HAPPY READING
jangan lupa follow akun instagram author rossssss_011
Udara pagi Bandung menyambut dengan kesejukan yang menusuk lembut ke kulit. Embun masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah sisa hujan semalam memenuhi udara. Jalanan ramai oleh suara deru motor, langkah kaki pekerja, dan pedagang yang menyiapkan dagangan.
Di tengah suasana itu, keluarga kecil berjalan kaki menyusuri lorong-lorong sempit. Raka Bramasta berjalan paling depan, memanggul tas besar di bahunya. Di belakangnya, Syla menggandeng tangan Dion yang masih setengah mengantuk, sesekali menguap kecil, sepatu mereka berdecit pelan setiap kali menginjak genangan tipis sisa hujan.
“Masih jauh, Yah?” tanya Syla, tetap mengikuti langkah ayahnya.
Raka tidak menoleh, dia tetap berjalan. “Sedikit lagi,” jawabnya.
“Ayah, Dion ngantuk,” sahut anak laki-laki yang kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul.
Lorong yang mereka lewati dipenuhi tembok tua berlumut, Sebagian catnya mengelupas, menyisakan warna kusam yang pernah cerah. Bau gorengan dari warung di tikungan bercampur dengan aroma kopi hitam yang sedang diseduh.
“Kita sudah sampai,” gumam Raka, menatap rumah ber cat biru langit dengan pagar besi setinggi dada orang dewasa di depannya.
Syla menatap rumah di depannya, rumah yang akan menjadi pelindung dikala hujan, pelindung dikala badai datang.
“Inilah rumah kita mulai hari ini,” ucap Raka, suaranya terdengar lega sekaligus berat.
Syla dan Dion hanya mengangguk, menatap rumah itu seperti sedang membaca cerita yang belum ia mengerti. Dion, masih memegang tangan kakaknya, tersenyum lebar meski matanya belum sepenuhnya terjaga.
&&&
Parkiran belakang SMA Merah Putih Bandung pagi itu dipenuhi aroma bensin bercampur asap rokok tipis yang tertiup angin. Deretan motor bebek dan skuter siswa lain tampak biasa saja, sampai deru garang RX King terdengar memecah riuh.
Kepala-kepala mulai menoleh. Beberapa siswa yang duduk di tembok pembatas otomatis berdiri, Sebagian mundur memberi jalan, seakan dunia tahu siapa yang akan melintas.
“Lo tahu, siapa mereka?” tanya seorang siswa dengan seragam rapi. Mungkin dia siswa baru.
“Tahu, mereka anak-anak geng motor. Kakak gue gabung sama geng mereka,” jawabnya tanpa berani menatap terlalu lama.
Tiga motor masuk beriringan. Di depan, Anhar dengan jaket hitam setengah terbuka, wajah datarnya tak banyak bicara tapi memancarkan sinyal, jangan cari masalah kalau tak mau masalah datang padamu. Di kanan, Vino tatapannya tajam seperti sudah siap menghajar siapa saja yang berani menatap terlalu lama. Di belakang, Keylo, sedikit menyeringai seperti biasa, seakan kehadirannya di sekolah bukan untuk belajar, tapi untuk mengawasi wilayahnya.
Ban-ban motor mereka berhenti di sudut parkiran yang seakan otomatis menjadi ‘wilayah terlarang’ bagi siswa biasa. Suara mesin mati satu per satu, tapi suasananya tetap menegang.
“Pagi ini kok sepi, ya?” ucap Vino sambil menurunkan kakinya dari motor.
“Sepi atau diem karena mereka udah tahu kita datang,” jawab Keylo santai, menatap beberapa siswa yang buru-buru memalingkan muka.
Anhar tidak menjawab. Ia hanya menyalakan rokok, menatap ke arah gedung sekolah seperti sedang menghitung detik sebelum masuk ke medan yang sama sekali bukan pelajaran.
Bel berbunyi dari arah depan, tapi di parkiran belakang, waktu seolah berjalan lebih lambat.
“Yoyo nggak masuk, masih sakit,” celetuk Vino, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seragamnya.
“Lemah,” lirih Keylo.
“Wakil lo tuh, demam doang langsung tumbang, hahah,” kekeh Vino menatap Anhar. Yang ditatap hanya diam dengan wajah datarnya.
“Jaguar sama Haikal masih di jalan, mau duluan masuk kelas atau kita tunggu di sini?” tanya Keylo.
“Bos?” Vino ikut menatap Anhar yang duduk di atas jok motornya, menunggu jawaban dari ketua mereka.
“Tunggu,” singkat, padat, dan jelas.
Anhar membuang puntung rokoknya, menginjaknya pelan. Ia mengangkat wajah, menatap langit yang mulai memutih disapu cahaya pagi. Tatapannya kosong, tapi entah kenapa, ada kesan seperti sedang menghitung sesuatu.
&&&
Syla menghela napas panjang sambil menatap daftar belanja yang digenggamannya. “Kita cuma beli yang penting aja, ya. Uang ayah belum turun,” katanya pada Dion yang berjalan di sebelahnya sambil memainkan resleting jaket.
“Tenang aja, Kak. Aku nggak akan minta jajan, kalau nggak sengaja lewat rak permen,” jawab Dion dengan senyum jail.
Udara pagi Bandung masih terasa sejuk meski matahari mulai naik. Jalanan dekat kontrakan mereka cukup ramai, deru motor bercampur dengan suara pedagang sayur yang menata dagangannya. Syla dan Dion menyeberang menuju supermarket kecil di sudut jalan.
Begitu masuk, aroma roti panggang dari bagian bakery langsung menyambut. Dion berhenti sejenak, matanya terpaku pada rak roti isi cokelat.
Syla melirik adiknya. “Dion…,” ucapnya, nada memperingatkan.
Dion pura-pura batuk, lalu melanjutkan langkahnya ke rak mie instan. “Kan cuma liat.”
Mereka mulai memasukkan kebutuhan pokok ke keranjang: beras, minyak, telur, gula. Syla sesekali memeriksa harga, menghitung-hitung dalam kepalanya.
“Kalau belanja kayak gini terus, kita harus pintar nyisihin uang buat akhir bulan,” gumamnya.
Saat mereka sedang memilih sayuran, Syla merasa ada yang memperhatikan. Ia menoleh sekilas dan melihat dua anak SMA berseragam berdiri di dekat rak minuman, salah satunya tersenyum samar ke arahnya sebelum buru-buru pergi.
“Kenapa, Kak?” tanya Dion.
“Nggak papa,” jawab Syla sambil menggeleng, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Setelah membayar di kasir, mereka berjalan pulang dengan kantong belanja di tangan. Kantong belanja bergoyang di tangan Syla, beratnya membuat jari terasa pegal. Dion berjalan sedikit di depan meloncat-loncat menghindari genangan air hujan semalam.
“Kak, besok aku juga mulai masuk sekolah, kan?” tanyanya membalikkan badannya ke arah Syla.
Syla mengangguk. “Iya, besok aku antar,” jawab Syla. “Liat ke depan, nanti kamu jatuh.”
“Kira-kira, besok aku langsung dapat teman nggak, ya? Apa ada yang mau temanan besok sama aku? Kalau nggak ada, gimana?” cecar Dion. Masih dengan posisi yang sama.
“Dion, lihat ke depan,” peringat Syla, namun Dion masih saja berjalan mundur.
Dari ujung gang, tiga motor muncul perlahan. Bukan motor biasa, knalpotnya berderum kasar, catnya dipenuhi stiker, dan pengendaranya mengenakan jaket hitam dengan simbol tengkorak di punggung.
Syla refleks menarik Dion ke pinggir. Pandangannya bertemu dengan salah satu dari mereka, anak SMA dengan mata tajam dan tatapan yang membuat dada Syla berdebar aneh. Dia mengangkat dagu sedikit, seolah memberi salam tanpa senyum.
Motor-motor itu melintas begitu dekat, aroma bensin dan parfum murah bercampur di udara. Syla menoleh, melihat salah satu dari mereka menengok ke belakang sebelum hilang di tikungan.
“Kak, itu siapa?” tanya Dion, nada suaranya bercampur kagum dan waspada.
“Nggak tahu dan sebaiknya kita nggak usah tahu,” jawab Syla cepat. Tapi di dalam hati merasa pertemuan singkat itu bukan kebetulan.
Mereka melanjutkan langkah. Namun, Syla tak menyadari bahwa tatapan tajam tadi berasal dari seseorang yang akan menguji batas keberaniannya di masa depan.
&&&
Jalanan di pinggir kota Bandung sore itu seperti memihak mereka. Matahri condong ke barat, meninggalkan bayangan panjang di aspal. Suara bising kendaraan kota mulai memudar, digantikan deru berat RX King full hitam yang memecah keheningan.
Anhar memimpin di depan, helm hitam polos menutupi Sebagian besar wajahnya. Di belakang, Vino dan dua anggota lain membentuk formasi rapat, masin mereka meraung seperti sekumpulan serigala yang kembali ke sarang.
Mereka berbelok ke gang kecil di ujung jalan, melewati tembok-tembok yang penuh coretan. Suara motor langsung menggema, dan di ujung gang itu, sebuah pintu besi tinggi dengan cat hitam kusam menunggu… markas mereka.
Tanpa banyak bicara, Anhar mematikan mesin, tatapannya dingin ke arah pintu. Sore itu bukan sekedar pulang sekolah. Ini adalah perjalanan kembali ke wilayah mereka, tempat semua rahasia disimpan, dan rencana-rencana baru dihadirkan.
“Lama banget lo pada, sampai kaki gue kesemutan nunggu,” kesal Haikal pada sahabatnya yang baru saja tiba.
Vino menggeleng dengan senyum nakal. “Gue kan udah ngomong, kunci markas tinggal aja di sini, biar lo pada nggak nunggu orang yang bawa kuncinya,” jawabnya sembari membuka pintu.
“Masuk,” lanjutnya.
“Penting banget ya, sampai anak-anak yang lain nggak gabung?” tanya Jaguar masih duduk di kursi kayu.
“Lo kayak nggak tahu aja bos lo,” timpal Keylo.
Mereka akhirnya masuk ke dalam, sebelum Jaguar masuk dia kembali menatap sekelilingnya, memastikan memang tidak ada yang mencurigakan di sekitar markas. Setelah di rasa aman, kemudian dia menyusul masuk.
Bangunan tua yang jika dilihat dari depan seperti sebuah bangunan kosong yang tak berpenghuni, gerbang yang ditumbuhi banyak tanaman liar semakin menambah kesan menyeramkan. Tapi, jika sudah masuk ke dalam bangunan itu, ada kehidupan di dalamnya.
“Yang nyerang Ahes, siapa?” Anhar bertanya dengan wajah datar dan dingin.
BARU BAB PERTAMA NIH, KOMENNYA JANGAN KETINGGALAN YA, LIKENYA JUGA JANGAN LUPA😁😁😆
TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA TELAH MAMPIR ☺☺😌
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👇👇
PAPPAYYYYY👋👋👋👋👋
HAPPY READING
Jangan lupa follow akun author @rossssss_011
Pagi di Bandung masih dibungkus kabut tipis ketika Syla menyalakan kompor kecil di dapur. Aroma nasi goreng sederhana mulai memenuhi ruangan. Tangannya cetakan mengaduk, sementara matanya sesekali melirik ke jam dinding. Waktu bergerak terlalu cepat.
“Dion! Bangun! Jangan pura-pura mati kamu!” teriak Syla dari dapur.
Tak ada jawaban. Hanya dengkuran berat dari kamar adiknya, seperti biasanya. Syla mendengus, lalu meninggalkan wajan di atas api kecil untuk menyeret selimut Dion. Anak itu meringkuk, wajahnya damai seperti tidak ada urusan dengan dunia.
“Bangun! Kita terlambat, Dion!” Syla menggebrak kasur. Dion meringis, tapi tetap bergeming sampai kakaknya mencubit lengannya.
“Aakkhhh… sakit kak Syla,” ringisnya setengah mata terbuka.
Syla berdecak kesal. “Makanya cepatan bangun, kalau nggak kita bisa telat.”
Dion merubah posisinya, mulai bangun dengan kesadaran belum sepenuhnya terkumpul, Sebagian nyawanya masih ada pada bantal dan selimutnya. “Isss, iya ini bangun.”
“Buka mata kamu!” seru Syla. “Mandi, terus siap-siap. Kakak siapin seragam kamu,” lanjutnya seperti seorang ibu pada umumnya.
Dion tidak menjawab, hanya mengangguk saja dengan wajah yang masih sama. Syla meninggalkan kamar kecil itu, kembali ke dapur dan menata nasi goreng sederhana di atas meja makan.
“Adik kamu sudah bangun?”
Syla melihat Raka yang telah siap dengan setelan kerjanya, ayahnya bukan seorang CEO, bukan juga seorang yang memiliki jabatan tinggi di tempatnya bekerja. Raka hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan besar, mereka pindah ke sini, karena Raka dipindahkan dari tempat kerja sebelumnya.
“Sudah, Ayah,” jawab Syla.
Raka mengangguk. “Kamu benaran tidak akan terlambat jika mengantar adikmu dulu?” tanyanya di sela memakan nasi goreng di depannya.
“Tidak kok, lagi pula cuma dua puluh menit aja dari sekolah Dion ke sekolah aku.”
“Ya sudah.” Raka mengeluarkan dua lembar uang biru, memberikannya pada Syla. “Ini, berikan juga pada adikmu.”
“Ayah, ini kebanyakan.”
“Tak apa, lebihnya bisa kamu simpan untuk keperluanmu yang lain.”
Syla mengangguk saja, tak lama Dion datang dengan seragam putih birunya. Anak laki-laki berusia tuju belas tahun itu terlihat tampan dengan rambut yang disisir rapi kebelakang, kemeja putihnya di masukkan kedalam.
“Wah, nasi goreng,” seru Dion, kemudian duduk di kursi kayu yang kosong.
Syla dan Raka hanya tersenyum, walau sarapan pagi hanya dengan nasi goreng sederhana. Meja makan di rumah ini terlihat tetap hangat, seorang ayah memandang kedua anaknya dengan seragam sekolah, mengharapkan kesuksesan untuk kedua anaknya.
&&&
Setelah lima belas menit berjalan, Syla dan Dion sampai di depan gerbang sekolah Dion. Untung jaraknya tak sampai seperempat jam dari rumah.
Syla menatap Dion, kembali membenahi seragam adiknya,menyisir rambut adiknya dengan jari-jarinya. “Hari pertama jangan buat masalah, berikan kesan baik. Oke?”
Dion mengangguk dengan senyum manis. “Siap, kak Syla nggak perlu khawatir.”
“Bagus, kamu masuk sana,” Syla sedikit mendorong tubuh adiknya.
Dion sempat berbalik lagi untuk menatap kakaknya. “Kak Syla, hati-hati ya.”
Syla tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban. Melihat Dion telah melewati gerbang sekolah itu, Syla melangkah ke halte terdekat. Menunggu bus yang akan membawanya ke SMA Merah Putih, tempat barunya bersekolah. Perjalanan butuh dua puluh menit, cukup untuk membuat pikirannya melayang-layang.
“Semoga hari ini lancar,” lirihnya.
Dia tidak menaruh harapan besar. Syla hanya gadis beruntung mendapatkan beasiswa penuh di sekolah bergengsi itu. Dia tidak mencari popularitas atau teman. Satu-satunya keinginannya sederhana, belajar dengan damai, tanpa drama yang melelahkan.
“Bisa Syla, kamu bisa.” Syla menatap gerbang sekolah di depannya.
Begitu kakinya menginjak halaman sekolah untuk pertama kalinya, Syla merasakan sesuatu yang berbeda. Sorot mata orang-orang terasa menelusuri setiap langkahnya.
Dalam hati, Syla tahu mungkin kesialan di hari pertamanya sudah menunggu di tikungan, dan harapannya untuk hari yang tenang tidak akan terkabul.
“Pagi pak,” Syal menyapa pria paru baya yang menjaga gerbang sekolah.
“Pagi nak,” jawabnya dengan senyum khasnya. “Kamu sepertinya bukan siswi lama, kamu siswi baru?”
Syla meringis pelan, kemudian mengangguk beberapa kali. “Iya pak, saya siswi baru.”
Pria paru baya itu tersenyum lagi. “Owh begitu,”
“Pak, ruangan kepala sekolah di mana, ya?” tanya Syla.
“Kamu dari sini, lurus saja sampai gedung utama bertingkat dua. Setelah kamu sampai di depan sana, kamu tinggal belok kiri, terus paling ujung setelah ruangan guru. Itu ruangan kepala sekolah.”
Syla mengangguk paham. “Terima kasih pak,” ucapnya tulus.
“Sama-sama.”
Bel pertama telah berbunyi, semua siswa masuk ke kelas masing-masing. Syla menyusuri koridor kelas yang sepi, matanya mengagumi interior sekolah ini. Setiap kelas yang dia lewati memiliki dekorasi mewah, hingga langkahnya tepat di depan ruangan yang dia tuju.
“Ruangan kepala sekolah,” ejanya melihat papan nama di atas ujung pintu berwarna cokelat.
Tok, tok, tok.
“Masuk,” seru dari dalam ruangan itu.
Syla merapikan kembali seragam sekolahnya, lalu menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangan itu dengan pelan. Saat pintu sepenuhnya terbuka, Syla dapat melihat seorang guru perempuan duduk di depan meja kelapa sekolah.
“Kamu murid baru itu, ya?” suara bas seorang mengalihkan pandangan Syla. “Masuk,” lanjutnya.
“I-ya pak, saya murid pindahan dari SMA Bakti,” jawab Syla dengan kedua tangan saling meremas.
“Baik, perkenalkan saya kepala sekolah di sini. Nama bapak Sudirman, dan guru ini adalah Bu Aras, wali kelas kamu.” Sudirman tersenyum pada Syla.
“Dan Bu Aras, ini Syla Liora. Murid baru yang saya katakan tadi.”
Aras mengangguk mengerti, tersenyum menatap Syla. “Baik pak, kalau begitu kami permisi dulu.”
Sudirman mengangguk. “Silahkan, dan Syla… semoga kamu betah di sekolah ini.”
&&&
Syla berdiri di depan kelas XI Bahasa, berhadapan dengan puluhan pasang mata yang Sebagian terlihat bosan, Sebagian lain memandangnya seperti ia adalah berita buruk yang baru saja diumumkan.
“Silahkan perkenalkan diri,” ujar Bu Aras dengan senyum tipis yang mencoba menenangkan, tapi gagal meredahkan degup jantung Syla.
Syla menarik napas pelan. “Nama saya Syla Liora, pindahan dari SMA Bakti,” ucapnya, suaranya terdengar jelas walau sedikit bergetar.
Bu Aras menatap murid-muridnya. “Ada pertanyaan?” tanyanya.
Beberapa detik hening. Sama sekali tak ada jawaban, membuat Syla semakin meremas rok abu-abunya. Suara kipas angin di sudut ruangan terdengar lebih keras dari seharusnya, tatapan-tatapan itu bukan tatapan penasaran, melainkan seperti bisikan tanpa suara: kamu nggak seharusnya ada di sini.
Barisan belakang mulai berbisik, ada yang tersenyum miring sambil melirik ke temannya, ada yang menatapnya dari atas ke bawah seperti menilai barang di etalase. Syla tak mengerti, tapi rasa dingin menyerap di punggungnya.
Bu Aras mengangguk, kemudian menatap Syla. “Duduk di sana, sebelah jendela,” perintah Bu Aras.
“Baik bu, terima kasih.”
Syla berjalan melewati lorong sempit di antara meja-meja, menunduk sedikit. Saat ia melewati bangku tengah, telinganya menangkap bisikan seorang siswi, cukup jelas untuk membuatnya berhenti seperkian detik.
“Itu yang kemarin katanya…?”
“Iya, anak baru itu. Hati-hati, dia bisa bikin masalah.”
Syla ingin bertanya maksudnya, tapi memilih mengabaikan. Ia tidak tahu kalau gosip yang mengiringi kedatangannya itu bersumber dari ceritai berantai yang jauh dari kebenaran dan entak kenapa, beberapa cerita itu bermula dari lingkaran yang bahkan belum pernah ia temui.
&&&
Bel istirahat berbunyi, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di kelas XI Bahasa. Suara kursi berderit, tawa lepas, dan langkah tergesa keluar kelas memenuhi udara. Beberapa siswa langsung berkelompok, membicarakan rencana makan di kantin atau nongkrong di parkiran belakang.
Di tengah riuh itu, Syla dudu di bangkunya seperti patung yang terlupakan. Tangannya meraih buku paket tebal yang tadi diberikan Bu Aras, membuka halaman pertama hanya untuk memberi dirinya alasan agar tidak terlihat kebingungan.
“Ada yang berkelahi, woi!” seru salah satu murid.
“Siapa tuh?”
“Palingan juga langganan BK.”
“Tahu aja lo.”
“Itu Ahes, siswa baru.”
“Lah, dia lawan siapa?”
“Nggak tahu, yang jelas Ahes pimpin tuh.”
Suara teriakan dan hentakan kaki mulai terdengar dari arah lapangan basket, memecah suasana siang itu. Dari jendela, terlihat bayangan siswa-siswa berlarian,Sebagian berteriak heboh, Sebagian lagi hanya ingin melihat keributan yang sedang memanas.
“Ahes?” bisik seorang siswa laki-laki yang berlari keluar kelas setelah mendengar nama itu.
Syla yang penasaran pun perlahan mengalahkan keinginannya untuk tetap duduk diam. Ia melangkah ke balkon, mencari sumber keramaian.
“Kenapa mereka suma cuma lihatin, nggak dipisahin,” bisiknya entah pada siapa.
KAYAK BIASA YA BESTIE😌
KOMENNYA JANGAN LUPA, LIKENYA JANGAN KETINGGALAN JUGA YA, KARENA SEMUA ITU ADALAH SEMANGAT AUTHOR 😁😉😚
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA MASIH TETAP BETAH DI SINI😗😗🙂🙂
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 🤗
PAPPA
HAPPY READING
Jangan lupa follow akun instagram author @rossssss_011
“Aawwsss, pelan-pelan dong. Sakit nih,” rintih Ahes, wajahnya berusaha menghindari kapas yang telah diolesi alkohol.
“Lo bisa diam nggak sih?” kesal Eval, menatap jengah tingkah sahabatnya.
“Gue nggak bisa diam saat lo tekan keras, lo kasar banget,” gerutu Ahes dengan wajah masih menahan rasa perih hasil adu tenaga tadi di sekolah.
Eval mulai kesal, dengan cepat meraih wajah Ahes, mengobati lebam yang sudah menghiasi wajah laki-laki berkulit putih itu. “Padahal, luka yang kemarin aja belum hilang. Lo malah nambah hiasan lagi.”
“Namanya juga cowok, biasa.”
“Jawab mulu lo.”
“Aws! Jangan ditekan peak!”
“Lemah.”
“Den Ahes berkelahi lagi memangnya?” tanya wanita paru baya sambil meletakkan gorengan di atas meja kayu tua, pesanan kedua siswa langganannya.
Eval mengemasi kotak P3K setelah selesai mengobati Ahes. “Iya mbok, udah jagoan dia.”
Mbok Nyem tersenyum dan menggeleng pelan. “Jangan keseringan, mbok lihat luka yang kemarin saja belum sembuh tuh.”
“Hahah, ini nggak ada apa-apanya kok mbok,” jawabnya mencomot gorengan bakwan di depannya.
“MBOK, PESAN GORENGANNYA SEPORSI DONG!”
Ahes, Eval, dan Mbok Nyem melirik sumber suara dari arah depan warung. Segerombolan siswa laki-laki dengan seragam yang urakan, ada juga yang masih rapih, dibalut dengan jaket kulit hitam berjalan ke arah warung.
“Bolos lagi kalian?” tanya wanita paru baya itu. Sepertinya wanita itu sudah sangat mengenal dan dekat dengan siswa-siswa ini.
“Bolos? Nggak dong mbok. Kita cuma lagi lari dari kelasnya pak Sanas,” jelas salah satu dari mereka dengan rambut panjang dan sedikit berantakan, itu Yoyo.
“Sama saja, itu bolos.” Mbok Nyem kembali masuk ke warungnya, menyiapkan pesanan mereka.
Ahes dan Eval memberikan salam, bertos ala laki-laki, di lihat dari postur tubuh dan tinggi mereka. Mereka adalah senior Ahes dan Eval.
“Jelek banget muka lo,” papar Jaguar saat melihat wajah Ahes yang banyak memarnya.
Ahes hanya tersenyum tipis. “Biasa bang.”
“Lo udah tahu siapa yang nyerang lo malam itu?” tanya Keylo duduk di depan Ahes dengan meja di antara mereka.
Ahes menggeleng, menatap Eval lalu kembali menatap para seniornya. “Nggak bang, tapi gue rasa itu anak-anak Demon.”
“Lo yakin?” timpal Vino.
“Bukan anak-anak Galaksi?” sambung Haikal.
Ahes sekali lagi menggeleng mantap. “Bukan bang, gue yakin itu memang ulah Demon. Gue bisa tahu karena postur tubuh mereka beda.”
“Pertanyaan Anhar masih berlaku buat lo, mau balas mereka atau nggak?” Keylo melirik Anhar yang duduk diam di kursi kayu yang terpisah dengan mereka.
Ahes diam, menatap Eval yang juga menatapnya. Siswa kelas sepuluh itu kemudian melirik Anhar, sosok yang dikaguminya. Anhar adalah alasan dia ikut bergabung dalam dunia malam.
“Gimana?” suara berat Anhar menggema di telinga Ahes.
&&&
Senandung kecil mengiringi langkah kaki Syla di koridor kelas yang sepi, di pelukannya ada beberapa buku paket yang baru saja diberikan wali kelasnya tadi.
Kakinya berhenti, memutar tubuhnya saat mendengar suara ribut di lapangan basket. Ia dapat melihat, di sana sekelompok siswa tengah bermain basket. Seragam di lepas, hingga menyisahkan kaos hitam dan putih yang memperlihatkan lekukan tubuh para pemain itu.
“Jangan lihat mereka terlalu lama.”
“Eh,” lirih Syla, wajahnya jelas kaget dengan sosok yang entah muncul dari mana.
“Lo murid baru?” tanyanya, melihat Syla seolah menilai.
Syla mengangguk samar. “I-ya, baru aja masuk tadi pagi.”
“Pantas, lo pasti nggak kenal siapa mereka di sekolah ini.”
Walau bingung dengan ucapan laki-laki di depannya, Syla tetap mengangguk samar. Memang jelas dirinya tidak tahu siapa mereka itu, bahkan semua informasi sekolah ini saja masih banyak yang dia tidak tahu.
“Gue Agam Suseno, ketua Osis.” Siswa yang baru saja memperkenalkan diri dengan seragam sekolah yang rapi, dibalut almamater sekolah biru tua, serta rambutnya yang rapi.
Syla menyambut uluran tangan Agam dengan ragu, jabatan tangan itu seperkian detik. “A-ku Syla Lioran.”
Agam tersenyum. “Lo udah kenal sama semua tempat di sekolah ini?” tanyanya dengan ramah.
Syla menggeleng. “Belum,” katanya.
Agam bisa menyimpulkan jika murid baru di depannya ini adalah sosok yang pemalu, mungkin juga sedikit polos. “Kalau gue nawarin buat jadi pemandu lo keliling sekolah ini, lo mau?”
Syla mengangguk saja, lagi pula jika bukan Agam maka siapa yang akan memandunya berkeliling sekolah sebesar ini. Jadi dia ikut, dari pada harus menunggu atau bahkan tak akan ada yang menawarinya seperti Agam.
“Oke, kita mulai dari gedung utama dulu.”
&&&
Lapangan sekolah siang itu tampak seperti panggung kecil yang dipenuhi sorak-sorai. Matahari menggantung tinggi, panasnya seperti sengaja menguji kesabaran para pemain basket. Bola memantul keras di lantai, menghasilkan bunyi yang mengiringi napas mereka yang memburu.
“Guys, main sampai sepuluh poin aja. Gue udah lapar,” kata Yoyo sambil mengusap perutnya.
Jaguar mengangkat alis. “Lo lapar mulu, main dulu baru mikir makan.”
“Biarin aja, Jar. Kalau dia nggak dikasih makan, nanti mukanya mirip bola basket,” timpal Vino, duduk di pinggir lapangan sambil minum.
Haikal terkekeh, lalu mulai menggiring bola. Keylo mencoba merebut, tapi Haikal memutar tubuhnya dengan cepat.
“Lo pikir gue gampang dilewatin?” Keylo berusaha menghalau, tapi bola sudah lolos dari jangkauannya.
Anhar, yang dari tadi cuma mengamati, ikut masuk permainan. “Bagi tim,” ujarnya.
“Oke, gue gabung Anhar sama Haikal,” seru Yoyo dengan senyum bangganya, menatap Jaguar yang hendak menelannya hidup-hidup. “Jaguar, Keylo, dan Vino satu tim.”
Vino terkekeh melihat tingkah Yoyo. “Biarin aja, nyenengin anak orang pahalanya gede bro,” ujarnya menepuk pundak Jaguar.
“Curang banget lo,” omel Jaguar. Wajah Yoyo sangat menyebalkan bagi Jaguar, ingin rasanya mencabik-cabik.
“Udah, main sekarang,” Keylo melarai, memberi aba-aba pada Anhar agar mulai.
Bola kembali dimainkan. Gerakan cepat, beberapa kali lemparan meleset, dan tawa lepas bercampur dengan derit sepatu. Tak ada penonton, tak ada sorakan. Hanya mereka, bermain untuk mengisi waktu siang yang perlahan menua.
&&&
Agam berjalan bersama Syla menyusuri setiap gedung sekolah yang bertingkat, decakan kagum terus saja terdengar dari bibir Syla, membuat Agam hanya terkekeh pelan melihatnya.
“Di gedung ini, khusus ekstrakurikuler. Ada tiga lantai, ruangan masing-masing lantai ada lima,” jelas Agam.
Syla mengangguk mengerti. “Ekskulnya banyak juga ya.”
“Lo pasti kaget, di sini ada lima belas jenis ekskul, lo bebas gabung mana aja.”
“Sebanyak itu?”
“Hahah, iya. Dari lima belas itu, dibagi tiga kategori. Olahraga dan bela diri ada lima kelompok, seni dan kreatif juga lima, terakhir akademik dan sains, sama lima kelompok juga.”
Syla kembali mengangguk. “Pasti isinya anak-anak ambis semua, ya?”
Agam terkekeh. “Nggak juga. Ada yang serius, ada juga yang cuma numpang eksis.”
Mereka berjalan kembali, hingga di ujung koridor mereka tak sengaja berpapasan dengan siswa yang tak memakai kemeja sekolah. Syla tampak terkejut saat hampir saja menabrak salah satu dari mereka.
“Widih, siapa nih? Gue nggak pernah lihat nih cewek,” celetuk salah satu dari mereka, itu Vino.
“Murid baru,” itu Agam, bukan Syla yang menjawab. “Seragam lo pada ke mana?” lanjutnya.
“Kepo,” jawab Yoyo.
Agam sudah biasa, meladeni anak-anak bendel seperti di depannya ini bukan hal yang pertama baginya. Beda dengan Syla, gadis itu hanya menunduk saat tatapan mata tajam mereka melihatnya. Bahkan ada yang menatapnya lebih tajam, dingin.
“Murid beasiswa?” tanya Jaguar menatap Syla dari ujung kepala hingga ujung sepatunya.
Agam melirik Syla, lalu mengangguk. “Iya.”
“Pantas, penampilannya aja udah jelasin dia anak beasiswa. Cewek murah ternyata,” cemooh Vino, mulutnya memang sangat licin.
Syla semakin menunduk, tak berani bergerak, atau mengangkat wajahnya sedikit saja. Memeluk bukunya dengan erat, seolah menjadikannya tameng.
Agam menghela napas sabar. “Guys, mending lo pada cabut sebelum Bu Mei lihat.”
KAYAK BIASA YA BESTIE😌
KOMENNYA JANGAN LUPA, LIKENYA JANGAN KETINGGALAN JUGA YA, KARENA SEMUA ITU ADALAH SEMANGAT AUTHOR 😁😉😚
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA MASIH TETAP BETAH DI SINI😗😗🙂🙂
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👇👇👇
PAPPAYYYYY👋👋👋👋👋
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!