Alfred Dario Garfield adalah sosok pria yang memancarkan aura kuat dari tatapan matanya yang tajam berwarna biru dingin. Sebagai anak bungsu keluarga Garfield, ia memilih jalan hidup yang berbeda; jauh dari gemerlap dan pengaruh keluarga besarnya, Alfred memulai karier dari nol dengan tekad baja.
Kini, ia berdiri sebagai CEO sekaligus penguasa di balik beberapa kerajaan bisnis besar: perhotelan mewah, industri mobil kelas atas, perumahan elit, hingga pelabuhan kapal yang strategis.Alfred menyimpan rahasia kelam yang tak diketahui siapa pun kecuali asistennya yang paling dipercaya. Di balik kesuksesannya, ia adalah seorang Mafia yang mengendalikan dunia bisnis dan bawah tanah dengan tangan besi.
Siapa pun yang berani menentangnya, nasibnya sudah tertulis di ujung maut tanpa ampun. Alfred menjalankan semuanya dengan dingin dan penuh perhitungan, membuatnya menjadi bayangan yang menakutkan sekaligus dihormati di dua dunia yang ia kuasai.
Alfred melangkah mantap memasuki klub mewah itu, kedua tangannya dimasukkan dalam saku jas hitamnya yang rapi. Wajahnya tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi, seperti patung marmer yang dingin dan tak tersentuh.
Di belakangnya, seorang pria matang dengan setelan jas serasi mengikuti dengan langkah serupa, ekspresi wajahnya pun tak kalah beku, Vino.
Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan warna-warni, namun aura mereka tetap menusuk ruang dengan keseriusan yang mencekam. Tak satu pun pengunjung klub yang berani menatap lama, seakan merasakan gelombang ketegangan yang tak terucapkan dari kehadiran dua sosok berwibawa itu.
Langkah mereka terus maju, memasuki gedung gelap tempat pelelangan berlangsung. Suasana penuh misteri, hanya cahaya redup dari lampu gantung tua yang menerangi ruangan tersebut.
Alfred berdiri di hadapan Bennett, sahabatnya yang sebaya, dengan senyum tipis yang sulit ditebak. “Hy, bro,” sapa Bennett, mencoba mencairkan suasana yang canggung. Namun, Alfred hanya mengangguk pelan, bibirnya terkatup rapat.
“Tuan muda Garfield, di mana kau mau duduk?” tanya Bennett, berusaha membuat temannya nyaman. Matanya berkeliaran mencari cara agar Alfred bisa menikmati momen ini—sebuah pelarian dari penat Alfred tumpukan berkas di kantor.
“Belakang saja,” jawab Alfred singkat, seolah menolak untuk membuka diri lebih jauh.
Bennett mengangguk dan melangkah ke meja paling pojok, sesuai permintaan Alfred. “Silakan pilih, mungkin ada yang ingin kau beli,” ujarnya dengan nada menggoda, berharap bisa melunturkan dinginnya sikap Alfred. Namun Alfred membalas dengan tatapan tajam yang membuat candaan itu hampir tenggelam.
“Bercanda. Mana mungkin Si bucin Ele menyuruh pilih wanita lain.” Bennett terkekeh, melepas tawa yang melecut keheningan. “Si paling setia,” gumam Bennett sambil menggeleng, penuh keheranan.
Sahabatnya ini tak pernah goyah meski banyak wanita berdatangan, tapi hanya Elena yang selalu di hati Alfred.
Pelelangan dimulai, suara lelangir sang pemandu lelang memecah keheningan, menawarkan wanita demi wanita kepada para penawar. Alfred terduduk santai menikmati pembawa acara menawarkan harga wanita diatas panggung, hingga fokusnya teralihkan kala seorang gadis kecil muncul dengan langkah gemetar.
Gadis itu terlihat pucat, matanya berkaca-kaca menahan ketakutan. Gadis itu berdiri di tengah aula yang dipenuhi oleh teriakan dan sorakan kasar. Wajahnya yang sembab dan memar menjadi saksi betapa kerasnya pukulan yang telah diterimanya.
Matanya yang merah menatap ketakutan pada barisan pria yang siap memperebutkannya. Dengan gaun yang mengekspos lebih banyak dari yang dia nyaman, setiap gerakan terasa seperti tusukan pada kehormatannya.
Gadis itu mencoba menunduk, saat tatapannya bertemu dengan mata biru milik Alfred. Hatinya berlomba dengan waktu, berharap ada mukjizat yang akan membebaskannya dari mimpi buruk ini.
Pembawa acara dengan suara lantang memamerkan keperawanan gadis tersebut sebagai keistimewaan malam itu, membuka harga yang fantastis untuk para penawar.
Di atas panggung, air mata gadis itu menetes pelan, membayangkan hidupnya yang akan segera hancur.
Alfred mencondongkan tubuh, suaranya berbisik pelan namun penuh arti, “Siapa gadis kecil itu?” Matanya menatap tajam ke arah kerumunan yang tengah menonton lelang. “Sepertinya mereka melelang seorang anak...” lanjutnya dengan nada penuh keheranan yang tak biasa.
"Kau tertarik kepada gadis kecil itu?" Bennett membalas dengan mata terbelalak, seolah tak percaya mendengar ketertarikan Alfred yang selama ini dingin dan tak mudah tergoda terhadap hal semacam ini.
“Jawab saja!” potong Alfred tiba-tiba, suaranya menebal, mendesak tanpa ampun.
Bennett merasa ketakutan sekaligus bingung menghadapi sisi lain Alfred yang jarang sekali terlihat. Bennett membuka sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja, matanya menyapu tulisan dengan cepat, “Gadis itu baru lima belas tahun... Tapi lihat tubuhnya—kecil, namun berlekuk seperti dewasa. Dada yang besar, pas digenggam, dan Bokong kencang... Sungguh menggoda, membuat siapa pun ingin menjerit di atasnya,” ujarnya dengan nada menggoda.
Alfred menggerakkan tubuhnya, bangkit dengan tatapan penuh tekad. “Aku menginginkan gadis itu. Segera lakukan, aku menunggumu di bawah!” perintahnya tegas lalu tanpa basa-basi meninggalkan ruangan, meninggalkan Bennett dan Vino yang saling bertatapan penuh tanda tanya.
Bennett mengerutkan alis, berbisik dalam kebingungan, “Apa dia berencana mengkhianati Elena?”
.
.
.
Mobil Alfred melaju deras, membelah kota basah yang baru saja disiram hujan. Di sebelahnya, seorang gadis kecil duduk terpaku, kepala tertunduk dan isakannya nyaris tak terdengar. Vino tetap fokus di balik kemudi, matanya sesekali mencuri pandang pada tuannya yang tak tersentuh oleh air mata sang gadis.
Keheningan yang mencekam itu akhirnya pecah.
“Siapa namamu?” suara Alfred memotong udara dingin malam, tajam dan penuh tanya.
“Mi—Michelle,” gumam gadis itu, suaranya bergetar oleh ketakutan dan kesedihan.
“Kenapa kau bisa sampai di tempat itu?” Alfred bertanya lagi, nadanya berat, nyaris tak percaya.
Michelle menelan ludah, suaranya nyaris patah. “Aku… dijual oleh paman dan bibiku…” kata-katanya tersendat, terbata.
“Berhenti!” perintah Alfred tiba-tiba, dingin dan tegas. Vino segera mengerem dengan keras hingga mobil melambat dan terhenti.
“Turun!” suara Alfred terdengar keras, tajam seperti petir, membuat Michelle mengangkat kepalanya perlahan. Matanya bertemu dengan tatapan dingin yang masih menatap lurus ke depan.
“A-aku?” tanya Michelle, penuh ketidakpastian.
“Mulai sekarang, jangan pernah lagi menampakkan dirimu di hadapanku! Kalau kau mengabaikan peringatanku, aku tak segan menjadikanmu budak!” Alfred menatap tajam ke arah Michelle, matanya menyala bak bara api yang siap membakar segalanya.
Namun, anehnya, Alfred justru merasa tenang saat menatap mata polos di hadapannya—sebuah ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Terima kasih, Om,” suara Michelle pecah dalam bisikan penuh haru, meski sesengukan masih tersisa di bibirnya. “Semoga Om selalu mendapatkan kebahagiaan… suatu saat nanti, aku pasti akan membalas semua kebaikan Om.” Ia membuka pintu mobil perlahan, matanya tertunduk dalam penghormatan terakhir.
“Sekali lagi, terima kasih, Om.”
Tiba-tiba, sebuah suara tegas memecah suasana hening.
“Tunggu,” Alfred menghentikan gerakan Michelle yang hendak menutup pintu. Tatapan pria itu menusuk, “Lain kali, kau harus berani melawan siapa pun yang berani menyiksamu. Jangan pernah jadi korban tanpa perlawanan.”
Alfred duduk bersila di sofa, jas putih pengantin yang dikenakannya kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. Matanya yang tajam menatap dua paruh baya di depannya tanpa berkedip, wajahnya kaku tanpa senyum, tapi ada bara amarah yang membara di balik tatapan dinginnya. Otot rahangnya menegang, napasnya teratur namun penuh ancaman tersimpan.
Di belakangnya, Vino berdiri kaku, tubuhnya hampir membeku, pandangannya lari-lari tidak berani menatap langsung ke bosnya, tapi sorot matanya yang tajam mengarah ke kedua orang di depannya.
“Lakukan sesuatu!” suara Alfred menggetarkan ruang, nada dinginnya seperti pisau yang siap melukai. “Jika tidak, saya akan menghancurkan keluarga kalian.” Ucapan itu terpatri dengan jelas, tanpa kompromi, membuat kedua paruh baya itu terdiam, menelan ludah dan saling bertukar pandang dengan gugup.
"Maaf, Tuan Alfred, kami benar-benar tidak tahu apa-apa," suara sang pria, Hendri bergetar, nyaris tak terdengar di ruang yang sunyi itu.
"Elena... dia sudah pergi tanpa pamit," suara Lenny serak, penuh kepedihan. "Kami baru menyadari dua jam sebelum akad. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi."
Alfred masih mempertahankan wajah datar dan dingin. Bekas luka panjang di mata kiri yang semalam ia tunjukkan pada Elena seolah menandakan bahwa di dunia tak ada orang mau menerima kekurangan orang lain. Dia kira dengan kejujuran kecil itu, Elena akan tetap bertahan. Tapi kenyataannya, ketakutan Elena pada wajah aslinya lebih besar dari cintanya.
Mengingat itu Alfred tertawa keras, tapi tertawanya itu sangat menyeramkan membuat pasangan paruh baya di depannya bergetar hebat, tak menyangka Alfred begitu menakutkan. Siapa sebenarnya yang menjadi kekasih anak mereka?
Alfred dengan gerakan cepat merogoh saku celananya, pistol dingin terangkat di tangan kanan.
DOR!
Dentuman tembakan menggema, peluru menembus lengan Hendri yang segera mengerang kesakitan, darah mengalir deras dari luka terbuka.
Lenny langsung memekik keras, kedua tangannya menutup telinga seolah ingin menutup kebisingan itu dari pikirannya.
Tawa Alfred pecah, menyeramkan, seperti iblis yang menikmati penderitaan. Namun tiba-tiba, tawa itu berhenti seketika, wajahnya berubah menjadi dingin, mata tajam menatap lurus ke arah Hendri dan Lenny, membekukan suasana.
"Jangan bertele-tele," suaranya rendah tapi penuh ancaman. "Saya tidak suka basa-basi. Langsung saja, apa solusi kalian? Sebelum saya benar-benar menghancurkan kalian."
Hendri yang menahan sakit, bibirnya bergetar, akhirnya jatuh berlutut, darah mengaliri lengan yang tergenggamnya. Dengan suara parau dan penuh penyesalan, ia memohon, "Tolong, maafkan kami..."
Lenny terisak, tubuhnya gemetar saat lututnya menyentuh lantai dingin di depan Alfred. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi. “Kami benar-benar tidak tahu di mana Elena, tuan Alfred. Tolong... tolong percayalah pada kami,”
Hendri mengumpulkan keberanian. Napasnya berat, dadanya naik turun cepat, namun matanya menantang biru tajam Alfred. “Apa yang kau inginkan untuk menebusnya?”
Alfred tiba-tiba meledak, amarahnya meledak seperti petir. Tangannya mencengkeram kerah baju Hendri dengan kekuatan, wajahnya memerah, otot-ototnya menegang. “Kau masih berani bertanya?! Come on!” teriaknya, suara penuh kebencian dan keputusasaan. Tatapan matanya yang dingin menusuk, menyiratkan rasa sakit yang tak terkatakan, sekaligus ancaman yang mengerikan.
Lenny mengusap-usap tangannya dengan cemas. Matanya menatap Alfred dengan penuh harap,"Saya punya solusinya, Tuan. Bagaimana jika kau menikahi keponakan kami? Dia juga tak kalah cantik dari Elena." Napasnya tersengal ketika melanjutkan, "Setidaknya, jika kau tak mau menganggapnya sebagai istri, kau bisa menjadikannya budak... atau dia bisa menutup rasa malu tentang pernikahan ini."
Alfred menatap Lenny dengan dingin, ekspresinya membeku seperti patung marmer. Suaranya rendah dan menusuk, "Kalian tega menjual keponakan sendiri demi kepentingan kalian?"
Lenny menunduk, wajahnya basah oleh keringat dingin dan air mata yang berusaha ditahannya, "Hanya itu yang dapat kami lakukan, Tuan. Elena benar-benar menghilang." Tubuhnya gemetar, tangan yang tadi mengusap-usap kini terlipat rapat di pangkuan.
Melihat Alfred diam, Lenny segera meraih ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat mengetik nomor yang sudah tersimpan. "Datang ke tempat pernikahan kakakmu sekarang," perintahnya dengan nada dingin dan mutlak, tanpa memberi kesempatan lawan bicaranya menjawab.
Dia menarik napas panjang, lalu menatap Alfred. "Kau bebas melakukan apa saja kepada gadis itu," ucap Lenny tanpa ragu. "Kami tak butuh dia. Dia hanya pembawa sial bagi kami."
"Lalu kalian memberi kesialan itu untukku?"
Lenny terkejut, wajahnya berubah panik, tangan yang semula menggenggam ponsel kini gemetar. "Bukan begitu, Tuan! Bukan!"
Derap sepatu boots itu memecah keheningan ruangan. Semua mata seketika beralih ke arah sumber suara—seorang gadis dengan rambut coklat yang sedikit berantakan, mengenakan crop top hitam yang memperlihatkan perutnya yang putih bersih, dipadukan dengan celana jins robek dan jaket kulit di tubuhnya.
"Kenapa kalian menyuruhku datang ke sini? Bukannya kalian melarangku pergi ke pernikahan kak Elena?" suaranya lembut tapi penuh arti.
Alfred akhirnya mengangkat kepalanya, sorot matanya yang awalnya dingin kini berubah menjadi penuh penasaran. Tatapannya bertemu dengan mata gadis itu.
Michelle berdiri kaku, matanya membelalak. Tubuhnya seketika menegang, tangan kanannya tanpa sadar meremas kuat jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya terpaku pada bekas luka mengerikan yang membentang di sekitar mata pria itu—bekas luka yang dulu sama sekali tak pernah ada. “Om Al?” gumamnya lirih, napasnya tercekat.
Wajah Michelle segera berubah saat ia mengalihkan pandangannya ke paman dan bibinya yang masih berlutut. “Kenapa kalian cosplay jadi budak? Ke mana kehormatan yang selama ini kalian junjung tinggi, paman, bibi?” suaranya penuh ejekan.
Lenny melotot tajam, suaranya pecah dengan nada kasar, “Diam, kau anak kecil!”
“Duduk, Micky!” Hendri memerintah dengan suara berat, matanya tak lepas mengawasi gerak-gerik keponakannya. Michelle mengerutkan kening, enggan menurut, namun beratnya perintah dan tatapan tajam Hendri akhirnya memaksa dia melangkah ke sofa, duduk dengan enggan.
"Siapa yang menyuruhmu duduk disana? Turun ke lantai, berlutut!" Hendri kembali berkata dengan suara tinggi kepada Michelle. Namun, gadis itu hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Kalian yang berbuat salah, kenapa aku ikut berlutut seperti kalian? Oh no!"
Alfred dengan tatapan menusuk, matanya tak pernah lepas dari sosok Michelle yang duduk berseberangan. Michelle sengaja menghindari kontak mata dengannya.
"Kau banyak berubah, gadis kecil" Alfred membatin dengan senyum tipis di bibirnya.
Tiba-tiba, suara Hendri memecah keheningan, “Kau akan menikah dengan tuan Alfred.”
Kalimat itu terucap begitu lugas, menusuk telinga Michelle bagai petir di siang bolong. Michelle terkejut, tubuhnya langsung tegak, matanya membesar menatap lurus ke arah Hendri. “Apa kalian bercanda? Jangan gila! Memangnya kak Elena kemana perginya?” suaranya bergetar, tapi penuh perlawanan.
Lenny menambahkan dengan nada tegas, “Jangan banyak tanya, Michelle. Kau akan menggantikan kakakmu menjadi pengantin tuan Alfred.”
Michelle beralih menatap pria di depannya dengan campur aduk antara kebingungan dan ketakutan. “Om, emangnya kau mau menikah dengan saya?”
"Kenapa tidak?" sahut Alfred dengan senyum licik tercetak jelas di bibirnya.
Mobil hitam berkilau itu meluncur pelan di jalan beraspal halus, berhenti tepat di depan gerbang besi mansion bergaya Eropa yang megah. Pintu terbuka, dan Alfred keluar dengan langkah mantap, wajahnya tetap dingin dan tajam, mata birunya menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun mengendurkan ketegasan.
Di sebelahnya, Michelle duduk membisu, tangan kecilnya menggenggam erat tas. Usianya yang baru 17 tahun terpancar jelas dalam ekspresi takut yang tak mampu disembunyikan.
Beberapa jam lalu, mereka resmi menjadi suami istri dalam sebuah pernikahan diam-diam yang hanya Alfred yang dikenal publik telah menikah tanpa mengetahui siapa pasangan pria itu. Foto pernikahan itu tersebar—Alfred berdiri gagah mengenakan jas putih, sementara sosok Michelle terlihat membelakangi kamera, tubuhnya yang ramping tertutup gaun putih. Bahkan gaun yang awalnya akan di pakai oleh Elena sangat kebesaran di tubuh Michelle yang kurus.
Michelle menundukkan kepala, takut bertemu tatapan suami yang dingin dan tak ramah itu. Dia merasakan denyut jantungnya berpacu, namun suara Alfred yang berat dan tanpa ekspresi memecah keheningan, “Ikut saja.” Suaranya datar, tanpa kehangatan, seolah menyampaikan perintah, bukan ajakan.
Michelle hanya mengangguk pelan, langkahnya tertatih mengikuti pria yang kini menjadi suaminya—seorang lelaki yang usianya jauh lebih tua.
Michelle menunduk, langkah kakinya kecil dan terbata mengikuti jejak lebar Alfred yang berjalan di depannya tanpa menoleh. Tas yang digendongnya terasa berat di bahu, sementara kedua tangannya sibuk memilin ujung bajunya dengan gelisah, gerakan itu acak dan tanpa pola, mencerminkan kegundahan yang menggerogoti hatinya.
Dari ruang utama, para pelayan—pria dan wanita—berdiri rapi, seragam mereka bersih dan rapi, menyambut dengan serentak, "Selamat kembali, Tuan." Suara mereka menggema.
Dengan ragu, gadis itu mengangkat kepalanya, mencoba menangkap ekspresi Alfred, namun wajah lelaki itu tetap beku, tak sedikit pun menampilkan kehangatan atau sapaan.
Mereka akhirnya tiba di sebuah lift yang dingin dan tertutup rapat. Michelle berdiri kaku di belakang Alfred, merasakan jarak yang seolah bertambah meski hanya beberapa langkah. Dari dekat, aroma khas yang selalu melekat pada Alfred—harum maskulin dengan sedikit sentuhan kayu dan rempah—menguar samar, menusuk hidung Michelle dan membuat dadanya berdebar tak beraturan.
Lift akhirnya berhenti dengan bunyi “ding” yang halus, pintunya terbuka lebar memperlihatkan sebuah koridor yang remang. Alfred melangkah keluar dengan langkah mantap, diikuti oleh Michelle yang berjalan tertatih-tatih, matanya belum bisa lepas dari sosok pria di depannya.
Mereka tiba di sebuah ruangan di pojok paling sunyi. Begitu pintu terbuka, udara harum menyeruak lembut, mengisi ruangan yang dipenuhi rak buku tinggi berderet rapi, meja kerja besar dengan tumpukan dokumen, sebuah sofa empuk berwarna gelap, dan televisi layar datar yang terpajang di dinding.
Alfred melepas jasnya, menyisakan kemeja putih yang menempel pas di tubuh atletisnya, lalu duduk santai di kursi besar di balik meja. Tatapannya tajam menatap Michelle yang masih berdiri kaku di ambang pintu. “Mau sejak kapan kau berdiri di situ?” suaranya dalam, sedikit mengejek.
Michelle tersentak, dadanya berdebar, lalu mengangguk pelan tanpa suara. Ia melangkah gontai, seolah berat untuk menggerakkan kakinya sendiri, lalu duduk dengan posisi kaku di kursi yang disediakan tepat di depan meja Alfred.
Alfred menatap tajam ke arah Michelle yang duduk di seberangnya, kepala gadis itu tertunduk begitu dalam.“Lehermu akan patah kalau kau terus menunduk. Angkat kepalamu,” perintah Alfred dengan suara datar.
Perlahan, Michelle mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu tepat di tengah ruangan yang hening itu. Alfred menautkan kedua tangannya di atas meja kayu tua, menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau masih ingat apa yang kukatakan dua tahun lalu, saat kita bertemu?”
Michelle menghela napas panjang, menjawab dengan suara pelan, “Kau bilang kau akan menjadikanku budak.”
Senyuman tipis muncul di sudut bibir Alfred, “Ingatanmu begitu hebat,” katanya pelan, “Jadi...” lanjutnya dengan nada menggantung, menunggu kelanjutan kalimat itu.
Michelle menundukkan kepala lagi, suara lirihnya hampir tidak terdengar, “Aku sadar, aku hanya istri di atas kertas.”
Alfred menatap Michelle dengan senyum miring yang penuh arti, matanya menyiratkan kepercayaan diri sekaligus ancaman terselubung. "Ternyata kau begitu sadar diri," ucapnya pelan namun tegas.
"Kau bebas tinggal di sini, lakukan apa pun yang kau mau, asalkan tidak memalukanku. Aku takkan menyentuhmu—kau akan jadi istriku hanya jika aku membutuhkannya, dan itu pun dengan sebuah status."
Michelle menunduk sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya paham," jawabnya dengan suara tenang tapi ada getar kecil di ujung kata-katanya.
Alfred melanjutkan, "Tenang saja, uang sekolahmu sudah lunas sampai kau lulus. Uang makan juga sudah aku siapkan."
Michelle menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bertanya, "Apa aku boleh kerja? Aku sudah merasa nyaman dengan pekerjaanku sekarang."
Alfred mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Boleh saja, asal jangan sampai merusak reputasiku. Aku tidak ingin ada masalah yang bisa mencemarkan nama baik ku."
Michelle mengangguk sekali lagi, dalam hatinya berusaha kuat dengan apa yang terjadi ke depannya.
Alfred dengan cepat meraih telepon di meja kerjanya, suaranya tegas dan penuh tekanan saat memerintahkan, "Ke ruang kerja saya sekarang." Ia langsung mematikan telepon tanpa menunggu balasan dari seberang sana, menunjukkan ketidaksabaran yang jelas di raut wajahnya.
Matanya yang tajam beralih menatap Michelle dengan intens, "Apa kau ingin menambahkan sesuatu?"
Michelle hanya menggeleng pelan, bibirnya menutup rapat tanpa sepatah kata pun keluar, memperlihatkan sikap tenang namun dingin. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang lembut, Alfred tanpa mengalihkan pandangannya berkata, "Masuk."
Kepala pelayan yang sudah paruh baya, Roslina, melangkah masuk dengan sikap sopan dan sedikit menunduk sebagai tanda hormat. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" tanyanya dengan suara rendah dan sopan.
Alfred mengangguk singkat sambil menunjuk ke arah Michelle, "Tunjukkan kamarnya."
Roslina membalas dengan senyum ramah, "Baik, Tuan Muda. Mari, Nona," serunya sambil membuka pintu, mengantar Michelle keluar dari ruang kerja itu dengan langkah yang anggun.
Michelle mengikuti kepala pelayan itu dengan langkah hati-hati, wajahnya menunduk canggung. Matanya menangkap tatapan beragam dari para pelayan yang berkumpul di lorong; ada yang menatapnya dengan sinis, ada pula yang tampak heran, bahkan beberapa menyipitkan mata penuh curiga.
Namun, Michelle memilih untuk acuh tak acuh, menekan rasa tidak nyaman yang perlahan merayap. Saat mereka tiba di depan sebuah pintu, kepala pelayan itu membuka dan mempersilakan Michelle masuk.
Begitu melangkah ke dalam kamar, napas Michelle terhenti sejenak. Ruangan itu begitu mewah dan luas, seperti suite hotel bintang lima yang sering ia lihat di majalah. Tirai berat berwarna emas berkelir cahaya matahari yang masuk dari jendela besar, perabotan antik berlapis ukiran halus, dan karpet tebal yang menutupi lantai membuat suasana terasa hangat sekaligus megah.
Lampu kristal menggantung di tengah ruangan, memancarkan kilauan yang menambah kemewahan tanpa berlebihan.
"Nona, mulai sekarang kau akan tidur di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu, hubungi aku lewat telepon ini." Ia menunjukkan sebuah telepon rumah berdesain klasik berwarna ivory dengan tombol-tombol berlapis emas.
Michelle mengangguk dengan sopan, bibirnya membentuk senyum kecil penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Bu," jawabnya ramah, matanya menatap sekeliling kamar sekali lagi, masih sulit mempercayai dirinya bisa berada di tempat seperti ini.
Roslina menatap Michelle dengan senyum hangat yang memancar dari matanya. “Jangan sungkan, nona. Anda Tidak sendiri, saya akan menjadi teman bicara nona,” ucapnya lembut, suaranya penuh kasih sayang yang mampu meredakan kegugupan Michelle.
Michelle mengangguk perlahan, dada terasa lega seolah beban berat mulai terangkat. Roslina mengedipkan mata sambil tersenyum, “Saya tinggal dulu ya. Selamat istirahat, nona.” Setelah itu, Roslina keluar dari kamar dengan langkah tenang.
Michelle duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan melepaskan tas yang selama ini menempel erat di tubuhnya. Ia menarik napas dalam, matanya menatap sekeliling kamar yang luas dan nyaman—kontras jauh dengan kamarnya yang dulu, sempit dan penuh tekanan.
"Disini lebih baik, daripada di kamar kecil rumah paman," lirih Michelle, lalu tiba-tiba kedua dadanya berdenyut nyeri.
"Aw... sakit!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!