NovelToon NovelToon

Tuan Muda Playboy & Gadis Desa

Tragedi Kubangan Lumpur

Mentari siang menggantung tepat di atas langit Desa Sumberjati. Hujan deras mengguyur desa sejak tadi malam. Jalan desa yang sempit kini penuh genangan dan lumpur. Anak-anak kecil berlari sambil membawa layangan, suara ayam jantan berkokok dari pekarangan, dan angin mengibaskan ranting dan daun-daun pepohonan hingga menimbulkan bunyi derikan.

Di tengah desa yang sederhana itu, semua orang mengenal seorang gadis bernama Laras Maya. Usianya baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA beberapa minggu lalu. Laras bukan gadis yang menonjol dengan kecerdasan luar biasa atau kecantikan mencolok seperti bintang sinetron. Ia hanyalah gadis desa biasa dengan kulit sawo matang, rambut hitamnya selalu dikuncir seadanya, matanya bening polos, dan senyumnya tulus. Namun justru itulah yang membuatnya disenangi semua orang di desa.

Laras terkenal lugu dan rajin. Tapi tak seorang pun pernah jengkel, sebab kebaikan hatinya selalu mendahului segalanya. Ia tak pernah menolak jika diminta tolong, bahkan kepada orang asing sekalipun. “Anak itu hatinya emas,” begitu kata para tetua desa.

Hari itu, Laras berjalan di jalan setapak dengan bakul anyaman bambu berisi sayuran di tangannya. Bajunya sederhana dengan daster bermotif bunga kecil. Butiran keringat membasahi pelipisnya, namun wajahnya tetap cerah dengan senyuman.

Sementara itu, di sisi lain sebuah mobil hitam mewah berhenti mendadak. Ban mobil itu terjebak dalam lumpur. Dari dalamnya keluar seorang pria berperawakan tinggi, dengan kemeja putih tipis dan jam tangan mahal yang memantulkan sinar matahari. Ia berdiri memandang sekeliling dengan ekspresi muak.

Dialah Oliver Alexander, usia tiga puluh lima tahun. Pewaris tunggal perusahaan besar yang memiliki beberapa pabrik, termasuk pabrik di dekat desa ini. Namanya harum di kalangan pebisnis, tapi di dunia malam ia lebih dikenal sebagai seorang playboy yang tak pernah puas berganti pasangan. Dimana ada perempuan yang cantik dan sexy maka di situlah tempat paling menyenangkan baginya. Ia terbiasa dengan pesta gemerlap, hotel berbintang, wine yang mengalir tiap malam.

Dan sekarang, ia terjebak di tengah desa penuh lumpur dengan panas yang menusuk kepala.

“Brengsek...” Oliver mengumpat pelan sambil menendang ban mobilnya. “Kenapa juga aku harus turun ke tempat kampungan begini? Jalanan begini dibilang layak? Tempatnya udik...”

Ia menyeka keringatnya dengan tisu, tampak benar-benar tidak sabar. Sopirnya sedang berjalan ke arah bengkel desa untuk mencari bantuan, meninggalkan Oliver sendirian di pinggir jalan.

Laras yang lewat dari arah berlawanan segera melihat mobil besar yang macet itu. Ia menatap pria asing berwajah tampan namun berwajah masam. Melihat orang itu sepertinya butuh bantuan ia mendekat tanpa berpikir panjang.

“Mas... eh, maksudnya Om, mobilnya nyangkut di lumpur ya?” tanya Laras dengan suara lembut.

Oliver menoleh, alisnya langsung terangkat. Ia menatap gadis sederhana dengan daster bunga, rambut dikuncir dua dan wajah berminyak karna cuaca panas. Reaksi pertama yang muncul di benaknya bukanlah ketertarikan, melainkan geli.

Astaga... beneran ada gadis model beginian? Bau tanah, baju kampungan. Jauh banget dari selera gue.

“Emang kamu ngerti soal mobil?” ejek Oliver sinis. “Ini bukan gerobak sayur, tahu?”

Laras tersipu, tapi tidak tersinggung. Senyumnya tetap mengembang. “Hehe... iya Om. Tapi kalau didorong bareng-bareng mungkin bisa keluar dari lumpur.”

Oliver mendengus. Apa tadi katanya? ‘Om?’

“Hei, jangan panggil aku Om. Aku belum setua itu.”

Laras bingung. “Lho? Umur Om berapa?”

Anehnya walau kesal Oliver tetap menanggapi, “Tiga puluh lima.”

“Ya itu kan udah Om...” jawab Laras polos tanpa maksud mengejek.

Oliver terdiam sejenak, lalu mendesis kesal. Gadis kampung ini berani sekali membuatnya merasa tua.

“Sudahlah, minggir sana…! Kamu nggak akan bisa bantu,” katanya ketus.

Namun Laras tetap bersikeras. Ia menaruh bakul sayurnya di pinggir jalan, lalu berdiri di belakang mobil. “Nggak apa-apa, Om. Coba aja, siapa tahu berhasil.”

Oliver menatap dengan tatapan meremehkan, tapi pada akhirnya ia ikut mendorong karena bosan menunggu sopir.

“Ya udah, ayo dorong cepat!”

Mereka berdua mendorong. Baru beberapa detik, kaki Oliver terpeleset lumpur licin. Tubuhnya oleng ke belakang. Refleks, Laras meraih lengannya untuk menahan. Sayangnya tubuh Oliver jauh lebih berat, hingga keduanya kehilangan keseimbangan.

Bruukk!

Keduanya jatuh bersamaan ke tanah berlumpur. Oliver terjerembab, wajah dan bajunya berlumuran tanah cokelat. Laras yang jatuh di sampingnya langsung panik.

“Ya Allah! Astaghfirullah... Om, maaf! Aku nggak sengaja! Ya ampun... Aduh, bajunya kotor semua...”

Oliver bangkit dengan wajah geram. Lumpur menempel di kemeja putihnya yang mahal.

“Astaga! Limited edition! Baju ini dari Selena. Dan kamu... dasar gadis kampung, lihat apa yang kamu lakukan!”

Laras buru-buru mencoba membersihkan bajunya dengan tangan yang sama kotornya. Alih-alih bersih, noda lumpur malah melebar ke mana-mana.

“Jangan sentuh aku dengan tangan kotor itu!” bentak Oliver.

Warga desa yang kebetulan lewat menghampiri, sebagian menahan tawa melihat pemandangan itu. Seorang pria tampan dengan pakaian mewah, kini belepotan lumpur bersama Laras, gadis dari desa mereka.

“Laras, Gusti Allah... kamu lagi-lagi bikin heboh!” ujar seorang ibu sambil menepuk dahinya.

“Hahaha... Masnya jadi kayak petani habis panen,” canda seorang bapak.

Oliver semakin jengkel. Ia ingin kabur, tapi kemejanya basah dan lengket. Seorang warga desa menepuk bahunya dengan ramah.

“Sudah, Mas. Ayo ikut ke rumah Laras aja. Dekat sini kok, Mas bisa numpang bersih-bersih dulu di sana.”

Oliver ingin menolak, tapi tatapan warga membuatnya sulit. Dengan wajah masam, ia akhirnya terpaksa mengangguk.

Rumah Laras berada di tepi jalan desa, sederhana dengan dinding setengah kayu setengah bata. Halaman dipenuhi pot bunga, suara ayam terdengar dari kandang belakang. Begitu masuk, aroma kayu bakar dan singkong rebus menyeruak ke indra penciuman.

“Silakan Om... cuci muka dulu pakai air kendi ini,” kata Laras sambil menaruh kendi tanah liat berisi air segar.

Oliver menatap kendi itu dengan jijik. “Air di tanah liat? Kamu bercanda? Mana gelasnya?”

Laras mengangguk kikuk, lalu mengambil cangkir enamel yang catnya sudah mengelupas sedikit. “Pakai ini, Om.”

Oliver hampir muntah melihatnya. Biasanya ia minum dari gelas kristal atau botol impor. Namun sekarang, Aishh… demi menghilangkan lumpur dari wajahnya, ia tak punya pilihan. Dengan terpaksa ia menyiramkan air kendi ke wajahnya.

Laras tersenyum lega. “Nah, gitu lebih seger kan Om?”

Oliver menoleh tajam. “Berhenti panggil aku Om! Aku bukan Om-mu. Namaku Oliver Alexander.”

“Baik, Om Oliver,” jawab Laras dengan tatapan polos.

Oliver menghela napas panjang. Entah mengapa, gadis kampung ini selalu bisa membuat kesabarannya hilang... tapi juga sulit untuk diabaikan karna tatapannya yang seperti bayi tak berdosa, polos.

Motor Bebek Butut

Oliver duduk di kursi kayu dengan wajah masam, sementara Laras sibuk menyiapkan kain bersih. Di luar, warga yang tadi membantu sudah bubar, meninggalkan mereka berdua.

Laras menunduk, merasa bersalah sudah membuat pria asing itu kotor. “Om... maaf banget. Aku nggak bermaksud bikin Om marah. Aku tadi cuma mau nolong.”

Oliver menatapnya dengan tatapan tajam. Biasanya wanita akan gugup lalu mencoba menarik perhatiannya dengan genit. Tapi gadis ini benar-benar polos, bahkan sepertinya tak sadar bahwa dirinya sedang bersama pewaris perusahaan besar.

Pertemuan absurd di siang hari itu, tanpa mereka sadari, akan jadi awal dari cerita yang mengubah keduanya selamanya.

Suasana di rumah Laras terasa hangat meski Oliver Alexander duduk dengan wajah kusut. Kursi kayu keras di ruang tamu membuat punggungnya pegal. Bau kayu bakar bercampur wangi singkong rebus dari dapur membuat perutnya semakin muak. Biasanya ia duduk di sofa empuk dengan aroma kopi impor di meja.

Di hadapannya, gadis itu sibuk bolak-balik menaruh kain bersih dan kendi berisi air.

“Om... coba pakai ini buat lap bajunya. Masih bersih kok,” katanya sambil menyodorkan kain putih yang sudah agak lusuh.

Oliver mendengus. “Sudah kubilang berapa kali, jangan panggil aku Om.”

Laras terdiam sesaat, lalu mengangguk polos. “Iya, Om Oliver.”

Oliver menutup mata, mencoba menarik napas panjang. Gadis ini benar-benar menguji kesabarannya. Ia ingin segera pergi ke pabrik, tapi kemeja putihnya sudah penuh lumpur. Tidak mungkin ia muncul di depan karyawan dengan kondisi begini.

Tak lama kemudian, terdengar suara gaduh di halaman. Sopir dan seorang mekanik desa masuk dengan wajah ragu.

“Tuan... mobilnya...” sang sopir menelan ludah, “rusaknya agak parah. Ban kena lumpur dalam, gardannya juga bermasalah. Harus ditarik ke bengkel desa. Mungkin butuh sekitar tiga jam untuk selesai.”

Oliver sontak berdiri. “Apa?! Rusak?” suaranya menggema di halaman ruang sempit itu.

“Iya, Tuan.”

“Tapi saya harus ke pabrik! Gimana sih kamu?!”

Sopir menunduk pelan, tidak bisa memberikan jawaban apa-apa. Tidak ada unsur kesengajaan di sini.

Oliver memijit pelipisnya. Ia harus segera ke pabrik untuk rapat dengan manajer lokal. Waktu terus berjalan, dan sekarang ia malah terjebak di rumah gadis desa dengan baju penuh lumpur.

Melihat pria asing itu resah, Laras memberanikan diri bicara.

“Om... kalau buru-buru, aku bisa anterin pake motor. Deket kok ke pabrik, nggak sampai setengah jam.”

Oliver menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Apa? Motor?”

“Iya Om, pake motor bebek. Nggak usah khawatir, jalan ke pabrik lumayan bagus dan nggak terlalu jauh.”

Oliver mendengus, hampir tertawa getir. Dirinya yang biasa diantar mobil sport, sekarang ditawari naik motor butut kampung. Ini jelas penghinaan.

“Terima kasih, tapi…” Oliver hendak menolak, tapi mekanik menyahut, “Betul, Mas. Kalau mau cepat ya naik motor dulu. Mobil nggak bisa dipaksa, jalan kaki lebih tidak memungkinkan lagi.”

Oliver menatap semua orang dengan wajah kalah. Harga dirinya hancur. Namun ia tak punya pilihan.

“Baiklah,” katanya dingin.

Laras tersenyum lega. “Alhamdulillah. Tapi... baju Om udah kotor banget. Pake baju bapakku aja, ya?”

Oliver hendak protes, tapi Laras sudah berlari ke dalam kamar. Tak lama ia kembali dengan sehelai kemeja lengan panjang polos warna biru pudar. Bau sabun cuci  masih menempel.

“Ini, Om. Bersih kok. Agak longgar, tapi nyaman dipake.”

Oliver menatap kemeja itu dengan jijik. “Aku? Pakai ini?”

“Daripada ke pabrik baju Om penuh lumpur, kan malu...” jawab Laras dengan polos.

Akhirnya Oliver menyerah. Ia melepas kemejanya, lalu mengenakan kemeja bapak Laras. Ukurannya memang kebesaran, lengannya menggantung aneh di tubuh kekarnya. Tapi setidaknya bersih. Laras terkekeh kecil melihatnya, kemejanya kekecilan.

“Cocok kok, Om. Mirip orang desa beneran,” ucapnya tanpa maksud mengejek.

Oliver menatapnya tajam. “Diamlah, gadis kampung.”

Di luar rumah, sebuah motor bebek tua keluaran lama sudah menunggu. Catnya pudar, joknya sedikit sobek, dan suara mesinnya berderum serak. Oliver menatapnya dengan ekspresi tak percaya.

“Kamu bercanda kan? Ini... ini motor?”

“Iya Om, ini motor kami. Biasa dipake bapak buat ke sawah. Tapi masih kuat kok, ayo naik.”

Tubuh besar Oliver membuat motor itu miring saat ia duduk di boncengan. Warga desa yang melihat dari kejauhan menahan tawa. Tubuh Laras terlalu kecil jika dibandingkan dengan orang kota itu.

Oliver menunduk, wajahnya merah menahan malu. “Cepat jalankan! Jangan buat aku menyesal naik motor jelek ini.”

“Siap Om! Pegangan ya Om, jalannya agak jelek di awal.”

Begitu motor berderum, tubuh Oliver yang tinggi besar terlihat janggal di boncengan. Laras duduk di depan fokus menyetir, sementara Oliver terpaksa memeluk pinggangnya agar tidak jatuh saat melewati jalan bergelombang.

Ya Tuhan... dari Ferrari ke motor bebek. Hidupku benar-benar jatuh hari ini, rutuk Oliver dalam hati.

Namun Laras tidak menyadari kekesalannya. Ia malah mulai mengobrol riang.

“Om kerja di pabrik, ya? Aku sering lewat sana. Bagus banget gedungnya. Sayang aku belum bisa kerja di situ. Sudah coba melamar, tapi belum diterima.”

Oliver tertegun. “Kamu melamar? Untuk apa?”

“Ya buat bantu orang tua, Om. Bapak udah tua, nggak tega kalau kerja terlalu keras lagi di sawah. Aku pengen kerja apa aja, jadi buruh biasa juga nggak apa-apa. Yang penting halal.”

Oliver melirik gadis di depannya. Suaranya tulus, matanya jujur meski hanya terlihat dari samping.

Laras terus bercerita sambil menyetir motor di jalan berliku. Ia bercerita tentang mimpinya bisa kuliah kalau ada rezeki, tentang keinginannya membuat orang tuanya bangga, tentang betapa ia ingin belajar hal baru meski sering dibilang lemot.

Oliver tidak menjawab banyak. Hanya sesekali mendengus atau menggumam. Namun di dalam hatinya, ada rasa aneh yang tak ia mengerti.

Motor terus melaju, melewati sawah luas dan angin sore yang mulai sejuk. Tubuh besar Oliver membuat motor bergoyang-goyang, tapi Laras tetap tenang mengendalikan. Sesekali ia menoleh ke belakang, tersenyum.

“Nyaman kan, Om?” tanyanya polos.

Oliver menutup mata, menahan gengsi. “Tidak!”

Akhirnya, motor itu berhenti di depan gerbang pabrik besar. Laras menepuk setir dengan bangga.

“Nah, sampai juga! Cepet kan Om? Kalau jalan kaki bisa sejam lebih, hehe.”

Oliver turun dengan wajah kusut. Ia menepuk celana pinjaman yang agak kebesaran, lalu menatap motor butut itu dengan tatapan kosong. Ia tak percaya dirinya yang biasanya dielu-elukan, kini muncul di depan pabrik dengan baju bapak orang dan motor tua berisik.

Laras tersenyum cerah, meski tangannya kotor oleh debu jalan. “Semoga kerjaannya lancar ya, Om. Sekali lagi maaf soal yang tadi.”

Oliver menatapnya sesaat. Senyum gadis itu... tulus sekali. Terlalu polos, sampai membuatnya bingung harus berkata apa. Padahal kejadian tadi juga bukan kesalahannya sepenuhnya.

Tanpa menjawab, Oliver berjalan menuju pintu pabrik. Laras tetap tersenyum, tidak tersinggung. Perlahan ia membawa motor bututnya meninggalkan gedung impiannya.

Oliver tidak Jadi Berkencan

Langkah Oliver Alexander terdengar berat ketika ia memasuki area pabrik. Baju yang menempel di tubuhnya benar-benar bukan dirinya, kemeja lusuh milik seorang lelaki desa, celana kain longgar yang kebesaran di pinggang, serta sandal jepit murahan. Para karyawan yang baru saja menyapunya di halaman pabrik nyaris menahan tawa. Beberapa mencoba menunduk sopan, tapi bisik-bisik dan lirikan geli tak bisa disembunyikan.

Oliver bisa merasakan tatapan itu menusuk harga dirinya. Dahi pria berusia tiga puluh lima tahun itu berkerut dalam, rahangnya menegang. Ia sudah cukup kesal karena mobilnya mogok di tengah jalan, lalu terpaksa menerima tumpangan dari seorang gadis kampung norak. Kini, ditambah lagi harus menanggung malu di depan karyawannya sendiri.

“Roni!” suaranya berat, penuh wibawa meski balutan pakaian itu jelas mengurangi aura biasanya.

Seorang pria paruh baya, sekretaris pribadinya, segera mendekat. “Ya, Pak Oliver?”

“Siapkan kamar mandi setelan untukku sekarang juga.”

“Baik, Pak.”

Oliver menghela napas kasar. Dalam hatinya bergumam, ‘Sial, semua ini gara-gara gadis kampung itu. Kalau bukan karena dia, aku nggak akan jalan pakai baju begini.'

Kamar mandi khusus tamu perusahaan langsung dibuka untuknya. Oliver masuk tanpa banyak bicara, melepaskan satu per satu pakaian desa yang membuatnya gatal. Begitu air dingin mengguyur tubuh tegapnya, ia mendengus lega.

Setelah selesai, ia mengenakan kemeja putih bersih dan jas mahal yang baru diambil asistennya dari koper. Rambut hitamnya disisir rapi, wajah tampannya kembali berwibawa. Saat menatap pantulan dirinya di cermin, senyum tipis muncul di bibirnya.

Namun tiba-tiba, bayangan wajah seorang gadis muda menyelinap begitu saja di kepalanya. Senyum lugu, mata bulat bening, dan motor butut yang nyaris ambruk saat memboncengnya tadi.

Oliver spontan mendengus kesal. “Aneh, masih ada aja cewek sepolos itu. Norak banget,” gumamnya pada cermin.

Tak lama setelah mandi dan berganti pakaian, Oliver sudah duduk di kursi utama ruang rapat pabrik. Meski hidupnya termasuk awur-awuran, saat bekerja wibawanya pebisnisnya tetap mampu membuat manajer-manajer lokal duduk lebih tegak.

“Produksi bulan ini turun tiga persen,” lapor salah satu kepala bagian.

Oliver mengetuk meja dengan ujung jarinya. “Perbaiki! aku tidak suka alasan. Pabrik ini harus jalan stabil.”

Jelas ini tidak hanya demi keuntungan perusahaan, Oliver punya tujuan terselubung. Ia tidak ingin menghabiskan waktunya di sini, jalanan berlumpur bukanlah dunianya.

Beberapa kepala menunduk. Rapat berlanjut, laporan demi laporan dibacakan. Hingga tiba-tiba salah seorang manajer HRD angkat bicara, “Pak Oliver, terkait rekrutmen karyawan baru… sudah ada banyak pelamar dari desa sekitar. Tapi rata-rata Pendidikan masih dibawah standar, lulusan SMA.”

Kata pelamar dari desa itu membuat kepala Oliver berdenyut sebentar. Ingatannya langsung melayang pada gadis yang tadi mengajaknya naik motor butut, dengan semangat polosnya berkata ingin bekerja di pabrik ini. Bayangan gadis dengan pakaian sederhana, rambut dikepang dua, wajah tanpa polesan make-up, dan cara bicaranya yang terlalu jujur.

Bagaimana bisa cewek seperti itu masih ada di zaman sekarang? pikirnya. Kalau di kota, gadis seusianya pasti sudah berdandan, belajar untuk membuat pria tergoda. Bukan malah polos bego kayak gitu.

Ia menggeleng kecil. Lucu juga sih, tapi jelas bukan tipeku. Aku lebih suka yang cantik, seksi dan tahu cara bermain. Bukan anak kampung yang manggil ‘Om’ berkali-kali. Oon!

Kendati demikian, ada rasa aneh yang muncul. Gadis itu benar-benar tidak terlihat kagum padanya. Biasanya, wanita-wanita selalu terpana saat bertemu Oliver Alexander dengan wajah tampan, tubuh atletis, dan status pewaris perusahaan besar. Tapi gadis itu? Ia malah ribut sendiri, sibuk memastikan motor tuanya tidak mogok, bahkan berani menyuruh Oliver pakai baju ayahnya.

Pengalaman konyol, memalukan sekaligus… berhasil membuatnya emosi bukan kepalang.

“Pak Oliver, Pak!” panggilan dari HRD membuatnya tersadar.

Oliver berdeham, pura-pura menyimak laporan. Namun otaknya sibuk sendiri. Hingga akhirnya ia berkata datar, “Tunjukkan daftar pelamar itu padaku. Aku ingin lihat kualitas mereka.”

HRD segera menyerahkan map berisi puluhan nama. Oliver membuka lembaran-lembaran itu satu per satu. Nama-nama khas desa, usia muda dan rata-rata lulusan SMA. Matanya menelusuri, namun tak ada satu pun yang menempel di kepalanya.

Oliver mendesah pelan. Sial… aku bahkan lupa nanya namanya. Ngapain buang-buang waktu lihat daftar ini.

Ia menutup map itu dengan kasar, lalu mendorongnya kembali ke arah manajer. “Kalian saja yang urus. Pastikan yang diterima punya kualitas. Aku tidak mau karyawan yang hanya jadi beban alias jalur nepotisme.”

“Baik, Pak Oliver.”

Setelah rapat bubar, Oliver kembali ke ruangannya. Ia melepaskan jas, menyandarkan tubuh di kursi empuk, dan mengambil ponsel. Ia membuka kontak. Deretan nama wanita muncul di layar. Semuanya cantik, tubuh semampai, seksi dan menggoda.

“Hmm…” Oliver menelusuri daftar itu, lalu menekan salah satu nama. Bibirnya melengkung miring. “Hey, sayang. Malam ini kosong? Aku butuh ditemani oleh wanita cantik.”

Suara manja seorang wanita seksi terdengar di ujung telepon. Oliver terkekeh pelan. Ya, ini baru hidupku. Bukan gadis kampung lugu yang bikin repot itu.

Namun meski sudah ia tepiskan, sesaat sebelum menutup mata, wajah Laras sempat melintas lagi di benaknya dan itu membuatnya mendengus kesal.

Kenapa juga aku masih ingat dia? Sialan.

“Oke Sayang, see you tonight Baby!” Oliver tertawa pelan, akhirnya…

Namun tawa itu terhenti ketika ponselnya bergetar lagi. Nama yang muncul membuat wajah Oliver mengeras, Dad.

Dengan malas, ia mengangkat. “Ya, Pa?”

Suara berat ayahnya terdengar tegas dan tanpa basa-basi. “Gimana di sana?’

Olover menjawab dengan cepat, “Aman Pa, nanti malam aku bisa balik ke Jakarta.”

“Tidak, Papa ingin kamu tetap di sana. Kamu harus belajar menangani pabrik itu sendiri. Papa sudah menugaskan beberapa orang untuk mengawasi kegiatanmu. Jangan macam-macam.”

Oliver meremas gagang ponsel. “Nggak bisa gitu dong Pa, aku sudah ada janji penting malam ini.”

“Janji dengan siapa, hah? Dengan salah satu perempuan mainanmu? Hentikan, Oliver! Kau pewaris perusahaan perusahaan. Kalau kau tidak bisa mengurus satu pabrik, bagaimana Papa bisa percaya menyerahkan perusahaan keluarga kita padamu? Tidak ada bantahan, kalau kamu tetap bersikeras maka bersiaplah, sepeserpun warisan dari Papa tidak akan jatuh ke tangan kamu”

Klik.

Telepon terputus sepihak.

Oliver membanting ponsel ke meja. Rahangnya mengeras, matanya memancarkan amarah.

Brengsek, tua bangka sialan. Selalu saja menghalangi kesenanganku.

Dengan kesal ia membuka kembali chat pacarnya. Jemarinya mengetik singkat ‘Cancel. Aku sibuk.’

Ia bersandar di kursi, menutup mata. Rasa frustasi semakin menumpuk. Dan yang paling membuatnya jengkel, panggilan dan pesan berulang dari pacarnya memenuhi layar ponselnya tidak terima pertemuan mala mini di cancel.

Oliver tidak tinggal diam, ‘Kita putus!’

Pesan itu sudah terkirim, Oliver segera memblokir kontaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!