NovelToon NovelToon

One Night Recipe

Satu Malam

“Anj–!” Amora hampir memaki dengan napas yang lalu tercekat, ketika melihat sebuah tubuh besar setengah telanjang tidur di satu kasur yang sama dengannya. Terlihat masih pulas dengan dengkuran halus yang terdengar samar-samar.

Matanya kemudian meliar, menatap pada kamar yang berantakan dengan potongan baju yang tercecer disana dan disini. Seketika itu, memorinya tentang kejadian semalam pun kembali. “Tolol!” cicitnya kesal sambil mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan.

Amora begerak perlahan hingga tubuhnya terlepas dari tindihan tangan penuh tato milik pria setengah telanjang di sampingnya. Begitu bebas, ia segera mengedarkan pandangan, mencari apapun yang bisa ia gunakan untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sampai pandangannya kemudia tertumbuk pada sehelai kain putih yang semalam masih terpasang rapih sebagai alas kasur.

Buru-buru Amora meraihnya, lalu melilitkannya ke tubuh. Lagi-lagi, matanya menyapu ruangan. Kamar itu porak-poranda bak habis kena badai atau banjir bandang. Ia melihat beberapa barangnya berceceran, termasuk celana dalam dan sebuah kaos kaki yang semalam ia pakai.

“Sial!” makinya untuk yang kesekian kali. Ia berusaha keras untuk bisa tetap tenang, mengumpulkan lagi kesadarannya dan mengingat barang apa saja yang ia bawa dan pakaian macam apa yang ia pakai semalam. Setelah memastikan semua barangnya sudah ia pungut dari setiap penjuru kamar, ia langsung buru-buru masuk ke sebuah pintu yang beruntungnya benar adalah kamar mandi.

“Tolol! Semabuk apa lo semalem Amori!” keluhnya tak henti walau tangan dan tubuhnya sibuk memakai kembali pakaiannya semalam. Keluhannya semakin banyak setelah menyadari kalau bagian pundak baju yang dipakainya semalam kini sobek.

Setelah kembali berpakaian seperti orang waras, Amori meratapi penampilan yang memantul pada kaca besar yang ada di dinding. Penampilannya sungguh-sungguh kacau. Mirip seperti korban kecelakaan bus yang berhasil selamat, dan beruntungnya tanpa terluka. Kecuali bekas hickey yang beberapa mulai membiru, menghiasi kulitnya yang tidak bisa dibilang gelap walau setelah menghabiskan 3 hari penuh berkegiatan di laut.

Sebuah sweater rajut tipis yang semalam hanya ia jadikan sebagai pelengkap penampilan kini dipakai benar-benar. Rambutnya digerai, untuk menutupi bagian bajunya yang sobek dan memperlihatkan hasil keganasan pria yang masih tidur nyenyak itu.

Sambil berhitung dan mengingat apa saja barang yang kemungkinan tertinggal, Amori berusaha untuk mengatur napas dan menenangkan diri. Karena jika bertindak dalam keadaan panik, yang ada ia hanya akan melakukan kesalahan lain yang sudah pasti, tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup.

Setelah yakin kalau semua barangnya tidak ada yang tertinggal, ia pun membuka pintu kamar mandi dengan gerakan yang sangat hati-hati. Ia sempat mengintip keluar, ke arah tempat tidur yang masih menelan tubuh berbalut selimut tebal yang semalam terus mengerjainya itu. Setelah yakin kalau pria itu masih tertidur pulas, ia buru-buru memacu langkahnya hampir berlari.

Amori kabur, entah dari apa. Mungkin dari rasa malu karena gagal mengontrol diri hingga dengan bodoh, mempertontonkan sisi liarnya pada orang asing.

Ya, orang asing. Amori baru saja kabur setelah menghabiskan malam dengan cara yang paling liar dan kriminal, bersama orang yang ia kenal karena nekat mengambil tur dadakan ke Sumba hanya karena putus cinta. Sial, mengingatnya lagi ia jadi semakin kesal.

Setelah berhasil kembali ke kamar hotelnya sendiri tanpa membuat banyak keributan, Amori sibuk mengasihani diri.

“You’re so pathetic, Mori.” satu tetes air mata mengalir di pipinya yang pagi ini agak pucat. Adrenalin yang ia rasakan benar-benar berhasil mengaduk emosinya.

***

“WHAT?! Sumpah lo gila, Mor! Kan udah gue bilang jangan jatuh cinta pas lagi travelling!”

“Gue nggak jatuh cinta Ra. Kejadian semalam itu cuma—”

“One night stand? Main-main?” Mori menggulirkan matanya malas. Ia menjauhkan ponselnya dan menyalakan mode speaker, agar suara Nora yang nyaring tidak terlalu memekakkan telinganya.

“Ya, apalah sebutannya. You name it, yang jelas itu bukan jatuh cinta. Orang kita sama-sama mabuk kok.”

“Gila! Nggak waras! Baru sekali gue lepas lo pergi sendirian, tapi lo udah separah ini. Terus gimana? Lo yakin itu bule sehat? Lo inget gak, bule itu pake pengaman atau nggak semalam?” gerakan Mori yang sedang melipat bajunya untuk disusun di dalam koper berhenti. Karena ucapan Nora, ia jadi terpaksa mengingat lagi kejadian semalam.

“Gak inget kan lo?! Makanya jangan sok-sokan mabok kalo nggak ngga ada yang jagain. Pokoknya lo cepetan pulang. Nanti gue langsung antar lo buat cek ke dokter Thomas.” Amori menghela. Ada tiga keadaan dimana Amori sama sekali tidak bisa memakai otaknya dengan benar.

Satu, saat putus cinta. Dua, saat mabuk dan tiga saat dirinya tidak punya uang. Dan gabungan ketiganya menciptakan keadaan yang sangat berbahaya seperti semalam.

“Iya, iya. Ini gue udah siap-siap kok.”

“Nanti gue jemput. Lo dapet pesawat yang jam berapa?”

“Jam 10. Gue langsung pesan tiket pulang setelah sampai kamar. Untung dapet.”

“Yaudah, nanti kalo udah boarding jangan lupa kabarin gue. Habis ini gue langsung bikin janji sama dokter Thomas, jadi jangan bikin janji lain.”

“Tapi—”

“Gak usah tapi-tapi. Kalo lo capek tetep gue seret, daripada lo terlanjur kena penyakit kelamin terus kencing nanah, terus—.“

“Amit-amit. Sembarangan banget kalo ngomong. Jangan nakut-nakutin gitu dong Ra.”

“Biarin! Biar lo kapok. Pokoknya lo jangan macem-macem, habis selesai siap-siap langsung berangkat ke bandara.”

“Tapi masih 3 jam la—” bunyi panggilan yang terputus membuat tubuh Amori mendadak lemas. Dadanya masih berat karena belum rela untuk kembali ke Ibukota dan menghadapi segala isinya.

Apalagi sosok yang telah membuatnya rela pergi di tengah-tengah kesibukannya, dan menghabiskan hampir setengah uang simpanannya untuk melarikan diri.

***

Tubuh tegap yang Amori tinggalkan pagi tadi akhirnya menggeliat resah karena sliding door yang tak tertutup membuat sinar terik masuk begitu saja ke kamar inapnya. Punggungnya terasa panas karena terbakar matahari.

Ia mengeluh, sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Matanya mengernyit, memindai satu-persatu sudut kamarnya lalu menghela seolah kecewa.

“She’sleaving.” katanya sambil menjatuhkan lagi tubuhnya ke atas kasur. Tatapannya tertuju pada beranda kamarnya, lalu pada pantai yang langitnya benar-benar cerah hampir tanpa awan. Kepalanya penuh dengan memori tentang tadi malam. Dimana ia dan seorang wanita yang ia tahu bernama Amori, saling menyentuh dengan tidak sabar dan menghabiskan sepanjang malam dengan penuh gairah tak terbendung. Ia masih ingat, rasa dari setiap sentuhan Amori yang terasa panas di kulitnya.

“She should at least close the curtain before leaving.” Pria itu terkekeh saat membayangkan wajah panik Amori tadi pagi. Ketika gadis itu pertama kali bangun dan menyadari keadaan mereka yang sama-sama telanjang bulat karena semalam, mereka agak keluar batas akibat alkohol.

“It’s too bad that she leaves.” pria bertubuh indah itu mengerang, lalu beranjak dari ranjang yang suhunya semakin menghangat. Tanpa berusaha menutupi tubuh telanjangnya, ia berjalan ke arah jendela. Menatap keluar sekali lagi hanya untuk menemukan berandanya yang benar sepi, tanpa kehadiran siapapun yang sempat ia harapkan bersembunyi disana.

Dengan wajah yang berseri-seri, pria bernama Lucas itu bersiul. Berjalan lenggang masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh yang penuh dengan memori sentuhan Amori.

***

Bersambung....

Benang Merah

Seperti janjinya saat di telepon, Nora benar-benar menjemput Amori di bandara. On time, sama sekali tidak memberikan Amori waktu untuk menyiapkan mental sebelum dimarahi. Ketika mereka bertemu, seperti biasa, Nora mengoceh panjang lebar. Wanita berusia akhir dua puluhan itu benar-benar memastikan Amori dalam keadaan baik, lalu memaksa Amori makan dan istirahat sesaat setelah mereka sampai apartemen.

Lalu seperti rencana, malamnya mereka pergi ke sebuah rumah sakit swasta di pusat Jakarta untuk bertemu dengan dokter spesialis kulit dan kelamin.

“Tuh, kapok nggak lo? Jadi harus minum obat, kan?”

“Tapi kan yang penting, gue gak kenapa-kenapa Ra. Udah dong marah-marahnya.”

Nora berdecak. Seperti biasa, Amori selalu menyepelekan masalah sebelum akhirnya, masalah itu akan meledak bak gunung berapi. Seperti kejadian ketika mantan pacarnya berulang kali terendus selingkuh, Amori juga bersikap santai. Tapi setelah benar-benar ketahuan, gadis itu langsung bersikap impulsif dan kabur.

“Gak ada. Sebelum lo bener-bener aman dari resiko hamil dan jamur kelamin, gue bakal terus bawelin lo. Jadwal kontrol lo udah gue catet, jadi jangan harap lo santai-santai sebelum kita periksa lagi.” Amori sampai tersedak mendengar ucapan Nora. Kini mereka berada di sebuah cafe, dengan segelas kopi yang berada di hadapan masing-masing. Amori menolak pulang ketika tahu, kalau Nora tidak akan menginap malam ini karena gadis mapan itu harus ke luar kota untuk menemani bosnya dalam sebuah pertemuan bisnis.

“Jadi gimana rencana lo kedepan?” Amori menaikkan bahunya ringan. “Jangan kelihatan kayak orang nyasar gitu, ah. Masa cuma gara-gara diselingkuhin si monyet, lo sampe nggak punya gairah hidup? Katanya duit tabungan lo udah habis setengah gara-gara liburan kemarin. Kalo lo begini terus, siapa emang, yang mau bayarin semua cicilan lo?” Amori mencebik, tapi tidak menyangkal kalau uang tabungannya memang berkurang banyak.

“Gue udah minta kerjaan lagi kok, sama Mbak Dara. Lagian gue udah nggak galau. Kucing garong kayak dia sih, nggak bakal bikin gue galau lama-lama.”

“Bagus.” puji Nora, walaupun ia tidak yakin dengan kebenaran ucapan sahabatnya. “Beneran ya Mor, jangan sampe gue denger lo mau balikan sama dia. Kalo dia ngajak ketemu pun, lo harus ajak gue. Jangan berani lo ketemu dia sendirian. Ntar lo goyah, terus balik lagi sama si monyet.”

“Iya Nora, enggak bakal. Nggak usah bahas dia terus, bikin sakit kepala.” Nora menggulirkan matanya malas. Kejadian sebulan yang lalu benar-benar membuatnya trauma. Ketika Amori datang ke apartemennya dengan kondisi yang sangat berantakan. Menangis sesenggukan dan bercerita kalau dia baru saja melihat sendiri pria yang sudah menjadi kekasihnya selama 7 tahun, tidur dengan wanita lain. Dan yang paling parah, hubungan gelap itu sudah berjalan selama 2 tahun terakhir.

Saat itu Amori sampai tidak tidur selama berhari-hari, dan sibuk mempertanyakan kekurangannya. Dia sampai tidak menyelesaikan kontrak kerjanya dengan salah satu klien dan sempat membuat keributan di tempatnya bekerja. Jujur saja, Nora agak sangsin ketika tadi Amori mengatakan bahwa ia kembali meminta kerjaan pada atasannya.

“Terus, waktu lo minta kerjaan, respon Dara gimana?”

“Ya gimana? Dia ngeiyain dong.”

“Ish, kalo gue jadi dia, gue bakal mikir ribuan kali dulu lah, sebelum ngeiyain. Secara kan, project terakhir lo nggak selesai gara-gara galau.”

“Project yang lo bilang nggak selesai itu, cuma sisa 1 minggu Ra. Lagipula, Pak Haris kan akhirnya ada dinas ke luar negeri. Jadi kalau gue dateng pun, siapa yang mau gue masakin?”

“Hoki doang lu mah. Terus, kapan lo mulai kerja lagi?”

“Belum tau. Mbak Dara bilang ada beberapa klien baru yang mau masuk. Tapi gue pegang yang mana belum tau.”

“Semoga cepet dipanggil deh lo. Biar walaupun sekarang lo jomblo, lo nggak boleh miskin.” Amori meringis, walaupun kenyataannya memang benar. Hubungannya yang ia kira sudah matang dan sangat serius, sudah kandas karena orang ketiga. Karena sakit hatinya, setidaknya Amori harus punya uang setumpuk untuk senang-senang.

“Manis sekali mulutmu Nora.”

***

Suara ketukan pantofel yang beradu dengan lantai marmer terdengar nyaring di tengah koridor yang hampir sepenuhnya sunyi. Amori berjalan cepat, mengikuti langkah Dara, kepala divisi Private Culinary Concierge yang akan membawanya menemui perwakilan klien barunya.

“Pokoknya jangan bikin salah sedikitpun ya, Mor. Kemarin Yura langsung dipecat karena belum pulang waktu Tuan Walsh datang.” Amori mengangguk. Mengingat baik-baik setiap pesan yang diberikan oleh Dara selama lima menit terakhir.

“Datang tepat waktu. Untuk sarapan, jam 5 pagi sudah harus datang dan harus sudah pergi dari sana jam setengah sembilan, paling lambat. Dia punya kebiasaan yang cukup ketat, sarapan selalu jam sembilan dan kamu udah nggak boleh ada disana.” mereka berhenti sebentar untuk menunggu lift.

“Dia makan siang di luar, jadi kamu free. Sorenya, kamu sudah harus datang jam empat. Dia biasa pulang jam tujuh malam, jadi kamu harus selesai dan pergi sebelum itu. Inget baik-baik ya Mor.”

“Siap Mbak.”

“Alat masak, bahan makanan, pokoknya semua kebutuhan kamu nanti sudah tersedia. Ingat, jangan bawa alat dari luar tanpa peresetujuan asistennya Tuan Walsh. Oh iya, siklus menu mingguannya harus kamu kirim paling lambat setiap Rabu ya. Nanti biar asistennya Tuan Walsh yang belanja, karena semua spesifikasinya sudah jelas. Kalau ada request khusus, kamu diskusikan lagi siklus menunya sama asisten Tuan Walsh.”

Dara, kepala penanggung jawabnya tiba-tiba menghentikan langkah di depan sebuah ruangan yang biasanya digunakan untuk meeting besar. Amori bahkan baru sekali masuk ke dalam sana, waktu salah satu investor besar datang dan semua pegawai wajib menyambutnya.

“Perwakilan Tuan Walsh ada di dalam. Informasi tadi mungkin akan diulang lagi, jadi kamu catat baik-baik. Biar dia puas dan percaya lagi sama kita setelah kejadian kemarin.”

“Iya, Mbak.” setelah menarik napas dalam, Dara menarik dua sudut bibirnya lebar-lebar. Kacamatanya ia benarkan, lalu tangannya membuka pintu dengan hati-hati.

“Selamat siang, Pak Ari. Mohon maaf menunggu lama.” Amori ikut menunduk singkat mengikuti gestur yang Dara buat. Di hadapan mereka, seorang pria yang mengenakan baju polo berwarna coklat dan celana bahan hitam tersenyum maklum. Amori kira, ia akan menemukan sosok keras yang arogan. Tapi sepertinya imajinasinya berlebihan.

“Tidak apa-apa, Bu Dara. Saya juga baru sampai.” lalu beriringan, mereka duduk di meja bundar dengan saling berhadapan.

“Sebelumnya saya, mewakili Maison Privee ingin meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Tuan Walsh sebelumnya. Pihak kami telah memberikan sanksi yang pantas, atas kesalahan salah satu pegawai kami selama melayani Tuan Walsh kemarin.”

“Oh, bukan masalah besar Bu Dara. Saya pribadi sudah mengatakan kalau Tuan Walsh memang sulit dihadapi. Jadi kejadian kemarin, bukan sepenuhnya kesalahan Maison Privee. Saya malah bersyukur, karena dibanding membatalkan kerjasama, pihak Maison Privee malah mencarikan orang lain untuk mengurus keperluan Tuan Walsh.”

Mendengar respon baik yang diberikan oleh Ari, diam-diam Dara menghela. Wanita berusia pertengahan 30an itu terlihat tidak terlalu tegang seperti di awal. Sementara itu, Amori masih berusaha untuk membaca keadaan. Ia tidak ingin masuk sebelum di persilakan, walaupun rasanya penasaran.

“Jadi, ini gantinya?” Amori spontan mengangguk dan tersenyum ketika Ari beralih menatapnya.

****

Bersambung....

Gagal Move On

“Perkenalkan Pak, nama saya Amori.” mereka berjabat singkat. Tidak ada yang aneh, Ari bersikap sopan dan meresponnya seperti ia merespon Dara.

“Salam kenal, Amori.” Ari tersenyum. Perawakannya seperti orang-orang yang sering keluar masuk tempat gym. Wajahnya tirus, dengan rambut yang klimis dan warna kulit yang agak gelap. Mirip orang-orang yang bekerja sebagai angkatan.

“Salam kenal Pak Ari, mohon bimbingannya.” Ari tersenyum, terlihat puas.

“Mungkin Bu Dara sudah menjelaskan beberapa poin tentang Tuan Walsh, klien yang nantinya akan kamu layani. Sebenarnya tidak semenakutkan itu, hanya saja Tuan Walsh memang agak disiplin soal waktu pribadinya.” Dara terlihat tersenyum sungkan. Amori pun hanya mengangguk singkat sambil mempertahankan senyum profesionalnya.

“Kamu bisa membiasakan diri sambil berjalannya waktu. Kalau kamu mulai kerja sore ini, bisa? Kebetulan Tuan Walsh baru saja pulang dari dinas panjangnya. Jadi dia mau makan di rumah.” Amori menoleh pada Dara, seolah meminta persetujuan. Padahal dia berteriak dalam hati, meminta bantuan agar memiliki waktu lebih banyak untuk mempersiapkan diri.

“Bisa, Pak Ari. Amori bisa mulai bekerja sore ini. Untuk menunya, apakah ada permintaan khusus dari Tuan Walsh?”

“Oh, Tuan Walsh sempat bilang mau makan Clamp Chowder. Kamu bisa, buatnya?” Amori mengangguk langsung. Ia memang sudah pernah beberapa kali buat untuk mantan kliennya yang lama.

“Perfect, then. Kita bisa sekalian belanja kalau begitu.” Ari dengan sumringah menatap bolak-balik pada Dara dan Amori, yang masih tersenyum profesional. Meski terlalu beresiko untuk langsung bekerja tanpa mempelajari lebih jauh profile kliennya yang terkenal keras itu, Dara dan Amori sama-sama tidak bisa menolak. Jadi keduanya mengangguk mengiyakan dan menyiapkan segala keperluan.

***

Amori tidak menyangka, bahwa mereka akan berbelanja semua bahan makanan yang dibutuhkan untuk membuat makanan Tuan Walsh di sebuah resoran bintang lima yang 90% pengunjungnya adalah ekspatriat. Sepanjang menunggu semua bahan makanan yang ia butuhkan disiapkan, Amori dihidangkan Amuse-bouche lengkap dengan segelas champagne.

“Tuan Walsh ini mantan atlet, yang sekarang sedang melatih timnas basket Indonesia untuk FIBA Basketball World Cup. Makannya banyak. Jadi nanti, kamu bisa buat beberapa hidangan lain dari bahan yang sudah kita pesan. Jangan takut makanannya kebuang, karena pasti habis.”

“Baik, Pak.”

“Nggak usah terlalu kaku, Amori. Saya hanya asisten keduanya Tuan Walsh. Lagipula, kita akan sering kerja sama. Jadi akan lebih enak kalau kita bisa bicara sedikit lebih santai.” Amori tersenyum sungkan, tapi tetap mengiyakan.

Pengalamannya sebagai private chef memang belum lama. Selama 2 tahun ia berkarir di bidang ini, Amori baru berganti klien tiga kali sebelum akhirnya melayani Tuan Walsh ini. Hubungannya dengan klien sebelumnya juga tidak sedekat itu. Jadi agak canggung rasanya ketika Ari memintanya untuk bersikap santai.

“Oh, sudah siap. Ayo, Mor.” kata Ari setelah mengecek ponselnya. Pria itu kemudian berdiri dan melenggang ke arah pintu keluar.

“Itu, Pak, bahan makanannya?”

Melihat kebingungan Amori, Ari tersenyum maklum. “Sudah dikirimkan langsung ke rumah supaya nggak rusak. Karena setelah ini kita masih harus mampir untuk membeli beberapa hal.” Amori mengangguk, dan mereka kembali mengelilingi beberapa restoran di Jakarta untuk memesan banyak bahan makanan.Amori hampir-hampir tertidur selama perjalanan saking lamanya mereka berbelanja. Namun kesadarannya kembali penuh ketika mobil yang Ari kendarai masuk ke dalam sebuah komplek apartmen mewah di daerah Kuningan.

Tak banyak bertanya, Amori mengikuti Ari yang berjalan tenang dengan satu tangan yang masuk ke dalam kantong.

“Nanti malam kartu akses buat kamu siap. Jadi besok pagi kamu bisa langsung kesini, nggak usah nunggu saya.”

“Baik, Pak.” Ari tergelak.

“Sudah saya bilang ngga usah terlalu formal. Panggil Ari saja nggak apa-apa. Usia saya nggak jauh dari kamu, kok.” walau masih sangat sungkan, Amori mengiyakan.

“Ini area kerja kamu.” kata Ari sesaat setelah mereka masuk ke dalam sebuah Excecutive Suite bergaya modern-elit. Pasalnya tak jauh dari lift pribadi Tuan Walsh, sebuah dapur luas dengan peralatan profesional yang lengkap terpampang luas.

“Tuan Walsh, bisa masak? Peralatan dapurnya lengkap banget.” tanya Amori tanpa sadar. Ia terlalu takjub dengan kitchen island berbahan marmer putih Calacatta, dengan peralatan dapur built-in merk Miele. Dapur model begitu, adalah impian banyak orang yang gemar masak.

“Nggak, tapi dia suka makan. Makanya sengaja dibuat seperti ini, biar siapapun yang kerja sama dia nggak ada alasan untuk nggak bisa masak makanan yang dia mau.” Ari lalu membuka sebuah pintu yang masih berada di area dapur. “Ini seharusnya digunakan untuk kamar asisten rumah tangga. Tapi karena Tuan Walsh nggak suka ada orang luar yang tinggal satu rumah sama dia, ruangan ini kami alih fungsikan untuk menyimpan bahan makanan.”

Amori benar-benar tidak diberikan kesempatan untuk mengagumi apa yang ia lihat, karena isi di dalam ruangan penyimpanan itu benar-benar di luar nalar. Isinya, bahkan mengalahkan walk-in-chiller di tempat Amori dulu bekerja sebagai helper.

“Ada pertanyaan, Amori? Jam 5 nanti saya harus jemput Tuan Walsh di bandara.” Amori ikut melirik jam dinding yang ada di dapur. Sudah setengah lima sore, dan Amori sudah berencana untuk membuat emapt hidangan termasuk Clamp Chowder yang Tuan Walsh mau.

“Nggak ada, kalau gitu saya bisa mulai masak sekarang?” Ari tersenyum, manis sekali sampai Amori hampir-hampir dibuat naksir. Jika saja sisa perasannya sudah tidak nyangkut pada mantan bang—. Sudah, Amori takut kehilangan fokus jika mengingat si bangs—. Oke, ini beneran udah.

“Oke, silahkan. Kalau begitu saya mau menyiapkan kamar Tuan Walsh.” setelah kepergian Ari, Amori langsung menghela napas panjang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu berjalan ke sebuah lemari kayu kecil yang kata Ari bisa ia gunakan untuk menyimpan barang-barangnya.

Ketika membuka lemari itu, Amori tidak hanya menemukan lemari kosong. Isinya bahkan bisa dibilang penuh dengan seragam masak, alat kebersihan dan bahkan, sikat gigi yang masih baru. “Amori, what had you done in life?”

***

“Lo belom cerita soal klien baru lo. Gimana? Beneran serem nggak, kayak yang Dara bilang?” Amori mengurungkan niatnya untuk langsung mengeringkan rambut. Jika sudah sampai melakukan panggilan video begini, Nora tidak akan mau dibuat menunggu. Apalagi kondisinya, mereka sedang berjauhan karena Nora yang sedang dinas kerja ke luar kota.

“Gue belom ketemu orangnya, Ra. Tapi sejauh ini, dia nggak rewel sih. Buktinya makanan gue belum ada yang di komplain.”

“Jadi yang kemarin itu, hiperbolanya si Dara doang?”

“Ya, nggak tau. Tapi yang pasti, Yura nggak mungkin sampe resign kalau emang teguran dari Tuan Walsh nya biasa-biasa aja.” Nora terdengar sepakat di seberang sana. Wanita itu mulai menceritakan pengalamannya untuk pertama kali pergi ke benua biru. Walaupun hanya untuk urusan pekerjaan, Nora terdengar senang karena bisa menyelam sambil minum air.

“Ih, lo serius berangkat kerja nggak pake make up?”

“Buat apa? Masih pagi buta begini, nggak bakal ketemu siapa-siapa disana.”

“Seenggaknya pake lipstick, sedikit aja Mor. Biar nggak pucet.” Amori menggulirkan matanya malas, namun mengiyakan ucapan Nora. Wajahnya memang kelewat polos jika tidak dipoles warna. Jadi ia meraih sebuah liptint dan memakainya tipis.

“Nah, mendingan.” mereka kemudian sama-sama berpamitan sebelum menutup telepon. Amori keluar dari apartemennya dan berkendara ke area Kuningan dengan menggunakan motor matic kesayangannya.

Sesampainya di kediaman Tuan Walsh, Amori langsung berganti pakaian dan mulai menyiapkan bahan makanan yang sudah ia siapkan sejak kemarin sore. Di hari keenamnya bekerja untuk Tuan Walsh, Amori sudah mulai menemukan pola kerja yang nyaman dan memudahkan untuknya.

Setelah semua bahakan makanan yang ia butuhkan siap, Amori mulai memasak satu persatu hidangan yang sudah ia susun. Sebuah lagu terputar lewat airpods-nya. Sesekali bibirnya ikut bergumam, menyanyikan lagu-lagu yang berganti setiap tiga menit sekali.

Pekerjaannya cukup menyenangkan. Memasak makanan enak setiap harinya, dengan bahan makanan berkualitas yang selalu tersedia, dan peralatan yang lengkap juga professioanl, siapa yang tidak suka. Amori bahkan bertah berlama-lama di dapur hanya untuk membuat setiap hidangan yang orang minta untuk ia buatkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Langit di luar juga sudah sangat terang walau hanya bisa Amori intip di balik gorden tebal nan mahal milik Tuan Walsh yang belum dibuka. Dalam beberapa menit, pekerjaannya selesai. Amori hanya tinggal memarinasi daging untuk hidangan yang akan ia masak nanti sore.

Baru saja kembali dari ruang penyimpanan, langkah Amori terhenti. Pemandangan di depannya sungguh bukan sesuatu yang nyaman untuk dilihat.

“Selamat pagi, Amori. Belum selesai masaknya?” mulut Amori agak gagu. Entah apa yang harus ia lakukan ketika habis melihat sepasang pria bercumbu pagi-pagi.

“E–eh, selamat pagi, Mas Ari.” Amori berusaha keras untuk bersikap normal, meski caranya bicara terdengar seperti orang yang baru saja minum segelas air lemon setelah tahu kalau Ari gay.

***

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!