NovelToon NovelToon

Pedang Cahaya Naga

Gunung Kabut Abadi

Kabut tipis menggantung di lereng Gunung Tianlong. Malam itu sunyi, hanya suara serangga dan aliran sungai yang terdengar samar. Pinus-pinus tinggi berdiri kaku seperti penjaga kuno, sementara cahaya bulan menyinari bebatuan basah di tepi jurang.

Seorang pemuda berdiri di sana—Liang Shen, usia tujuh belas, tubuh kurus tapi matanya menyimpan keteguhan. Nafasnya terengah setelah mendaki jalur terjal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang tua yang ia temukan dalam gua tersembunyi, pedang berkarat dengan ukiran naga di gagangnya.

Meski usang, pedang itu memancarkan cahaya samar—cahaya hangat tapi penuh misteri. Liang Shen menatapnya tak percaya.

"Benarkah... ini pusaka yang diceritakan kakek? Pedang naga yang hilang ratusan tahun lalu?" gumamnya.

Angin malam tiba-tiba berhembus lebih kencang. Kabut di depannya berputar, lalu perlahan membentuk siluet tinggi dan hitam. Dari balik kabut, muncul bayangan raksasa dengan mata merah menyala, tatapannya menusuk seperti bara api.

“Anak manusia...” suara berat bergema, membuat tanah bergetar. “Kau tidak pantas menyentuh pedang itu.”

Liang Shen terdiam. Tangannya gemetar, tapi ia menggenggam pedang lebih erat. Jantungnya berdetak liar, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak mundur.

“Siapa kau?” suaranya bergetar, tapi matanya menatap tajam.

Bayangan itu melangkah maju, kabut berputar mengikuti gerakannya. “Aku penjaga kegelapan. Pedang itu bukan milikmu.”

Seketika, pedang berkarat di tangan Liang Shen berkilau terang, menyilaukan mata. Cahaya itu meledak dari dalam, menembus kabut dan langit malam. Liang Shen hampir terlempar ke belakang, namun cahaya itu menyelubungi tubuhnya, hangat sekaligus berat.

Dalam kilatan cahaya, ia melihat sekilas wujud seekor naga raksasa, tubuhnya melingkar di angkasa, sisiknya berkilau bagaikan bintang. Suara bergema langsung di hatinya, bukan di telinga:

"Carilah aku... di balik dunia roh."

Liang Shen terkejut. Napasnya tersengal. Ketika cahaya meredup, bayangan hitam itu telah lenyap, hanya tersisa kabut yang kembali tenang.

Ia menatap pedang di tangannya, yang kini tak lagi berkarat—bilahnya berkilau perak, seolah baru ditempa. Liang Shen menggenggamnya erat, tubuhnya bergetar bukan karena takut, melainkan karena firasat.

Malam itu, tanpa ia sadari, roda takdirnya mulai berputar.

Fajar baru saja menyingsing di kaki Gunung Tianlong. Kabut pagi perlahan terangkat, dan burung-burung mulai berkicau dari dahan pinus. Liang Shen menuruni lereng dengan langkah tergesa. Pedang naga yang kini berkilau ia sembunyikan di balik kain kusam, takut ada yang melihat.

Sesampainya di desa kecil tempat ia lahir—Desa Qinghe—Liang Shen merasakan sesuatu yang janggal. Suasana terlalu sunyi. Tak ada suara anak-anak berlarian, tak terdengar derit roda gerobak, bahkan aroma bubur pagi dari dapur rumah-rumah pun hilang.

Langkahnya melambat. Jantungnya berdegup keras.

Dan tiba-tiba—BOOOM!

Ledakan besar terdengar dari arah balai desa. Api menjulang tinggi, asap hitam menutupi langit biru pagi. Liang Shen berlari secepat mungkin, matanya terbelalak.

Desa Qinghe terbakar.

Rumah-rumah ambruk, jeritan orang terdengar di segala penjuru. Para lelaki desa mencoba melawan dengan cangkul dan tombak kayu, namun sia-sia. Puluhan pria berpakaian hitam, bertopeng kain, menyerang tanpa ampun. Pedang mereka berkilau dingin, setiap ayunan menebas nyawa.

“Sekta Bayangan!” teriak salah satu tetua desa sebelum ditebas jatuh.

Liang Shen terperangah. Ia mendengar nama itu dari cerita lama—sekte sesat yang menyembah kegelapan, sudah lama menghilang. Mengapa mereka ada di sini?

“AYAH! IBU!” Liang Shen berteriak, menerobos kobaran api menuju rumahnya.

Ia melihat ibunya, Madam Lin, terpojok di halaman, melindungi adiknya yang masih kecil dengan tubuhnya. Seorang pria bertopeng mengangkat pedang hendak menebas mereka.

“Berhenti!” Liang Shen meraung.

Tanpa sadar, ia mencabut pedang naga dari sarung kainnya. Cahaya perak menyembur, menelan sinar matahari pagi. Suara naga menggema di udara.

Semua orang terhenti sejenak. Mata para penyerang melebar, wajah mereka seolah diliputi ketakutan sekaligus keserakahan.

“Pedang naga... itu benar-benar ada...” bisik salah satu dari mereka.

Lalu, tanpa menunggu, tiga penyerang sekaligus melompat ke arah Liang Shen.

Refleks, Liang Shen mengangkat pedangnya. Ia bahkan belum tahu bagaimana cara bertarung, namun tubuhnya bergerak sendiri, dipandu oleh cahaya pedang. Kilatan perak menyambar—CRASH!—ketiga lawan terhempas, darah menyembur di udara.

Ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tangannya gemetar, matanya membesar, tapi tubuhnya masih berdiri.

Namun serangan belum berhenti.

Seorang pria tinggi dengan jubah hitam panjang melangkah maju. Matanya merah menyala dari balik topeng perak. Suara dinginnya menembus hiruk-pikuk api:

“Anak itu... bunuh keluarganya. Bawa pedang naga padaku.”

Liang Shen menegang. Ia sadar, inilah awal dari mimpi buruk yang akan merenggut segalanya.

Tetesan Darah & Sumpah

Api menjilat atap-atap jerami, membuat langit malam Desa Qinghe memerah bagaikan senja berdarah. Asap tebal membubung, menusuk mata dan tenggorokan. Jeritan anak-anak, tangisan perempuan, dan suara besi beradu membentuk orkestra kematian yang menyesakkan dada.

Liang Shen berlari di antara kobaran api, napasnya tersengal. Tubuhnya masih dipenuhi luka dari pertempuran sebelumnya, tapi ia tidak peduli. Yang ia inginkan hanya satu: menemukan keluarganya. Pedang berkarat—yang kini berkilau samar—tergenggam erat di tangannya.

“Shen…!” suara lirih terdengar di sela hiruk-pikuk.

Ia segera menoleh, dan matanya membelalak. Di dekat reruntuhan rumahnya sendiri, ibunya, Madam Lin, terbaring lemah dengan darah membasahi pakaian. Di pelukannya, adiknya yang masih kecil menangis ketakutan. Liang Shen segera menghampiri, berlutut dengan wajah penuh kepanikan.

“Ibu! Aku akan membawa kalian keluar! Bertahanlah!” serunya.

Madam Lin tersenyum tipis meski wajahnya pucat pasi. “Shen… dengarkan ibu… tidak ada waktu. Kau harus selamat. Kau harus membawa pedang itu pergi…”

Air mata Liang Shen jatuh membasahi tanah. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat, menolak kenyataan. “Tidak! Aku tidak bisa meninggalkan kalian! Kita pergi bersama!”

Namun tubuh Madam Lin makin lemah, suaranya seperti angin yang hampir padam. “Takdir… sudah memilihmu. Jangan sia-siakan. Hidupkan sumpahmu, Shen…”

Sebelum Liang Shen sempat menjawab, suara langkah berat terdengar. Dari balik asap, seorang pria bertopeng perak melangkah keluar. Jubah hitamnya berkibar, matanya berkilau merah di balik topeng. Suaranya dingin menusuk:

“Anak kecil. Serahkan pedang itu, dan aku biarkan kau mati cepat. Lawan, dan seluruh jiwamu akan terhapus.”

Liang Shen berdiri, tubuhnya gemetar. Tangan kirinya masih menggenggam tangan ibunya, sementara tangan kanannya erat pada pedang naga. Air mata terus mengalir, tapi kini bercampur dengan bara amarah.

Ia menatap pria bertopeng itu dengan sorot penuh kebencian. Hatinya seakan meledak. Di tengah keputusasaan, ia menancapkan pedang naga ke tanah, dan berteriak di dalam hati:

"Dengan darah keluargaku… dengan api yang melahap desa ini… aku, Liang Shen, bersumpah akan menghancurkan Sekta Bayangan sampai ke akar-akarnya! Meski harus menukar nyawaku sekalipun!"

Tetesan darah dari telapak tangannya menetes ke gagang pedang. Seketika, pedang naga bergetar hebat. Cahaya perak meledak, menerangi seluruh desa yang terbakar. Suara raungan bergema, bukan suara manusia—melainkan naga purba.

Bayangan seekor naga raksasa muncul di angkasa, sisiknya berkilau bagaikan bintang. Aumannya mengguncang bumi, membuat para pengikut Sekta Bayangan terhuyung ketakutan. Beberapa jatuh berlutut, wajah mereka pucat pasi oleh tekanan roh naga.

Namun, pria bertopeng perak itu tidak bergeming. Ia hanya mendengus rendah. “Menarik… jadi pedang itu sudah memilih tuannya. Hmph, semakin layak untuk kuambil.”

Liang Shen menggenggam pedangnya, kini tak lagi berkarat melainkan berkilau seperti perak murni. Meski tubuhnya lemah, sorot matanya berubah. Ia bukan lagi remaja desa yang ketakutan, melainkan seorang pemuda yang telah kehilangan segalanya dan tak memiliki jalan kembali.

“Ibu, aku berjanji… aku akan bertahan. Aku akan mengalahkan mereka,” bisiknya.

Dengan teriakan penuh amarah, ia mengayunkan pedang naga, cahaya perak melawan kabut hitam yang dipanggil pria bertopeng. Benturan antara cahaya naga dan bayangan kegelapan mengguncang desa Qinghe, menandai awal takdir baru yang tidak akan pernah bisa ia hindari.

mohon bantu like dan komennya y

Karna itu semua membuat saya makin semangat

Roh Dalam Pedang

Cahaya perak dari pedang naga masih menyelimuti desa yang terbakar. Liang Shen berdiri dengan napas memburu, pedangnya bergetar hebat seakan bernyawa. Di sekelilingnya, pengikut Sekta Bayangan berjatuhan satu per satu, tak kuat menahan tekanan roh naga.

Namun, pria bertopeng perak di depannya tetap tegak. Kabut hitam pekat mengalir dari tubuhnya, membentuk bayangan-bayangan ganas yang melayang di udara.

“Hmph… jadi inilah kekuatan pusaka naga. Tidak heran banyak sekte memburumu,” suaranya dalam dan dingin.

Liang Shen mencoba menenangkan diri, tapi seluruh tubuhnya terasa terbakar. Pedang di tangannya semakin panas, seakan menyalurkan sesuatu langsung ke dalam nadinya. Pandangan matanya kabur, hingga tiba-tiba dunia di sekelilingnya berubah.

Ia tidak lagi berdiri di desa yang terbakar. Sebaliknya, ia kini berada di sebuah ruang kosong tak berbatas, dipenuhi cahaya perak dan kabut bercahaya. Dari kejauhan, suara gemuruh terdengar, seperti ribuan guntur sekaligus.

Kemudian, muncul sosok raksasa melayang di udara—seekor naga perak, tubuhnya panjang berkilau, matanya seperti dua matahari putih yang menembus jiwa. Liang Shen tertegun, lututnya hampir goyah.

Suara bergema dari dalam pikirannya, dalam dan kuno:

“Anak manusia… darahmu telah membangunkanku.”

Liang Shen terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Siapa kau…? Apa kau roh pedang ini?”

Naga itu melingkar, kepalanya menunduk mendekati Liang Shen. “Aku adalah roh naga purba, terikat dalam bilah pedang yang kau genggam. Ribuan tahun aku tidur, menanti pewaris sejati. Kini, darah dan sumpahmu telah membangunkanku.”

Liang Shen menggenggam pedang lebih erat. “Kalau begitu… bantu aku! Ajarkan aku kekuatan untuk membalas dendam!”

Namun naga itu tidak segera menjawab. Cahaya matanya berputar tajam, seolah menembus hati Liang Shen. “Balas dendam… adalah api yang akan melahap jiwamu sendiri. Kau ingin kekuatan? Maka kau harus menanggung beban berat. Jalan ini bukan hanya tentang darah, tapi juga tentang melindungi dunia dari kegelapan.”

Liang Shen menunduk, giginya terkatup. “Aku tidak peduli seberapa berat! Aku tidak punya apa-apa lagi. Keluargaku, desaku… semuanya sudah diambil! Kalau aku tidak berjuang, siapa lagi yang akan menghentikan mereka?”

Naga itu terdiam sejenak, lalu mengaum keras. Suara aumannya mengguncang ruang kosong itu hingga retak, dan cahaya perak mengalir ke tubuh Liang Shen. “Baiklah. Jika itu tekadmu, maka aku akan mengujimu. Bertahanlah, anak manusia, atau jiwamu akan hancur!”

Tiba-tiba, rasa sakit luar biasa menyerang seluruh tubuh Liang Shen. Seolah-olah urat nadinya terbakar dari dalam, tulangnya bergetar, dan darahnya mendidih. Ia menjerit, jatuh berlutut, tapi tetap menggenggam pedang erat-erat.

“Ughhh! Aku… tidak akan… menyerah!” teriaknya, meski tubuhnya hampir hancur oleh tekanan.

Naga itu menatapnya tajam, lalu perlahan mengangguk. “Kau punya keteguhan. Maka mulai saat ini, kau adalah tuan pedang naga. Ingatlah, kekuatan sejati bukan hanya dari amarah, tapi dari keberanian untuk melindungi.”

Dengan itu, cahaya perak melesat masuk ke dada Liang Shen, menyatu dengan nadinya. Dunia kosong itu perlahan memudar, dan ia kembali ke desa yang terbakar.

Di depannya, pria bertopeng perak masih berdiri, tatapan penuh kebencian. Namun kini, aura Liang Shen telah berubah—matanya memancarkan kilatan perak, dan pedang di tangannya bersinar terang.

Pria bertopeng itu mengangkat tangannya. “Sepertinya permainan baru saja dimulai.”

Liang Shen menegakkan tubuh, meski napasnya berat. Kini ia tahu, ia tidak lagi sendirian. Di dalam pedangnya, roh naga purba telah terikat padanya—dan jalan takdir pun baru saja dibuka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!