Nuna menangis sesenggukan di tengah hujan yang mmengguyur deras. Ia senang, karena hujan berhasil menyamarkan tangisannya.
Entah sudah berapa banyak airmata yang ia keluarkan untuk pria brengsek itu. Andai sejak awal dia mendengarkan kedua orangtuanya, pastilah hal ini tidak akan terjadi. Kini hatinya benar benar telah hancur berkeping keping.
Mimpinya akan pernikahan yang bahagia hilang menguap entah kemana.
Kembali ke rumah orang tuanya pun tak mungkin ia lakukan. Ia merasa malu dan segan.
Ayahnya sampai masuk rumah sakit karena berdebat dengannya, ibunya tentu saja marah besar. Nuna kehilangan arah. Nuna ingin semuanya berakhir. Nuna memandang jembatan di depannya.
'Jika aku terjun dari jembatan itu, semuanya akan selesai. Aku tak perlu merasakan sakit ini. Ayah dan ibu tak akan kecewa lagi kepadaku'
Kalimat kalimat itu terus berputar putar di kepala Nuna.
Potongan potongan adegan saat ia bertengkar hebat dengan ayah ibunya, saat ia
memutuskan kabur dari rumah, saat Andra mengkhianatinya dan lebih memilih pergi dengan wanita lain.
Adegan adegan itu terus berkelebat di kepalanya seperti sebuah film yang diputar berulang kali
'Aku akan terjun dari sini'
'Aku akan mati'
'Aku akan mengakhiri semuanya'
*****
Flashback on
"Sampai kapanpun ayah dan ibu tidak akan merestui hubunganmu dan Andra. Dia itu bukan laki laki baik Na, buka mata kamu" ayah Nuna begitu emosi saat Nuna mengatakan akan menikah dengan Andra.
Pak Hari tak mengerti kenapa putri tunggalnya bisa tergila gila pada pria seperti Andra.
"Nuna tetap akan menikah dengan Andra, dengan atau tanpa restu ayah ibu." Jawab Nuna tak kalah emosi. Hatinya benar benar telah dibutakan oleh cinta.
"Nuna akan pergi dari rumah ini kalau memang ayah dan ibu tidak mau mendukung hubungan Nuna dan Andra" Nuna mulai mengancam
Ia berlari menuju kamarnya, mengemas beberapa pakaiannya dan hendak pergi dari rumah kedua orangtuanya tersebut
"Nuna..." teriak pak Hari lantang. Kalo kamu benar benar nekat menikah dengan Andra. Tak perlu lagi kembali ke rumah ini dan tak perlu menganggap kami orang tuamu" suara pak Hari terdengar bergetar.
Ia tak percaya akan mengatakan ini pada putri kandungnya.
Sementara bu Rita hanya menangis sesenggukan, mencoba menahan Nuna agar tidak pergi dari rumah. Tapi tekad Nuna sudah bulat. Ia akan keluar dari rumah ini, meskipun nantinya ia akan dianggap sebagai anak durhaka.
Setelah kepergian Nuna, tubuh pak Hari langsung ambruk dan tak sadarkan diri. Jantungnya kambuh karena menahan emosi pada putri semata wayangnya. Tangis bu Rita semakin pecah. Ia tak mengerti mengapa Nuna begitu keras kepala.
Nuna berjalan menyusuri trotoar. Suasana sepi karena sedang turun hujan, tapi Nuna tak peduli. Ia terus berjalan menuju satu tempat, apartement Andra.
Tiba di depan apartemen Andra, Nuna mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Tubuh dan baju Nuna basah kuyup terkena air hujan.
Nuna mencoba mengetuk untuk kedua kali, tapi masih tidak ada jawaban.
Nuna mencoba mengingat ingat password apartement Andra, waktu itu ia tak sengaja memperhatikan saat Andra mengetikkan password nya..
Setelah dirasa yakin, Nuna segera mengetikkan nomor nomor itu.
Berhasil!!
Pintu terbuka. Suasana apartemen gelap dan sepi, ada satu lampu yang menyala yaitu dari arah kamar Andra.
"Mungkin Andra sedang tidur" pikir Nuna.
Nuna terlebih dahulu masuk ke toilet yang berada di dekat dapur untuk mengganti bajunya yang basah kuyup. Ia tak mau menemui Andra dalam keadaan basah kuyup.
Selesai berganti baju, Nuna bergegas masuk ke kamar Andra hendak menemui calon suaminya tersebut.
Betapa terkejutnya Nuna saat mendapati Andra tengah tertidur pulas bersama seorang wanita. Dan mereka berdua hanya berbalut selimut, tidur saling berpelukan di ranjang.
Seketika runtuh sudah dunia Nuna. Ia benar benar kecewa, marah, dan sakit hati.
Sedikit terhuyung, Nuna mencoba mundur meninggalkan kamar Andra. Tapi dirinya yang begitu shock, bahkan ia tak kuat menopang tubuhnya sendiri.
Nuna menabrak meja di dekat pintu kamar Andra dan menjatuhkan sebuah vas bunga.
"Pyar" suara vas pecah menggema ke seluruh ruangan. Dan itu berhasil membangunkan Andra yang tadi tertidur lelap.
Andra mendapati Nuna yang tengah duduk meringkuk di depan kamarnya.
Ia segera menghampiri Nuna,
"Apa yang kamu lakukan disini? Berani beraninya kamu masuk ke apartement ku tanpa izin" Andra menarik kasar tangan Nuna, mencoba untuk mengusirnya
"Andra, siapa wanita itu? Kenapa kau tidur dengannya? Kemarin kau bilang padaku akan menikahiku" Nuna emosi dan meninggikan suaranya.
"Heh, menikahimu? Jangan mimpi ya.
Dia kekasihku, dia lebih kaya darimu dan bisa memberikan banyak uang padaku" kata Andra sambil menunjuk ke arah wanita yang masih tertidur pulas di ranjang Andra, seolah tak merasa terusik dengan pertengkaran Nuna dan Andra.
"Tapi An, kau tak bisa melakukan ini padaku. Aku bahkan rela diusir oleh kedua orang tuaku demi bisa menikah denganmu" Nuna mengiba.
"Bukan urusanku, pergi kau dari apartemenku" usir Andra.
Nuna menangis terisak.
Andra menarik tangan Nuna dan menyeretnya keluar dari apartemennya.
"Jangan pernah kembali kesini atau aku akan melaporkanmu ke polisi" ancam Andra sebelum membanting pintu.
Kini Nuna hanya bisa menangis sesenggukan. Ia bingung harus bagaimana. Kedua orang tuamya telah mengusirnya, dan kini Andra malah mengkhianatinya.
Flashback off
*****
Nuna memandang kosong ke arah sungai di bawah jembatan. Lalu lintas di sekitarnya tidak terlalu ramai sehingga tidak akan ada yang peduli dengan apa yang akan Nuna lakukan.
Hujan mulai reda dan hanya menyisakan gerimis gerimis kecil.
Nuna mulai memanjat pinggiran jembatan itu. Ia sudah tak peduli lagi dengan hidupnya,
'Ini akan mudah Nuna, kau bahkan tidak bisa berenang. Kau akan langsung mati tenggelam dan tak perlu merasakan sakit ini lagi' hati kecil Nuna terus membisikkan kalimat kalimat itu.
Nuna memanjat besi kedua. Pandangannya masih tertuju pada sungai dengan arus deras di bawah sana. Tekadnya sudah bulat. Ia akan segera mengakhirinya.
Besi ketiga sudah dipijaknya. Nuna merentangkan kedua tangannya dan bersiap untuk terjun.
Tapi tanpa Nuna sadari, sepasang tangan kekar menangkup tubuh mungilnya dan mencegahnya melompat dari jembatan tersebut.
"Nona berhenti, jangan lakukan hal bodoh seperti ini" hanya suara itu yang Nuna dengar samar samar sebelum dirinya jatuh tak sadarkan diri di pelukan pria asing.
'Aku melihatnya,
aku melihat keputus asaan dalam wajah gadis itu. Aku melihatnya berdiri di pinggir jembatan, aku melihatnya saat dia menatap sungai berarus deras di bawah jembatan, aku juga melihat saat dia menaiki satu persatu besi jembatan itu hingga akhirnya dia akan melompat.
Syukurlah aku masih bisa menyelamatkannya. Ada apa dengan gadis ini?
Apa yang salah dengan hidupnya hingga dia ingin mengakhiri semuanya?' Daffa bergumam dalam hati.
Ia masih memandangi wajah gadis yang kini terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit.
Sudah hampir 8 jam gadis itu tertidur dan belum ada tanda tanda akan bangun.
Segala bentuk pemikiran tentang gadis ini terus berputar putar di kepala Daffa.
Ia bahkan tak mengenal gadis ini.
Tapi mengapa ia menyelamatkannya?
Daffa hanya merasa iba.
Cukup Jeslin yang meninggal sia sia karena sebuah keputus asaan.
Daffa tidak mau hal yang sama terjadi pada gadis lain, meskipun dia adalah orang asing yang
Daffa sendiri tidak mengenalnya.
Ceklek,
suara pintu dibuka.
Raka masuk ke dalam ruangan
"Daf, aku bawakan makanan dan baju ganti. Istirahatlah. Gadis itu pasti akan bangun sebentar lagi" kata Raka mencoba menenangkan atasan sekaligus sahabatnya tersebut
"Thanks Ra, aku akan mandi sekarang" Daffa beranjak dari tempat duduknya, mengambil paper bag yang tadi di bawa Raka dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara itu Raka merebahkan dirinya di salah satu sofa di sudut ruang perawatan tersebut.
Raka masih belum menemukan identitas gadis tersebut.
Daffa memang memintanya untuk mencari tahu, tapi Raka masih belum berhasil mendapatkan info yang di butuhkan.
Sejenak Raka memejamkan matanya.
Tiba tiba ponselnya berdering, Raka berbicara sebentar lalu keluar dari ruangan tersebut.
*****
Nuna mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan dengan cahaya temaram di dalam ruangan tersebut.
Langit langit putih dan dinding serba putih yang Nuna lihat. Tidak ada siapapun di ruangan itu selain dirinya.
'Apakah aku sudah mati?' Tanya Nuna pada dirinya sendiri.
Nuna mencoba menggerakkan kedua tangannya.
Ada rasa nyeri di tangan kirinya. Sejenak Nuna melihat jarum infus menancap di kulit mulusnya
'Rumah sakit? Siapa yang membawaku kesini?' Nuna masih bergumam sendiri. Banyak pertanyaan yang berputar putar di kepalanya. Ia tak tahu harus bertanya pada siapa. Tidak ada siapapun disini.
"Kau sudah sadar?" Suara berat tapi bernada lembut seperti menjawab rasa penasaran Nuna.
Ternyata dirinya tidak benar benar sendirian.
Nuna melihat ke arah suara itu.
Seorang pria bertubuh tinggi tegap dan sudah mengenakan setelan jas lengkap baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat asing.
Nuna tak mengenal pria itu.
"Anda siapa?" Tanya Nuna.
Tapi pria itu tak menjawab. Ia malah duduk di kursi di samping ranjang Nuna.
"Nona, dengarkan aku. Aku tak tahu dan tak mau tahu apa masalahmu, tapi aku mohon jangan pernah mengambil keputusan bodoh seperti tadi malam" pria itu terlihat menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kata katanya,
"Kau masih muda, hidupmu berharga. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jika sekarang kau belum menemukannya, maka nanti kau akan segera menemukannya" ujar pria itu panjang lebar
'Cih, semudah itu kau bicara. Kau tidak tahu masalah apa yang sedang ku hadapi. Diusir orang tua, di khianati oleh kekasih, tak punya tempat tinggal maupun tempat berteduh. Kurang lengkap apa coba penderitaanku sekarang' Nuna berdecih dalam hati.
Ceklek,
pintu terbuka.
Raka melongokkan kepalanya kedalam ruangan,
"Daf, kita harus segera pergi, klien sudah menunggu untuk meeting pagi ini" ucap Raka tanpa masuk ke dalam ruangan tersebut. Daffa menoleh ke arah rekannya tersebut sebelum menjawab.
"pergilah duluan Ra, aku akan segera menyusul" jawab Daffa singkat. Lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Nuna.
Pintu ditutup kembali.
Kini tinggal Daffa dan Nuna di dalam ruangan tersebut.
"Ini kunci rumah, ponsel, dan beberapa uang tunai. Aku yakin kau membutuhkannya.
Supirku di bawah akan mengantarmu.
Dokter sudah memperbolehkanmu untuk pulang setelah kau sadar." Daffa menyodorkan sebuah tas kecil ke arah Nuna.
"Tuan, anda belum menjawab pertanyaan saya. Siapa anda?" Nuna sedikit meninggikan suaranya.
Ia merasa kurang nyaman karena pria asing ini tiba tiba memberikannya rumah dan harta benda.
Tentu saja Nuna harus waspada
"Namaku? Kau baru saja mendengarnya tadi saat temanku memanggilku" jawab Daffa acuh
"Daf? Daf siapa?" Nuna masih belum puas dengan jawaban pria itu. Yang benar saja.
'Daf, Daf, pasti ada lanjutannya kan. Kenapa tak langsung saja memyebutkannya' Nuna bergumam kesal
" jangan mencoba untuk bunuh diri atau melakukan hal bodoh lainnya, aku akan mengawasimu" Daffa melihat tajam ke arah Nuna
"Kenapa anda berfikir aku akan menerima semua pemberian anda? Aku bahkan tak mengenal anda" Nuna bersedekap dan membalas tatapan tajam pria itu
Daffa hanya berdecih meremehkan
"Heh, memangnya kau mau kemana setelah ini? Kekasihmu mengkhianatimu dan mengusirmu, orang tuamu marah kepadamu, apa kau masih punya nyali untuk pulang ke rumah orang tuamu" Skakmat. Nuna langsung terdiam.
Bagaimana pria ini bisa tahu semuanya? Apa dia semacam detektif atau agen mata mata?
"Nona dengar, aku tak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Aku tahu kau hanya butuh waktu untuk menenangkan dirimu. Makanya aku memberikan semua fasilitas ini" kata Daffa tulus.
Nuna masih terdiam mencoba mencerna kata kata pria di hadapannya tersebut
"Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik baik. Aku akan menelponmu" ucap Daffa sambil mengelus lembut kepala Nuna.
Nuna terperanjat dengan semua itu.
'Pria ini? Berani sekali menyentuhku. Aku bahkan tak mengenalnya' Nuna berdecak kesal.
Daffa beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas kerja dan paper bag yang ada di sofa lalu keluar meninggalkan ruang perawatan tersebut.
Setelah memastikan si pria misterius itu sudah pergi jauh, Nuna mengambil paperbag yang tergeletak di samping ranjang tempat tidurnya. Memeriksa apa isinya.
Ada satu stel baju lengkap.
Tok tok tok
Suara pintu di ketuk,
Seorang dokter dan dua orang perawat masuk ke dalam ruangan.
Mereka memeriksa Nuna dan memberikan beberapa pertanyaan singkat
"Dokter, apa aku bisa pulang sekarang?" Tanya Nuna
" tentu saja nona, kondisi mu sudah membaik, kau hanya perlu banyak istirahat" kata dokter itu ramah. Salah satu suster segera melepas infus yang sedari tadi masih menancap di lengan kiri Nuna.
'Huh, akhirnya' Nuna menarik nafas lega. Kini ia bisa segera berganti baju dan pulang.
Tunggu kemana dia akan pulang?
"Kami permisi nona" pamit suster itu.
Rombongan suster dan dokter itupun keluar dari ruangan Nuna.
Meninggalkan Nuna seorang diri.
Nuna segera bangun dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Ia ingin segera mandi dan berganti pakaian. Tubuhnya benar benar terasa tidak nyaman.
Nuna baru selesai membersihkan diri.
Saat keluar dari kamar mandi, Nuna dikejutkan oleh kehadiran dua orang asing dikamarnya,satu perempuan dan satu laki laki
"Kalian siapa?" Tanya Nuna
"Maaf nona, kami disuruh tuan muda untuk menjemput anda" jawab si laki laki.
"Tuan muda? Siapa tuan muda kalian? Aku tak mengenalnya" Nuna berlagak pura pura tak kenal dan tak tahu.
Hey dia benar benar tak mengenal si tuan muda yang pemaksa itu. Sok-sokan menyelidiki hidupnya pula.
Dasar tidak sopan
"Tuan muda Wijaya meminta kami mengantar nona ke rumah yang sudah disiapkan untuk nona" mereka terlihat masih sopan meskipun Nuna berkata sedikit ketus.
Nuna menghela nafas.
'Baiklah tadi namanya daf daf sekarang berganti menjadi tuan muda Wijaya. Punya berapa nama sebenarnya orang itu' Nuna bergumam kesal pada dirinya sendiri.
Tapi saat ini memang Nuna tak punya pilihan selain ikut kedua orang asing ini, tak ada satu rupiah pun uang di sakunya. Tidak ada harta benda apapun yang ia bawa saat minggat dari rumah.
'Huh, semoga kau melindungiku Tuhan' batin Nuna dalam hatinya
"Baiklah, aku akan ikut. Bisa kita pergi sekarang?" Nuna akhirnya pasrah saja
"Silahkan nona, biar kami bawakan barang barang anda" kedua orang yang berbeda jenis kelamin itupun mengemasi seluruh barang barang di ruang perawatan tersebut.
Meskipun sebenarnya tidak ada barang apapun yang Nuna bawa.
Hanya ada satu buah paperbag berisi baju kotor Nuna dan sebuah tas kecil yang tadi diberikan oleh Daffa.
Mereka bertiga pun pergi meninggalkan ruang perawatan tersebut
Berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai.
Sampai di ujung lorong, ketiganya masuk lift dan turun menuju loby depan rumah sakit.
Sang laki laki yang Nuna tebak adalah supirnya bapak tuan muda bergegas meninggalkan Nuna dan pelayan wanita di loby, sepertinya ia hendak mengambil mobil yang terparkir di halaman.
Setelah menunggu beberapa saat, sebuah mobil putih berhenti tepat di pintu masuk.
"Mari nona" sang pelayan membimbing Nuna agar masuk ke dalam mobil tersebut. Tak lupa ia membukakan pintu belakang untuk Nuna.
Dia sendiri memilih duduk di depan disamping pak supir tadi.
Ya...ya... ya...
Kini Nuna paham.
Begini ternyata rasanya menjadi tuan putri. Kemana mana diantar supir dan cukup duduk manis di kursi belakang sambil menikmati pemandangan.
Biasanya Nuna hanya naik angkutan umum atau abang ojek jika bepergian. Berdesak desakan di dalam angkutan umum menjadi hal yang biasa bagi Nuna tentu saja.
Sepanjang perjalanan, tak ada yang berbicara sepatah katapun.
Nuna pun enggan bertanya macam macam karena sepertinya dua orang di depannya ini irit bicara dan tak mau membuka identitas sang tuan muda.
Mobil melaju keluar dari jalan raya, berbelok ke jalan yang cenderung sepi namun memiliki pemandangan yang asri. Kiri kanan jalan hanya terlihat sawah hijau yang membentang.
Nuna tak mengalihkan pandangannya dari kaca jendela.
Ia begitu kagum.
Ia tak tahu sekarang berada di daerah mana. Tapi ia sungguh terpesona dengan pemandangan di luar sana.
Mobil masih terus melaju masuk ke sebuah desa.
Mulai terlihat rumah rumah penduduk yang jaraknya lumayan saling berjauhan.
Di ujung jalan desa inilah terbentang pagar besi yang lumayan tinggi yang cukup untuk menyembunyikan apa yang ada di dalamnya.
Mobil berhenti, pak supir membunyikan klakson.
Tak lama, gerbang tinggi itupun terbuka dan perlahan lahan mulai menampakkan isi di dalamnya.
Nuna sukses melongo dibuatnya. Rumah ala pedesaan yang asri dan indah kini terhampar di depannya.
Rumah itu tidak terlalu besar, kiri kanannya pun masih banyak pohon pohon besar. Ada taman bunga kecil di halaman yang luas itu.
"Silahkan masuk nona" pelayan perempuan tadi membukakan pintu mobil,
Nuna bergegas turun.
Namun pandangannya masih tak lepas dari rumah nan indah itu.
Nuna sudah hendak masuk ke dalam rumah, tapi tiba tiba langkahnya terhenti di depan teras
"Tunggu dulu, apa tuan muda ada di dalam?" Tanya Nuna pada pelayan perempuan yang sekarang berdiri di sebelahnya
"Kebetulan tuan muda hari ini berangkat ke luar negeri nona, jadi dia tidak ada disini." Pelayan itu berusaha menjelaskan kepa Nuna
"Apa dia tinggal disini juga?" Tanya Nuna lagi
"Sebenarnya tuan muda tinggal di apartemen, dia jarang kesini. Ini hanya rumah persinggahan yang biasanya tuan muda tinggali saat sedang tidak ada pekerjaan" jelas pelayan itu lagi.
Nuna menarik nafas lega
'Huh syukurlah, aku kira aku akan serumah dengan pria pemaksa itu' gumam Nuna dalam hati
"oh ya siapa namamu? Kita bahkan belum berkenalan, hahaha" Nuna tertawa canggung. Sudah ngobrol kesana kesini tapi ia bahkan belum tahu nama gadis di sebelahnya ini.
"Nona bisa memanggil saya Tika. Dan tadi yang mengantar kita namanya pak Roy." Tika memperkenalkan dirinya
"Baiklah Tika, namaku Nuna dan berhenti memanggilku nona karena namaku Nuna bukan nona" ucap Nuna berapi api sambil terus menekankan nama Nuna. Sungguh ia merasa tidak nyaman dipanggil dengan sebutan nona sejak tadi pagi.
"Tapi nona, saya tidak bisa. Anda majikan disini. Saya hanya seorang pelayan" Tika merendah
"Dengar tidak ada majikan ataupun pelayan dirumah ini. Kita adalah teman" Nuna masih belum menyerah
"Tapi... bagaimana kalo saya memanggil anda kak Nuna saja?" Tika memberikan penawaran.
"Terserah kau saja. Asal jangan memanggilku dengan sebutan nona mu itu. Aku merasa tidak nyaman" jawab Nuna acuh.
Ia segera masuk ke dalam rumah dan lagi lagi ia merasa takjub dengan isi dari rumah tersebut.
"Mari kak Nuna, saya antar ke kamar anda" ajak Tika.
Nuna hanya mengangguk dan mengikuti langkah Tika.
Tika membuka sebuah pintu kayu berukir, begitu pintu terbuka lebar, tampaklah isi kamar yang memurut Nuna cukup mewah. Sebuah ranjang besar, meja rias, dan sebuah lemari kayu yang lumayan besar.
"Ini kamar kak Nuna, jika ada yang dirasa kurang pas, kak Nuna bisa kasih tahu ke Tika. Nanti biar Tika yang atur semuanya sesuai keinginan kak Nuna" jelas Tika panjang lebar.
Nuna mengedarkan pandangannya memeriksa setiap sudut di kamar tersebut.
"Tidak Tika, aku suka dengan kamar ini. Terima kasih ya" kata Nuna akhirnya.
Tika bisa bernafas lega kini.
Ia pun segera berpamitan dan meninggalkan Nuna di kamarnya.
Memberi ruang agar Nuna bisa beristirahat.
Baru saja Nuna merebahkan badannya di kasur empuk itu, tiba tiba ia mendengar bunyi ponsel.
Nuna mencari cari sumber suara tersebut. Dan pandangannya langsung tertuju pada tas kecil pemberian tuan muda yg entah sejak kapan sudah berada di atas nakas di samping tempat tidur.
Nuna bergegas mengambil ponsel di dalam tas.
Sejenak Nuna melihat layar ponsel untuk mencari tahu siapa yang meneleponnya.
"Daf" nama yang tertera di layar ponsel
'Yang benar saja, bahkan dia tidak menulis nama lengkapnya' Nuna berdecak kesal sebelum mengangkat telepon tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!