakan cairan bening itu obat mujarab yang bisa menghapus pengkhianatan.
Dadanya terasa sesak. Tiga tahun bersama pria yang dia kira akan jadi rumah terakhirnya, ternyata hanya kesia-siaan. Dia mendengus, lalu bergumam lirih, “Bodohnya aku percaya pada cinta murahan itu.”
“Aku ingin tanya sesuatu,” ucap Liora dengan suara sengau, matanya sayu namun tajam.
Bartender yang tengah meracik minuman menoleh. “Apa yang ingin Anda tanyakan, Nona?”
“Apakah aku ini wanita yang buruk? Sampai-sampai dia bisa meninggalkanku hanya karena aku bukan siapa-siapa. Semua hanya soal uang, kan?”
Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi Liora tertawa getir. Wajahnya kusut, indah tapi penuh luka.
Lelaki di balik meja bar itu tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Anda cantik, Nona. Orang seperti dia yang tak tahu cara menghargai Anda… dialah yang seharusnya merasa menyesal, bukan Anda.”
Kalimat itu hanya terdengar seperti hiburan murahan di telinga Liora. Ia terkekeh miris, bibirnya bergetar. “Cantik tidak cukup. Cinta pun tidak cukup.”
Saat tatapannya mengembara, matanya terpaku pada sosok asing di sudut bar. Seorang pria dengan bahu lebar, duduk sendiri dengan segelas wine berwarna merah darah. Sorot matanya tajam, wajahnya memikat. Alkohol mendorong Liora berdiri dan melangkah menghampiri.
“Hai…” suara Liora terdengar lirih namun penuh keberanian mabuk.
Pria itu menoleh. Senyumnya tipis, tapi tatapannya seakan menilai dalam sekali pandang. “Hai. Kau ingin duduk bersamaku?” tanyanya dengan nada rendah, berbahaya namun memikat.
Liora tertawa kecil, lalu duduk tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. “Kenapa tidak?”
Pelayan datang membawa pesanan baru pria itu: sebotol alkohol lebih pekat dari vodka. Lelaki asing itu menuangkan isinya ke dua gelas, lalu menyodorkan salah satunya. “Coba ini.”
Liora menerima tanpa ragu. Satu tegukan, dua tegukan, lalu gelas itu kosong. Pria itu menaikkan alis, terkejut namun kagum. “Kau benar-benar berbeda,” katanya.
Liora tersenyum miring. “Aku sedang bahagia. Bukankah begitu kelihatannya?”
Tubuhnya hampir terhuyung, namun pria itu sigap meraih pinggangnya, menahan agar tak jatuh. Jarak mereka mendadak rapat, aroma parfum maskulin memenuhi hidung Liora. Hatinya berdetak tak karuan.
“Aromamu…” bisik Liora sambil menatap wajah tampan itu dari jarak nyaris bersentuhan. “Aku suka.”
Pria itu terkekeh rendah, jemarinya menyapu pipi Liora. “Kalau begitu, maukah kau berdansa denganku?”
Tanpa pikir panjang, Liora melingkarkan tangannya di leher pria itu. “Menolak? Mustahil.”
Ia membiarkan tubuhnya dipimpin ke lantai dansa. Musik slow bergema, lampu temaram berpendar, dan pasangan-pasangan di sekitar tampak larut dalam pelukan mesra.
Liora pun demikian. Pinggangnya direngkuh erat, membuatnya tak mungkin berdiri tanpa sandaran itu. Tubuhnya nyaris lemah, tapi alkohol dan luka batin mendorongnya untuk larut dalam momen.
“Kenapa pria setampan kamu sendirian?” bisiknya menggoda.
Pria itu menunduk, bibirnya menyentuh telinga Liora. “Aku tidak sendiri. Aku bersamamu sekarang.”
Kata-kata itu membuat Liora tersenyum samar. Tanpa ragu, dia menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Sebuah ciuman singkat yang segera berubah menjadi lumatan panjang, panas, dan membakar.
Pria itu sempat tertegun, tapi dengan cepat membalas. Lidah mereka saling bertaut, membuat Liora mendesah pelan di sela-sela ciuman. Nafasnya terengah, dadanya naik turun.
“Namamu siapa?” tanya pria itu di sela tarikan napas.
“Liora,” jawabnya, jemarinya menyapu rahang sang lelaki.
“Indah sekali,” gumamnya. “Aku Felix.”
Mendengar nama itu, Liora mengulum senyum. “Felix… cocok sekali untuk wajah setampan ini.”
Felix menunduk kembali, menyambar bibirnya dengan gairah lebih liar. Pelukan di pinggangnya semakin erat, tangannya menelusuri lekuk tubuh Liora. Desahan samar lolos dari bibir perempuan itu, membuat tubuhnya semakin panas.
“Temani aku malam ini,” bisik Liora di sela kecupan.
Felix menyeringai puas. “Aku tidak akan menolakmu.”
Seketika, ia menggenggam tangan Liora, lalu menyeretnya menjauh dari lantai dansa. Liora menuruti tanpa pikir panjang. Dalam kepalanya hanya ada satu hal: melupakan luka dengan cara paling gila.
***
Pintu hotel berderit saat Felix mendorongnya terbuka. Tubuh Liora langsung terhempas ke dalam, punggungnya menempel pada dinding dingin.
Felix mencengkeram tengkuknya, bibirnya menubruk bibir Liora lagi. Kecupan itu liar, rakus, seakan ingin menelan habis kesedihan perempuan di hadapannya.
Liora tidak kalah beringas. Tangannya menjalar ke dada bidang Felix, merasakan otot yang mengeras di balik kemeja tipis. Jemarinya menekan, lalu meraih kerahnya, menarik semakin dekat.
Gaun yang menempel di tubuh Liora perlahan melorot saat Felix merenggut resletingnya. Sekejap kemudian, pakaian itu terjatuh ke lantai, meninggalkan tubuh yang membuat mata Felix terbelalak. “Kau luar biasa indah,” bisiknya serak.
Liora menatapnya dengan senyum nakal. “Jangan hanya menatap.”
Felix tak menunggu lagi. Ia mengangkat tubuh Liora, meletakkannya di ranjang, lalu kembali menyambar bibirnya. Malam itu berubah panas seketika, tubuh mereka saling terjerat dalam gelora yang tak terkendali.
Kulit bertemu kulit, nafas bertemu nafas. Jeritan lirih Liora pecah ketika rasa perih mendadak menyerang tubuhnya. Jemarinya mencengkeram sprei, matanya terpejam rapat.
“Kevin…” nama itu lolos begitu saja dari bibirnya, membuat Felix terhenti sesaat. Keningnya berkerut, namun kemudian ia kembali menunduk, enggan membiarkan momen pecah oleh nama asing itu.
Bibirnya menutup kembali mulut Liora, mencoba mengalihkan setiap keluhan menjadi desahan. Gerakan mereka semakin panas, ritme semakin liar. Ranjang itu berderit pelan seiring tubuh yang berulang kali bertubrukan.
Liora hanyut. Luka hatinya, alkohol yang menguasai darahnya, dan pesona Felix membuatnya menyerahkan diri tanpa kendali.
Felix, di sisi lain, terpikat oleh keberanian sekaligus kelemahan wanita itu. Dia menekan, memeluk, mencumbu, seakan malam itu hanya milik mereka berdua.
Malam panjang pun bergulir, penuh bisikan, kecupan, dan hasrat yang menelan habis sisa kesedihan.
Lampu kamar remang menyisakan bayangan di dinding. Liora terbaring di samping Felix, napasnya masih tak beraturan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya kosong.
Felix menoleh, menatap wajah yang masih memerah oleh panas. Jemarinya mengusap pipi Liora lembut. “Kau berbeda dari wanita lain,” ucapnya lirih.
Liora hanya terkekeh pelan, menatap langit-langit. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukan ini.”
Felix mendekat, menempelkan bibirnya di pelipis Liora. “Karena kau butuh tempat melarikan diri.”
Kalimat itu menghantam hatinya. Liora terdiam, lalu menutup mata. Ingatan tentang Kevin kembali muncul, menusuk, namun tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.
Felix memeluknya erat, dan malam itu pun berakhir tanpa janji apa pun. Hanya dua orang asing yang menyatukan luka dalam gelora sesaat, mencoba melupakan kenyataan pahit dengan cara paling berbahaya.
Dan Liora tahu, saat fajar datang, hidupnya tak akan lagi sama.
Kelopak mata Liora bergetar pelan ketika cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih kabur. Namun rasa nyeri menusuk di bagian bawah tubuhnya membuat wajahnya spontan meringis. Nafasnya tersengal, seakan seluruh ototnya memberontak.
Tangannya refleks memijat bahu, berharap rasa sakit itu berkurang. Tapi semakin ia bergerak, perih itu justru menjalar hingga pinggang. “Sial…” gumamnya lirih. Mata indahnya menyapu sekeliling ruangan. Warna putih mendominasi—tirai, seprai, bahkan dindingnya. Bukan kamarnya, bukan pula rumahnya.
“Di mana aku?” bisiknya panik.
Detik berikutnya pandangannya jatuh pada gaunnya yang berserakan di lantai. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Perlahan ia mengalihkan pandangan ke tubuhnya sendiri, hanya terbungkus selimut tebal. Nafasnya tercekat. Wajahnya memucat.
“Ya Tuhan…” tangan Liora gemetar. Tubuhnya dipenuhi bercak merah samar, tanda yang tak mungkin ia dusta i. Realita menghantamnya telak—ini bukan mimpi buruk. Ini nyata.
“Kenapa… kenapa aku bisa di sini?” suara Liora bergetar. Ia menekan pelipisnya, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Bayangan samar muncul: dirinya duduk di bar, gelas demi gelas ia tenggak, lalu senyum seorang pria asing, ajakan berdansa, dan…
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Astaga, jangan bilang aku benar-benar—” ucapannya terputus. Kepalanya bergemuruh.
Tangannya tergerak meremas rambut sendiri. “Bodoh, Liora. Kenapa kau bisa sebodoh ini?”
Malam yang seharusnya ia habiskan beristirahat dari kesedihan, justru berakhir di ranjang bersama lelaki asing. Harusnya sekarang ia terbangun di samping Kevin—calon suami yang sudah ia percaya. Tapi semua mimpi itu hancur ketika Kevin memilih wanita kaya raya, meninggalkan Liora tanpa ampun.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Harusnya aku tidak pergi ke bar itu… harusnya aku tidak menenggak alkohol.” Penyesalan menghantamnya bertubi-tubi, membuat dadanya semakin sesak.
Suara gemericik air dari kamar mandi membuat tubuh Liora menegang. Ia menoleh, menyadari pria asing itu masih ada di kamar ini. Rasa malu bercampur panik membuat darahnya berdesir.
“Aku harus pergi sebelum dia keluar.” Liora menarik selimut erat ke tubuhnya, lalu perlahan turun dari ranjang. Ia menunduk, berusaha memungut pakaiannya yang tercecer. Namun begitu ia jongkok, nyeri di bagian bawah tubuh kembali menyerang.
Brukkk!
Tubuhnya ambruk ke lantai. “Awww!” pekiknya. Punggungnya terasa perih, bokongnya membentur keras. Liora mendengus frustasi, menggigit bibir menahan rasa sakit.
Saat itulah pintu kamar mandi terbuka. Asap tipis mengepul, lalu sosok tinggi gagah melangkah keluar dengan hanya selembar handuk melilit pinggangnya. Tetes air masih mengalir dari rambutnya, membasahi dada bidang dan otot perut yang terbentuk sempurna.
Sepasang mata cokelatnya menatap lurus ke arah Liora yang tersungkur di lantai. “Apa yang kau lakukan?” suara berat itu menusuk telinga Liora, membuatnya semakin gelagapan.
Liora membeku, wajahnya merah padam. Ia buru-buru menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. “K-Kau…!” suaranya nyaris tercekik.
Lelaki itu—Felix—mengangkat alis, bibirnya melengkung samar. “Kau sudah bangun rupanya.” Ia melangkah mendekat, postur tinggi tegapnya membuat Liora otomatis mundur ke belakang.
Hatinya berdegup kencang. Sosok pria itu benar-benar tampak seperti dewa yang turun dari langit—rahang tegas, hidung mancung, tubuh berotot dengan tato hitam yang melingkari lengan kekarnya. Liora semakin kalut.
“Aku…” kata-katanya buyar. Ia tak sanggup menatap lebih lama. Dengan terburu-buru, ia bangkit—masih dengan selimut menutupi tubuh—dan lari kecil menuju kamar mandi. Pintu ditutup rapat, punggungnya menempel pada daun pintu sambil mengatur napas.
Felix hanya berdiri, menatap arah pintu yang baru saja tertutup. Senyum tipis terlukis di wajahnya. Ada sesuatu dalam kepanikan wanita itu yang justru membuatnya menarik. Bukan rasa jijik, melainkan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Tak lama, Liora keluar dengan pakaian lengkap. Wajahnya masih merah, langkahnya pelan sambil sesekali meringis menahan sakit. Tangannya meraih tas dan ponsel di meja.
“A-Aku harus pergi,” ucapnya terburu-buru, suaranya jelas gemetar. “Terima kasih untuk… untuk tadi malam. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi.”
Ia melangkah cepat menuju pintu. Namun sebelum ia sempat meraih gagang, suara bariton Felix menggema.
“Kenapa kau begitu terburu-buru? Bagaimana aku bisa melupakan malam seindah itu?”
Liora membeku. Nafasnya tercekat ketika merasakan kehadiran Felix tepat di belakangnya. Embusan napas hangat pria itu menyentuh tengkuknya, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kau tahu?” bisik Felix rendah. “Tadi malam kau membuatku melihat fantasi baru. Kenapa harus pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa?”
Liora menelan ludah keras. Tubuhnya gemetar hebat, wajahnya memucat. Ingatan tentang desahannya semalam, tentang sentuhan pria ini, kembali menyeruak. Dan rasa malu menusuk hingga tulang.
“A-Aku tidak punya waktu. Aku harus bekerja,” sahut Liora terbata, matanya menatap lantai. “Apa yang terjadi semalam… anggap saja kesalahan. Kita sama-sama mabuk.”
Felix terkekeh rendah, nada suaranya terdengar sinis sekaligus menggoda. “Sama-sama mabuk? Kau salah. Aku tidak mabuk, Liora. Alkohol tidak pernah membuatku kehilangan kendali.”
Kata-katanya membuat Liora kian panik. Ia memejamkan mata rapat, menahan rasa bersalah. “Kalau begitu, aku yang salah. Aku mabuk. Aku lepas kendali. Jadi… tolong lupakan saja.”
Felix hanya menatapnya, seakan membaca setiap gerak tubuhnya. Senyum misterius terlukis di wajahnya. “Lupakan? Itu mustahil.”
Tanpa menunggu, Liora langsung meraih gagang pintu. “Terima kasih, tapi aku harus pergi,” ucapnya tergesa, lalu melarikan diri keluar kamar.
Felix tak bergerak, hanya mengikuti dengan tatapan penuh arti. Senyumnya melebar, bukan kecewa, melainkan tertarik. Ada sesuatu pada wanita itu yang membuatnya berbeda dari semua wanita yang pernah ia temui.
Langkah Liora berderap cepat di lorong hotel. Nafasnya terengah, matanya panas. “Kenapa aku sebodoh ini?!” desisnya, hampir menangis. Ia tak berani menoleh ke belakang, takut pria itu masih mengejarnya.
Di dalam kamar, Felix masih berdiri tenang. Tatapannya jatuh pada ranjang yang berantakan. Pandangannya tertumbuk pada bercak merah samar di seprai putih. Seketika matanya menyipit.
“Oh…” gumamnya, bibirnya melengkung. Ia tidak menyangka wanita yang begitu berani tadi malam ternyata baru pertama kali menyerahkan diri.
Ia teringat bagaimana Liora berkali-kali menyebut nama pria lain di tengah pergulatan panas mereka. Bukan namanya. Bukan ‘Felix’, melainkan ‘Kevin’. Ada luka besar di balik sikap nekat wanita itu.
Felix mengangkat bahunya, lalu tersenyum kecil. Alih-alih merasa terganggu, hal itu justru membuatnya semakin penasaran. “Menarik,” ucapnya lirih.
Felix menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, menyalakan sebatang rokok. Asap putih mengepul, menari di udara. Matanya masih menatap ke arah pintu yang tadi dilewati Liora.
“Dia berbeda,” gumamnya. Banyak wanita mendekatinya hanya demi uang, status, atau sekadar fantasi satu malam. Tapi Liora… jelas lain. Ia tidak meminta apa-apa. Bahkan ia pergi sebelum Felix sempat menawarinya sesuatu.
Felix mengingat tatapan mata abu-abu itu. Tatapan yang penuh luka, namun juga penuh keberanian. “Wanita yang bodoh… tapi justru membuatku semakin tertarik.”
Ia mengisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Senyuman miring muncul di wajahnya. Ada sesuatu dalam pertemuan singkat itu yang membuatnya yakin, Liora tidak akan mudah hilang begitu saja dari pikirannya.
Felix mengacak rambutnya, lalu menatap kembali bercak merah di seprai. Senyumnya semakin lebar. “Dia menyimpan banyak rahasia. Aku harus tahu semuanya.”
Di luar hotel, Liora berada di dalam mobilnya dengan wajah kusut. Jantungnya masih berdegup tak karuan. Tubuhnya lemah, kepalanya pusing. “Semoga aku tidak pernah bertemu dia lagi…” gumamnya lirih, lebih seperti doa.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu itu mustahil. Pria itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya, cara bicaranya, semua meninggalkan bekas yang sulit ia hapus.
Sementara itu, di kamar hotel, Felix mematikan rokoknya. Ia merebahkan tubuh ke ranjang dengan ekspresi puas. “She’s the most attractive woman I have ever seen,” ucapnya dalam bahasa asing, senyum misterius menghiasi wajah tampannya.
Untuk pertama kalinya, seorang wanita membuatnya ingin tahu lebih banyak, bukan sekadar menambah daftar singkat petualangannya. Dan Felix tahu, cepat atau lambat, jalan mereka pasti akan berpotongan lagi.
Karena di matanya, Liora bukan sekadar wanita patah hati. Dia adalah teka-teki yang layak untuk dikejar.
“Sial… kenapa sakit sekali …”
Liora menggertakkan giginya, wajahnya menahan perih yang masih terasa menusuk di tubuh bagian bawah. Setiap langkah kecilnya terasa seperti seribu jarum menusuk dari dalam. Ia berusaha menegakkan tubuh, menata napas agar tidak ada satu pun orang yang menyadari kondisinya.
Sepulang dari hotel, ia langsung menuju kantor. Untung saja ia selalu menyimpan pakaian cadangan di bagasi mobil. Kalau tidak, ia pasti harus pulang ke apartemen dan mengambil risiko terlambat masuk kerja.
Bayangkan saja kalau ia datang dengan dress yang semalam ia kenakan—pakaian yang sudah kusut, bahkan sedikit robek akibat ulah pria asing itu. Astaga, membayangkannya saja membuatnya ingin mengubur diri.
Pria itu benar-benar gila! Menyebalkan!
“Liora!”
Suara Rose memanggilnya dari belakang, agak keras, membuat langkahnya terhenti. Liora menoleh perlahan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang menyerang.
“Rose …” Ia tersenyum tipis, meski wajahnya sedikit tegang. Ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya.
Rose, dengan rambut pirang bergelombang yang dibiarkan terurai, berlari kecil menghampirinya. Nafasnya agak terengah, tapi mata birunya berbinar penuh kegelisahan.
“Kau sudah dengar kabar terakhir soal perusahaan?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya dipenuhi kecemasan.
Liora terdiam sejenak. Tentu saja ia tahu. Bagaimana mungkin ia tidak tahu kondisi Ventures Group—tempat di mana ia sudah bekerja lima tahun, dan tiga tahun terakhir menjabat sebagai Operations Manager?
Awalnya, kenaikan jabatan itu ia sambut dengan penuh suka cita. Itu adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun, lembur yang tak terhitung, dan dedikasi penuh. Tapi kini? Semua itu terasa sia-sia. Ventures Group berada di ambang kebangkrutan.
Bayangan dipecat selalu menghantui. Ditambah luka batin karena ditinggalkan calon suaminya—pria yang lebih memilih wanita kaya raya—membuat hidupnya semakin jatuh. Rasanya seperti dipukul berkali-kali tanpa sempat berdiri kembali. Ia bagai mayat hidup yang berjalan, kosong dan rapuh.
“Ada apa lagi, Rose?” Liora akhirnya membuka suara, suaranya serak menahan lelah. “Apa perusahaan benar-benar tidak bisa diselamatkan?”
Rose menggigit bibir bawahnya, rautnya sama muram. “Ventures Group akan diambil alih oleh Dawson Group.”
Kata-kata itu jatuh seperti bom.
“Aku dengar CEO-nya terkenal sangat kejam. Ada rumor, dia pernah memecat karyawan hanya karena kesalahan kecil.” Rose menunduk resah. “Liora … aku takut. Bagaimana dengan nasib kita? Kalau mereka ganti semua karyawan, habislah kita.”
Liora memijat pelipisnya. Kepalanya pening, dadanya sesak. Ia tahu skenario terburuk itu sangat mungkin terjadi. Perusahaan besar biasanya tidak segan mengganti sistem lama, bahkan dengan tega menyingkirkan orang-orang yang sudah bertahun-tahun mengabdi.
Jika itu terjadi … apa yang tersisa untuknya? Cinta hancur, karir hancur.
“Aku tidak tahu, Rose … lebih baik kita berdoa saja semoga CEO itu masih mau mempertahankan kita.” Liora menunduk lesu. “Ayo, kita masuk. Aku butuh duduk di ruang kerjaku.”
Rose menahan lengannya. “Tunggu! Jangan masuk dulu. Katanya sebentar lagi CEO Dawson Group akan datang. Semua karyawan disuruh berkumpul di lobi.”
Liora menoleh kaget. “CEO Dawson Group? Ke sini?”
Rose mengangguk cepat. “Iya, aku baru saja dapat kabar dari staf HR. Beruntung kau datang tepat waktu, Liora. Kalau kau terlambat, kau bisa dalam masalah besar.”
Liora mengembuskan napas panjang. Ia merapikan dress mustard yang ia kenakan, mengatur wajah agar terlihat setenang mungkin meski jantungnya masih kacau.
Satu per satu karyawan mulai memenuhi lobi. Wajah-wajah mereka dipenuhi keresahan. Liora bisa merasakan ketakutan yang sama dari semua orang—takut kehilangan pekerjaan, takut masa depan mereka runtuh.
“Liora, Rose! Segera bergabung dengan tim kalian. Pimpin divisi masing-masing.”
Suara lantang itu milik Stella Fleur, Direktur Utama Ventures Group. Perempuan elegan dengan karisma kuat yang dihormati semua orang.
Liora mengangguk, lalu bergerak ke arah tim operasional yang dipimpinnya. Rose pun kembali ke divisi keuangan. Mereka berdua sering saling mendukung karena sama-sama memulai karir dari bawah.
Stella berdiri di depan semua orang. “Dengarkan aku. Beberapa menit lagi CEO Dawson Group akan tiba. Aku ingin kalian semua bersikap ramah. Singkirkan ketakutan kalian. Harapan kita satu: bertahan di perusahaan ini.”
“Baik, Nyonya!” jawab para karyawan serempak, meski suara mereka tak bisa menyembunyikan rasa gugup.
Dan tepat saat itu, suara mesin mobil sport hitam terdengar dari luar. Semua mata menoleh.
Seorang pria turun dari kendaraan mewah itu. Jas navy membungkus tubuhnya yang tinggi tegap. Wajahnya … terlalu sempurna. Garis rahangnya tegas, sorot matanya dingin, dan aura berwibawa memancar kuat. Para karyawan wanita langsung terpaku, sebagian bahkan menahan napas melihat ketampanannya.
Namun tidak dengan Liora.
Begitu matanya menangkap sosok itu, darahnya seolah berhenti mengalir. Kakinya gemetar, tubuhnya hampir roboh kalau saja seorang staf tidak sigap menopangnya.
“Liora? Kau kenapa?” Rose langsung menghampiri, khawatir.
“R-Rose … pria itu …” Liora tergagap. Lidahnya kelu, wajahnya pucat pasi.
Rose mengerutkan kening. “Apa kau mengenalnya? Itu CEO Dawson Group, kan?”
CEO Dawson Group? Liora tercekat.
“Tidak … aku tidak mengenalnya …” jawabnya terbata, buru-buru menunduk, tak berani menatap lagi.
Rose masih curiga, tapi ia teralihkan saat Stella maju menyambut pria itu. “Selamat pagi, Tuan Dawson.”
Pria itu—Felix Dawson—hanya mengangguk singkat. Suara langkahnya terdengar mantap, setiap gerakannya memancarkan kuasa. Sepasang iris cokelat gelap menatap sekeliling lobi, tajam dan dingin.
“Perkenalkan,” suara Stella kembali menggema, “ini Tuan Felix Dawson, CEO Dawson Group. Mulai hari ini, Ventures Group resmi berada di bawah naungan Dawson Group.”
Riuh tepuk tangan terdengar. Semua karyawan menunduk hormat.
Namun, di tengah kerumunan itu, tatapan Felix mendadak terhenti.
Matanya terpaku pada sosok wanita berambut cokelat dengan dress mustard. Wanita itu menunduk, tubuhnya gemetar, berusaha bersembunyi. Tapi Felix mengenalinya. Dengan sangat jelas.
“Siapa wanita yang memakai dress mustard itu?” suaranya rendah, tapi penuh kuasa, ditujukan pada Stella.
Stella segera melirik ke arah yang ditunjuk. “Itu Nona Liora Jolie, Operations Manager di perusahaan ini.”
Sebuah seringai muncul di bibir Felix. Nama itu … Liora. Bagai takdir yang sengaja mempertemukan kembali.
“Minta dia datang ke sini,” perintahnya tegas.
“Apakah Anda ingin berbicara dengannya, Tuan?” tanya Stella memastikan.
“Ya. Bawa dia ke sini.”
Stella segera memanggil. “Liora, kemari lah.”
Liora membeku di tempat. Sial! Sial! Kenapa pria itu di sini?
Rose menyenggol bahunya. “Liora, kau dipanggil. Jangan cari masalah.”
Dengan napas terengah, Liora melangkah maju. Setiap langkah terasa seperti menuju tiang gantungan. Ia menunduk dalam, tak berani menatap pria itu.
“Angkat wajahmu, Nona Jolie,” suara Felix terdengar dingin, penuh wibawa. “Bagaimana aku bisa berbicara dengan seseorang yang terus menunduk?”
Perlahan, sangat perlahan, Liora mengangkat wajahnya. Dan begitu mata mereka bertemu—manik cokelat gelap itu dengan sorot paniknya—dunia seakan berhenti berputar.
Felix menatapnya lama, penuh kemenangan. “Wajahmu tidak asing. Sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya, Nona Liora Jolie.”
Darah Liora mengalir deras ke wajah, membuatnya pucat pasi. Semua orang menatapnya, Stella, Rose, seluruh karyawan. Ia merasa sedang diadili di depan umum.
Dengan paksa, ia menyunggingkan senyum tipis. “Anda salah orang, Tuan. Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya.”
Felix mengangguk pelan, seolah mempercayainya. Namun kemudian, ia melangkah lebih dekat, tubuhnya nyaris menempel, dan membisikkan kata-kata yang membuat seluruh saraf Liora lumpuh.
“Apa kau benar-benar yakin bisa melupakan kejadian semalam, Nona Liora Jolie?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!