NovelToon NovelToon

Obsesi Cinta King Mafia

Pertemuan Takdir

Hujan deras mengguyur kota malam itu. Lampu-lampu jalan berpendar samar, seakan berusaha menembus tirai air yang jatuh tiada henti. Di sudut sebuah jalan kecil yang jarang dilalui orang, berdiri sebuah kafe sederhana bernama Warm Beans. Aroma kopi dan roti panggang menguar hangat dari balik kaca, kontras dengan dingin yang menggigit di luar sana.

Aruna, gadis berusia dua puluh tiga tahun, sedang sibuk membersihkan meja pelanggan terakhir. Rambut hitam panjangnya diikat ke belakang, wajahnya lelah tapi masih menyimpan ketenangan. Kafe itu bukan miliknya, namun dia sudah menganggap tempat itu sebagai rumah kedua. Sejak ayahnya menghilang bertahun-tahun lalu dan ibunya meninggal, Aruna bekerja keras untuk menghidupi dirinya. Dia bukan perempuan yang suka mengeluh. Baginya, hidup selalu tentang bertahan.

Malam itu sepi. Jarum jam sudah melewati pukul sebelas, namun hujan membuat pemilik kafe memutuskan untuk tutup lebih cepat. Aruna tinggal sendirian untuk membereskan segalanya sebelum pulang. Ia menatap jendela, memperhatikan tetesan air yang meluncur perlahan. Hatinya entah kenapa terasa gelisah, seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

Dan benar saja.

Ketika ia hendak menutup tirai jendela, suara benturan keras terdengar dari luar. Aruna terlonjak. Seperti suara tubuh jatuh menghantam jalan basah. Rasa takut sempat menahannya, namun rasa penasaran lebih kuat. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu kafe. Hujan langsung menyambutnya, dingin menusuk tulang. Pandangannya menyapu sekitar, hingga ia melihat sesosok pria tergeletak tak jauh dari pintu.

Darah.

Itu hal pertama yang dilihatnya. Merah pekat bercampur dengan air hujan, mengalir dari tubuh pria itu. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, namun matanya masih terbuka sedikit, menatap kosong ke langit malam.

“Ya Tuhan…” Aruna berlari menghampiri, jantungnya berdegup panik. “Tuan? Anda baik-baik saja?!”

Pria itu tidak menjawab. Bajunya sobek di beberapa bagian, bekas luka tembakan jelas terlihat di sisi tubuhnya. Aruna menggigit bibir, otaknya berpacu cepat. Membiarkan orang sekarat di depan matanya bukanlah pilihan. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain, lalu dengan seluruh keberaniannya, ia menyeret tubuh pria itu masuk ke dalam kafe.

Sulit, tubuh pria itu besar dan berat. Namun Aruna tidak menyerah. Ia menyeretnya hingga ke ruang belakang, menidurkannya di sofa. Darah terus mengalir. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kotak P3K dari dapur. Tangan kecilnya gemetar saat membuka baju pria itu, menyingkap dada bidang penuh luka. Setidaknya ada dua tembakan—satu di bahu, satu di sisi perut.

“Aku bukan dokter… aku bukan dokter…” gumamnya panik, namun ia tahu kalau tidak segera bertindak, pria ini bisa mati. Dengan kain bersih, ia menekan luka itu sekuat mungkin untuk menghentikan pendarahan. Pria itu mengerang pelan, tanda bahwa ia masih hidup.

“Bertahanlah, tolong jangan mati di sini…” bisik Aruna lirih.

Butuh waktu lama hingga perdarahan sedikit terhenti. Aruna kemudian membersihkan luka sebaik yang ia bisa, lalu membalutnya dengan perban seadanya. Tangannya penuh darah, wajahnya basah oleh air mata dan keringat, tapi ia berhasil menjaga nyawa pria asing itu—setidaknya untuk malam ini.

Saat ia menatap wajahnya lebih dekat, Aruna hampir terkejut. Pria itu tampan, meski pucat dan lemah. Garis rahangnya tegas, hidungnya mancung, bibirnya terkatup rapat dalam kesakitan. Ada aura yang sulit dijelaskan darinya—bukan aura orang biasa. Meski sekarat, ada wibawa yang tidak bisa ditutupi.

Aruna merasakan getaran aneh di dadanya. Siapa pria ini? Mengapa bisa terluka parah di tengah hujan malam?

Pertanyaan itu masih menggantung ketika tiba-tiba, suara berisik terdengar dari luar. Suara langkah kaki banyak orang, cepat, teratur, seperti sedang mengejar sesuatu. Aruna panik. Ia segera mematikan semua lampu kafe, menyisakan hanya satu lampu kecil di dapur. Ia mendekat ke pria itu, berbisik tergesa.

“Jangan bersuara… tolong.”

Mata pria itu sedikit terbuka, menatapnya. Tatapan itu tajam, meski lemah. Seolah sedang menilai siapa sebenarnya gadis yang baru saja menolongnya. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya mengedipkan mata pelan.

Langkah-langkah itu semakin dekat. Aruna menahan napas, berdiri di balik pintu. Dari celah tirai, ia melihat beberapa pria berpakaian hitam lengkap, wajah keras, sebagian membawa senjata. Mereka terlihat mencari sesuatu—atau seseorang.

Salah satu dari mereka berhenti tepat di depan pintu kafe. Aruna bisa merasakan detak jantungnya di telinga. Jika mereka masuk, semuanya akan berakhir. Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati.

Namun ajaibnya, setelah beberapa saat, pria-pria itu melanjutkan pencarian mereka ke arah lain. Langkah mereka menjauh, meninggalkan kafe. Aruna akhirnya bisa bernapas lega. Lututnya lemas, ia bersandar di pintu, hampir jatuh.

Ketika ia menoleh, ia mendapati pria asing itu menatapnya. Tatapannya penuh makna, seolah berkata bahwa ia tahu Aruna baru saja menyelamatkan nyawanya—dua kali.

“Siapa kau?” suara serak itu akhirnya terdengar. Dalam bahasa yang sedikit asing di telinga Aruna, namun jelas.

Aruna terdiam sejenak. “Aku… hanya orang biasa. Karyawan kafe. Jangan bicara dulu, kau butuh istirahat.”

Pria itu tersenyum samar, meski jelas menahan sakit. “Tidak banyak orang… berani… menyentuhku, apalagi menolong.”

Aruna tidak mengerti maksud kalimat itu. Baginya, ia hanya melakukan apa yang benar. Namun dalam hati, ia merasa firasatnya benar—pria ini bukan orang sembarangan.

“Aku tidak peduli siapa kau. Malam ini, kau hanya pasienku. Dan aku akan memastikan kau tetap hidup,” jawab Aruna, mencoba terdengar tegas.

Pria itu kembali menatapnya, dalam, tajam, penuh misteri. Ada sesuatu di matanya—kegelapan, sekaligus kilatan obsesi. Aruna tidak tahu bahwa tatapan itulah awal dari sebuah ikatan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Di luar, hujan masih turun deras. Namun di dalam kafe kecil itu, dua jiwa baru saja bertemu—seorang gadis biasa, dan seorang raja mafia yang terluka. Pertemuan takdir yang akan menyalakan api cinta, obsesi, dan tragedi di masa depan.

To be continued ☺️

Pria yang Berbahaya

Malam itu masih menyisakan ketegangan. Aruna duduk di kursi kayu dekat sofa, matanya tak lepas dari tubuh pria asing yang baru saja ia selamatkan. Ia sudah menutup semua tirai, mematikan hampir seluruh lampu, dan hanya menyisakan satu bohlam redup di pojok dapur. Suasana remang membuat ruangan terasa semakin sempit, semakin penuh rahasia.

Pria itu terbaring dengan napas berat, kemejanya sudah terlepas, memperlihatkan luka tembak yang sudah ia balut seadanya. Sekilas, Aruna kembali memandangi tubuh bidang penuh bekas luka lama. Bukan hanya dua luka baru itu—bekas sayatan, lebam, dan bahkan bekas luka bakar samar-samar tampak di kulitnya. Semua itu menceritakan bahwa pria ini terbiasa hidup dalam bahaya.

Aruna menggenggam tangannya sendiri, berusaha menenangkan diri.

“Aruna… apa yang sudah kau lakukan?” gumamnya lirih. Menyelamatkan seseorang adalah hal benar, tapi menyembunyikan pria yang jelas sedang diburu orang bersenjata—itu bukan keputusan ringan.

Ia menoleh lagi. Pria itu masih sadar, meski lemah. Tatapannya tajam, penuh selidik. Seakan setiap gerak-gerik Aruna sedang dianalisis.

“Kenapa… kau menolongku?” suaranya serak, berat, tapi tegas.

Aruna menghela napas. “Aku tidak bisa membiarkan seseorang mati di depan mataku. Itu saja.”

Sudut bibir pria itu melengkung tipis, entah berupa senyum atau sekadar refleks menahan sakit. “Kau bodoh… menolong orang yang bahkan tidak kau kenal.”

“Kalau begitu aku memang bodoh,” balas Aruna cepat. “Tapi lebih baik jadi bodoh daripada membiarkan orang mati sia-sia.”

Hening sejenak. Pria itu menatapnya lebih lama, hingga Aruna merasa dadanya sesak. Ada sesuatu di tatapan itu—bukan sekadar rasa sakit, tapi juga kekuatan yang berbahaya. Seolah pria ini bisa membaca isi pikirannya hanya dengan menatap.

“Namamu siapa?” tanyanya akhirnya.

Aruna sempat ragu. Instingnya berkata untuk tidak memberitahu identitas pada orang misterius seperti ini. Namun entah kenapa, mulutnya tetap menjawab, “Aruna.”

“Aruna…” pria itu mengulang perlahan, seolah mencicipi bunyi namanya. “Indah.”

Pipi Aruna memanas. Ia buru-buru berdiri, mengambil gelas untuk menutup kegugupannya. “Kau perlu minum. Jangan banyak bicara dulu.”

Ia menuangkan air ke gelas, lalu menyodorkannya. Tangan pria itu gemetar saat menerima. Refleks, Aruna menopang tangannya agar tidak tumpah. Sentuhan singkat itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia berusaha mengabaikan.

Setelah meneguk sedikit, pria itu bersandar kembali. Napasnya mulai lebih stabil.

“Aku Leonardo Valente,” ucapnya tiba-tiba.

Aruna menoleh, terkejut. Nama itu terdengar asing, namun cara pria itu mengatakannya—penuh wibawa, seakan setiap huruf punya bobot—membuatnya merinding.

“Aku… tidak tahu siapa kau,” jawab Aruna jujur.

Leonardo mengangkat alis, lalu tersenyum samar, kali ini jelas sebuah senyum—dingin, namun memikat. “Bagus. Tetap begitu. Semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman hidupmu.”

Kata-kata itu menegaskan firasat Aruna: pria ini bukan orang biasa. Luka tembak, kejaran pria bersenjata, aura berbahaya—semua itu hanya bisa dimiliki orang yang hidup di dunia kelam.

Aruna menelan ludah. “Kau… terlibat masalah besar, kan?”

“Masalahku bukan urusanmu.” Nada suaranya keras, tajam, membuat Aruna terdiam. Tapi beberapa detik kemudian, ekspresinya melunak sedikit. “Dan aku tidak ingin menyeretmu.”

Aruna menggigit bibir. Logikanya berkata untuk segera mengusir pria ini, menelpon polisi, atau minimal menjauhkan diri. Namun hatinya—entah kenapa—tidak tega. Ia sudah melihat luka-lukanya, sudah mendengar napas beratnya, sudah menahan darahnya dengan tangan sendiri. Ada ikatan aneh yang terbentuk, meski baru beberapa jam.

“Kalau begitu, istirahatlah malam ini di sini. Besok kau bisa pergi,” katanya akhirnya.

Leonardo menatapnya lama. “Kau tidak takut aku bisa saja berbalik melukaimu?”

Aruna mencoba tersenyum, meski gugup. “Kalau kau ingin melukaiku, kau tidak akan membiarkan aku menyelamatkanmu tadi.”

Tatapan Leonardo berubah. Ada kekaguman samar, atau mungkin keterkejutan. Ia menutup mata, menghela napas panjang. “Kau wanita aneh, Aruna.”

---

Malam berlalu perlahan. Aruna tidak bisa tidur. Ia duduk bersandar di kursi, memperhatikan hujan yang terus turun. Sesekali matanya melirik Leonardo yang akhirnya tertidur pulas, meski wajahnya tetap menegang.

Di balik rasa takutnya, ada rasa penasaran yang tumbuh. Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa ia bisa tergeletak sekarat di depan kafe? Siapa orang-orang bersenjata tadi?

Dan mengapa tatapan matanya begitu menghantui?

Aruna memeluk lututnya, menatap kosong ke luar jendela. Ia tidak tahu bahwa keputusannya malam ini—menolong pria asing bernama Leonardo Valente—akan menyeretnya ke dalam dunia yang penuh darah, rahasia, dan obsesi.

Pria itu bukan sekadar berbahaya. Ia adalah bahaya itu sendiri.

Tatapan pertama

Pagi datang perlahan. Matahari masih malu-malu di balik awan sisa hujan semalam. Jalanan basah berkilau, aroma tanah bercampur dengan kopi yang baru diseduh memenuhi udara. Di dalam Warm Beans, Aruna berdiri di belakang meja dapur, menatap ke arah sofa tempat pria asing itu—Leonardo Valente—terbaring.

Ia belum pergi.

Semalam, Aruna berharap ketika bangun, pria itu sudah menghilang seperti bayangan gelap. Namun ternyata, saat ia membuka mata, Leonardo masih ada di sana. Duduk tegak meski luka-lukanya jelas masih nyeri. Kemeja putihnya berlumuran darah kering, wajahnya pucat, tapi matanya… matanya tetap tajam, seolah tidak pernah tidur.

“Pagi,” ucapnya singkat, nada suaranya rendah dan berat.

Aruna mengangguk gugup. “Pagi. Kau… bagaimana perasaanmu?”

“Masih hidup. Itu cukup,” jawabnya datar.

Aruna terdiam. Ia sudah menyiapkan bubur hangat dan segelas air putih, lalu membawanya ke meja kecil dekat sofa. “Kau harus makan sesuatu. Kalau tidak, tubuhmu tidak akan kuat.”

Leonardo menatapnya sejenak, tatapan penuh evaluasi. Seolah sedang memutuskan apakah ia bisa mempercayai gadis ini atau tidak. Namun akhirnya ia mengambil sendok dan mulai makan perlahan.

Aruna memperhatikan diam-diam. Cara Leonardo duduk, cara ia memegang sendok, bahkan cara ia mengunyah—semuanya elegan dan terkendali. Bukan seperti preman jalanan yang biasanya ia lihat di film-film. Justru ada aura bangsawan gelap darinya, sesuatu yang membuat Aruna merasa kecil sekaligus… tertarik.

“Kau tidak bertanya siapa aku sebenarnya?” tiba-tiba Leonardo membuka percakapan, matanya menatap lurus ke arah Aruna.

Aruna tersentak. “Aku… sudah bilang semalam. Aku tidak peduli siapa kau. Aku hanya menolong karena kau butuh bantuan.”

Leonardo menyandarkan tubuhnya, sebuah senyum samar muncul. “Kau benar-benar aneh. Orang lain akan ketakutan, melapor polisi, atau kabur. Tapi kau? Kau menyambut bahaya masuk ke dalam kafe.”

Aruna menggenggam jemari tangannya sendiri, menunduk. “Kalau memang bahaya itu datang padaku, aku akan menghadapinya nanti. Aku tidak bisa menutup mata saat seseorang berdarah di depanku.”

Diam. Tatapan itu kembali hadir—tajam, menusuk, seolah menelanjangi jiwa. Leonardo menatap Aruna begitu lama, hingga gadis itu merasa darahnya mengalir lebih cepat. Ada sesuatu di tatapan itu… sesuatu yang membuatnya tidak bisa berpaling.

“Aruna,” ucapnya pelan, suaranya lebih lembut kali ini. “Kau punya mata yang jujur. Aku bisa melihatnya. Itu berbahaya.”

Aruna mengerutkan kening. “Berbahaya? Kenapa?”

“Karena orang seperti aku bisa terjerat hanya dengan menatapnya terlalu lama.”

Detik itu, jantung Aruna berdetak begitu keras. Wajahnya memanas, tangannya refleks menyibukkan diri dengan kain lap agar tidak terlihat canggung. Ia tidak tahu apakah pria itu serius atau hanya bermain-main, tapi kata-katanya menusuk langsung ke dalam hati.

Sementara Leonardo masih menatapnya, matanya yang kelam namun penuh daya tarik seakan menyimpan sesuatu yang tak bisa diucapkan. Ada obsesi kecil yang baru saja lahir di sana—obsesi yang Aruna sama sekali belum menyadari.

---

Siang menjelang. Beberapa pelanggan mulai berdatangan ke kafe. Aruna berusaha bekerja seperti biasa, menyajikan kopi dan roti dengan senyum ramah. Namun pikirannya terus kembali pada pria yang bersembunyi di ruang belakang.

Sesekali, Leonardo keluar sebentar, berdiri di pojok ruangan sambil memperhatikan. Dengan tubuh tinggi tegap, balutan jas hitam yang entah dari mana ia dapatkan, dan sorot mata penuh kuasa, ia langsung menarik perhatian siapa pun yang melihat. Beberapa pelanggan wanita bahkan berbisik-bisik, memandanginya dengan rasa kagum sekaligus takut.

Aruna merasa dadanya sesak. Ia tidak tahu kenapa tatapan pria itu selalu kembali kepadanya. Di tengah banyak orang, mata Leonardo selalu menemukan dirinya. Dan setiap kali itu terjadi, Aruna merasa seperti sedang ditarik ke dalam jurang gelap yang menakutkan… namun entah kenapa ia tidak ingin melepaskan.

---

Sore hari, kafe kembali sepi. Aruna sedang merapikan meja ketika suara berat itu terdengar lagi.

“Terima kasih,” kata Leonardo singkat.

Aruna berhenti, menoleh. “Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Menyelamatkanku. Memberiku tempat. Bahkan makanan.”

Aruna mengangkat bahu. “Itu hal yang wajar. Aku hanya manusia biasa, bukan pahlawan.”

Leonardo mendekat, langkahnya tenang tapi penuh wibawa. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Aruna. Tatapannya menurun, meneliti wajahnya seolah mencoba mengukirnya dalam ingatan.

“Kau berbeda, Aruna.” Suaranya rendah, namun penuh keyakinan. “Dan aku tidak terbiasa berutang budi pada siapa pun.”

Aruna menelan ludah, jantungnya berpacu liar. Ia bisa merasakan hawa hangat tubuh pria itu begitu dekat.

“Kalau begitu… jangan pikirkan lagi. Aku tidak menolongmu untuk dibalas.”

Leonardo tersenyum samar. Senyum itu tidak ramah, namun juga tidak dingin. Lebih seperti senyum seseorang yang baru saja menemukan mainan langka.

“Itu justru membuatku semakin ingin membalasnya.”

Aruna menunduk, tidak mampu menatap balik. Ia tahu… pria ini berbahaya. Bukan hanya karena luka tembak, atau pria bersenjata yang mengejarnya. Tapi karena setiap tatapan matanya mampu membuat dinding pertahanan hatinya runtuh sedikit demi sedikit.

Untuk pertama kalinya, Aruna benar-benar menyadari:

Leonardo Valente bukan sekadar pria asing yang ia tolong. Ia adalah badai yang siap mengguncang hidupnya.

Dan tatapan pertamanya… sudah mulai mengikat jiwa Aruna tanpa ia sadari.

To be continued ☺️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!