NovelToon NovelToon

Kau Lah Cinta Terakhir Ku

kepergian Tanpa pamitan

“Kamu kemana?

Kenapa kamu meninggalkan aku?

Aku masih di sini, menunggumu,

menanti jawaban yang tak pernah datang.

Apakah aku terlalu berharap?

Atau kamu memang tak pernah benar-benar menginginkanku?

Aku menahan luka dalam diam,

seolah pertanyaan ini hanya bergaung di dada,why did you leave me without a word?

Aku terdiam lama di dalam kamar. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan seakan mempermainkan perasaan kehilangan ini.

Dengan langkah gontai aku berdiri di depan cermin, menatap wajahku sendiri yang tampak begitu asing.

Mataku sembab, hidungku memerah, dan ada garis lelah yang tidak bisa kusembunyikan. “Apa aku tidak cukup cantik sampai dia meninggalkan aku begitu saja?” bisikku lirih, seakan bertanya pada bayangan yang terpampang di depan kaca itu.

Semakin lama aku menatap, semakin jelas bayangan keraguan menghantam diriku sendiri. “Atau mungkin… ada wanita lain di luar sana, yang jauh lebih indah dariku? Yang lebih pantas untuk disayanginya?” Pertanyaan itu terus bergema dalam kepalaku, membuat hatiku semakin hancur.

Aku menunduk, tak sanggup lagi menatap cermin. Rasa rendah diri perlahan menggerogoti keyakinanku.

“Apa aku harus secantik Dilraba agar Reza mau mencintaiku?” tanyaku pada diriku sendiri, masih menatap wajahku di cermin dengan mata yang sembab.

Entah sejak kapan aku mulai membandingkan diriku dengan sosok-sosok yang tak mungkin bisa kucapai.

Ya, namanya Alfareza. Aku suka menyebutnya Reza. Seorang pria asal Lampung yang muncul begitu saja di hidupku, tanpa pernah kuduga.

Kami bertemu pada tahun 2023, di sebuah ruang maya yang tidak pernah kusangka akan menyimpan begitu banyak cerita.

Pertemuan itu awalnya sederhana, hanya obrolan ringan yang kemudian berubah menjadi kebiasaan.

Setiap harinya aku menunggu sapaan darinya, menunggu kalimat singkat yang mampu mengubah hariku. Hingga tanpa sadar, aku menaruh hatiku padanya pada seseorang yang bahkan belum pernah kutemui secara nyata.

Terkadang aku sendiri tidak mengerti… mengapa aku bisa begitu mencintainya, padahal aku bahkan belum pernah menemuinya secara nyata. Rasanya aneh, mencintai seseorang yang hanya hadir lewat layar, seseorang yang bahkan mungkin tidak pernah benar-benar menganggapku ada.

Dan jika bicara soal sifat dan karakter nya, aku semakin sadar ,seharusnya ada banyak hal yang membuatku ragu.

Reza sering memperlakukanku seolah aku hanyalah pelarian semata. Kata-katanya, sikapnya, sering kali memaksa sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seakan-akan perasaanku tidak pernah penting, seakan-akan aku hanyalah wadah untuk menyalurkan nafsu yang ia bungkus dengan kata-kata manis.

Di satu sisi, aku ingin percaya bahwa dia memang peduli. Tapi di sisi lain, aku terlalu sering merasa dimanfaatkan. Hati kecilku berulang kali berbisik untuk pergi, untuk berhenti. Namun entah kenapa, ada bagian dari diriku yang tetap bertahan, yang masih berharap bahwa semua ini akan berubah.

Namun kenyataannya, dia justru meninggalkanku.Semua akun media sosialku telah diblok olehnya. Semua akses yang dulu menjadi penghubung kini terputus begitu saja, seolah aku tidak pernah ada dalam hidupnya.

Aku masih mengingat jelas malam itu… malam ketika aku lengah dan menuruti kemauannya. Malam ketika aku mengira ia benar-benar menginginkanku, namun ternyata hanya memanfaatkanku. Malam itu menjadi titik balik bukan menuju kebahagiaan, tapi justru kehancuran.

Sejak saat itu, aku hanya bisa menatap layar ponselku yang kosong. Tidak ada lagi notifikasi darinya, tidak ada lagi pesan singkat yang membuatku tersenyum.

Yang tersisa hanyalah penyesalan, dan luka yang begitu dalam.

Aku merasa dipermainkan. Cinta yang kuberikan sepenuh hati, ternyata hanya dianggap permainan baginya.

Bagaimana aku tak kecewa?

Di mataku, Reza adalah cinta terakhirku. Aku sudah menutup pintu untuk semua laki-laki setelahnya,bahkan hara Wijaya ataupun Rafael .

Bagiku, tidak ada lagi yang bisa menggantikan posisinya. Namun entahlah… aku yakin aku salah. Mungkin dia memang tidak pernah mencintaiku sedikit pun.

Yang lebih menyakitkan adalah ketika aku mengetahui tentang seorang wanita bernama Dinda. Mantan kekasihnya. Aku iri padanya. Bukan karena dia masih bersama Reza, tapi karena setidaknya, Dinda pernah merasakan dicintai secara nyata. Ia pernah benar-benar menggenggam tangan Reza, merasakan kehangatan yang tak pernah kudapatkan.

Sedangkan aku?

Aku hanyalah bayangan di balik layar. Aku hanyalah nama yang tersimpan di daftar obrolan virtualnya, yang bisa ia hapus kapan saja tanpa rasa bersalah.

Tidak ada pelukan, tidak ada tatapan mata, bahkan sekadar genggaman tangan pun tak pernah kualami.

Aku mencintainya sepenuh hati, tapi yang kudapat hanyalah kehampaan.

Aku bahkan tidak tahu apakah pernah benar-benar berarti untuknya, atau aku hanya singgahan yang mudah dilupakan

Sungguh beruntung, ya, perempuan yang bisa mendapatkan hatinya, pikirku lirih.

Dalam hati. Aku membayangkan sosok wanita itu pasti cantik, memikat, dan sempurna. Mungkin wajahnya menawan, tubuhnya indah, dan hatinya bersih. Ia pasti mampu memberikan segalanya yang tidak bisa kuberikan.

Sedangkan aku?

Hanya seorang perempuan dengan segala kekurangan. Wajahku biasa saja, tubuhku kurus, dan aku sering kali merasa tidak pantas untuk dicintai. Ada kalanya aku menatap diriku sendiri dengan getir, seolah-olah bayangan di cermin hanya mempertegas betapa jauhnya aku dari kata “sempurna.”

Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku tidak lagi sepenuhnya suci.

Luka yang pernah kubiarkan terjadi dalam hidupku membuatku merasa semakin hina. Seolah-olah semua itu menjadi alasan yang membenarkan mengapa ia pergi meninggalkanku tanpa kata.

“Apa aku sebegitu tidak berharganya di matanya, ya Tuhan?” bisikku pelan, hampir tak terdengar di antara isak tangisku. Malam itu menjadi saksi betapa hancurnya aku setelah semua yang kuberikan.

Aku sudah menyerahkan segalanya. Hatiku, waktuku, bahkan bagian dari diriku yang tak pernah kubayangkan akan kubagi pada seseorang yang bahkan belum pernah benar-benar memelukku di dunia nyata. Aku percaya padanya, sepenuhnya. Dan apa balasannya? Ia pergi tanpa kata, tanpa pamit, meninggalkanku begitu saja seakan aku tak pernah ada.

Rasa yang seharusnya indah, berubah jadi luka yang begitu dalam. Kadang aku bertanya, apa aku terlalu naif? Atau memang aku hanya terlalu mudah percaya?

Mungkin ini semua memang salahku bukanlah salahnya,aku saja yang terlalu percaya diri. Terlalu berharap pada sesuatu yang seharusnya tak pernah kuimpikan. Mana mungkin pria seperti Reza, yang pernah memiliki mantan secantik Dinda, bisa jatuh cinta padaku?

Aku hanya gadis kampung biasa. Tidak ada keistimewaan dalam diriku. Wajahku bukanlah wajah yang akan membuat orang terpikat dalam sekali pandang, tubuhku pun jauh dari kata sempurna. Bahkan sering kali aku merasa tidak pantas disandingkan dengan bayangan wanita-wanita yang pernah singgah di hidupnya.

Lalu, apa alasan dia harus mencintaiku? Tidak ada. Aku hanya terlalu naif, terlalu buta oleh perasaan yang kuberi nama cinta.

Nyatanya, sejak awal aku hanyalah pilihan yang mudah dilupakan, bukan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.

Dan kesadaran itu menghantamku begitu keras, membuatku terpuruk lebih dalam. Karena mencintai dengan sepenuh hati ternyata tidak selalu cukup untuk membuat seseorang bertahan.

Aku tidak modis. Aku juga tidak cantik. Bahkan aku tidak pandai merawat diri. Rasanya, aku berbeda jauh dari wanita-wanita yang pernah ia temui. Wanita-wanita yang tahu bagaimana menampilkan dirinya dengan anggun, yang tahu bagaimana memikat lelaki dengan cara yang sederhana tapi mematikan.

Sedangkan aku? Aku hanyalah gadis biasa, polos, dan sering kali tidak tahu bagaimana harus bersikap. Aku tidak punya kecantikan yang bisa dibanggakan, tidak punya pesona yang bisa menahan langkah seorang pria untuk tetap tinggal.

Apalagi dia… Reza. Seorang pria asal Pringsewu. Aku yakin di sana banyak sekali perempuan cantik yang jauh lebih menarik daripada aku. Perempuan dengan wajah yang mempesona, tubuh yang menawan, dan kepercayaan diri yang tinggi. Perempuan yang mampu membuat Reza betah dan mungkin tak pernah berpikir untuk meninggalkan.

Sementara aku?

Aku bahkan tidak tahu apakah pernah benar-benar berarti baginya. Atau mungkin, aku hanya menjadi satu dari sekian banyak nama yang lewat di hidupnya nama yang mudah ia lupakan setelah bosan.

Entahlah… aku lelah.

Lelah berpikir, lelah berharap, lelah mencari alasan yang tak pernah kutemukan.

Semua ini membuat kepalaku penuh, hatiku sesak, dan aku hanya bisa terjebak dalam lingkaran tanya yang tak pernah terjawab.

Kadang aku berkata pada diriku sendiri.

"mungkin aku harus sadar diri. Mungkin aku harus berhenti, sebelum luka ini semakin dalam"

Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa berpaling, jika aku sudah terlanjur mencintainya?

bagaimana cara melupakanmu?

Keesokan harinya, aku melangkah ke sekolah seperti biasa. Oh ya, aku bersekolah di SMK Negeri Yunan. Banyak orang bertanya, kenapa aku memilih SMK, bukan SMA. Alasannya sederhana: aku ingin cepat bekerja setelah lulus. Aku tahu hidup ini tidak selalu mudah, jadi aku harus mempersiapkan diri sejak sekarang.

Di kelas, aku menunduk lama. Pikiranku masih dipenuhi bayangan Reza. Saat jam istirahat tiba, aku menarik napas panjang lalu menghampiri sahabatku Yena. Dia satu-satunya orang yang benar-benar aku percaya di SMK ini.

Aku menaruh kepalaku di atas meja, lalu berbisik lirih.“Yen… aku terus kepikiran soal Reza. Aku gak tahu harus gimana lagi.”

Yena menatapku dengan penuh iba. Ia menepuk pundakku pelan, lalu duduk di sebelahku.

“Kamu masih mikirin dia? Padahal jelas-jelas dia udah pergi ninggalin kamu tanpa pamit. Kamu tuh terlalu sayang sama dia, Ghea.”

Aku menggigit bibirku, mencoba menahan air mata. “Aku cuma bingung, Yen… gimana cara ngelupain dia? Aku udah berusaha, tapi semakin dilawan, semakin aku kangen.”

Yena terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. “Jujur aja, Ghea… cara melupain orang yang udah kita cintai tuh memang sulit. Bahkan kadang mustahil kalau hatinya masih di dia. Tapi setidaknya, kamu bisa coba satu hal cintai diri kamu sendiri dulu.”

Aku menoleh padanya, dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku udah terlanjur cinta banget sama dia, Yen seolah gak ada cowok lain yang bisa aku liat selain dia.”

Yena menatapku serius, suaranya lebih tegas. “Kalau gitu, kamu harus ingat satu hal,kalau dia beneran cinta sama kamu, dia gak bakal ninggalin kamu kayak gini. Jangan sampai kamu terus nyakitin diri sendiri karena cowok yang bahkan gak pernah benar-benar ngehargain kamu.”

Aku terdiam. Kata-katanya menamparku, tapi juga menenangkan. Aku tahu Yena benar. Namun, hatiku tetap menolak untuk menerima kenyataan pahit itu.

“Apalagi kamu sama Reza kan belum pernah ketemu langsung?” tanya Yena pelan, matanya menatapku penuh kekhawatiran.

Aku terdiam, menunduk."Iya, Yen aku memang belum pernah bertemu dengannya . Tapi rasanya kayak nyata, aku ngerasa bener-bener sayang sama dia.”

Yena menarik napas panjang, lalu menatapku lebih dalam. “Justru itu, Ghea. Kamu jangan kasih hatimu sepenuhnya ke orang yang bahkan belum pernah kamu temui. Dunia maya itu gampang banget bikin kita salah paham sama perasaan sendiri.”

Aku menggigit bibirku, suaraku bergetar. “Tapi gimana, Yen… aku udah cinta banget. Rasanya gak mungkin bisa hilang begitu aja.”

Yena mengusap lenganku pelan, mencoba menenangkan. “Aku ngerti perasaan kamu. Tapi coba pikirin lagi, apa yang kamu dapat dari dia selain luka? Kalau cuma sakit yang dia kasih, berarti dia gak pantas buat kamu.”

Aku menatap meja dengan tatapan kosong, lalu akhirnya berbisik lirih. “Benar apa yang kamu bilang, Yen. Reza… dia memang gak pernah ngasih apa-apa selain luka. Selain nafsu.”

Yena menatapku lama, lalu menggenggam tanganku erat. “Nah, itu buktinya, Ghea. Kamu udah sadar, meskipun rasanya pahit banget. Kalau cowok itu bener-bener sayang sama kamu, dia gak akan maksa, apalagi bikin kamu merasa kotor dan gak berharga.”

Air mataku jatuh begitu saja. “Aku cuma pengen dicintai, Yen… bener-bener dicintai. Tapi kenapa malah gini?”

Yena menarikku ke dalam pelukannya. “Karena kamu ngasih hatimu ke orang yang salah. Tapi itu bukan salahmu sepenuhnya. Kamu cuma terlalu tulus sama orang yang gak tau cara menghargai ketulusan. Denger ya, Ghea… suatu hari nanti ada yang bakal bener-bener sayang sama kamu, bukan cuma main-main.”

Aku menggeleng pelan, mataku sembab karena terlalu lama menangis. “Aku gak bisa jatuh cinta lagi, Yen. Reza itu cinta terakhir aku, setelah Hara.”

Yena terdiam sejenak, seakan menimbang kata-kata yang tepat agar tidak semakin menyakitiku. “Ghea…” suaranya lembut sekali, “aku tau kamu lagi hancur, tapi jangan bilang begitu. Jangan nutup hatimu cuma karena satu orang yang gak pantas. Apalagi… kamu masih muda, masih banyak jalan, masih banyak orang yang bisa bikin kamu bahagia.”

Aku menunduk, suaraku bergetar saat bicara. “Tapi, Yen,aku ini gak cantik ,dari dulu gak pernah ada yang benar-benar tulus sama aku. Bahkan waktu aku berusaha ngalah, mencoba mencintai orang yang kuanggap tulus, ternyata tetap sama aja. Mereka semua nyakitin aku.”

Yena menatapku dengan penuh iba. “Mereka? Maksud kamu siapa aja, Ghea?”

Aku menarik napas panjang, lalu menyebut satu per satu nama yang pernah tergores dalam ingatan. “Arief, Fajar, Irfan, Doni… bahkan Reynalga. Aku pernah coba buka hati, walau gak sepenuhnya cinta. Tapi apa? Mereka semua juga ninggalin aku dengan caranya masing-masing. Seakan aku ini cuma tempat persinggahan sementara.”

Aku tersenyum getir, meski air mataku kembali jatuh. “Kadang aku mikir, jangan-jangan emang gak ada satu pun yang bisa tulus sama aku. gak ada yang benar-benar bisa lihat aku apa adanya.”

Yena meremas tanganku, matanya berkaca-kaca. “Ghea… jangan pernah nilai dirimu dari perlakuan mereka. Kalau mereka pergi, itu bukan karena kamu gak berharga, tapi karena mereka yang gak pernah pantas buat kamu. Tuhan pasti nyiapin seseorang yang lebih baik, yang bisa lihat hati kamu, bukan cuma fisik kamu.”

Aku menggeleng pelan, merasa terjebak di dalam lingkaran luka yang sama. “Tapi kapan, Yen? Aku udah capek berharap, capek percaya. Rasanya selalu berakhir sama,sakit dan sakit”

Yena menarikku dalam pelukan hangatnya. “Kalau kamu capek berharap pada manusia, coba belajar berharap pada Tuhan dulu, Ghea. Karena dari situ, kamu bakal nemuin ketenangan sebelum akhirnya dipertemukan sama orang yang tepat.”

Aku terdiam setelah mendengar kata-kata Yena. Hati kecilku bergetar, seakan ada sesuatu yang selama ini aku abaikan. Benar… apa yang Yena bilang ada benarnya. Aku terlalu sibuk mengejar cinta manusia, sampai lupa bahwa ada satu cinta yang tak pernah meninggalkan yaitu cinta Tuhan kepadaku.

“Yen… mungkin kamu benar. Aku harusnya lebih fokus sama ibadah. Lebih dekat sama Tuhan, bukan terus-terusan nyiksa diri mikirin Reza,” ucapku lirih, sambil menyeka air mata yang masih jatuh.

Yena tersenyum hangat, matanya lembut menatapku. “Itu pilihan yang tepat, Ghea. Kalau kamu dekat sama Tuhan, hati kamu pasti tenang. gak gampang goyah lagi.”

Aku menunduk, lalu menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya aku merasa ada cahaya kecil yang menyusup ke dalam hatiku yang gelap. Mungkin aku memang harus belajar ikhlas, berhenti berharap pada seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar menganggapku ada.

Dalam hati aku berdoa" Ya Tuhan, jika memang Reza bukan untukku, tolong kuatkan aku. Jangan biarkan aku terus terjebak di masa lalu. Bimbing aku agar bisa mencintai-Mu lebih dari mencintai manusia manapun dan siapapun"

datang kembali lalu pergi

Malam hari pun tibak...

Malam itu, sama seperti hari -hari sebelumnya,kamar terasa begitu sunyi. Hanya suara musik sad yang mengalun pelan dari ponselku, menemani lamunanku yang tak berujung.

Aku terbaring menatap langit-langit, pikiranku kembali melayang pada satu nama yang tak pernah bisa hilang siapa lagi kalau bukan Reza.

Entah sudah berapa kali aku mencoba meyakinkan diriku sendiri untuk berhenti berharap, tapi nyatanya hatiku selalu kalah.

Bahkan ketika musik itu berhenti dan sebuah notifikasi muncul di layar ponselku, dadaku langsung berdegup kencang.

“Reza?” bisikku penuh harap, jemariku gemetar saat meraih ponsel itu.

Namun, begitu kulihat nama pengirimnya, senyumku langsung pudar. Ternyata hanya Yena, sahabatku. Aku terdiam cukup lama, menatap layar yang masih menyala, menahan rasa kecewa yang kembali menusuk. Rasanya aku terlalu bodoh masih saja menaruh harapan pada seseorang yang sudah benar-benar pergi meninggalkanku.

Air mata itu lagi-lagi jatuh, membasahi pipiku. Kenapa aku masih menunggu? Kenapa aku masih berharap? pikirku, sambil menggenggam ponsel erat-erat seakan benda kecil itu bisa memberiku jawaban.

Aku membaca pesan panjang dari Yena. Ia bercerita tentang Arga, mantan pacarnya yang kini sudah beda sekolah. Dari cara Yena menuliskan kata-katanya, aku bisa merasakan betapa ia masih menyimpan rasa, meski berusaha terlihat kuat di hadapanku.

"Ghea, kadang kita sayang banget sama seseorang, tapi semesta gak ngizinin kita bareng terus. Aku sama Arga juga gitu, dan mungkin kamu sama Reza juga. Tapi itu bukan akhir, percaya deh." begitu salah satu baris kalimatnya.

Aku menghela napas. Rasanya ingin sekali aku peluk Yena malam itu, ingin sekali aku bilang kalau aku paham rasa kehilangan yang ia alami, karena aku juga sedang melaluinya.

Saat aku bersiap membalas pesannya, notifikasi lain muncul kali ini bukan tulisan, melainkan telepon masuk.

Jantungku langsung berdetak cepat. Nama yang terpampang di layar membuatku nyaris menjatuhkan ponselku.

“Papanya Celia”.

Aku menatap layar itu dengan mata terbelalak, tubuhku mendadak kaku. Itu adalah nama kontak yang kusimpan untuk Reza.

Aku sengaja menuliskannya begitu karena Celia adalah nama yang dulu kuimpikan, nama anak yang kuinginkan jika aku dan Reza benar-benar berjodoh.

Tanganku gemetar, hampir saja aku menekan tombol hijau untuk menjawab. Namun, sebelum aku benar-benar menyentuhnya, aku tertegun. Rasa rindu, marah, sakit hati, dan harapan bercampur jadi satu dalam dadaku. Kenapa dia meneleponku sekarang? Kenapa setelah semua ini, dia muncul lagi?

Aku hanya menatap layar ponsel itu, membiarkan nada dering berulang-ulang tanpa kuangkat.

Bagiku, Reza sudah mati… mati dalam hatiku, mati dalam kenangan yang penuh luka. Tidak ada gunanya aku kembali mengizinkannya masuk, setelah semua yang ia hancurkan.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi lagi. Bukan telepon, melainkan sebuah pesan. Dari nomor yang sama.

Reza: Aku kangen sama kamu.

Dadaku serasa diremas. Tanganku bergetar hebat. Kata-kata itu seperti racun yang manis, aku tahu berbahaya tapi tetap sulit untuk tidak menelannya. Aku menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.

Dengan jari gemetar, aku akhirnya membalas.

Aku: Terus Kenapa kamu blok aku, Za?

Tak lama, notifikasi balasan muncul.

Reza: Aku ingin melupakanmu, tapi aku gak bisa.

Seolah dunia berhenti berputar. Mataku menatap kosong ke layar, hatiku bergetar antara marah, bahagia, dan luka yang belum sembuh. Sungguh, aku ingin sekali percaya bahwa kata-katanya tulus. Tapi bukankah dulu, ia juga yang tega membuangku setelah merenggut semuanya dariku?

Sebelum aku sempat membalas pesannya, tiba-tiba layar ponselku kembali bergetar.

Reza menelepon. Hatiku kacau antara ingin mendengar suaranya lagi atau menolaknya. Tapi akhirnya, dengan cepat aku tekan tombol tolak panggilan.

Tak lama setelah itu, aku langsung mengetik balasan.

Aku: Kenapa harus telepon aku? Mau ngapain, Za?

Pesan terkirim. Belum sempat aku menghela napas, balasannya masuk begitu cepat.

Reza: Aku kangen.

Mataku menyipit, jemariku menari cepat di atas layar.

Aku: Kangen? Kalau memang kangen, kenapa kamu blok aku dulu? Katanya mau melupakanku? Kenapa harus melupakan aku?

Ada jeda sebentar sebelum balasan datang. Seolah ia sedang menimbang kata-katanya.

Reza: Karena aku gak mau nyakitin kamu lagi.

Aku terdiam. Dadaku terasa sesak membaca kalimat itu. Lalu, aku membalas lagi dengan tangan bergetar.

Aku: Menyakitiku? Apa maksudmu, Za? Bukankah yang paling menyakitkan justru sikapmu itu?

Dan kemudian, kalimat yang paling kutakuti muncul dari layar ponsel.

Reza: Bukankah ayahku tidak mengizinkan kita untuk berhubungan lagi?

Aku menghela napas panjang. Rasanya campur aduk antara kesal, sedih, sekaligus sedikit memaklumi.

Mungkin memang benar, pantas saja waktu itu ayah marah besar. Karena aku… aku dan Reza memang pernah kelewat batas, melakukan hal-hal yang seharusnya tidak kami lakukan malam itu.

“Pantas saja kan ayah melarang?” gumamku pada diri sendiri.

Tapi yang membuatku semakin perih adalah sikap Reza. Kenapa dia tidak mencoba mengerti aku? Kenapa dia seolah hanya menyerah begitu saja pada keadaan?

Bukankah kalau dia benar-benar mencintaiku, dia seharusnya berusaha?

Aku akhirnya mengetik pesan panjang untuk Reza, berusaha menahan air mataku.

Aku: Za, aku gak mau memperpanjang masalah. Ayah marah waktu itu karena kita melakukan hal yang seharusnya gak kita lakukan. Coba kalau hubungan kita sehat, pasti ayah gak bakal sekeras itu. Dia pasti akan merestui kita.

Setelah mengirim pesan itu, aku memilih diam. Aku sengaja tidak mengangkat telepon dari Reza, meskipun layar ponselku terus menyala dengan namanya.

Satu kali panggilan.

Dua kali.

Lima kali.

Sepuluh kali.

Aku masih bertahan, pura-pura kuat, padahal hatiku sendiri bergetar setiap kali dering itu berbunyi.

Sampai akhirnya… angka itu menjadi 28 panggilan tak terjawab.

Aku menatap layar ponselku. Rasa kasihan mulai menyelinap, bercampur dengan kerinduan yang selama ini kupendam.

Apa aku harus terus menghindar?

Dengan berat hati, aku pun menggeser layar dan menerima panggilannya.

Bukan sekadar panggilan suara, melainkan video call. Wajah Reza langsung muncul di layar. Ia tampak berantakan, rambutnya acak-acakan.

“Kenapa baru angkat sekarang?”tanya Reza suaranya tegas dan dingin.

“Gak apa-apa kok,” jawabku lirih.

Reza menatapku melalui layar, matanya seperti orang ngantuk “Kamu lagi di mana?” tanyanya.

“Di kamar,” sahutku singkat.

Sejenak, suasana hening. Tapi aku bisa membaca arah pikirannya. Tatapan itu sama persis seperti dulu, ketika semua hal yang seharusnya tidak terjadi akhirnya terjadi antara kami.

Aku teringat kembali malam itu.malam dimana kami berdua melakukan apa yang seharusnya tidak kami lakukan,dan malam ini terulang lagi ,Aku memang terlalu cinta kepadanya,sampai aku bodoh dan menyerahkan segalanya. Malam itu tubuhku bukan hanya terluka… tapi juga jiwaku. Aku bahkan mengalami pendarahan, dan hanya aku yang tahu betapa sakit dan takutnya aku saat itu.

Namun, anehnya bukan rasa benci yang tertinggal. Justru rasa cinta yang membuatku terus bertahan. Padahal jelas, aku yang paling dirugikan.

Usai panggilan itu berakhir, tiba-tiba layar ponselku kembali gelap. Telepon mendadak terputus, seolah dia menutup segalanya begitu saja.

Aku menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Tak ada pesan masuk.

Dengan hati yang gelisah, aku membuka kontaknya. Saat kuketik pesan, hanya ada centang satu yang tak pernah berubah. Rasa penasaran menyeruak, aku buka nomornya… dan benar saja dia sudah memblokirku lagi.

Aku terdiam. Dadaku sesak.

Sebenarnya apa sih yang dia mau dariku? Kenapa dia datang lalu pergi sesuka hati? Kenapa harus selalu aku yang jadi korban?

Pertanyaan itu menusuk seperti belati di dadaku. Apa dia benar-benar pernah mencintaiku? Atau semua ini hanya permainan semata?

Kadang aku merasa mungkin aku memang terlalu gampangan, terlalu mudah percaya, terlalu mudah luluh hanya karena cinta.

Air mataku menetes, membasahi layar ponsel yang masih menampilkan namanya. Nama yang dulu begitu kucintai, kini hanya jadi sumber luka paling dalam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!