NovelToon NovelToon

Sang Penakluk Hati

Erina

Brak

Suara pintu kamar Erina menggema seisi rumah. Bagaimana tidak? Erina membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia emosi karena Ayahnya meminta dirinya pulang dengan alasan Oma dan Opanya sakit. Nyatanya itu hanya alasan Ayahnya agar Erina pulang dan mau dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan Ayahnya. Untungnya Oma dan Opa tidak sedang di rumah. Mereka menginap di rumah tua orang tuanya.

Dengan kesal Erina menjatuhkan dirinya di tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya. Pasalnya demi bisa pulang je Indonesia, Erina sudah membatalkan kontrak dengan salah satu pemilik produk. Padahal hal tersebut adalah impiannya sejak dulu. Ia melakukan hal tersebut karena khawatir dengan keadaan Oma dan Opanya. Namun kenyataannya ia malah dibohongi oleh orang tuanya sendiri.

Saat sang Bunda ingin membujuknya, sang Ayah melarangnya.

"Bun, biarkan dulu dia sendiri. "

"Ini gara-gara Ayah. Bunda tidak pernah setuju dengan ide Ayah ini."

"Tapi ini Ayah lakukan demi kebaikan Erina, Bun."

"Tapi lihat hasilnya. Erina justru semakin menutup diri. Pasti dia sangat kesal saat ini."

Ayah dan bunda Erina pun masuk ke dalam kamar. Mereka membicarakan rencana selanjutnya.

Sedangkan di dalam kamarnya, Erina meluapkan kekesalannya dengan menumpahkan air matanya. Sarung bantalnya pun basah karena tangisannya.

Sampei sore hari, Erina tidak keluar dari kamarnya. Ia bahkan tidak makan siang. Bunda meminta kepada Erika untuk membujuk adiknya.

"Baiklah aku akan coba membujuknya, bun."

"Iya cepat bujuk adikmu. Bilang ayah sudah pingin cucu lagi." Sahut Ayah Fadil.

"Astaghfirullah, ayah. Udah tahu anaknya ngambek masih saja ngaco."

Ayah Fadil hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sadar bahwa sebenarnya dirinya sudah salah. Erina putri bungsunya itu memiliki watak yang kurang lebih sama dengannya. Anak itu terlalu aktif sehingga tidak perduli dengan kehidupan pribadinya. Kepribadiannya hampir sama dengan Erik kakak keduanya. Selain aktif dan sedikit bar-bar, Erina adalah tipe perempuan yang susah untuk jatuh cinta. Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun, Erina masih saja setia menyendiri. Sudah tiga tahun Erina bekerja di salah satu perusahaan kosmetik di Paris. Dulu ia sempat kuliah S2 di sana, lalu melanjutkan bekerja di sana. Ketekunannya dalam bekerja sehingga membuatnya tidak memikirkan masalah asmara. Selama beberapa tahun ini bahkan ia terpantau tidak pernah berhubungan dengan seorang laki-laki. Meski sebenarnya memang Ayahnya melarang untuk berpacaran, namun ayah tidak melarangnya untuk dekat dengan seorang laki-laki asal ia bisa menjaga marwahnya. Mereka, sudah mencoba beberapa kali menjodohkan Erina dengan anak sahabat bahkan kerabat, namun tetap saja Erina punya banyak cara untuk menolak dan menghindarinya. Kali ini orangtuanya berharap Erina akan luluh.

Erika berjalan menuju kamar Erina.

Tok tok tok

"Dek... adek.... buka dong! Ini mbak."

Sedangkan Erika tertidur setelah capek seharian menangis. Ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk menggagalkan rencana sang ayah.

"Tidur kali ya." Lirih Erika.

Erika pun kembali menemui orang tuanya.

"Tidak ada pergerakan, yah. Kayaknya tidur. Atau pura-pura nggak dengar. Nanti kalau lapar pasti keluar kamar, yah. Dia kan nggak tahan lapar."

"Hem, ya sudah."

Malam pun tiba.

Erina baru saja bangun satu jam yang lalu. Ia memang tidak bisa shalat karena sedang datang bulan. Ia berasa perutnya sudah sangat lapar. Namun ia gengsi untuk keluar dari kamar. Akhirnya Erina menelpon bibi'.

"Hallo, bi'."

"Eh iya, non. Ada apa?"

"Bi' boleh minta tolong ya?"

"Iya, apa non?"

"Tolong bawakan makanan ke kamarku. Laper banget, bi'."

"Non, ndak mau makan malam bareng?"

"Nggak bi', em... itu lagi nggak enak badan."

"Oh iya, baik non."

Bi' Mina pun akhirnya menyendokan nasi dan lauk ke piring.

"Maaf bu, Pak, ini non Erina minta dibawakan nasi ke kamarnya."

"Oh, iya mbak." Jawab Bunda.

Bunda pun melirik ayah. Ayah hanya bisa mengedikkan bahu.

Mereka melanjutkan makan malam bersama.

Setelah makan malam selesai, mereka membahas soal rencana membujuk Erina. Akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Erina sampai besok pagi.

"Mungkin besok adikmu dapat hidayah." Ujar Ayah kepada Erika.

"Memangnya anak kita sedang tersesat, yah."

"Ya kali aja nanti malam dia mimpi dapat petunjuk lalu besok dia Jawa iya, bun."

"Huh... ayah ini. Dari tadi diajak serius kok."

"Lho, ayah dua rius kok, bun."

Bunda hanya bisa geleng-geleng kepala.

Sementara Oma dan Opa sedang menikmati ketenangannya di rumah tua. Mereka tidak ingin ikut campur masalah cucu mereka. Erina adalah cucu kesayangan mereka karena memang Erina dari kecil tinggal bersama mereka di rumah itu. Opa tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada Erina. Dan mungkin Opa juga tidak terlalu setuju dengan pilihan ayah. Jadi kali ini Opa memilih untuk diam.

Keesokan harinya.

Erina bangun jam 7 pagi. Sebenarnya jam 5 dia sudah bangun. Namun karena tidak bisa shalat, ia tidur kembali. Ia pun beranjak dari tempat tidurnya. Ia bercermin memperhatikan dirinya sendiri. Matanya terlihat bengkak karena terlalu lama menangis.

"Oh come on, Erina. Masa cuma gara-gara ini kamu menangis. Sudahlah, anggap saja ini ujianmu. Yah meskipun kamu harus kehilangan mimpi besarmu, tapi kamu harus tetap semangat kembali lagi ke Paris." Lirihnya.

Ia pun masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia memakai body lotion, skincare dan menyisir rambutnya.

"Sebenarnya laki-laki seperti apa yang kamu inginkan?Usiamu sudah 25 tahun. Apa yang sebenarnya ingin kamu capai? " Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas dalam pikirannya.

Usia 25 tahun bagi orang luar negeri masih dini untuk menikah. Orang-orang di sekitar Erina kebanyakan menikah di usia 30 tahun ke atas. Tapi itu di luar negeri. Sedangkan keluarga Erina adalah orang Indonesia. Usia 25 tahun bagi seorang perempuan itu sudah sangat matang untuk berumahtangga.

Erina mengacak-acak rambut yang baru selesai disisir.

"Ya Allah... apa aku iya kan saja permintaan mereka? Ish... tapi nanti kalau laki-lakinya mokondo gimana? Tidak-tidak.... aku harus mendapatkan pilihanku sendiri."

tok tok tok

"Dek... adek.... "

Suara Erika mengagetkan Erina. Ia menghela nafas panjang.

Tok tok tok

"Dek.... buka dong!"

Erina pun akhirnya membukakan pintu.

Ceklek

"Alhamdulillah, akhirnya dibuka juga." Batin Erika.

"Boleh mbak masuk, dek?"

"Hem... "

Erika pun masuk ke dalam kamar itu. Ia menutup pintunya kembali.

Erina duduk lagi di depan meja rias. Ia menyisir kembali rambutnya lalu mengikat rambutnya sembarang.

"Dek, mbak kangen loh. Dari kemarin kamu nggak keluar kamar."

"Jangan basa-basi, mbak. Bilang saja mbak disuruh ayah."

Erika menelan salivanya sendiri. Ia jadi takut untuk berbicara lagi kepada adiknya.

Bersambung....

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Keputusan Erina

Erika mengajak adiknya untuk sarapan bersama.

"Kasihan bunda, dek. Berbulan-bulan bunda pingin ketemu kamu. Eh pas datang kamu nya nggak mau keluar kamar. Dek, bunda itu sering sakit-sakitan lho. Tapi bunda nggak pernah bilang. Kamu kan tahu sendiri, bunda punya riwayat penyakit."

Erina baru sadar jika sang bunda memang memiliki riwayat asam lambung. Bahkan pernah sang bunda dirawat secara intensif selama satu bulan. Dulu juga saat hamil Erina sang bunda hampir saja merenggang nyawa. Sang bunda koma selama satu minggu karena asam lambungnya kumat, hipertensi dan pendarahan. Bahkan saat itu Erika kecil harus tinggal bersama Abi Fatan saudaranya Ayah Fadil karena ia masih butuh ASI. Dan saat itu Ummi Nisa, istri Abi Fatan yang meng ASI-hi Erika.

Terlepas dari sikap Erina yang tidak bisa diatur, sebenarnya ia sangat sayang kepada keluarganya. Ia juga taat beribadah meski kadang telat. Karena perbedaan waktu di Paris dan di Indonesia, serta minimnya masjid di sana. Sehingga Erina jarang mendengar suara adzan. Ia mengandalkan handphone-nya untuk mengetahui waktu shalat.Ia hanya tidak suka jika orang tua atau keluarganya menjodohkan dan memaksanya untuk segera menikah. Karena baginya menikah itu seumur hidup sekali. Ia harus benar-benar menemukan seseorang yang mampu membuat dirinya jatuh cinta dan ingin menghabiskan hidup dengannya.

Akhirnya setelah mendapat rayuan maut dari sang kakak, Erina pun mau keluar dari kamar untuk sarapan bersama keluarganya. Di meja makan sudah ada Ayah, Bunda, suami Erina dan kedua anaknya. Oma dan Opa tidak nampak, karena mereka belum kembali dari rumah tua. Ayah dan Bunda cukup merasa lega melihat Erina mau keluar dari kamar dan ikut makan bersama.

"Dek, ini bunda masak kesukaan adek. Ayo ditambah lauknya." Bunda pun mengeser piring laut tersebut dengan penuh semangat.

Erina tidak ingin mematahkan hati bundanya. Ia pun menambahkan lauk tersebut ke piringnya seraya mengucapkan terimakasih kasih. Sang bunda pun membalasnya dengan senyuman. Bunda Kamelia dari dulu memang pendiam dan penyabar. Berbanding terbalik dengan Ayah Fadil yang tengil dan humoris. Keempat anaknya pun memiliki watak yang berbeda. Eril menuruni watak sang bunda. Sedangkan Erik menurun watak sang ayah. Erika perpaduan ayah dan bunda. Sedangkan memang Erina beda sendiri. Ia perpaduan antara ayah dan Opa.

Mereja baru saja selesai sarapan. Erina pamit kembali ke kamar. Kali ini ia memang lebih sedikit bicara. Erika mengantarkan kedua anak dan suaminya ke depan. Sedangkan Ayah dan Bunda duduk di ruang tengah.

Opa mengetahui keadaan rumah dari Bi'Mina. Opa pun langsung menghubungi Ayah.

"Fadil, jangan lanjutkan rencanamu. Biarkan Erina menentukan jalan hidupnya sendiri. Kamu cukup mendukung dan mendo'akannya. Kamu tidak mau dia berontak lagi kan? Mulai dari sekarang, jangan paksa dia. Nanti juga dia akan sadar kalau apa yang keluarganya inginkan adalah yang terbaik intinya. Ia akan merasa kehilangan saat keluarganya tidak lagi mengaturnya. Yakin akan perkataan abi!"

"Tapi nanti kalau dia jadi perawan tua gimana bi?"

"Astaghfirullah, Fadil! Jodohnya sudah diatur oleh Allah. Mending jadi perawan tua tapi hidupnya bahagia daripada menikah cepat tapi ujung-ujungnya cerai. Kamu ini sudah tua juga masih saja dangkal pikirannya." Tegas Opa.

"Nah kan, Fadil yang kena. "

"Uhuk uhuk.... Fadil, turuti apa kata abi!"

"Iya, iya bi. Fadil mengerti. Abi tenang saja."

Akhirnya Opa menutup telponnya.

Setelah mendapat wejangan dari orang tuanya, Ayah pun membuat keputusan kembali dengan Bunda. Sekarang Ayah ingin mengalah dan menuruti kemauan Erina. Mungkin dengan itu, Erina bisa berpikir dan menyadari keputusannya.

"Bunda saja yang bilang. Bunda kan perempuan. Anak itu nggak bisa dikerasi."

"Iya, yah."

Bunda pun memutuskan untuk pergi ke kamar Erina. Dengan perasaan yang tidak menentu bunda mengetuk kamarnya.

Tok tok tok

"Siapa?"

"Ini bunda, dek."

Erina membuka kunci pintu kamarnya.

"Masuk bunda."

Bunda pun masuk ke dalam kamar Erina. Kamar Erina memang jarang disentuh. Kamar itu hanya akan dibersihkan seminggu sekali sesuai permintaannya.

"Ada apa, bun?" Tanya Erina. Meski sebenarnya dalam hatinya menebak-nebak apa yang akan bundanya sampaikan.

"Dek, maaf kami sudah merepotkan mu. Kami juga mungkin sudah membuatmu kesulitan. Mulai saat ini kami tidak akan memaksamu lagi, terutama Ayahmu. Kami sudah ikhlas menunggu kabar baik darimu. Urusan dengan orang yang bersangkutan, biar Ayahmu yang menyelesaikan."

Mendengar ucapan sang bunda ada rasa bersalah dalam hati Erina. Namun ia cukup lega dengan hal itu.

"Dek, kamu dengar apa kata bunda?"

"Eh iya, bun. Aku dengar kok."

"Kamu senang kan, dek?"

"Hem, iya bun. Terima kasih sudah ngertiin Erina."

"Tapi ada satu permintaan Ayah."

Mendengar ada syaratnya, Erina kembali bergumam di dalam hati. Namun ia berpikir tidak ada salahnya ia mendengarkan syarat tersebut.

"Dek...."

Erina tersentak dari lamunannya.

"Eh iya. Apa syaratnya itu bun?"

"Ayah minta kamu lanjutkan karirmu di sini saja. Jangan kembali ke Paris."

Sudah dapat di tebak syarat tersebut dalam pikiran Erina. Ia pun meminta waktu kepada sang Bunda untuk memikirkannya.

Keesokan harinya.

Semalam Erina sudah memikirkannya. Ia juga sudah mendapatkan jawaban untuk orang tuanya. Kebetulan pagi ini Oma dan Opa kembali ke rumah. Ayah sedang menjemput mereka.

Setelah mereka sampai di rumah, Erina langsung memeluk dan mencium mereka.

"Oma, Opa, Erina kangen."

"Bohong, kangen kok baru pulang. Satu tahun kamu tidak pulang." Ujar Oma.

"Hehe... ya kan kontrak kerjanya gitu, Oma."

"Erina, apa kamu sudah membuat keputusan?" Tanya sang Ayah.

"Hem, iya." Jawab Erina sambil menganggukkan kepala.

Akhirnya mereka duduk bersama di ruang keluarga. Ada Ayah, Bunda, Oma, Opa dan Erina.

Sebelumnya Erina meminta maaf kepada semua orang. Setelah itu ia memberikan jawaban atas keputusannya.

"Erina akan menuruti permintaan Ayah untuk melanjutkan karir di Indonesia. Tapi tidak harus di sini gak pa-pa, kan? Misal di Jakarta gitu."

"Iya, tidak apa-apa. Asal jangan di luar negeri." Sahut Ayah.

"Dan, Erina minta izin untuk kembali ke Paris dulu menuntaskan kontrak yang ada. Mungkin hanya satu bulan. Apa Ayah mengizinkannya?"

"Iya, satu bulan saja kan?"

"Iya, yah."

"Alhamdulillah... semuanya sudah clear ya?" sahut Opa.

"Iya Opa."

"Iya, bi."

Ayah Fadil pun memeluk putrinya.

"Semoga tidak lama lagi Allah pertemukan kamu dengan seseorang yang bisa membuat hatimu luluh, nak." Do'a Ayah dalam hati seraya mengecup puncak kapala Erina.

Akhirnya mereka pun sarapan bersama di meja makan. Erina merasa lega karena ia sudah membereskan masalahnya.

"Bismillah, jadi lebih baik ke depannya. Maafkan Erina, belum bisa bahagiakan kalian dengan sebuah pernikahan. Tapi Erina janji, suatu saat nanti jika ada laki-laki yang benar-benar mencintai Erina, akan Erina terima dengan senang hati."

Bersambung...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Laki-laki di samping Erina

Dua hari kemudian

Erina diantar Ayah dan bunda je bandara Juanda untuk berangkat ke Paris. Ia akan naik pesawat jam 2 siang ini. Erina sengaja memilih kelas ekonomi agar lebih irit. Ia tidak memanfaatkan uang orang tuanya untuk kembali ke Paris. Semuanya ia tanggung sendiri. Meski ia sangat mampu untuk naik pesawat yang kelas bisnis dengan uangnya sendiri, namun ia lebih suka naik yang kelas ekonomi. Saat ini mereka sudah sampai di bandara Juanda. Erina segera pamit kepada orang tuanya untuk cek in.

"Hati-hati, dek. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai." Ucap sang bunda, seraya memeluk Erina.

"Iya, bunda. Jangan khawatir. Erina berangkat dulu ya."

Erina mencium punggung kedua orang tuanya.

"Iya, sayang."

"Dah Ayah, dah bunda.... "

Mereka pun saling melambaikan tangan.

Masih terasa berat bagi kedua orang tuanya untuk melepaskannya meski hanya satu bulan. Namun Ayah Fadil meyakinkan sang istri kalau putrinya itu akan baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian setelah cek in, Erina naik ke dalam pesawat. Pesawat itu nanti akan transit di Jakarta.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, pesawat mendarat di bandara, Soekarno Hatta. Dan mungkin nanti akan terbang kembali 2 jam kemudian. Mengingat waktu sudah sore, Erina pun pergi ke musholla untuk shalat Ashar.

Setelah itu, ia mencari sesuatu yang dapat ia makan. Erina memutuskan untuk membeli roti dan es coffe. Ia pun duduk di salah satu kursi sambil menunggu pesawat. Sambil makan, Erina asik men-scrol handphone nya. Ia membuka galery album foto nya. Dadanya kembali sesak saat melihat sebuah foto.

"Ah, kenapa aku masih menyimpan foto ini. Melihatmu hanya menambah kesedihanku. Maaf, Nin. Kamu sudah tenang di sana. Semoga Allah mengampuni dosamu."

Erina pun menghapusnya setelah sekian tahun menyimpannya. Foto tersebut adalah foto sahabatnya yang telah meninggal. Ternyata Erina trauma kepada laki-laki. Erina trauma dengan laki-laki bukan karena ia pernah sakit hati. Namun salah seorang sahabatnya yang bernama Nina saat kuliah semester 1 meninggal karena bunuh diri. Saat itu memang gaya pacaran Nina terlalu bebas, sehingga menyebabkan dirinya hamil di luar nikah. Namun saat meminta pertanggungjawaban pacarnya, justru pacarnya menuduh Nina berhubungan dengan orang lain. Betapa hancur hati Nina. Ia tidak kuat menahan malu. Saat itu hidupnya sudah kacau. Ingin mempertahankan anak tapi akan berpengaruh pada kuliahnya. Ingin menggugurkannya tapi ia takut menambah dosa. Suatu ketika, Nina sudah tidak tahan dengan gunjingan orang sekitar yang mengetahui keadaannya. Nina pun bunuh diri kost-annya. Hal tersebut membuat sering sangat terpukul. Sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Ia sangat benci saat benci jika bertemu dengan mantan pacar Nina yang tidak bertanggung jawab itu.

Erina tersadar dari lamunannya karena mendengar panggilan pesawatnya akan berangkat. Erina pun segera naik kembali ke dalam pesawat. Kali ini orang yang duduk di sampingnya berbeda dengan yang sebelumnya. Ia duduk dengan seorang laki-laki yang ia tafsir usianya tidak jauh dengannya. Namun tubuhnya yang tinggi membuatnya terlihat lebih tua daripada usianya. Laki-laki tersebut bersandar di kursi dan menutup wajahnya dengan topi. Dengan ragu-ragu, Erina pun lewat di depannya.

"Maaf, permisi." Ujar Erina.

"Hem... " Jawabnya sambil menyamping kan kakinya.

Erina memiringkan badannya untuk masuk ke posisi kursinya yang berada di dekat jendela. Sedangkan laki-laki tersebut pas di samping kursinya.Erina pun duduk di kursinya. Mengingat perjalanannya akan lebih lama, Erina pun mengambil buku novel dari dalam tasnya. Ia berniat ingin membaca novel untuk menghindari rasa bosan dan mengurangi tidurnya.

Pesawat mulai lepas landas. Erina dengan santai membaca novel yang berjudul "Ketegaran Hati Raisya." Saking mendalami cerita dalam novel tersebut, Erina ikut emosi. Ia juga berkali-kali ngomong sendiri karena begitu kesalnya kepada pemeran laki-lakinya yang bernama Firman. Ia tidak sadar jika tingkahnya itu membuat laki-laki di sebelahnya merasa terganggu. Dari balik topinya, ia melirik wanita di sampingnya yang dari tadi ngomel sendiri.Namun ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah Erina karena Erina memakai hijab pasmina dengan model layer. Sehingga layernya menutupi pipi sebelah kanannya.

"Dasar wanita. Di mana-mana bikin ribet." Batinnya.

Setelah sekitar satu jam lebih Erina membaca novel, akhirnya ia pun merasa ngantuk. Erina bersandar di kursinya lalu tertidur begitu saja. Bahkan tanpa sadar, kepala Erina menyender pada lengan kiri laki-laki di sampingnya. Laki-laki tersebut kebetulan juga sudah tertidur. Namun beberapa saat kemudian, Laki-laki itu terbangun karena mendengar suara sesuatu yang terjatuh. Ternyata buku novel yang dipegang Erina jatuh. Kepala Erina nampak sangat nyaman bersandar di lengannya. Laki-laki tersebut bingung mau bertindak. Biasanya ia akan langsung menyingkirkan kepala orang yang menyender di bahunya karena merasa tidak nyaman. Namun entah kenapa kali ini hatinya cukup baik untuk tetap membiarkannya. Bahkan dengan rasa penasarannya, ia mencoba untuk mengintip wajah perempuan itu dengan memiringkan wajahnya. Sayangnya yang dapat ia lihat hanya bibir Erina.

"Astaga... " ucapnya tanpa sadar.

Suaranya membuat Erina terbangun. Laki-laki itu pun pura-pura memejamkan mata dan menutup kembali wajahnya dengan topi. Erina mengucek matanya dan menoleh ke samping kanannya.

"Astaghfirullah, dari tadi aku tidur di... " Erina menutup mulutnya dengan tangannya.

"Aduh... malu-maluin saja. Jangan sampai orangnya tahu. Kalau sampai istrinya nih orang tahu, ntar aku dikira pelakor. Ih serem. Maafkan aku ya Allah. Aku tidak sengaja." Batinnya.

Siena mengambil bukunya yang jatuh kemudian ia bersandar miring ke jendela sambil membaca novelnya kembali. Entah sampai part ke berapa yang ia baca, namun saat ini ia hanya bisa menangis karena terhanyut dengan ceritanya.

"Sreg... sreg... " Hidung Erina berair karena menangis.

Laki-laki di sampingnya hanya bisa menggelengkan kepala sambil memberikan tisu kepada Erina. Erina pun mengambil tisu itu tanpa melihat orangnya.

"Terima kasih." Ucapnya.

"Hem."

"Perasaan dari tadi jawabnya cuma Hem doang nih orang. Lagi sariawan apa memang jaga sikap. " Batinnya.

Tidak lama kemudian, pramugari mengantarkan makan malam untuk penumpang.

"Terima kasih." Ucap laki-laki tersebut.

"Sama-sama, kak."

"Yang ini untuk istrinya, kak."

"Bu-bukan... saya bukan istrinya, hehe... " Sahut Erina seraya menerima makanan tersebut.

"Oh bukan ya. Soalnya tadi mbaknya nyenyak banget tidur bersandar di lengan kakaknya. Maaf kalau saya salah."

"Oh tidak.. pramugari ini terlalu jujur. " Batin Erina.

Laki-laki itu pun menoleh pada Erina.

"Ma-maaf... tadi tidak sengaja." Ujar Erina sambil tersenyum kaku namun tak melihat orangnya.

"Ehem... bisakah kalau ngomong itu lihat orangnya." Sergahnya.

Erina pun langsung mendongak.

Bersambung....

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!