NovelToon NovelToon

Dermaga Cinta Sang Kapten

Bab 1 Cipratan Air Hujan

Pertemuan Tak Terduga

     Hujan baru saja reda, menyisakan jalanan basah yang berkilau diterpa lampu sore. Dari balik kemudi Kapten Prayoda menghela napas panjang.

     Pria 34 tahun itu baru saja keluar dari rumah sakit tempat Dokter Serelia bertugas. Hatinya bergejolak. Janji lama yang ia pegang, lagi-lagi ditunda.

     "Setahun lagi, Kak. Aku belum siap. Karierku baru saja menanjak. Aku nggak mau terikat sekarang."

     Kalimat itu menancap lebih tajam daripada teriakan komando di lapangan. Sebagai Danyon, ia terbiasa mengambil keputusan tegas. Tapi di hadapan dokter Serelia, ia hanya bisa menunggu, meski hatinya makin lelah.

     Tangannya mengetuk setir, tatapannya kosong. Jalanan depan markas Yonif XXX lengang. Namun, saat pikirannya melayang, tiba-tiba, "Byur!"

     Mobilnya melindas genangan air cukup dalam. Percikan besar menyambar ke samping kanan, tepat mengenai seorang gadis muda yang sedang mengendarai motor matic.

     “Ya ampun!!” Suara gadis itu jelas terdengar meski jendela mobil tertutup.

     Prayoda mengerem spontan. Dari spion ia melihat sosok mungil dengan jaket jeans basah kuyup. Wajahnya terlihat sangat kesal. Namun tetap tampak polos, manis, dan, masih sangat muda.

     Prayoda buru-buru menepi, menurunkan kaca jendela.

     "Maaf, Mbak. Saya benar-benar nggak sengaja,” ucapnya dalam, merasa bersalah.

     Gadis itu menoleh cepat. Mata bulatnya berkilat marah. Ia berdiri di samping motor maticnya lalu menatap tajam ke arah Yoda.

     Seketika desiran asing mulai merayap ke dalam hati, jantung, dan sekujur tubuh Yoda. Matanya bukan menunduk, tapi dia membalas dengan dalam.

     "Mbak, mbak! Emangnya saya mbaknya?" Gadis itu mendengus tidak terima, sambil melilit pashminanya yang menjuntai.

     "Lihat ini, laptop saya. Di sini ada salinan skripsi yang baru saya susun sebanyak tujuh bab. Kalau hilang gara-gara cipratan air, Anda harus tanggung jawab," ketusnya seraya memperlihatkan laptopnya ke arah Yoda.

     Yoda merasa bersalah, kemudian ia menuruni mobil. Menghampiri gadis itu.

     "Mari saya lihat, Mbak." Yoda mengulurkan tangannya, meminta gadis cantik itu memberikan laptopnya. Yoda ingin tahu apa masalahnya. Dan jika memang rusak gara-gara cipratan air akibat ban mobilnya, maka Yoda siap memperbaiki laptop itu.

     Gadis itu menepis, ia tidak membiarkan laptopnya dipegang Yoda.

     "Bagaimana saya tahu laptopnya rusak kalau Mbak nggak mau memberikannya pada saya," ujar Yoda.

     Gadis itu mendelik, lagi-lagi dia tidak suka dirinya dipanggil mbak. Siapa dia memanggilnya mbak, ketuaan banget. Sementara pria berseragam loreng tentara itu perkiraan usianya sepantar sepupunya.

     "Sudah saya bilang, jangan panggil saya mbak. Saya itu tidak setua bapak," protesnya balik membalas dan memanggil Yoda bapak.

     Kini, giliran Yoda merasa tidak suka kalau dirinya dipanggil bapak. Dia belum menikah dan belum tua-tua amat. Usianya baru 34 tahun.

     "Hmm, saya juga belum tua amat kali, Dik. Saya belum menikah dan masih bujang ting-ting," protesnya, lalu dengan percaya diri mengakui dirinya masih bujang ting-ting.

     "Huhhh. Usia 34 tahun belum menikah? Berarti Om bujang lapuk? Ohhh, ya, Om mengingatkan saya pada seseorang. Dulu, seusia Om, dia juga belum menikah. Tapi, sekarang om angkat saya itu sudah menikah. Istrinya cantik, baik, dia saat ini sudah dikaruniai anak kembar malah," cerita gadis itu tanpa ditanya.

    "Om? Saya juga belum tua amat kali. Panggil kakak atau mas atau abang, itu lebih menyenangkan." Yoda kembali protes.

    Gadis itu mendelik, dia tidak peduli dengan protes pria tentara itu. "Terserah. Sudah tua juga mau dipanggil kakak. Huh," dengusnya.

     Yoda tersenyum, ketika ia fokus melihat bibir gadis itu bicara. Bukan fokus sama protesnya. Bibirnya merah merona seperti asli bawaan. Pipinya juga mulus dan licin kayak jalan tol. Walau kesannya judes, tapi gadis di depannya terlihat menyenangkan dan cuek apa adanya.

     "Sederhana tapi cantik dan elegan. Gadis muda yang membuat hatiku berdesir. Akhhhh, kenapa sikapnya ini membuat jiwaku yang terpuruk kembali bangkit dan bahagia?" batin Yoda mempertanyakan perasaan anehnya ketika menatap gadis itu.

     "Lalu gimana dengan laptopnya. Bisa saya lihat? Biar dicek, nanti kalau memang rusak biar saya perbaiki," ujar Yoda lagi kembali ke laptop.

     Gadis itu terdiam, tepat saat telponnya berdering.

     "Iya, Bunda. Ini sedang di jalan. Sebentar lagi pulang," sahutnya menerima panggilan telpon.

     Gadis itu buru-buru menggendong tas laptopnya. Lalu menaiki motor dan menghidupkan kembali motor itu. Deru motor mulai terdengar.

     "Ehhh, namanya siapa? Kamu nggak perbaiki laptopnya dulu?" Yoda menahan laju motor gadis itu.

     "Saya buru-buru."

     "Minimal kamu saya traktir makan dulu. Sebagai ucapan permohonan maaf saya sama kamu, karena laptopnya kena ciprat," bujuk Yoda berharap gadis itu mau menerima ajakannya.

     Gadis itu berpikir, sementara perutnya tiba-tiba saja bergitar dengan kerasnya. Yoda sontak terkekeh sambil menoleh bahunya ke belakang. Dia terkekeh di sana.

     Gadis itu malu, dia benar-benar tidak menduga kalau perutnya bakal mempermalukan dirinya di depan pria tentara itu.

     Yoda berhasil membawa gadis cantik itu ke dalam sebuah kafe bercat kuning dengan nuansa gotik.

     "Kebetulan aku saat ini sedang lapar," batinnya senang. Perasaan malu yang tadi sempat timbul, kini menguap entah ke mana.

     "Kamu mau pesan apa. Dik?" Yoda menatap gadis cantik itu sembari tersenyum manis.

     "Menunya apa saja?"

     Yoda menyodorkan list menu yang sudah dilaminating. Dipastikan list menu yang hanya satu lembar itu tidak akan robek apabila kena rebut.

     "Ayam penyet, seblak juga ada, sop iga, wahh favorit semua," gumamnya terdengar langsung oleh Yoda.

     "Gimana, adik mau pesan apa?" ulang Yoda.

     "Adik?" kerungnya.

     "Iya adik. Tadi dipanggil mbak nggak mau. Ingat, ya. Panggil saya kakak," tukasnya. Diakhir kalimat memberi peringatan.

     "Saya pesan sop iga sama seblak, minumnya jus alpukat," ujar gadis itu.

     Yoda tidak protes dengan pesanan gadis itu.

     Tidak lama pesanan mereka datang. Keduanya makan dengan lahap. Gadis itu juga terlihat sangat lapar. Makannya cepat. Yoda melihat sedikit tersentak. Ternyata gadis cantik itu selain makannya buru-buru, dia juga kuat makan dua menu sekaligus.

     "Makannya banyak, tapi tubuhnya nggak gendut." Yoda heran tapi suka.

     "Gimana, laptopnya jadi diperiksa nggak?" singgung Yoda mengenai laptop gadis itu.

     Gadis itu mengeluarkan laptopnya dari dalam tas gendong. Yoda segera meraihnya dan mulai membuka laptop itu.

     "Lho, Amira. Kamu di sini, Dek?" Seseorang berseragam Polisi menyapa gadis itu yang ternyata Amira.

     Amira berdiri lalu menghampiri pria itu. "Aku baru saja selesai makan. Aku juga mau pulang."

     Tanpa basa-basi atau mungkin karena lupa, Amira beranjak meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Yoda.

     Yoda bengong. Tangannya terulur dengan maksud menahan gadis itu.

     "Eh, Dik. Ini laptopnya gimana?" Yoda berdiri terpaku melihat Amira pergi begitu saja bersama seorang pria berseragam polisi.

Apakah Amira akan dipertemukan kembali dengan Yoda?

Jangan lupa, dukungannya. Kasih like dan komennya ya.

Bab 2 Laptop Yang Tertinggal

     Sesampainya di rumah, Amira menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Rambutnya sedikit lepek karena sisa hujan yang menempel. Ia buru-buru membuka tas gendong, hendak menyalakan laptop dan melanjutkan skripsinya yang sudah menunggu bab revisi.

    Namun, tangan mungil itu mendadak terhenti.

    "Ya Allah ...." Amira terhenyak memegangi kepalanya. Tas gendongnya hanya berisi charger, dompet, dan buku catatan. Laptopnya, hilang.

    Bukan hilang dicuri. Tapi hilang karena kelalaian sendiri. Ia baru sadar tadi meninggalkan laptop itu di meja kafe, bersama pria tentara yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.

    “Kenapa aku bisa ceroboh gini sih?” gumam Amira frustrasi.

    Ia mondar-mandir di ruang tamu. Bagaimana mau mengerjakan revisi skripsi kalau laptop saja tidak ada? Mau kembali ke kafe pun percuma, pasti sudah tutup malam ini. Lagi pula, dia bahkan tidak tahu siapa nama tentara itu, apalagi nomor teleponnya.

    “Om ... eh, siapa sih dia itu? Ya Allah, laptopku.” Amira menggerutu. Air matanya hampir tumpah, mengingat dalam laptop itu ada semua file skripsinya sejak semester awal.

    Bundanya keluar dari kamar, kaget melihat Amira panik. “Amira, ada apa. Seperti sedang bingung?"

    “Bun, laptop Amira ketinggalan di kafe. Sama orang yang tadi itu …” Suaranya tercekat, Amira hampir keceplosan bicara.

    “Orang siapa?” Bunda Daisya menatap Amira penasaran.

    “Ya … tentara itu, Bun. Tadi siang Amira kena ciprat ban mobil pria itu, sampai cipratan airnya kena baju dan laptop Amira. Sialnya lagi, Amira nggak tahu nama pria tentara itu.”

    Bundanya menghela napas panjang, lalu menepuk pundak putrinya. “Ya sudah, istighfar dulu. Insya Allah kalau rezeki, laptop itu bakal kembali.” Bunda Daisya berusaha menghibur Amira.

    Malam itu, Amira gelisah. Ia berbaring, menatap langit-langit kamar, membayangkan wajah pria tentara tadi, yang entah kenapa, justru membuat hatinya lebih berdebar dibanding rasa cemas kehilangan laptop.

    ***

    Sementara itu, Yoda duduk di meja kerjanya di barak. Laptop berwarna hitam dengan stiker bunga dahlia di pojok kanan kini ada di depannya.

    “Nama gadis itu tadi … Amira, ya?” gumamnya.

    Ia membuka laptop itu pelan, khawatir rusak karena cipratan air kemarin. Tapi ternyata, mesin menyala dengan baik. Layar login menampilkan wallpaper foto seorang gadis berhijab pashmina, tersenyum ceria sambil memeluk seekor kucing abu-abu. Yoda spontan tersenyum kecil.

    “Jadi ini Amira. Senyumnya, jauh beda sama wajah judesnya kemarin."

    Saat jari Yoda hampir menutup layar lagi, matanya menangkap sebuah catatan tempel digital di pojok. Ada nomor telepon tertulis di sana. "Nomor darurat, 08xxxxxx (Amira)”.

    Yoda mengangkat alis, setengah tak percaya. “Ya ampun, dikasih jalan semudah ini? Aku bisa menghubunginya." Yoda girang.

    Ia menatap layar beberapa detik. Hatinya berdebar tak karuan, padahal ia hanya hendak mengembalikan barang. Tapi entah kenapa, ada rasa hangat saat menyebut nama itu. Amira.

    Akhirnya ia meraih ponselnya, mengetik pesan.

    “Amira, ini Kapten Prayoda yang kemarin. Laptopmu ketinggalan di kafe. Masih aman sama saya. Kapan bisa saya kembalikan?”

    Pesan itu terkirim. Dan detik-detik berikutnya terasa seperti menunggu keputusan sidang militer.

    ***

    Amira yang sedang gelisah di kamar, mendadak melompat begitu ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca nama pengirim yang tidak dikenal.

    “Kapten Prayoda!"

    Matanya membelalak. “Astaghfirullah … jadi namanya Prayoda?”

    Amira menelan ludah. Ia ingin langsung membalas, tapi gengsi. Tangannya gemetar di atas keyboard ponsel. Akhirnya ia hanya mengetik singkat.

    “Syukurlah. Terima kasih sudah menyimpannya. Bisa ketemu besok? Saya butuh laptop itu.” Amira membalas.

    Tak lama, balasan masuk.

    “Bisa. Saya atur waktunya. Kamu maunya di mana?”

    Amira menggigit bibir. Dalam kepalanya, ia sempat membayangkan bertemu kembali dengan tatapan tajam pria itu. Jantungnya berdetak tidak karuan.

    “Besok sore, di depan perpustakaan kota. Sekalian saya cari referensi.”

    “Baik. Besok sore, jam empat."

    Amira menutup ponsel dengan wajah panas. Entah kenapa, rasa panik karena kehilangan laptop justru berubah jadi gugup menantikan pertemuan itu.

    ***

    Keesokan harinya, langit sore mendung tapi tidak hujan. Amira berdiri di depan perpustakaan kota, memeluk tas gendongnya erat-erat.

    Mobil hitam berhenti di dekatnya. Dari sana, Kapten Prayoda turun dengan langkah tegap. Seragam lorengnya rapi, wajahnya yang tampan tampak lebih serius dibanding kemarin.

    “Amira?” suaranya dalam, membuat Amira tersentak.

    “Iya!” jawab Amira pelan.

    Yoda menyerahkan laptop itu. “Ini laptopnya. Semua aman, nggak ada yang rusak. Saya sudah cek.”

    Amira meraih laptopnya dengan lega. “Alhamdulillah… terima kasih banyak, Om Kapten.”

    Yoda tersenyum tipis dan menggeleng. “Panggil Yoda atau kakak saja. Kalau Kapten, kesannya formal banget.”

    Amira hendak membalas, tapi Yoda mendahului dengan nada serius. “Oh ya, kemarin, yang polisi itu siapa?”

    Amira kaget. “Maksudnya Bang Iqbal?”

    Yoda mengangguk pelan, matanya menelisik. “Iya. Kamu kayaknya akrab.”

    Amira terdiam sejenak. “Dia tetangga sekaligus teman masa kecil. Udah kayak abang sendiri. Kenapa memangnya?”

    Yoda menunduk sesaat, lalu tersenyum samar. “Nggak apa-apa. Cuma penasaran aja.”

    Suasana hening beberapa detik. Angin sore meniup pashmina Amira, membuat wajahnya semakin cantik di mata Yoda.

    “Aku, maksud saya, saya cuma mau pastikan kamu aman. Soalnya kamu kayaknya gampang ceroboh.” Yoda mencoba mencairkan suasana.

    Amira mendengus. "Maksudnya?" Amira kurang paham yang dimaksud Yoda.

     "Nggak ada maksud," kelitnya sambil menggeleng.

    Amira tanpa sengaja menatap mata Yoda, ia merasa ada ketulusan yang sulit ia abaikan. Pria itu tampak serba salah.

    Yoda akhirnya melirik jam tangan. “Oke, laptop sudah saya kembalikan. Tapi, boleh nggak saya traktir makan lagi? Biar beneran lunas rasa bersalah saya.”

    Amira spontan teringat kejadian memalukan perutnya yang bergemuruh di kafe tempo hari. Pipinya langsung merona.

    “Ah ... nggak usah. Nanti bisa-bisa makan saya ngabisin satu kafe," canda Amira terkekeh.

    Yoda ikut terkekeh. “Ya, nggak apa-apa. Kafenya biar bisa cepat habis."

    Amira mendelik. “Ih, Om Kapten ini, ngeselin.”

    Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu, pertemuan kedua ini bukan kebetulan semata.

     Amira akhirnya luluh juga. Ia mengangguk pelan menerima ajakan makan Yoda, meski wajahnya masih setengah malu dan merona. “Baiklah. Tapi sekali ini aja, ya.” Aika meminta syarat.

    Yoda tersenyum puas. “Deal. Sekali ini aja, kalau kamu nggak ketagihan.”

    Mereka melangkah berdampingan menuju sebuah kafe. Amira sebenarnya masih kikuk, tapi di dalam hatinya ada getaran hangat yang ia sendiri sulit dimengerti.

    Namun tepat ketika mereka memasuki kafe. Suara seseorang menyapa Amira akra.

    “Amira!"

    Amira menoleh kaget. Di sana, Iqbal dengan seragam polisi lengkap, berdiri menatap tajam. Tatapan itu bukan sekadar heran, melainkan campuran antara curiga dan cemburu.

    “Kenapa kamu di sini. Siapa dia?” suara Iqbal terdengar tegas, bahkan menusuk telinga Amira.

    Amira tercekat. Kata-kata mengendap di tenggorokannya. Sementara Yoda, meski masih berdiri tegap, bisa merasakan ada sesuatu di balik sorot mata pria polisi itu.

    Sejenak, waktu seolah berhenti. Tiga pasang mata saling bertemu dalam keheningan yang penuh tanda tanya.

    Hati Amira berdegup makin keras. Ia tidak tahu harus menjawab siapa terlebih dulu. Pria masa kecil atau pria asing berseragam loreng yang baru dikenalnya, namun entah kenapa sudah mulai menempati ruang di dadanya.

Bab 3 Dokter Baru Di Batalyon

     Malam itu, Amira duduk menghadap meja belajarnya. Laptop yang sempat tertinggal, kini sudah kembali ke pangkuannya, setelah melalui drama pertemuan kedua dengan pria tentara itu.

Jemarinya menari di atas keyboard, tapi pikirannya justru melayang pada sosok Yoda. Tatapan teduhnya, caranya bersikap tegas sekaligus hangat, dan kalimat-kalimat sederhana yang entah kenapa terus terngiang di telinga.

    “Kenapa jadi kepikiran begini, sih?” Amira bergumam, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia mendesah, meneguk air putih, mencoba kembali fokus. Namun setiap kali ia mengetik, bayangan Yoda seakan ikut menyelinap.

     "Aku sudah boleh jatuh cinta, kan?" tanya Amira pada laptop di depannya sambil tersenyum nggak jelas. Karuan saja, Amira selama ini belum pernah pacaran.

    Sementara itu, di rumah dinas sederhana yang tak jauh dari markas, Kapten Prayoda duduk termenung. Laptop Amira yang sempat ia selamatkan kini berganti menjadi sebuah kenangan kecil di benaknya. Ia tidak bisa memungkiri, gadis itu berbeda. Sikap cueknya, caranya menghindar namun tetap menarik perhatiannya, membuat Yoda sulit mengalihkan pandangan.

    Namun, malam itu ia tak hanya memikirkan Amira. Ada sebuah kabar dari atasannya yang membuatnya terdiam cukup lama. Keesokan harinya, dokter batalyon yang baru ditugaskan akan datang, dan nama itu bukan asing di telinganya.

    Dokter Serelia Prameswari.

    Nama itu menyentak dadanya. Beberapa hari lalu mereka bicara. Membicarakan niat empat tahun lalu yang pernah direncanakan mereka. Namun, lagi-lagi Dokter Serelia menolak ajakan Yoda, dia memutuskan untuk menunda rencana pertunangan itu sampai tahun depan. Yoda kecewa. Padahal dokter Serelia telah menyelesaikan studi dokter spesialisnya.

***

    Pagi menjelang. Langit masih sedikit berawan, jalanan komplek basah sisa hujan semalam. Amira menjalankan motornya terburu-buru menuju kampus dengan tas sampir hitam tergantung di bahu. Di sisi lain, Yoda sudah bersiap di markas, menunggu kedatangan dokter baru.

    Suara mobil dinas berhenti di depan. Dari balik pintu, seorang wanita berwajah anggun turun, mengenakan kemeja putih rapi dan celana bahan krem. Senyumnya profesional, namun tatapan matanya bergetar saat bertemu pandangan Yoda.

    “Kak Yoda ...." Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

    Yoda terdiam, wajahnya datar, meski dadanya bergolak. “Selamat datang, Dokter Serelia.” Yoda bersikap formal dan profesional.

    Dokters Serelia tersenyum tipis. Ada jeda panjang, seolah ribuan kata yang ingin diucapkan terhenti begitu saja. Pria tampan di hadapannya, kini nampak berbeda, dingin dan seperti berusaha asing terhadapnya.

***

    Hari itu berjalan kaku. Yoda berusaha menjaga sikap formal, sementara dokter Serelia tampak berulang kali mencari celah untuk mengajaknya bicara lebih pribadi. Namun, Yoda selalu berhasil menghindar.

    Hingga sore hari, Yoda memutuskan singgah sebentar di kafe tempat pertama kali ia bertemu Amira. Langkahnya terasa lebih ringan ketika melihat gadis itu sudah duduk di pojok ruangan, sibuk dengan laptopnya.

    “Lagi ngerjain tugas?” Suara Yoda membuat Amira menoleh.

    Amira mengangkat alis, menutup layar laptopnya setengah. “Kebetulan. Jangan-jangan Kakak ini sengaja ngikuti aku, ya?” tuduh Amira, matanya menatap lekat.

    “Kalau iya, kenapa?” Yoda menahan senyum yang menggoda.

    Amira mendengus, mencoba menutupi rona merah di pipinya. “Kakak ini ya … tentara apa stalker, sih?”

     "Ishhh, mulai berani nih bocah. Ok, kalau kamu ngajak aku kamu, aku turut senang," batin Yoda girang mendengar perubahan kata panggilan yang digunakan Amira.

    Suasana mencair. Mereka berbincang ringan, saling menyindir, bahkan sempat tertawa. Yoda merasa ada kenyamanan yang tak ia temukan lagi sejak lama.

    Namun, tawa itu terhenti ketika suara tumit sepatu mengetuk lantai mendekat.

    “Kak Yoda?”

    Keduanya menoleh bersamaan. Dokter Serelia berdiri di sana, menatap Yoda dengan ekspresi terkejut sekaligus penuh tanda tanya. Tatapannya lalu beralih pada Amira, yang langsung merasa heran penuh tanya.

    “Eh … saya duluan aja deh.” Amira buru-buru berkemas. Tapi Yoda menahan lengannya lembut.

    “Amira, jangan pergi!" Suara Yoda tegas, membuat Amira terdiam.

    Serelia terbelalak. "Jadi, ini yang bikin kamu nggak pernah jawab pesanku?” Suaranya bergetar, campuran marah dan sedih. “Seorang gadis muda?” lanjutnya menuduh.

    Amira tercekat. Ia ingin menjelaskan, tapi bagaimana? Ia bahkan belum sepenuhnya mengerti hubungan apa yang mengikatnya dengan pria tentara ini.

    Yoda menatap dokter Serelia tajam, kali ini tidak lagi menyembunyikan ketegasan hatinya. “Ini teman baru aku. Kami kebetulan bertemu di kafe. Aku ikut duduk di meja yang sama. Lagipula ini tempat umum. Jadi, wajar aku ikut gabung dengan orang yang aku kenal," tutu Yoda.

     Dokter Serelia menatap Yoda sekilas. Dia merasa tidak senang dengan kebersamaan Yoda dengan gadis yang jauh lebih muda darinya itu.

     "Pantas saja setelah pembicaraan kita tempo hari, Kak Yoda tidak mau lagi membalas pesanku," protes Dokter Serelia mengulang ucapannya tadi.

     "Serel, bukankah kamu sendiri yang memutuskan untuk menunda lagi, bukan?" tukas Yoda.

     "Maaf, sepertinya saya harus pergi. Saya tidak mau melihat pertengkaran di depan saya. Selesaikan urusan kalian. Tapi, jangan di sini. Ini tempat umum." Amira berdiri, menyela perdebatan mereka. Setelah berkata, ia segera angkat kaki keluar dari kursi kafe.

     "Amira, tunggu, Dik!" tahan Yoda. Namun sayang, Amira keburu menuju pintu keluar.

Dokter Serelia menahan lengan Yoda, tapi Yoda menepis. Dia lebih memilih mengejar Amira.

NB: Bab 3 ada yang saya revisi. Boleh dicek ya. Makasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!