NovelToon NovelToon

Suamiku Berubah

Bab 1

''Aduh hujan,'' Clarissa berlari dengan sekuat tenaga. Ia teringat pakaian miliknya yang ia jemur pagi tadi masih berada di luar ruangan.

Tubuh Clarissa sempat terguyur hujan ringan, ia mencoba mengeringkannya dengan menggoyang-goyangkan badan sambil mengusap lengan yang basah agar tak membuat pakaian yang hendak ia ambil menjadi basah kembali.

Setelah berhasil membawa semua pakaian tadi, dia merogoh saku celana. Mencari kunci kos-an yang ia sewa. Kemudian langsung memasuki ruangan, sekejap ia melirik ke luar sebentar. Siapa tahu masih ada barang atau pakaiannya yang tertinggal.

''Huuuh,'' Clarissa menghembuskan nafas panjang. Hari ini lelah sekali rasanya, walau setiap hari memang sudah cukup melelahkan tetapi hari ini juga tetap sangat melelahkan.

Masalah pelanggan di restoran tempat ia bekerja membuatnya ingin sekali mengundurkan diri. Kalau bukan karena butuh uang ia tidak akan bertahan bekerja di sana.

Sudah tiga tahun Clarissa bekerja di empat tempat sekaligus, ia bekerja sangat keras agar bisa membayar biaya operasi Ibunya dan menghidupi dirinya sendiri. Tetapi sampai saat ini dia masih belum bisa mengumpulkan uang untuk operasi Ibunya.

Katanya kerja keras tak akan mengkhianati hasil namun Clarissa merasa kerja kerasnya tak pernah sedikitpun mendatangkan hasil yang nyata untuknya.

Tik...tik...tik...

Suara tetesan air yang terdengar tak jauh sontak membuat Clarissa menjatuhkan pakaian yang berada di genggamannya.

''Huh kenapa hari ini menyebalkan sekali sih!''

Air hujan dari atap jatuh di tempat tidur Clarissa, semuanya basah kuyup. Kini Clarissa bingung harus tidur dengan menggunakan apa.

Tak lupa Clarissa mendorong kasur yang basah menjauhi tempat tetesan air hujan berada, ia mengambil ember dari kamar mandi dan meletakkannya di sana.

Clarissa duduk di pojok ruangan, memeluk lututnya erat-erat, ''andai waktu bisa di putar kembali.'' Ia tak kuasa menahan air matanya.

''Kenapa Ayah melakukan itu empat tahun lalu, Tuhan jahat dan Ayah juga jahat.''

Kehidupan yang bagai surga hilang tanpa sisa. Kehidupan Clarissa yang awalnya selalu menjadi bahan kecemburuan kini menjadi cemoohan.

Empat tahun yang lalu....

''Eh supir ku udah jemput, duluan ya.'' Clarissa melambai pada empat perempuan yang ada di sebelahnya. Walau beberapa buku yang ia bawa sangat berat tetapi tak membuatnya merasa ingin melepaskannya. Ia tersenyum riang di setiap langkahnya menuju mobil berwarna hitam yang pintunya sudah terbuka.

''Iya, hati-hati.'' Salah satu dari mereka mengeraskan suaranya, Clarissa sudah berjalan menjauhi keempat perempuan itu. Clarissa tersenyum sambil mengangguk.

''Tunggu-tunggu, Clarissa jangan lupa malam ini. Harus datang.'' Suara cempreng yang lain ikut terdengar.

''Iya,'' Clarissa menjawab dengan suara yang ia coba kencangkan. Ia kembali melambai sebelum akhirnya memasuki mobil pribadi Ayahnya.

Pintu mobil di tutup oleh lelaki paruh baya yang merupakan sopir kepercayaan keluarga pejabat terkenal itu. Selaku putri dari Ayah yang selalu menjadi panutan orang-orang, Clarissa harus selalu tampil sopan dan elegan walau tindakannya tadi sangat tidak menampilkan hal tersebut. Untungnya kedua orang tuanya tak di sini, bisa-bisa ia diomeli hanya karena berteriak kencang.

''Pak supir, jangan memberitahukan pada Ayah kalau aku berteriak tadi.'' Clarissa memajukan tubuhnya dan berbisik pada orang yang akan mengendarai mobil tersebut.

''Tentu Nona,'' jawab supir tadi sambil tersenyum ramah pada putri satu-satunya dari Bos yang ia layani.

***

Tiba juga Clarissa di tempat yang ia tinggali. Rumah itu serba putih dan sebenarnya tidak bisa di sebut rumah juga, ukuran rumah bergaya eropa itu sangat besar dan megah sehingga pekerja di sana sering menyebutnya istana. Clarissa adalah tuan putrinya.

''Hai semuanya,'' Clarissa menaiki anak tangga yang tak terlihat ujungnya diiringi senyum lebar di bibirnya. Setiap hari selalu menyapa para pekerja rumah.

''Halo Nona,'' tiga perempuan paruh baya menjawab bersamaan sambil tersenyum melihat Clarissa.

Clarissa melanjutkan langkah, ia bersenandung riang. Materi pelajaran di kampus hari ini sangat menyenangkan, ia ingin mencobanya nanti.

Clarissa mempunyai impian untuk membuka restoran miliknya sendiri, sejak kecil ia sering di tinggal di rumah bersama pengasuhnya yang kini sudah tiada. Sering kali sang pengasuh memperlihatkan keahlian memasaknya yang lihai. Clarissa terpesona dan ingin melakukan hal yang sama.

Akhirnya setelah lulus Sekolah Menengah Atas, ia lanjut kuliah dan mengambil jurusan kuliner. Suatu hari nanti ia akan menjadi Chef yang memasak di restorannya sendiri.

Clarissa membuka blazer miliknya setelah sampai di kamar, ia melihat refleksi dirinya sendiri dari cermin dan mengerutkan dahi.

''Sepertinya pipi ku kelihatan agak berisi sekarang,'' Ia menyentuh bagian wajah yang kelihatannya berubah. ''Ya mau bagaimana lagi, semua makanan yang dibuat Chef Anne sangat enak.''

Tok...tok...

Clarissa berbalik dan membuka pintu yang terdengar ketukan tadi. Di balik pintu sudah ada salah satu pelayan yang tadi berada di bawah yang tersenyum lebar. ''Nona paket itu datang lagi.'

Clarissa menghela nafas, ia kesal setiap kali paket yang ia sudah ketahui isinya dan pengirimnya datang.

''Buang saja,'' Clarissa menutup pintu dan kemudian membukanya kembali. ''Tunggu dulu, aku akan melihatnya. Siapa tahu isinya berbeda.''

***

Beberapa pelayan menghentikan aktifitas mereka, penasaran dengan Nona kecil yang tengah duduk memandangi kotak yang terbalut kertas kado kotak-kotak.

''Seleranya sungguh aneh,'' Clarissa berkomentar soal motif kertas kado yang menurutnya tidak aesthetic.

''Dari Tuan Benjamin lagi ya, Nona?'' Pelayan yang tadi mengetuk penasaran dengan Clarissa.

''Iya dan ku tebak isinya masih sama,'' Clarissa membolak-balikan kotak itu sesekali menggoyangkannya lalu kemudian membukanya.

''Tuh kan,'' boneka kecil dengan gaun putih dan rambut coklat itu lagi. Memang cantik dan menggemaskan tetapi Clarissa muak karena Benjamin, teman masa kecilnya itu bukan pertama kalinya mengirim barang yang sama. Dan di sana di juga ada kertas yang berisi tulisan yang sama, mirip dirimu.

''Mungkin Tuan itu suka dengan Nona, saya dengar laki-laki sering menjahili perempuan yang mereka sukai.''

''Mana mungkin, Bibi tahu gak sih Benjamin juga mengirim boneka yang sama pada Selena.'' Clarissa bukannya mau menyangkal, hanya saja bila ucapan pelayannya benar maka Benjamin menyukai dua perempuan sekaligus.

''Tuan Benjamin bilang begitu?'' Pelayan itu bingung, sudah agak lama ia bekerja dan tentu sesekali melihat sikap Benjamin yang merupakan anak dari sahabat Tuan Besar namun menurutnya dia bukan tipe orang yang mengirim hal yang sama pada dua orang sekaligus terutama perempuan.

''Tidak sih, tapi Selena yang bilang. A-''

Clarissa menghentikan pembicaraan saat mendengar suara sirine mobil polisi, ''ada apa sih?'' Clarissa langsung melangkah menuju pintu besar dan membukanya.

Betapa kagetnya Clarissa saat melihat beberapa lelaki bertubuh besar yang mengenakan seragam berdiri tepat di balik pintu.

''A-ada apa ya?'' tanyanya dengan suara gemetar.

Lelaki yang berdiri paling depan melangkah maju sambil merogoh saku dalam jaketnya.

"Kami dari kepolisian," katanya tegas seraya menunjukkan kartu identitas dinas dan menyodorkan dokumen resmi.

"Kami membawa surat perintah penggeledahan dan penangkapan atas nama Tuan Adam Duncan, terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus penggelapan dana negara. Mohon kerja samanya."

Clarissa mematung. Napasnya tercekat. Matanya membesar, menatap para petugas itu dengan kebingungan dan kepanikan.

"Tidak, tidak mungkin Ayahku terlibat... Ini—ini hanya kesalahpahaman, kan? Benar, Pak Polisi?" ucapnya dengan suara bergetar, hampir putus asa.

Salah satu petugas lainnya melangkah maju, nadanya tetap tenang namun tegas.

"Kami hanya menjalankan tugas berdasarkan putusan hukum, Nona. Apakah Tuan Adam ada di rumah saat ini?"

Clarissa menggeleng pelan. "Sejak pagi Ayah pergi."

Petugas itu mengangguk singkat, lalu menyelipkan dokumen kembali ke map cokelat yang dibawanya.

"Baik. Karena beliau tidak ada di tempat, kami akan tetap melaksanakan penggeledahan sesuai prosedur. Ini surat perintah resminya."

Clarissa menatap dokumen itu dengan tangan gemetar.

"K-kalau aku tidak mengizinkan kalian masuk...?"

Petugas yang pertama berbicara tadi menatapnya dengan pandangan datar namun sopan.

"Maka Anda bisa dikenai pasal menghalangi proses penegakan hukum, Nona. Tapi kami harap itu tidak perlu terjadi."

Clarissa menunduk. Perasaannya campur aduk—marah, takut, dan bingung. Namun akhirnya, ia melangkah ke samping, membuka pintu rumah sedikit lebih lebar.

Salah satu polisi lain memberi hormat pada polisi yang tadi berbicara, "Pak kami mendapat kabar tersangka, Adam Duncan di temukan tak bernyawa di hotel bintang lima yang tak jauh dari kantornya."

"TIDAK! KALIAN BOHONG!" Clarissa berteriak, dadanya naik turun cepat, air mata mulai mengalir deras. Ia mundur beberapa langkah dan tubuhnya perlahan jatuh ke lantai.

"Nona," beberapa pelayan menghampiri dan memeluk Clarissa.

***

Clarissa duduk bersama Ibunya, menundukkan kepalanya dan mencoba untuk tak meneteskan air mata lagi. Ibunya menggenggam erat tangan Clarissa sesekali mengelusnya.

"Clarissa sudah kau coba hubungi Benjamin dan keluarganya?" Ibunya bertanya.

"Aku sudah mencoba menghubungi Benjamin tapi dia tak menjawabnya, sudah lah Ibu. Dia mungkin merasa enggan menolong kita. Sedari dulu mereka selalu membantu keluarga kita, sebaiknya kita tak membebani mereka."

"Kita tak punya apapun lagi sekarang, Ibu- Ibu tidak tahu harus bagaimana Clarissa." Eva, Ibu Clarissa batuk-batuk dan membuat Clarissa cemas. "Ibu, sudahlah jangan memikirkan itu."

"A-aku akan berhenti kuliah dan bekerja, Ibu istirahat saja nanti di rumah yang Bibi pelayan sewakan itu. Aku tidak mau kehilangan keluarga ku lagi." Clarissa menatap Ibunya lekat-lekat, mencoba meyakinkannya.

"Tapi-"

"Sudahlah Ibu, aku juga tak mampu membayar biaya kuliah ku. Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin."

To be continue....

Bab 2

Clarissa merenung di tempat kasir, ia memikirkan ucapan Dokter tentang kondisi Ibunya yang harus segera di tangani namun setelah empat tahun berlalu tabungan Clarissa masih belum terkumpul.

Harus bekerja di mana lagi agar bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibunya yang cukup besar, ia ragu bisa mengumpulkannya dalam waktu singkat belum lagi ia masih memiliki hutang pada salah satu temannya.

''Cla, CLARISSA.'' Mia, karyawan lain yang bekerja di restoran tempat Clarissa bekerja menepuk kasar. Sudah sejak tadi ia memanggil Clarissa namun tak ada jawaban darinya.

Clarissa memegangi pundaknya yang sakit dan menoleh pada Mia yang berada di belakangnya, ''Kenapa mbak?.''

''Huh, daripada diam melamun tidak jelas mending bersihkan meja-meja yang ada di depan. Lagipula restoran sedang sepi.''

''Baiklah,'' Clarissa mengangguk dan membawa beberapa lap kecil dari gudang.

Ia mulai perlahan-lahan membersihkan kotoran yang ada pada beberapa meja, tak lupa ia membereskan kembali kursi yang tergeletak sembarangan.

Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan restoran, Clarissa bingung. Jarang sekali ada orang kaya yang mengunjungi restoran kecil.

''Clarissa.'' Suara berat seorang lelaki terdengar, begitu familiar di telinga Clarissa.

Dia menghentikan kegiatannya dan berbalik dengan perasaan takut. Ternyata benar laki-laki itu adalah teman masa kecilnya, Benjamin Halton.

Mengapa, mengapa Clarissa harus bertemu dengannya di saat terpuruknya. Benjamin pasti akan menertawakannya dan bergosip dengan teman-teman lama mereka, mengolok-olok Clarissa seperti yang dilakukan sahabatnya.

''Ternyata benar, kau Clarissa.'' Lelaki yang mengenakan setelan jas formal berwarna biru tua itu menarik kursi dan mendudukinya. ''Sudah lama kita tak berjumpa, aku-''

Clarissa mengambil menu dari meja dan menyodorkan pada Benjamin, ''Silahkan Tuan ingin memesan apa.'' Clarissa memotong pembicaraan dan tetap berdiri seolah tak mengenal orang yang tengah duduk.

Benjamin mengambil menu itu lalu melihat-lihat, tujuan sebenarnya ia datang memang untuk menyapa teman lamanya namun ia tak ingin memaksa dan mengambil pusing bila temannya tak menerima kunjungannya.

Beberapa menit berlalu hanya dengan kesunyian dan ketegangan. Namun terdengar suara dering ponsel yang membuyarkan suasana.

Clarissa mengambil ponsel dari saku celana, ia melirik Benjamin dan sepasang mata lelaki itu sudah menetap pada Clarissa sejak tadi. ''Silahkan, aku tidak keberatan.''

Clarissa melangkah menjauh dan menatap ponsel, pihak rumah sakit yang membuat panggilan. Jantungnya berdetak kencang memikirkan apa yang akan mereka katakan.

"H-halo," Clarissa menjawab dengan gagap saking cemasnya.

"Selamat siang, kami dari Rumah Sakit ingin menginformasikan bahwa kondisi pasien atas nama Ibu Laura saat ini mengalami penurunan yang cukup serius. Kami mohon agar pihak keluarga dapat segera datang ke rumah sakit.”

Nafas Clarissa terengah-engah setelah panggilan berakhir, ''kenapa?'' tanya Benjamin yang entah sejak kapan sudah berada di hadapannya.

Clarissa tak menjawab dan segera berjalan cepat ke arah dekat jalan, ia melambaikan satu tangannya. Namun tak ada satupun taksi yang berhenti, mau pesan online pun memerlukan waktu.

''Clarissa kau sedang terburu-buru kan? Naik mobilku saja, aku sedang senggang.'' Benjamin sudah berada di dalam sementara Clarissa tampak bimbang. Namun ia segera membuka pintu mobil dan memutuskan untuk menerima tawaran darinya. Di lubuk hatinya masih tetap curiga, sebenarnya apa yang dipikiran teman lamanya ini. Dia bersikap seperti bukan Benjamin yang ia kenal.

''Kemana tujuanmu?''

''Rumah Sakit XX.''

Tiga puluh menit berlalu dan mereka tiba lebih lambat karena terjebak macet. Clarissa buru-buru keluar setelah mobil berhasil di parkirkan.

''Bagaimana keadaan Ibu saya Dok,'' Clarissa sampai di ruangan tempat Ibunya dirawat yang di penuhi pekerja medis.

"Saat ini kondisi pasien cukup serius dan kami menyarankan dilakukan operasi secepat mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Kami memohon izin dari pihak keluarga agar tindakan dapat segera dilakukan."

***

Clarissa berjalan menunduk, perkataan Dokter mengelilingi kepalanya. Kalau memungkinkan Clarissa pun ingin Ibunya di operasi sekarang juga.

''Kenapa? Siapa yang sakit?'' Pertanyaan lelaki yang kian berdiri membuat Clarissa menghentikan langkahnya.

''Ibuku, sudah tiga tahun lalu ia di rawat di sini.'' Jawab lemas Clarissa.

''Lalu apa yang di katakan dokter?''

Clarissa menghela nafas, ''bukan urusanmu.'' Ia berjalan kembali ke bagian administrasi, penjaga di sana mengenali Clarissa dan langsung menyodorkan lembar persetujuan tindakan medis sekaligus biayanya.

Clarissa menerima dan membacanya, 240 juta. Nominal yang tertera di sana membuat seluruh tubuh Clarissa terhuyung.

Tiba-tiba tangan Benjamin merebut lembar kertas tadi, ''apa yang kau lakukan?'' Clarissa hendak mengomel tetapi segera mengurungkan niatnya setelah melihat lelaki itu memberi lembar itu pada petugas di sana sekaligus kartu rekeningnya.

''Kutanya apa yang kau lakukan!'' Clarissa menghentikan tangan Benjamin.

''Clarissa, kalau kau terus seperti ini. Ibumu mungkin tak bisa tertolong.''

Clarissa melepaskan tangan itu dan membiarkannya membayar operasi Ibunya.

''Apa yang kau inginkan, Benjamin yang ku kenal tak mungkin memberi bantuan dengan percuma.''

Benjamin terdiam, memandangi perempuan yang berada di sampingnya. Ia terus memperhatikan mata perempuan itu yang semakin merah seolah ingin menangis.

''Kau benar, aku menginginkan sesuatu darimu.''

''Menikahlah denganku.''

''Apa?'' Clarissa mengernyitkan dahinya, tak percaya dengan kata yang ia dengar dari mulut seorang pewaris perusahaan fashion terkenal itu. Barangkali ia hanya salah dengar.

''Menikahlah denganku,'' Benjamin mengulangi kalimat akhir ucapannya tadi. Masih dengan nada dan ekspresi yang sama.

''Kau gila, ada apa denganmu sekarang.''

''Jangan salah paham, aku tak sungguh menginginkanmu untuk menjadi istriku. Dengarkan aku Clarissa, aku menginginkanmu untuk menjadi istri kontrak ku. Mari kita menikah, kontrak.'' Ia menekan kata terakhir dengan sedikit amarah di nada suaranya.

''Kenapa? Kenapa kau menginginkanku menjadi istri kontrak mu? Banyak perempuan diluar sana yang bisa kau jadikan mainanmu atau apapun yang kau inginkan.''

''Karena aku tahu kau tak akan mencintaiku, jangan gegabah untuk menolaknya Clarissa. Aku tahu kau tak akan bisa membayar biaya yang ku keluarkan untuk operasi Ibumu.''

''Kau mengancam ku?'' Clarissa menatap tajam ke arah lawan bicaranya, ia menahan dengan keras agar matanya tak mengeluarkan cairan halus.

''Benar dan kau tak bisa menolak. Dua tahun, cukup dua tahun bersandiwara menjadi istriku dan uang yang ku keluarkan tak perlu kau bayar lagi. Aku juga akan membayar biaya tambahan bila terjadi hal tak terduga pada Ibumu.''

''Mengapa kau-''

''Clarissa jangan memandangku seolah aku melakukan hal buruk padamu, kesepakatan yang ku tawarkan tidaklah buruk. Aku mendapatkan ketenangan dan kau mendapatkan biaya yang kau butuhkan.''

''Dan tenang saja, saat kau menjadi istriku. Kau tidak akan kekurangan apapun dan saat berpisah nanti, aku akan memberikan sejumlah uang tambahan. Kalau kau menginginkan rumah, aku tak segan memberinya untuk hadiah perpisahan nanti.''

To be continue....

Bab 3

Clarissa meneguk secangkir kopi yang ia pesan, dia tengah duduk bersama Benjamin di kursi restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Dia memandang lelaki di depannya, pikirannya kalang kabut dengan perilaku teman masa kecilnya ini.

Ah lalu operasi Ibunya sudah selesai tiga puluh menit sebelumnya dan Ibu Clarissa berhasil terselamatkan walau Ia belum sadarkan diri dan kondisinya belum bisa di bilang sembuh total.

''Kau tidak gila kan?'' Clarissa memajukan sedikit tubuhnya ke depan, cangkir kopi masih di tangannya.

Benjamin tengah melakukan sesuatu di ponselnya, sedari tadi jarinya terus berkutat. Ia melirik Clarissa, mendekatkan tubuhnya hingga jarak di antara keduanya hanya sepuluh senti. ''Apakah aku terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa di matamu?''

Carissa menjauh dan mengalihkan pandangannya. ''Tidak, aku hanya heran saja denganmu yang mau membantuku dan permintaanmu barusan sungguh nyata? Bukan lelucon kan, kau mau aku menjadi istrimu? Yang benar saja.''

''Kalau kau tidak mau, tinggal bayar saja uang yang ku gunakan untuk operasi ibumu. Sekarang.''

Clarissa kembali menatap lelaki di depannya dan mengernyit, ini seperti dirinya di jebak oleh rentenir yang hanya peduli pada uang, uang, dan uang.

''Sekertaris ku akan kemari dan kita bisa membicarakan perihal kontrak pernikahan, tenang saja dia orangku. Dia tak akan membocorkan pembicaraan kita.''

Clarissa hanya mengangguk kecil, menolak sekarang pun tak ada gunanya. Ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu memang sangat menyakitkan sedari dulu tetapi ucapannya tak pernah salah. Clarissa tak bisa melunasinya.

Hal yang menyakitkan memang selalu datang dari kenyataan yang kita hindari.

''B-bos saya sampai,'' lelaki dengan jas formal datang dengan nafasnya terengah-engah. Ia lari agar bisa sampai tepat waktu. Jalanan memang sangat menyebalkan kalau sudah macet.

''Sekertaris Alan, aku ingin kau menuliskan sebuah kontrak, pernikahan.'' Benjamin membungkuk sedikit, kedua sikunya menempel pada meja dan ia menyatukan jarinya hingga bibirnya menempel pada jemari itu.

''Yes Sir,'' Alan yang merupakan sekertaris yang di percayai Benjamin tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke pelipis dan memberi hormat dengan wajah serius.

Sontak membuat Clarissa kaget dan Benjamin pun menatap sinis padanya. Suara Alan juga tak kecil dan terkesan sedang memberi hormat pada pemimpin militer atau pemimpin negara.

''Maaf Bos dan Ibu Bos, dalam diri saya masih tertanam jiwa ksatria yang gagah dan berani.'' Ia terkekeh sambil menggosok rambut dengan satu tangannya sementara yang lain masih memegang tas kantor.

''Saya dulu pernah ikut militer,'' Alan membungkuk sedikit dan berbisik pada Clarissa dengan tangan yang menutupi bibir, sengaja agar gerakan bibirnya tak terlihat oleh Bosnya. Clarissa tersenyum canggung mendengar ucapannya, ia bingung bagaimana harus merespon.

''Alan,'' Benjamin menatap karyawannya dengan tatapan datar.

''Yes, saya disini Bos.''

Clarissa dan Benjamin saling menatap. Suasana menjadi serius dan Alan juga sudah menggenggam laptop di tangannya.

''Pernikahan ini berlangsung dua tahun.'' Benjamin memulai pembicaraan, tatapannya masih pada perempuan yang akan menjadi istrinya.

''Dan aku ingin kau bersikap selayaknya seorang istri sungguhan, aku ingin kau selalu mendampingiku setiap kali ada acara penting. Aku juga ingin kita tak mencampuri urusan masing-masing. Kau tidak perlu bekerja, semua kebutuhanmu akan ku tanggung.''

Clarissa mengangguk dan bertanya, ''lalu apakah kita akan tidur bersama?''

''Uhuk-uhuk...'' Alan tersedak ketika mendengar itu. Ia mendapat tatapan sinis kembali dari Bosnya. Dia pun perlahan-lahan meletakan gelas kopi yang dipegang pada meja di hadapannya. Padahal Alan baru minum dua teguk kopinya.

''Tenang saja aku tak menginginkan kepuasaan seksual, kita tak akan tidur diruangan yang sama ataupun melakukan hubungan seksual.

Apakah kau memiliki hal lain yang ingin di tanyakan lagi?''

Clarissa menggeleng, ''tidak, tidak ada.''

''Syarat yang ingin kau ajukan?'' Benjamin menaikan satu alisnya, penasaran dengan jawaban Clarissa.

''Tidak ada, membayar biaya operasi Ibuku saja sudah lebih cukup bagiku. Dan aku tak keberatan dengan persyaratan yang kau ajukan. Aku akan berusaha menjadi istri kontrak yang kau inginkan selama dua tahun itu dan aku juga tak akan jatuh cinta padamu seperti yang kau mau.''

''Baguslah kau ingat.''

Clarissa terdiam dengan wajah datar, menatap lama sosok lelaki di depannya.

Benjamin lalu berdiri dan membereskan jasnya, ''Aku tak ingin membuang waktu, pernikahan akan di laksanakan dua hari lagi.''

"Apa?" Clarissa melongo mendengar ucapan Benjamin. Bukankah terlalu singkat, bagaimana dengan persiapannya?

"Aku tak ingin mengulangi perkataanku lagi, bukankah kau punya dua telinga yang masih berfungsi?"

Clarissa menunduk, padahal ia hanya reflek mengatakan itu bukan berarti dia tak mendengarnya.

"Lalu hari ini aku ingin mengenalkan mu kepada keluargaku, walau aku yakin mereka sudah mengenalmu begitu juga dengan dirimu yang sudah mengenal mereka." Benjamin melangkah menuju letak mobil yang ia bawa berada, tak jauh dari tempat dirinya singgah.

Ia membuka pintu mobil dan melirik pada Clarissa. Kepalanya bergerak ke samping, ke arah pintu mobil terbuka mengisyaratkan Clarissa untuk segera masuk.

Clarissa menghela nafas pelan dan bangun dari tempat dirinya duduk, ia mendekati mobil dan memasuki kursi depan. Setelah menutup pintu, Benjamin berjalan memutar ke depan dan segera setelah masuk langsung menjalankan mobilnya.

"Eh Bos, saya masih disini." Alan yang tadinya sedang menikmati kopi langsung berdiri dan melambai pada mobil yang sudah tak terlihat ujungnya lagi.

"Sungguh tidak berperasaan, hmph." Alan lanjut menghirup kopi dengan perasaan kesal, ia jadi harus memesan taksi.

***

Suasana di mobil sungguh sangat sunyi, keduanya tak ada yang mau memulai pembicaraan.

Hingga Clarissa melihat jalan yang asing, sudah lama ia tak pergi ke rumah Benjamin namun ia tahu arah menuju tempat tersebut.

"Ini bukan jalan menuju rumahmu! Kita akan pergi ke mana?" Clarissa menghadapkan wajahnya pada Benjamin yang sedang fokus menyetir.

"Tentu saja bukan, lihatlah dirimu sekarang ini. Berpakaian lusuh dan tak enak di pandang, aku harus membuatmu terlihat layak menjadi istriku dihadapan Ayahku."

Clarissa mencermati dirinya, memang benar ucapan lelaki itu. Sekarang ia hanya mengenakan kaos putih yang terbalut dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans.

Clarissa membalikan tubuhnya, menghadap ke pintu. Ia memandangi pemandangan di luar, mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari perkataan Benjamin yang membuatnya sakit hati, walau perkataannya benar tetapi tidak bisakah dirinya mengatakannya dengan lebih sopan.

Namun matanya malah merasa berat untuk ia pertahankan, sebenarnya ia hanya tidur beberapa jam kemarin. Tubuhnya lelah dan butuh istirahat.

Setelah dua puluh menit, Benjamin akhirnya menghentikan mobilnya. Ia melepas sabuk pengaman dan melihat perempuan yang tengah tidur di sampingnya.

Ia membuang nafas pelan, tatapannya tertuju pada Clarissa. Dia mendekatkan tubuhnya dan menyentuh kening Clarissa. "Tak panas, ku kira..."

"Hmmm," Clarissa membuka mata dan mendapati bayangan lelaki berada di dekanya.

"Ihhhh... Apa yang kau lakukan?" Tubuh Clarissa reflek menjauh dari tangan Benjamin.

Benjamin tak menjawab, ia lalu membuka pintu mobil. "Keluar, waktu kita tak banyak."

To be continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!