Hahaha! Pergi, pengemis busuk! Pergi!”
Lelaki lusuh itu hanya terdiam, sambil tersenyum tipis dengan raut yang agak masam, tapi masih menyisakan senyum tipis ke seliling, tanpa memperdulikan sedikitpun ejekan para pedagang pasar, dan orang orang yang di pinggir jalan. Nama nya Al-Fariz Sultan Penguasa Kerajaan Nurendah.
“Lihat bajunya! Hahaha, seperti kain pel kandang kuda!” teriak pedagang kain sambil menunjuk.
“Benar! Kalau itu disebut baju, maka aku ini Sultan!” seru yang lain, hahaha !!!, membuat kerumunan tergelak.
Al-Fariz berhenti, menatap si pedagang kain. Dengan mata jernih dan tersenyum lembut,
“Kalau kau Sultan,”, “semoga rakyatmu tidak tertawa melihatmu menghina yang lemah.”
Kerumunan mendadak riuh.
“Berani sekali pengemis ini membalas!”
“Dasar mulut busuk! Mana ada pengemis bicara sebijak itu?!”
Pedagang kain mendengus, wajahnya memerah.
“Diam, kau! Kalau kau bicara lagi, akan kupanggil penjaga pasar!”
Al-Fariz tidak menjawab. Ia terus melangkah, seolah dunia tidak bisa mengusik ketenangannya dan dengan santainya ia berlalu dari kerumunan pedagang.
Dari kejauhan perempuan muda dengan pakaian mewah mendekat, wajahnya masam.
“Iih! Kenapa kepala pasar membiarkan pengemis masuk seenaknya? Lihatlah, bajunya dekil sekali, jalannya lambat seperti orang kekurangan gizi. Menjijikkan, hoek, perempuan itu meludah ke samping!”
Ia menutup hidung dengan sapu tangan sutra, lalu menoleh pada pedagang di sebelahnya.
“Orang hina seperti ini harus dilarang masuk. Apa tidak malu? Pasar jadi kotor gara-gara mereka.”
Sultan Al-Fariz menatap perempuan itu sejenak, lalu menunduk.
“Yang kotor bukan pasar, tapi mata yang selalu melihat rendahnya kain dan tampilan fisik.”
Perempuan itu tersentak, wajahnya memerah. Hahahaha !!! Kerumunan di sekitar tertawa terbahak bahak , kali ini dengan nada berbeda antara terhibur dan ter heran heran. Siapa sebenarnya pengemis aneh ini dengan begitu tenang melawan hinaan?
Di ujung jalan, seorang kakek penjual buah berteriak,
“Sudahlah, nona. Biarkan ia lewat. Dia tidak mengganggu kamu dan siapapun disini. Kadang yang terlihat hina bisa lebih mulia dari yang kita kira.”
Perempuan itu langsung sinis sambil mendengus .
“Hmph! Kakek tua, kau sudah gila ya, lebih membela pengemis dari pada aku !!”, aku bukan orang sembarangan, kakek tua !!!
Al-Fariz menoleh, menundukkan kepala kepada si kakek.
“Terima kasih, paman. Dunia ini tidak sepenuhnya buta seperti yang aku kira.”
Kakek itu mengangguk . Tatapannya penuh dengan tanda tanya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari lelaki lusuh di depannya.
Al-Fariz bergumam dalam hati.
“Beginilah jalanku. Jalan hinaan, jalan sabar. Biarlah mulut mereka tajam, biarlah tawa mereka menusuk. Semua ini hanya batu asah bagi ku. Saat segel ini pecah, dunia akan tahu siapa sesungguhnya yang mereka hina.”
Tiba-tiba… , dari dalam dadanya, segel tua bergetar halus, seolah ada desiran angin lembut menusuk ke sekujur tubuhnya. Kilatan samar terasa bahwa hinaan yang ia tahan hari ini, mampu memperkuat langkah kultivasinya.
“DUM! DUM! DUM!”, suara genderang keras berdentum dari arah utara.
Hiruk pikuk di pasar mendadak sunyi. Semua orang menoleh. Seekor kuda putih dengan penunggang yang mengenakan jubah Istana berhenti di depan kerumunan,lalu mengangkat gulungan perkamen emas dan membukanya pelan pelan seraya membacakan isi perkamen emas itu dengan suara lantang dan tegas.
“Dengarkan , rakyat Kerajaan Nurendah!” . “Sultan memanggil semua pejabat, bangsawan, dan rakyat untuk hadir di Sidang Besar Balairung Kerajaan hari ini! Siapa pun yang berkeinginan menyaksikan kebesaran dan keagunan Sultan kita , bersiap bersiaplah!”
Seketika itu kerumunan sontak gaduh dan kembali hiruk pikuk kembali terdengar. Semua bersorak sambil mengacungkan tangannya .
“Akhirnya! Kita semua akan melihat wajah asli Sultan kita!”
“Kudengar dia gagah, memakai jubah emas berkilau!”
“Pastilah auranya sangat mulia dan agung , menakjubkan sekali !”
Mata mata berbinar penuh harap ingin melihat wajah sultan mereka yang sudah lama menghilang dan tidak tahu kabar rimbanya. Namun,lelaki lusuh yang mereka hina beberapa waktu lalu hanya tersenyum samar. Ia melangkahkan kakinya pelan meninggalkan pasar, bisikannya hanya terdengar oleh dirinya sendiri:
“Sidang besar, ya? Hm… mari kita lihat siapa yang benar-benar mengenal rajanya.”
Langkahnya tenang, tapi setiap hentakan kakinya seolah mampu menggetarkan rahasia yang siap mengguncang negeri
Sultan itu masih berdiri di keramaian orang-orang di tengah pasar, menahan sesuatu yang menyebabkan dadanya sesak, dan seakan akan ingin keluar dari dalam dadanya . Matanya menyapu ke sekeliling pasar: para pedagang yang sibuk menata dagangan, beberapa ibu ibu sibuk menawar barang, sementara anak-anak mereka berlarian ke sana kesini di lorong lorong pasar. Semua itu biasa dan seperti kondisi biasanya layaknya pasar pada umumnya.
Tapi ia sendiri yang tidak lagi biasa.
Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, bukan karena teriknya matahari siang, sesuatu yang samar mulai bergetar menekan dan terus menyesak didalam dadanya dan serasa hendak keluar. Seolah olah ada pintu yang akan terbuka tapi kehilangan kuncinya hingga seperti ada yang menekan berat tapi tak kunjung terbuka
Tiba-tiba ada anak kecil yang sedang berlarian membawa sekantong ikan asin menabraknya .
“Oi! Jalan, Pak Tua!”. Bocah itu mendengus, lalu lari lagi tanpa memperdulikan Sultan Al-Faraz.
Pak Tua? Usianya memang tidak lagi muda tapi tidak juga terlalu tua atau ketuaan, di matanya, ia adalah raja. Raja yang gagah. Raja yang berdaulat. Mestinya setiap rakyatnya menaruh hormat dan menunduk padanya.
Namun, ia hanya terlihat seperti orang lusuh yang tak dianggap, bahkan dianggap angin lalu pun tidak, malah dianggap sebagai beban dan sampah masyarakat, setiap ia melewati keramaian.
“Oi, kau dengar tidak?” suara kasar pedagang kain memecah lamunannya. “Kalau cuma berdiri menghalangi, pergi sana ! Pasar ini bukan untuk orang melamun.”
Sultan Menoleh. Mata pedagang membelalak itu tajam, menusuk bak pisau belati menusuk ke dadanya.
“Aku... hanya numpang lewat,” jawabnya pelan.
“Lewat?”. “Hahaha! Kau kira siapa dirimu? Lihat pakaianmu sudahlah compang camping,, lusuh, penuh debu! Bisa jadi kamu pencuri yang menyamar ya !” pedagang itu nyeletuk, cekikikan lagi.
Orang orang sekitar melirik ke arah Sultan, ada yang tersenyum, ada yang cekikikan, tapi ada juga yang merasa kasihan, tapi namanya di pasar mereka lebih peduli barang bawaan mereka daripada mengurusi keributan kecil, atau hal-hal yang mereka anggap sepele.
“Benar juga,” wanita yang menjual sayur menyela dari samping . “Mukanya mencurigakan. Bisa saja dia orang buangan dari utara.”
“Ah, menjauh sana, sudahlah dekil, bau lagi !” timpal yang lain.
Ejekan demi ejekan bak pisau yang menusuk ke telinga. Sultan menarik napas dalam dalam. Seumur hidup, belum pernah ia diolok-olok seperti ini. Dulu, setiap kali ia berjalan atau keluar istana, seribu prajurit siap melindungi dan membentenginya bahkan sebelum sampai di pasar prajurit telik sandi sudah mengamankan dan menstrerilkan pasar dari mata-mata musuh ataupun dari penghianat yang akan mencelakai nya . Sekali ia membuka mulut, dengan serentak rakyat menunduk, setiap titah pasti akan dipatuhi seluruh kalangan Negara Nurendah yang agung dan berkuasa penuh.
Sekarang? Bahkan tukang sayur berani menghinanya.
Tiba tiba seorang anak muda maju menyelinap ke depan dengan berkacak pinggang,
“Jika kau orang baik, buktikan sekarang,”. “Siapa namamu? Dari mana asalmu?” lalu pemuda itu melipatkan tangannya di dada
Sultan menatap lama pemuda itu, bibirnya terasa kaku dan dalam hatinya berucap,
Nama? bisa saja ia menjawab, Akulah Sultan Kalian !!!!, pewaris takhta yang sah!
Tapi, adakah yang akan percaya dengan ucapannya itu?
Dan malah menggumam, “Namaku... tak penting. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat sini.”
Pemuda itu tertawa miring. “Pengembara? Hahaha! Sebagai pengembara setidaknya engkau membawa barang, atau setidaknya kuda. Kau? Hahah . Bahkan sendalmu saja hampir putus!”
Kerumunan mulai riuh dengan sorakan orang orang yang sedari tadi ramai menonton
“Hukum saja dia!” teriak seorang pemuda lain. “Kalau dibiarkan, nanti bisa mencuri di pasar ini!”
“Ya, bawa ke kepala pasar !”
Sultan menggenggam erat tangannya yang sudah mulai gemetar. Ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam tubuhnya , namun ia tetap menahannya hingga keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya.
Jika ia marah, semua bisa kacau dan berantakan. Ia sudah mulai memahami bahwa dunia ini tak lagi seperti dulu. Ia harus banyak menahan diri, setidaknya untuk sementara waktu.
Dari kejauhan, suara seorang nenek terdengar dengan nada lembut:
“Cukup! Jangan permalukan orang asing begitu, seharusnya kalian memperlakukannya secara baik baik.”
Sontak kerumunan hening sejenak dan menoleh ke arah suara itu. Seorang nenek renta dengan tongkat berjalan pelan kerumunan. Rambutnya putih, kulitnya keriput, tapi sorot matanya masih tajam bak mata elang yang siap menerkam mangsanya.
“Pasar ini memang ramai, tapi itu bukan alasan untuk menginjak injak harga diri orang lain,”.
Pedagang kain tadi mendengus. “Nek, jangan ikut campur. Orang sangat ini mencurigakan.”
Nenek itu mendekati ke arah Sultan, menatapnya lekat-lekat. Anehnya, tatapannya seolah bisa menembus ke dalam jiwa.
“Engkau...” dengan lirih, hampir berbisik. “Aku mengenali sorot matamu. Itu... kamu bukan orang biasa.”
Sultan sontak terkejut. “Apa maksudmu nek ?”
Nenek itu tersenyum, lalu berbisik, “Kau... pernah jadi sesuatu yang besar. Tapi kini kau sedang diuji.”
Sebelum Sultan sempat bertanya, kerumunan tadi sudah ribut lagi.
“Sudahlah! Orang tua itu sudah pikun!” teriak pemuda. “Bawa saja orang ini ke kepala pasar!”
Beberapa lelaki mulai mendekat, mencoba meraih lengan Sultan.
Dan saat itulah, sesuatu terjadi.
Langit mulai meredup, awan hitam menggantung tepat di atas pasar. Angin berhembus kencang, kain-kain dagangan berkibar liar. Orang-orang berteriak kaget.
“Badai, badai !!”
“Kenapa tiba-tiba gelap?”
Sultan merasakan dadanya bergetar hebat. cahaya samar mulai merembes keluar dari telapak tangannya putih, hangat, suci. Ia terkejut dan buru-buru menutupinya dengan jubah lusuhnya.
Nenek itu melihat. Matanya melebar, bibirnya bergetar.
“Itu......” bisiknya lirih. “Benar! Kau... bukan sembarangan orang anak muda!”
Sultan membeku. Orang-orang di sekitarnya tidak sadar, sibuk panik karena badai mendadak itu. Tapi nenek itu tahu. Ia melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat siapa pun.
Sultan menunduk, menahan napas.
“Diamlah nek,” gumamnya pada nenek itu. “Jangan beri tahu pada siapa pun.”
Nenek itu hanya menatapnya lama, lalu tersenyum .
“Takdir tak bisa disembunyikan, Nak...”
Angin semakin kencang. Beberapa gerobak terguling, genteng pasar berterbangan ke sana kemari . kerumunan tadi sudah berpencar dan berlarian mencari tempat berlindung.
Belum sempat Sultan melangkah ingin meninggalkan pasar itu, suara berat terdengar dari arah barat pasar.
“Berhenti!”
Semua kepala menoleh. Dari balik kerumunan, seorang lelaki tinggi dengan jubah hitam muncul. Wajahnya keras, sorot matanya dingin, seperti menilai setiap orang yang ada di hadapannya.
Ia berjalan pelan, setiap langkahnya membuat kerumunan otomatis memberi jalan.
Akhirnya ia berhenti tepat di depan Sultan.
“Kau...”. “Aku sudah lama mencarimu.”
Sultan menegang.
“Siapa kau?”
. “Aku... utusan dari masa lalu yang tak kau ingat. Dan kau, Sultan seharusnya tidak ada di sini.”
Tiba-tiba, angin berhenti berhembus. Pasar menjadi hening. Semua mata tertuju kepada mereka berdua, bingung.
Sultan menatap lelaki itu, hatinya berdegup kencang.
Bagaimana mungkin orang ini tahu bahwa aku seorang Sultan?
Lelaki itu mengangkat tangannya. Cahaya hitam pekat muncul, berputar seperti pusaran. Orang-orang menjerit ketakutan.
“Mulai sekarang, nasibmu tidak lagi milikmu sendiri...
Angin hitam tadi sudah reda, pasar kembali ramai dan seolah olah sudah lupa dengan kejadian tadi, mereka kembali sibuk dengan aktifias masing masing, termasuk pedagang pakaian yang menhina Sultan Al-Fariz sudah sibuk melayani pelanggan, dan pemuda yang berkacak pinggang meninterogasi Sultan Al-Fariz pun jejaknya entah kemana. Tapi bagi Sultan Al-Fariz kata kata lelaki berjubah hitam tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya.
"Aku sudah lama mencarimu… Sultan."
Ia menahan nafas dalam dalam, lalu melepaskan pelan, dan berfikir tidak ada yang tahu Identitasnya, setidaknya untuk saat ini, sampai waktunya tiba. Sultan Al-Fariz menyingkir dari keramaian dan pergi menuju sebuah gang kecil menuju tempat yang lebih hening dan agak sepi.
Di sudut gank itu berdiri sebuah toko pakaian, dimana agak sepi, tapi toko pakain itu menyediakan pakaian mewah dan berkualitas, aroma pakaian baru menyeruak pertanda pakaian disana bukan sembarang orang yang membeli, karena yang sanggup beli pasti dari kalangan orang berada dan bangsawan.
Sultan Al-Fariz berhenti sejenak di depan toko. Matanya tertuju pada gulungan kain sutra merah yang dipajang di etalase. Warna yang indah menyala, persis pakaian raja raja jaman dahulu, pakaian kebesaran para bangsawan, hati Sultan Al-Fariz bergemuruh melihat kain sutra merah itu.
"Itu Sutra merah… lambang kejayaan. Itu pakaian kebesaran yang pernah aku pakai dulu, sebagai perlambang kekuasaan dan keagungan seorang Raja Digjaya" Ia melangkah memasuki toko dengan santainya walau dengan pakaian lusuh bak seorang pengemis.
Baru saja Sultan Al-Fariz menjejakkan kakinya di depan etalase kain sutra merah ini, para pelayan memandang dengan pandangan jijik dan memalingkan muka, para pelayan berusaha menghindar dan membuang mukanya
Ee, ee, ngapain kesini kamu tersesat ya, cepat keluar, ini toko kaum bangsawan dan kaum raja-raja, jangankan melihat mendekati toko kami saja kamu tidak layak, pergi sana sebelum majikan kami datang. Orang dekil dan lusuh seperti kamu tak layak disini cepat !!!, sebelum majikan kami tau.
Sultan Al-Fariz menatap dengan tenang dan nada datar, tanpa mempedulikan cacian para pelayan toko, “aku hanya ingin membeli kain sutra merah ini !!”
Ha ha ha, para pelayang perempuan tertawa ter kekeh kekeh, bang karim lihat lah, ini orang banyak menghayalnya, mungkin dia kesambet, coba bayangkan jangankan mau beli pakain sutra merah ini, ini pakaian para raja dan bangsawan, sandal mu saja sudah hampir putus dan dekil, tidak sanggup kamu mengganti.
Melihat keributan yang terjadi pengunjung toko lainnya langsung menoleh, seraya menutup mulutnya yang ketawa terkekeh, dipenuhi raut dan mimik ejekan.
Di sudut ruangan wanita muda dengan gaya khas bangsawan berteriak dengan lantang, teman-teman lihat itu pengemis mau membeli kain sutra, sutra merah lagi yang hanya sanggup dibeli oleh para raja, dengan nada ejekan dan ketawa terpingkal pingkal.
Sultan Al-Fariz tetap membisu dengan cacian itu, dan dengan tenangnya dengan nada yang berwibawa menunjuk ke etalase gulungan kain sutra merah .
“Aku ingin kain itu. Berapapun harganya, akan ku bayar.”, dengan mimik santai dan tenang.
Pelayan itu terbelalak dengan mata hampir keluar mendengar ucapan sultan Al-Fariz, “hahahah, kamu sanggup berapapun harganya, jangan ngaco hai pengemis lusuh !!, bisa kamu menyediakan seratus keping emas !!!, pasti dua kata lucu tidak mungkin !, tau nggak …., hahah ayo pergi sana sebelum kesabaran kami habis, dan mau kamu aku panggilkan pengawal untuk mengusir mu dari sini.
Dengan tenangnya Sultan Al-Fariz berkata, “memang hari ini aku tidak membawa emas untuk membayar kain sutra emas itu, tapi aku bisa membayar dengan cara lain”
Ha ha ha, sontak para pelayan tergelak serempat, jangan mengada ada kamu, jangan jangan kamu mau mencuri di sini ya, setelah mendapatkan kain sutra ini kau dapat sutra ini. Hingga membuat kericuhan kecil di dalam toko ini,
“Ah, pasti mau kabur setelah mendapatkan sutra ini kan ?!”
“Dasar pengemis !!!, pengawal hukum saja dia bikin susah orang saja !!!!”
Tiba-tiba dari belakang muncul wanita paruh baya, dengan baju yang begitu mewah, tangannya dipenuhi perhiasan emas dan batu permata berkualitas tinggi. Ya dia adalah Nyonya Halimah, pemilik toko. Tatapannya tajam dengan gaya khas orang kaya ekspresinya dipenuhi rasa congkak.
“Ada apa ini ??, ribut ribut di toko ku !!!, teriak Nyonya Halimah dengan keras.
Dengan gemetaran salah seorang pelayan menunjuk Sultan Al-Fariz . “nyonya, pengemis ini lihatlah, berani-beraninya mau beli sutra merah kita, padahal dari tampangnya saja tidak meyakinkan untuk mampu membeli, jangan kan membeli sutra merah, lihatlah penampulannya Nyonya besar”
Dengan melipat tangan di dada, “Pengemis,” dengan nada dingin Nyonya Halimah berteriak keras sambil menunjuk Sultan Al-Fariz dengan tangan kirinya . “Keluar dari tokoku cepat, atau aku panggilkan pengawal.”
Sultan Al-Fariz menatap dalam dalam kearah Nyonya Halimah, hampir-hampir amarahnya meledak, namun ia menahannya agar tidak lepas energinya, dengan menarik nafas dalam dalam
“Aku kesini bukan untuk buat onar Nyona Besar !!!, tapi aku ingin membeli sutra merah ini.”
Mpruph…, hampir tersembur ludah Nyonya Halimah, menahan gelaknya dicampur geli, mau beli dengan apa pengemis lusuh, do’a, atau dengan sendal bututmu, atau mau engkau tebus dengan nyawamu !!!!, hahaha, akhirnya lepas juga gelak tawa Nyonya Halimah.
Hahaha !!!, Gelak tawa pecah, baik karyawan dan pengunjung toko itu, mendengar ejekan tajam Nyonya Halimah.
Telapak Tangan Sultan Al-Fariz bergetar, kepalannya semakin kuat, cahaya putih samar keluar, cepat cepat ia tutupi dengan jubah lusuhnya agar tidak ada yang curiga
Sementara nyonya halimah mendekat dengan berbisik tajam, tanpa menyadari perubahan yang dihadapi sultan Al-Fariz
“Dengar baik-baik, orang asing !!!. Dunia ini tidak butuh mimpi-mimpi pengemis. Kalau kau nekat, akan aku panggil pengawal dan saat itu kamu tidak punya kesempatan lagi untuk hidup !!!, faham cepat enyah dari toko ku !!!!.”
---
Sultan menatapnya tajam ke arah Nyonya Halimah. “Suatu hari, kau akan menyesali kata-katamu.”
“Berani mengancamku?!” Nyonya Halimah menoleh ke dua penjaga toko. “Usir dia sekarang juga!”
Dua pria besar mendekat, masing-masing membawa tongkat kayu. Mereka berdiri di hadapan Sultan, wajah penuh ejekan.
“Ayo, keluar. Atau kami seret kau keluar seperti anjing.”
Kerumunan di dalam toko bersorak, menanti tontonan.
Sultan masih diam. Tapi dalam hatinya, bara itu sudah hampir tak tertahan.
Seberapa lama lagi aku harus menahan diriku?
Dan saat salah satu penjaga mengangkat tangan hendak mendorongnya, tiba-tiba… angin dalam toko berhembus kencang. Tirai kain berkibar, gulungan sutra berjatuhan dari rak. Orang-orang berteriak panik.
Cahaya putih samar memancar dari balik jubah lusuh Sultan lagi-lagi tak terkendali.
Semua mata membelalak.
Nyonya Halimah terperangah, mundur dua langkah. “A… apa itu?!”
Sultan Al- menunduk, menggenggam tangannya untuk memadamkan cayaha yang keluar dari telapak tangannya.
Tiba-tiba dari pintu toko, terdengar suara yang tidak asing ditelinga bergema, :
“Tunggu, dia bukan pengemis !!!”
Semua orang menoleh kepada Lelaki yang berjubah hitam itu, sementara lelaki itu matanya tertuju pada Sultan Al-.
Dia Sultan yang sejati !!!!, Sultan kita…..
……
Suasana di toko itu seketika membeku. Mereka semua tercekat, dan gemetar,
Sultan Sejati ?!!!
Suara bergema di seantero toko, semua mata tertuju pada Sultan Al-
Pengunjung langsung menutup mulut mereka. Nyonya Halimah yang congkak tadi mendadak pucat pasi dan lututnya gemetaran, mata terbelakak dengan tubuh yang kaku. Para penjaga toko saling pandang, dalam keraguan apakah harus tetap mengusir lelaki lusuh itu atau justru bersujud.
Pelayan muda yang pertama kali menghina Sultan tercekat, suaranya parau, “S-sultan…? Tidak… tidak mungkin. Dia hanya pengemis! Pakaian lusuh, rambut acak-acakan! Mana mungkin…”
Pria berjubah hitam perlahan melangkah masuh. Suara langkah kakinya berat, tapi mantap. “Kau pikir seorang penguasa harus berbalut emas ? Kekuasaan bukan ditentukan kain yang melekat di tubuhnya… tapi jiwa yang ia bawa dibaliknya.
Semua terdiam.
Sultan Al- masih berdiri tegak di tengah gerumunan, wajahnya datar. Dalam hati ia mendengus. Bodoh Kenapa dia membuka mulutnya di sini ?
Ckup, Aku bukan siapa-siapa, Jangan Samakan aku dengan takhta. Aku hanya ingin membeli kain.”, Sultan Al- menyela pria berjubah hitam itu dengan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa
Nyonya Halimah menelan ludahnya, mencoba menguasai keadaan. Tii-dak!... ini pasti siasat kalian berdua, Kau mau bersekongkol ya dengan orang asing ini untuk mencuri di tokoku !”
Ia menunjuk Sultan Al-Fariz dengan gemetarnya, lalu berteriak. “Penjaga, tangkap dia! Tangkap Keduanya! Jangan biarkan mereka kabur!
Dua penjaga toko dengan badan kekar dan besar melangkah maju, meski kali ini terlihat ketakutan. Sementara Lelaki berjubah hitam terkekeh. Hahahaha, kau sungguh gila nyonya, siapa yang kau hadapi, dia Sultan Kamu.
Namun Sultan Al- mengangkat tangannya, aku bukan siapa-siapa, aku tidak ingin mati disini gara-gara sehelai pakaian.
Angin tiba tiba berembus lebih kencang lagi, seakan menyatu dengan nadanya. Orang-orang kembali menjerit, kain-kain jatuh dari rak, lilin-lilin padam satu persatu.
Sultan Al- menundukkan kepalanya, berusaha keras menekan kekuatan yang bergejolak dari dalam dadanya. Tidak….. Bukan saatnya. Aku belum boleh membuka segel itu sekarang.
Pelayan muda yang ada dekat Sultan Al- tersungkur, wajahnya pucat pasi. “Ii-ni… bukan manusia…… ini mustahil…”
Nyonya Halimah jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. “Tiidakk…. Aku—- aku tidak tahu … ampuni aku….”
Sultan Al-Fariz menatap semua orang, sorot tajam matanya membuat bulu kuduk semua orang berdiri.
“Jangan cepat menilai seseorang, bisa jadi dalam pakaian yang lusuh itu ada jiwa yang lebih mulia dari sebutir berlian, bisa jadi dalam pakaian lusuh itu ada permata yang tersembunyi”
Suara itu dalam dan penuh tekanan, membuat semua orang terdiam dan berdiri dengan kakunya.
Sultan Al- keluar dari toko itu berlalu begitu saja, sementara pria berjubah hitam mengikuti dari belakang.
Kerumunan terkuak, memberi jalan kepada Sultan Al-Fariz dan pria berjubah hitam/
Suara gong terdengar dari pusat Istana, tiga kali berturut-turut
Dari menara pengumuman, terdengar suara lantang berseru
“Warga semua !!, Bersiaplah menyambut!! Hari ini…. SUltan akan hadir di tengah rakyat dengan penyamaran untuk menguji hati nurani kalian!”
Kerumunan serentak riuh. Orang-orang saling pandang, lalu bersamaan menoleh ke arah Sultan Al-Fariz.
Bisik-bisik kembali ramai
Itu dia….., Ya Allah, Kita telah menghina Sultan kita !!!
Wajah Nyonya Halimah di dalam toko semakin pucat. Ia menjerit “Tidaaak! Aku…. aku sudah mengusirnya! Ampun… ampun, Tuanku ….!
Sultan Al- berhenti di tengah kerumunan. Ia menatap semua orang, dia melihat semua orang berlutut ketakutan. Bibirnya tersungging tipis, sebuah senyum samar dan tak terbaca.
“Kalau aku benar Sultan, Sultan Al- berkata pelan tapi menggema, “maka aku hari ini belajar sesuatu. Rakyatku masih terlalu mudah menghina sebelu mengenal. Masih terlalu cepat menilai sebelum tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Semua orang menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya
Dan sebelum kerumunan bisa berkata-kata, Sultan Al-Fariz melangkah pergi, meninggalkan pasar dalam hening dan penuh rasa bersalah.
Sementara, pria berjubah hitam tersenyum samar, matanya berkilat penuh rahasia.
“Benar rakyatmu masih buta. Tapi waktunya sudah dekat, Al Fariz, Cepat atau lambat kau harus membuka segelmu. Karena bukan mereka satu-satunya yang sedang menilaimu.”
Suara itu hanya terdengan oleh Sultan Al-Fariz. Ia terdiam, rahangnya mengeras…
Apakah waktunya sudah semakin dekat..?
Langkah berat menggema di lorong istana yang panjang. Duk… dukk …. Dukk…,
Suara sandal kulit yang sudah retak memijak lantai marmer, bergetar menggaung, seperti tamparan di tengah keheningan megahnya Istana.
Dinding marmer istana putih berkilauan, dihiasi ukuran naga dan ukuran garuda emas, lambnang kebesaran yang diwariskan ratusan tahun silam. Lentera kristal di kiri kanan lorong berayun pelan, memantulkan cahaya ke ubin pualam yang membuat pantulan gemerlap.
Di tengah kemegahan itu, sosok begitu kontras. Sultan Al-Fariz dengan jubahnya yang lusuh, berdebu dan kusam akibat perjalanan panjang, robek-robek di ujung pakainnnya. Sandalnya benangnya sudah terburai. Rambut yang sedikit acak-acakan, menempel oleh keringat.
Beberapa bangsawan yang baru keluar dari ruang persidangan spontan menoleh. Alis mereka menggernyit, lalu wajah-wajah congkak dan angkuh itu berubah mimik penuh cemooh dan cerca, dengan bibir yang di singgingkan.
“Dia Sultan….?”, bisik seorang bangsawan yang berperawakan gemuk, suaranya bergetar tawa dan ejekan yang dikulum, “Atau pengemis yang tersesat dalam Istana ini ?”
Spontan tawa lirih terdengar. Heh… heh… heh
Yang lainnya menutup mulutnya dengan kipas emas, serak menawan cekikikan.
“Kalau bukan karena darah keturunan raja, sudah dari tadi ku usir orang ini ke pasar, bahkan ku suruh pengawal membuangnya ke lembah hitam!”
Ha…ha…ha! Kali ini tawa mereka bergema lepas, memantul di seantero istana
Sultan Al-Fariz berhenti sejenak. Ia menoleh, matanya yang teduh enatap tajam. Hening, dengan tatapan itu membuat du bangsawan tadi langsung pura-pura sibuk membetulkan jubah mereka.
Tapi Tawa sinis penuh kecongkakan sudah terlanjur meninggalkan bekas dan jejak di lorong sempit itu.
Dalam hatinya, suara sumpah lama kembali bergeming seolah-olah menggema di kepalanya
Kekuatanmu akan disegel. Kau hanya boleh mengalaminya kembali ketika kau benar-benar mengerti apa itu wibawa sejati !!
Sultan Al-Fariz tersenyum tipis. Hinaan ini, rasa sakit ini ….. Adalah bagian dari jalan panjangnya. Ia terus melangkah.
Ruang Sidang Istana
Kraak !, pintu kayu jati yang tinggi terbuka, suuara engselnya memecak kesunyian. Semua kepala menoleh.
Ruang sidang yang luas, lantainya berlapis ubin permata hijau yang berkilaian seperti permukaan danai. Tiang-tiang emas menjulang menopang langit-lagit yang megah. Kursi-kursi besar para bangsawan berderet melingkar, berhiaskan ukiran gading dan permata. Para bangsawan seperti burung merak yang mengembangkan bulunya, saling bersaing dalam keindahan pakain mereka.
Di tengah-tengah berdiri Sultan Al-Fariz, dengan jubah yang kusut dan berdebu yang masih menempel sangat kontras dengan suasana disekeliling, jangankan dengan para bangsawan, dengan para pelayan saja Sultan Al-Fariz tanpak jauh ketinggalan dari sisi pakaian dan perhiasan yang dipakai.
Terdengar disekeliling bisik-bisik para bangsawan
“Memalukan sekali…. “
“Sultan kita kah ??, Astaga”
“Bagaimana pandangan Rakyat terhadap kita, kalau melihat pemandangan ini, pasti kita di tertawakan”
Bisik-bisik meletup di udara.
Beberapa orang menutup mulut, tapi bahu mereka terguncang menahan tawa. Ada yang tidak peduli. Tertawa lepas sambil menepuk paha. Ha Ha Ha !!!!
Salah satu pajabat tua dengan janggut yang sudah memutih. Ia sedikit membungkuk, nada suaranya manis tapi mengandung siasat yang beracun
“Apumpun Tuanku…… Apakah anda benar benar Sultan, tetapi.. Kenapa penampilan anda seperti ini ?.
Bagaimana rakyat akan percaya, bila seorang Sultan berpenampilan seperti seorang pedagang yang bangkrut ?
Tawa pecah lebih keras hahaha, hihihihi!!!
Ada yang sampai menepuk nepuk meja, Duakk!!! Membuat gelas emas bergetar.
Sultan Al-Fariz tetap diam. Ia tetap berdiri dan berucap dengan suara rendah tapi menggema
“Apakah kejayaan seorang Sultan hanya diukur dari pakaian yang melekat ?, apakah seorang Sultan bisa diukur dari tampilan luar dan zahir ?
Sontak mendadak sunyi Hanya bunyi api dari obor yang terdengar menyala.
Tiba-tiba seorang bangsawan yang lebih muda, wajah tampan dengan sombongnya, bangkit dari kursinya. Tangan nya menghetak meja. Dummmm!!
“Jika bukan dari pakaian dan tampilan luar, lalu dari mana Tuanku??!” dengan suara lantang. “Dengan jubah lusuh bahkan pengemispun malu memakainya ? Rakyat butuh simbol kemewahan, rakyat butuh tampilan, bukan Sultan yang mirip orang buangan dan gelandangan !”
Serentak bersorak setuju. “Benar, hahaha !! benar sekali.
SUltan Al-Fariz tidak bergeming. Justri tersenyum dingin, tajam, lebih menusuk daripada sebilah pedang tajam.
“Kalau begitu aku memang pengemis, pengemis yang datang untuk menuntut kembali martabat negerinya.”
Kata-kata itu menghujam keseluruh ruangan seperti petir. Semua wajah berubah. Sebagian terdiam, sebagian terperanjat, dan semakin merah padam wajah wajah yang ada di ruang sidang.
Seorang penasihat senior mencoba menenangkan , suara lirihnya bergetar. “Tuanku… bukan maksud hamba merendahkan. Tapi istana ini punya tata krama. Ada adab ada wibawa. Penampilan Tuanku… tidak mencerminkan sebagai seorang Sultan yang Agung dan berwibawa;
Sultan Al-Fariz menoleh. Tatapannya tajam, suaranya naik setingkat “Adap bukanlah pakaian yang melekat, atau tapilan fizik!! Wibawa bukanlah kain yang mewah dan berkilau! Kalian kira leluhur kita memimpin dan menaklukkan negeri ini dengan emas berlian ? tidak, sekali kali tidak !! mereka berjuang dengan darah, keringat dan keberanian, serta dengan keadilan.
Suara sultan menggema, mengguncang dinding balairung. Beberapa bangsawan yang hendak tertawa tiba-tiba bungkam, kakinya kaku dan hening seraya duduk di kursi mewah meraka.
Tapi mereka belum puas. Mereka berdiri lagi, kali ini menepuk meja dengan kerasnya DUAKK!!, hingga cawan emas dan gelas gelas terlempar jatuh berkelontangan ke lantai.
“Mulutmu tajam, AL-Fariz !! tapi apakah bisa kau buktikan, bahwa seorang sultan tanpa kemewahan bisa tatap disegani ?!!!
Sultan Al-Fariz melangkah maju, dengan langkat berat, setiap pijakannya berbunyi, Duk Duk.
Dan berhenti tepat di hadapan bangsawan itu, menatapnya lurus tanpa berkedip.
“Bukan hanya bisa dan mampu”, suara rendah dan membara
“Akan ku buktikan. Bukan dengan baju, bukan dengan harta. Tapi dengan tindakan dan keadilan. Bila waktunya tiba … kalian akan menunduk kepada ku. Bukan pada pakaian yang aku kenakkan dan pada keberanian seorang Sultan yang sejati
Hening ……
Deting perhiasan di leher seorang bang sawan terdengar jelas saking heningnya. Tidak ada yang berani menanggapi. Bahkan bangsawan muda tai hanya mendengus ringan, wajahnya memerah dan kembali duduk di kursinya.
“Ini baru awal. Hinaan demi hinaan akan terus datang” Sultan Al-Fariz bergumam dalam hati. Tapi api yang ia nyalakan hari ini, suatu saat akan membakar semua keragu-raguan
Ia duduk di sudut aula, seorang pengawal menunduk, menyembunyikan senyumnya, ini baru Sultan sejati… tidak goyah dengan hinaan, tapi menyulut api yang membara di dalam dadanya.
Di tengah riuhnya tawa para bangsawan di Balairung agung, Sultan Alfariz berdiri teggak. Tatapannya tajam, wajahnya diterangi cahaya mentari yang menempus dari kaca patri berwarna warni. Seolah langit memilihnya sebagai pusat perhatian
“Cukup!”
Suara Sultan Al-Fariz meledak bagaikan gelegar guruh
Tawa terhenti seketika,
Sultan Alfariz melangkah maju, sepatu kulitnya beradu dengan lantai pualam, menggema berat dan membuat dada-datar bergemuruh.
“Apakah kalian lupa siapa yang berdiri diadapan mu?” suara menyapu sepeerti cambuk “Apakah pakaian lusuhku lebih hina dari hati kalian yang kotor?”
Para bangsawan menunduk, tapi ada sebagian yang mendengus, tidak rela dihantam kata-kata Sultan Al-Fariz
Datuk Malik, pejabat tua dan senior, bangkit dengan hati-hati. Ia menekan tongkat nya kelantai agar suara terdengar tegas.
“Tuan, tiada maksud kami menghinakan, “katanya dengan nada pura-pura. “Namun penampilan tuan di hadapan rakyat tentulah memberi kesan kurang baik. Seorang Sultan yang Agung dan di puja rakyat seperti seorang pengemis ?” dengan menekankan nadanya agar terdengar begitu terhina.
“Pengemis?”, ulang Sultan Al-Fariz, dengan suara rendah tapi penuh ancaman. “Andai dengan pakaian ini aku dibilang pengemis, aku lebih memilih jadi pengemis yang jujur, daripada jadi bangsawan berlapis kemewahan tapi berhatik busuk dan bejat”
“Kurang ajar!”, teriak Tengku Razak seorang bangsawan muda. Ia memukul meja dengan kuatnya Duakk””. “Beerani sekali tuan menyamakan kami dengan kebusukan dan ini sangat menghina kami!!”
“betul , benar sekali !!”, seru yang lainnya, “seorang Sultan tidak boleh bicara begitu!”
SUltan Al-Fariz melangkah maju, menembus kerumunan, dengan tatapan yang penuh amarah. Dia berhenti di hadapan Tengku Razak. Begitu dekatnya hingga nafas mereka hampir bertemu. “Kau bicara soal martabat?” . martabat negeri ini tidak terletak pada emas dan kemewahan yang kau pakai. Katakan padaku, apa yang kau sudah lakukan untuk negeri ini selain hanya menumpuk kemewahan dengan keserakahanmu
Tengku Razak terdiam, wajahnya memerah kehitaman. Tangannya mengepal gemetar menahan amarah.
Di sisi lain, seorang perempuan, Puan Aisyah . bangkit dengan kipas emas ditangannya. “Namun tuan paduka… tentu rakyat akan bertanya-tanya. Kenapa Sultan tidak tampil gagah seperti dahulu? Apakah ini tanda kekalahan dan kelemahan ?. bahwa istana ini sudah runtuh dari dalam ?”
Yang lainnya mengangguk-angguk, tanda setuju. “Benar tuan !!”, mereka serempak
“Kekalahan sejati tidak diukur dari pakaian yang dipakai. Ucap Sultan Al-Fariz. “Tapi ketika hati kita dikuasai kesombongan dan keserakahan. Kalian mentertawakan aku karena lusuh, sementara aku menangisi kalian yang berkilau dengan kemewahan semu.
“Paduka, izinkan hamba Berbicara !”, “Jika Paduka datang dengan pakaian lusuh.. Hamba yakin, itu bukan karena Paduka tak mampu. Pasti ada pesan yang ini paduka sampaikan !”. Terdengar suara dari sudut ruangan, seorang pengawal muda menyela , sontak para bangsawan menoleh dengan mata tajam seolah olah hendak membungkam
Sultan Al-Fariz menatap pemuda itu, lalu tersenyum samar.
“Benar. Kau lebih mengerti dari mereka yang duduk di kursi-kursi emas ini,”Aku datang untuk mengingatkan kalian semua. Kekuasaan bukanlah dengan gemerlap dan penuh ketamakan, serta penuh kemewahan. Kekuasaan itu berdiri dengan berani bersama rakyat dan menegakkan keadilan. Walau terlihat hina dihadapan orang congkak dan serakah”
Beberapa bangsawan tertunduk sambil mengertakkan giginya.
Duakk!!, Datuk Malik menghentakkan tongkatnya, yang dari tadi menahan ketegangan.
“Cukup sudah! Jika itu pilihan Tuan Paduka… mari kita teruskan sidang. Negeri ini tidak bisa menunggu perselisihan kata-kata dan urusan yang sepele ini.
“Ya. Sidang belum usai. Dan mulai saat ini …” suara Sultan Al-Fariz meninggi, dan bergemuruh. “Aku akan membuka kedok siapa yang benar-benar peduli terhadap negeri ini. Dan siapa yang hanya peduli dengan kekuasaan dan kemewahan semata.
Balairung hening. Tidak ada yang bersuara dan tidak ada yang bernafas lega. Karena mereka tahu bahwa kata-kata itu bukan hanya sekedar ancaman. Ini awal dari badai bagi mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!