Maura berjalan menyusuri lorong kantor tempatnya bekerja dengan membawa nampan berisi kopi dan sandwich permintaan atasannya. Ia seorang asisten pribadi, tetapi pekerjaannya tidak hanya mengatur jadwal atasannya. Apa pun ia lakukan, walau kadang beberapa pekerjaan terkesan mengejek harga dirinya.
Sampai di ujung lorong, ia menatap pintu kaca berwarna hitam pekat yang menjulang tinggi di hadapannya. Tidak ada yang bisa melihat ke dalam, namun siapa pun yang ada di dalam bisa melihat luar dengan sangat jelas. Setelah menarik napas panjang, ia meletakkan jarinya di sensor khusus yang ada di daun pintu, lalu masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Pandangannya mengitari seluruh ruangan, tidak ada siapa pun di sana. Keningnya mengerut. "Ke mana perginya? Tidak ada jadwal meeting hari ini," gumamnya.
Ia meletakkan nampan itu di sisi meja yang tidak dipenuhi tumpukan kertas. Begitu akan berbalik sebuah tangan melingkar di perutnya. Aroma yang sangat ia kenali menusuk penciumannya. Tanpa melihat, ia sudah tahu siapa yang sedang memeluknya.
"Saya mohon jangan seperti ini, Pak. Tidak enak kalau sampai dilihat Jessica dan yang lain." Maura menggeliat tidak nyaman, berharap pria itu melepaskannya.
"Tidak ada orang di sini," gumam pria itu seraya meletakkan dagunya di pundak Maura, menghirup dalam-dalam aroma yang sudah lama tidak bisa ia rasakan.
"Tapi, Pak ...." Maura tidak bisa melanjutkan karena tangan nakal atasannya itu mengusap ringan perutnya dan berhenti di dada bagian atas. Matanya terpejam, saliva meluncur di tenggorokan, sedangkan diadanya berdetak menggila dengan napas memburu. Ia sama sekali tidak menikmati sentuhan itu, tetapi sedang berusaha memupuk keberanian untuk melawan.
"Saya bisa melaporkan perbuatan Bapak ke polisi," ujarnya. Pria itu tersenyum kecil, Maura bisa merasakan dari reaksi tubuhnya. "Saya tidak sedang bercanda, Pak. Jangan Bapak pikir saya terlalu lemah untuk melaporkan Bapak!"
"Syut ... jangan banyak bicara. Saya hanya mengijinkanmu bertingkah cerewet ketika sedang di bawahku."
"Pak, saya mohon ....."
"Saya tidak berniat melakukan apa pun, kecuali kamu yang minta. Biarkan tetap seperti ini." Pria itu mengembuskan napas dalam, semakin mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Maura. "Jessica menghubungiku, meminta agar pertunangan dipercepat." Ia memberi tahu.
Tubuh Maura yang semula tegang, kini mengendur. Pasrah, dan jujur saja hatinya sakit.
Marvel Hadwin Maverick, pria kelahiran Italia yang tumbuh besar di indonesia itu sudah lama menguasai hidupnya. Tepatnya, sejak enam tahun lalu, ketika ia melamar sebagai office girl di The Maverick Group. Alih-alih menerimanya sebagai office girl, mereka justru memintanya menjadi asisten pribadi penerus perusahaan itu, yaitu Marvel.
Katanya, "Pekerjaan office girl dan asisten pribadi sama saja. Sama-sama melayani atasan."
Tanpa pikir panjang Maura menerima tawaran itu setelah diiming-imingi gaji fantastis. Namun, ia tidak menyangka nasibnya akan seburuk ini. Menjadi simpanan pria yang sudah memiliki kekasih. Asisten pribadi hanyalah kedok karena kenyataannya ia lebih pantas disebut sebagai jalang.
"Hentikan semua ini, dan menikahlah dengannya," ucap Maura di tengah keheningan seraya menguatkan dadanya yang terasa sesak.
"Kamu tidak berhak mengaturku," gumam pria itu.
"Bukan begitu. Saya hanya tidak mau kita saling menyakiti, hanya karena hubungan ini."
"Tidak akan ada yang berani menyakitimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Kamu tau itu."
"Bukan begitu maksudku ...."
Maura menelan ludah kasar diikuti embusan napas kesal, tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Entah harus dengan cara apa lagi menyadarkan pria ini. Mulutnya sudah berbusa, dan nyaris kehilangan akal. Jika tidak ada hukum di negara ini, mungkin ia sudah membunuhnya dan menenggelamkannya di laut.
"Saya tahu! Tapi Pak Marvel juga harus memikirkan perasaan Jessica, orang tua bapak, dan semua yang mendukung kalian!"
Ucapan bernada tinggi itu berhasil mengendurkan pelukan Marvel dan membuatnya menjauh walau hanya beberapa jengkal. Maura berbalik, tatapan pria itu menghunus tajam matanya, membuatnya sedikit menciut dan salah tingkah. "Kita akan sama-sama tersakiti kalau hubungan ini tidak dihentikan," ucapnya cepat.
Kini rahang pria itu mengetat, sedikit menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Maura. "Kamu ingin saya memutuskan Jessica demi dirimu?" tanyanya, membuat kening Maura mengerut, lalu menggeleng cepat.
"Bukan Pak Marvel dan Jessica, tapi kita! Hubungan kita yang harus berakhir." Maura mengalihkan pandangan ke arah lain. "Saya akan segera mengajukan pengunduran diri. Secepatnya," lanjutnya, lirih.
"Berhenti omong kosong!" desis Marvel, lalu tanpa aba-aba meraih wajah Maura dan menciumnya kasar. Wanita itu tidak berkutik, juga tidak membalas ciumannya. Hal itu membuat Marvel geram hingga menarik rambut panjang Maura dan membuatnya mendongak.
Masih tidak ada tanggapan, sebelah tangan pria itu meremas pinggang Maura dan memojokkannya di meja. Perlahan Maura mulai membalas ciuman itu, ia sedikit meringis merasakan gigitan di bibirnya. Masih terjebak dalam gairah yang menggebu, mereka dikejutkan dengan bunyi bell yang ditekan beberapa kali. Marvel ingin mengabaikannya, tetapi Maura menahan dadanya untuk berhenti.
"Ada yang datang," cicit wanita itu.
Kedua tangan pria itu bertumpu di meja, mengapit tubuh Maura. Jarinya meraih remot, lalu menekan tombol di sana, detik kemudian pintu terbuka. Sontak mata wanita itu membelalak dan menepuk pelan dada Marvel.
"Maaf, Pak. Saya ingin mengantarkan—" Laki-laki paruh baya berpakaian office boy itu tercenung menyadari siapa yang berada di pelukan atasannya.
Mendengar suara itu, Maura menelengkan kepala, memastikan tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Ia terpaku pada sosok di depan pintu, jantungnya berdegup cepat. Menggeleng kecil, meyakinkan apa yang ia lihat tidak berarti apa-apa. Sedangkan Marvel malah tersenyum masih berada di posisi yang sama, tanpa menoleh sedikit pun.
"Letakkan di meja, dan cepat keluar," perintahnya.
Office boy itu mengangguk kaku, dan segera melaksanakan perintah. Sebelum benar-benar pergi, sekali lagi ia melihat Maura, lagi-lagi untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
"Tidak perlu takut. Manusia kelas rendah sepertinya tidak akan berani melakukan apa pun." Marvel mengecup bibir Maura, lalu kembali tersenyum.
Maura menatap wajah pria itu, mengamatinya dengan tatapan sendu. "Yang kamu sebut manusia kelas rendah itu ayahku," ucapnya di dalam hati.
Tarikan napas kasar meluncur dari bibir Maura. Tangannya terlipat di depan dada sedangkan tubuhnya bersandar di tembok. Hampir setengah jam ia berdiri di depan ruangan Marvel—yang juga terdapat ruangannya di dalam sana. Pria itu memintanya keluar setelah Jessica datang.
Ia menatap layar ponselnya, jam tujuh malam, dan sepertinya Marvel belum berniat keluar dari ruangannya. Maura baru akan memejamkan mata ketika ketukan heels dan suara teriakan membuatnya tetap terjaga. Lantas ia menoleh ke arah pintu, Jessica berlari keluar dengan berlinang air mata. Ia menegakkan tubuhnya, hendak mengejar Jessica, tetapi maniknya justru menangkap sosok lain sedang berjalan ke arahnya.
"Ayah," gumamnya. Langkah pria paruh baya itu memelan, lalu tiba-tiba berbalik arah dan berjalan cepat.
"Tunggu!" teriak Maura. Saat akan mengejar, seseorang menahan lengannya.
"Apa yang kamu lakukan?" Marvel menatap wanita itu, heran.
Maura hanya bisa menatap ayahnya yang sudah berjalan menjauh dan Marvel bergantian, lalu menggeleng pelan. "Apa yang terjadi dengan kalian?" Ia malah balik bertanya.
Marvel mengedikkan bahunya tak acuh. "Tidak ada."
"Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa. Dia menangis dan saya mendengar dia berteriak."
"Dasar bajingan! Aku tidak akan memaafkanmu!"
Maura menatap Marvel lekat-lekat, matanya memicing curiga. "Pak Marvel benar-benar memutuskannya, ya?" tanyanya menuntut. Marvel tidak bereaksi, ia hanya menatap wajah Maura dengan raut datar. Melihat itu, maura sudah tahu jawabannya.
"Saya akan mengajukan pengunduran diri besok, tapi kenapa bapak malah melakukan ini? Jangan mengorbankan diri, juga masa depan untuk permainan seperti ini!"
"Dia memaksa mempercepat pertunangan."
"Lalu kenapa?" Maura nyaris berteriak. "Toh, pada akhirnya kalian akan bertunangan, menikah dan memiliki anak!"
"Kami belum siap."
"Kalian atau Pak Marvel yang tidak siap? Berhenti bicara omong kosong dan minta maaflah!"
Maura tidak menyangka bisa mengatakan kalimat itu, membuat jantungnya berdegup cepat, seperti ada amarah yang meletup di dalam dadanya. Akan tetapi, kenapa rasanya sakit sekali, seakan ia cemburu mendapati dirinya harus berbagi pria dengan wanita lain. Padahal, seharusnya ia sadar diri akan posisinya.
"Saya pasti akan menikahinya, tapi tidak dalam waktu dekat. Kamu tahu saya tidak mungkin mengkhianatinya, dan untuk sekarang saya belum selesai denganmu," balas Marvel dengan nada tenang, datar, seolah tidak ada emosi di dalamnya.
Maura tertawa miris. Pria itu sadar betul apa yang sedang ia lakukan. Bertingkah seperti pria baik-baik yang tidak ingin mengkhianati pasangannya, tetapi secara sadar menjadikan wanita lain sebagai objek pemuas dan enggan melepaskannya. Benar-benar brengsek.
"Mulai hari ini kita selesai. Menikahlah dengannya, dan jangan ganggu saya." Setelah mengatakan kalimat itu Maura kembali masuk ke dalam ruangan, berniat mengambil tasnya dan tidak akan pernah menginjakkan kaki di ruangan itu lagi.
Marvel meraup kasar wajahnya, berdecak, lalu menyusul Maura. "Jangan melakukan hal bodoh. Sepertinya kita hanya perlu bicara baik-baik. Saya akan membayar dua kali lipat gajimu jika itu membuatmu lebih baik."
Maura tercengang. Dalam benaknya bertanya-tanya, apa yang mereka bicarakan dari tadi soal uang? Ia tidak membutuhkannya. Demi apa pun ia tidak membutuhkannya!
Namun, Maura memilih untuk tidak menggubris, segera memasukkan semua barang-barangnya dan bergegas pergi, sedangkan Marvel hanya melihat pergerakannya tanpa repot-repot mencegah, mengira wanita itu akan berubah pikiran. Sampai di depan pintu, pintu yang biasanya terbuka otomatis kini tidak mau terbuka. Maura memukul pintu kaca itu beberapa kali sebelum berakhir dengan menendangnya dengan kasar. Ia menyerah.
Maura tahu ini ulah Marvel. Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini kalau bukan pria itu.
"Sudah kubilang, aku belum selesai denganmu."
Mendengar suara itu mendekat, Maura mengeratkan cengkraman pada tas yang tersampir di pundaknya. Bertengkar dengan Marvel akan selalu berakhir buruk, karena dengan mudah ia kembali menguasai kewarasannya, membuatnya berlutut dan memohon ampun. Namun, tidak untuk kali ini. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, lagi.
"Tidak! Mulai hari ini kita selesai. Anggap saja saya sudah mengundurkan diri, suratnya akan saya berikan besok." Ia kembali menegaskan.
"Sudah kukatakan, tidak ada yang berhak mengaturku. Sekali pun itu dirimu," desis Marvel seraya mengusap kedua lengan Maura dengan sedikit memberi tekanan, lalu meremasnya perlahan dan berubah menjadi cengkraman.
Wanita dua puluh tujuh tahun itu memejamkan mata, tubuhnya meremang, menahan nyeri juga takut.
Dengan sekali sentak Marvel membalikkan tubuh Maura. Ia masih memejamkan mata ketika pria itu mendekatkan wajahnya.
"Pulanglah, sebelum aku menghabisimu di sini." Marvel mengangkat dagu Maura dan dengan otomatis membuatnya membuka mata. "Bersihkan tubuhmu, pakai lingerie terbaik dan tunggu saya di apartemen." Ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, lalu detik kemudian pintu terbuka bersamaan dengan terbebasnya lengan Maura dari cengkeramannya.
Maura menggunakan kesempatan itu untuk berlari, secepat mungkin dan sejauh mungkin.
"Persetan!" umpatnya, enggan menuruti perintah pria itu.
"Kamu pikir hanya dirimu yang tidak bisa diatur, eh? Kamu pikir kamu siapa? Dasar bajingan mesum tidak tahu diri!" oceh Maura, kesal.
Setelah benar-benar keluar dari dalam gedung ia berhenti sejenak, menatap keseluruhan bangunan itu, lalu meludah dengan tatapan bengis. "Itu hadiah untuk perpisahanku dengan The Maverick sialan ini!" Ia meludah lagi, lalu menginjaknya dengan menggebu.
Dadanya bergerak naik turun sebab napas yang berembus tidak terkendali. Setelah merasa puas ia baru melangkah pergi. Tujuannya bukan apartemen sialan yang sudah ia tempati selama enam tahun ini, tetapi rumahnya. Rumah orang tuanya. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Ia merogoh tasnya, menemukan kunci mobil yang tersimpan di sana. Melihat benda itu beberapa saat, lalu membuangnya.
Itu mobil pemberian Marvel sebagai hadiah ulang tahun beberapa bulan yang lalu. Harganya diluar akal sehatnya, tetapi sekarang ia tidak membutuhkannya. Maura tidak akan memakainya karena tahu mobil itu dilengkapi peralatan canggih yang bisa saja membongkar keberadaannya. Selain kunci mobil itu, ia juga membuang ponselnya.
Maura pergi ke halte yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Menunggu, walau sebenarnya tidak yakin akan ada bus yang lewat malam-malam begini.
"Bus terakhir jam sembilan malam," ucap seseorang yang baru saja duduk di sampingnya.
Maura mengenali suara itu.
Ia menoleh setelah mengusap setitik air mata yang nyaris lolos. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap lelaki itu penuh penyesalan. "Maafkan aku," katanya seraya menghambur ke pelukannya, menumpahkan air mata dan penyesalan di dada laki-laki paruh baya itu.
Di dekat mereka, seorang pria menghentikan mobilnya di depan halte, setelah sebelumnya memperhatikan Maura yang tampak tidak baik-baik saja. Ia turun dari mobil dan melangkah cepat menghampirinya.
"Kalian butuh tumpangan?" tanyanya dengan dua sudut bibir tertarik ke atas.
Marvel menyatukan jemari tangannya yang dipenuhi tato, lalu meletakkan di bawah dagu dengan siku bertumpu pada lutut. Sorot matanya tidak lepas dari pintu utama apartemen Maura. Sesekali desahan kasar terdengar. Entah sudah berapa lama ia duduk di ruang tamu, menunggu wanita itu pulang.
Ponsel Maura tidak bisa dihubungi, GPS dimatikan, dan sepertinya ia belum pulang karena mobilnya tidak ada di basement tempat biasanya terparkir. Beberapa menit kemudian terdengar ponsel di atas meja berdering. Marvel segera mengangkat panggilan tersebut.
"Mobilnya ada di kantor?" Keningnya mengerut mendengar laporan dari seberang.
"Bagaimana bisa ponselnya tergeletak di jalanan?"
Ia nyaris berteriak, meraup wajahnya frustasi. Tidak habis pikir dengan kelakuan Maura yang semakin hari semakin menyusahkan. Akhir-akhir ini wanita itu gemar melawan, mengatur, bahkan berani menolaknya dengan berbagai alasan. Sekarang sudah cukup, terlalu kekanak-kanakan jika dibiarkan. Ia tidak memiliki waktu untuk mengurus hal-hal konyol semacam ini.
"Lacak semua CCTV di jalanan dan temukan dia sebelum matahari terbit!"
Tut!
Ia memutus sambungan telepon. Jari-jarinya mencengkeram ponsel tersebut seolah itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menahan diri dari ledakan amarah yang kedua kalinya.
Dua kemungkinan yang terus bersarang di benaknya; wanita itu diculik atau sengaja melarikan diri.
Maura Adriana, entah kenapa wanita itu begitu menarik perhatiannya sejak pandangan pertama. Dia tidak begitu cantik, tidak seksi; tubuhnya sedikit berisi, pipinya chubby dan begitu cerewet; terlihat polos dan bodoh di beberapa kesempatan. Namun, Marvel sangat menyukainya, terlebih saat mulut cerewetnya berteriak di bawahnya.
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, sialan!" Ia mendesis, frustasi.
Marvel meraih jas yang tergeletak di meja, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tatapannya mengitari seluruh ruangan, mengamati kekacauan yang ia buat. Kalaupun ia menghancurkan tempat itu, tidak akan merubah apa pun karena wanita itu tetap tidak ada di sana.
Ia melangkah keluar dari apartemen setelah merapikan kemejanya yang kusut. Di saat-saat seperti ini yang ia butuhkan hanya Jessica. Kekasihnya itu pandai mengubah suasana hanya dengan percikan api menggairahkan.
***
Di tempat lain, Maura meringkuk di atas jok mobil dengan kepala berbantalkan paha ayahnya. Mereka menerima tawaran Dave untuk menumpang setelah sebelumnya berdebat cukup panjang. Pria itu berjanji tidak akan mengadu pada Marvel, dan membuktikannya.
Beberapa menit lalu Marvel menghubungi Dave, meminta untuk mencari keberadaan Maura. Ia mengiakan. Setelah berkoordinasi dengan Maura akhirnya ia menghubungi Marvel dan memberitahu keberadaan mobil Maura, juga ponsel yang sudah dibuang, dan berakhir dengan perintah pencarian yang tidak masuk akal.
Ia harus menemukan Maura sebelum matahari terbit. Dave sengaja tidak memberi tahu Maura tentang hal itu, untuk menjaga kepercayaan. Juga, untuk memperkecil risiko kalau-kalau terjadi perubahan rencana nanti.
"Mulai besok aku tidak akan kerja lagi," racau Maura.
Hadi, ayahnya, mengangguk samar seraya mengusap lembut rambut Maura dengan tatapan mengarah pada pemandangan luar. Sedangkan Dave, hanya melirik melalui spion.
"Bagaimana kalau kita pergi ke kampung, dan memulai semuanya dari awal, di sana?"
Pertanyaan itu membuat Hadi menunduk menatap putrinya yang masih memejamkan mata. Ia hanya diam saja. Tidak dipungkiri, masih ada rasa kecewa atas apa yang dilakukan putrinya.
"Dia akan dengan mudah menemukanmu," sahut Dave.
Maura tahu itu, tetapi ia pilih menulikan pendengaran. Negara ini memiliki hukum, ia bisa melaporkan bos sialannya itu ke polisi kalau diperlukan. "Aku punya cukup uang untuk membangun usaha. Ayah tidak perlu bekerja keras," ucapnya lagi.
"Dia bisa melacakmu dari kartu kredit dan ATM yang kamu pakai, kecuali kamu memiliki cash." Dave kembali menyahut.
Geram. Maura membuka matanya lebar-lebar, lalu memukul kursi Dave menggunakan tangannya sekuat tenaga. Ia hampir terjatuh jika saja tidak ada Hadi yang menahan tubuhnya.
"Bisa diam tidak! Maunya apa, sih, ikut campur terus!" teriak wanita itu, kesal.
Dave berdeham. "Aku bisa membantu kalau kamu mau." Rencana B sedang berjalan, ia harap wanita itu tidak terjebak ke perangkap lain.
"Membantu apa?" tanya Maura dengan intonasi sedikit menurun, tanpa mengurangi nada kesal di dalamnya.
"Akan kuberitahu setelah mengantar ayahmu."
Maura duduk dengan tegak, lalu melirik ayahnya sekilas. "Bicara tinggal bicara. Apa susahnya," gerutunya. Dave tidak menjawab, begitu pula dengan Maura yang enggan memperpanjang perdebatan.
Dua puluh menit berjalan di tengah keheningan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan yang terletak di tengah kawasan kumuh. Hadi turun terlebih dahulu dan berjalan ke rumahnya, sementara Maura tetap berada di dalam mobil.
"Cepat beri tahu!" tuntut Maura.
"Kita ke rumahku saja."
"Tidak mau!" Perasaan Maura mendadak tidak enak. Entah apa posisi Dave di perusahaan atau di hidup Marvel. Selama ini ia selalu menempel dengan Marvel. Apa pun yang berhubungan dengan pria itu patut diwaspadai.
"Kamu bisa bersembunyi di rumahku, akan aman di sana."
Itu perangkap.
Maura menggeleng kuat. "Tidak mau!"
"Kalau kamu di sini, Pak Marvel akan dengan mudah menemukanmu, dan bukan hannya dirimu yang dalam bahaya."
Suasana mendadak hening. Maura terdiam menatap gang sempit tempat ayahnya berjalan tadi. Ia sadar sedang menantang si Iblis Maverick. Enam tahun bersama pria itu, ia tahu betul bagaimana sifatnya. Sangat tenang, tetapi mematikan. Benar kata Dave, bis sialan itu pasti akan menyakiti ayahnya.
"Bagaimana?"
Maura kembali menatap Dave. "Bagaimana bisa aku percaya? Kamu anak buah Marvel!" Enam tahun berada di sekitar Dave, bukan berarti ia tahu bagaimana pria itu. Dia sangat pendiam dan tertutup.
"Terserah padamu. Kalaupun kalian terluka, itu juga bukan urusanku."
Maura mendecih. "Lagi pula, siapa yang membutuhkan belas kasihmu!"
"Aku tidak punya waktu!" Embusan napas kasar Dave menandakan ia sedang kesal. Akan tetapi, Maura masih belum mau memberi keputusan. Salah memilih, bisa menjadi sangat berisiko.
"Kamu bisa menjamin dia tidak akan menyentuh ayahku?" tanyanya, bernegosiasi.
"Tidak akan ada yang menyentuhnya selagi Pak Marvel tidak tau dia ayahmu."
Benar.
"Kalau begitu, aku aman di rumah!"
Senyum yang terukir di bibir Maura luntur ketika mendengar Dave terkekeh. Itu terdengar seperti ejekan. Ia tidak pernah melihatnya tersenyum bahkan tertawa, wajahnya selalu datar seperti dinding suram.
"Kenapa? Kamu sedang mengejekku, ya!" Maura menatapnya nyalang. "Kamu tidak tahu apa yang bisa-"
Dave mengangkat sebelah tangannya, mengintruksikan agar Maura diam karena ponselnya berdering. Pria itu menoleh, sebelah sudut bibirnya terangkat seraya menunjukkan layar ponselnya. Terdapat panggilan masuk dengan nama Pak Marvel di sana.
"Apa yang akan kamu katakan?" Maura was-was.
"Tergantung apa yang dia tanyakan."
"Awas, ya!"
Maura seketika terdiam ketika Dave menggeser tombol hijau, dan menekan ikon loudspeaker.
"CCTV halte memperlihatkan dia masuk ke mobilmu," kata suara di seberang sana.
Maura menelan ludah kasar, menatap Dave was-was, sedangkan pria itu tersenyum dengan satu alis terangkat.
"Dia ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!