Siti seorang staf keuangan di perusahan besar. Keberadaannya di sana tidak lepas dari usaha dan kerja kerasnya mengikuti tes akademik serta seleksi.
Orang-orang yang bekerja satu gedung dengan Siti belum ada yang pernah melihat Siti kecuali bagian HRD dan pemilik perusahaan yang merupakan seorang wanita.
Karena banyak yang merasa penasaran dengan wajah Siti, terutama kaum pria yang lebih mendominasi isi kantor. Makanya mereka membuat taruhan yang diwakili Gio, Teo, Leo dan Jun. Mereka empat sekawan yang sudah bersahabat sejak dalam kandungan. Mereka tidak lain ada pemegang saham perusahaan di mana Siti bekerja. Akan tetapi saham terbesar dipegang oleh keluarga Gio.
Sebuah rencana sudah dieksekusi oleh Gio sebagai eksekutor. Di sini Gio yang paling berperan besar, dia bertaruh akan berhasil menikahi Siti dan menyebar wajah Siti yang selama ini tertutup rapat cadar. Mereka begitu sangat penasaran dengan wajah Siti karena jika dilihat dari tangannya cukup putih.
Rencana Gio mendapat respon baik dari Ayah Siti yang langsung menyetujui Gio untuk menikahi putrinya semata wayangnya. Sebab selama ini Ayahnya Siti mencari jodoh untuk anaknya, mengingat Ayah yang sudah sakit-sakitan dan kapan saja bisa dipanggil sang Ilahi.
"Tanpa sepengetahuanmu Ayah sudah menemukan jodoh yang tepat untukmu."
"Aku setuju kalau menurut Ayah pria itu baik untukku."
Pernikahan sederhana digelar, Ayah begitu antusias memiliki menantu yang dianggapnya sangat baik. Walau tanpa kehadiran keluarga Gio yang katanya sedang berada di luar negeri. Ayah sangat bahagia, kini putrinya sudah ada seseorang yang menemani, menjaga dan bertanggung jawab.
Beban di pundak Ayah sudah berkurang, sekarang yang diinginkannya Siti selalu bahagia dengan suami dan pernikahannya.
Pertemuan Siti dan Gio terjadi pertama kali setelah mereka sah menjadi suami istri beberapa menit lalu. Meski sebenarnya mereka sudah tahu satu sama lain. Tatapan keduanya langsung mengunci. Siti sangat syok saat tahu suaminya seorang Gio, pria dengan sejuta pesona yang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik dan seksi.
Pertanyaan besar pun muncul di kepalanya Siti.
Lalu Gio mencium kening Siti setelah Siti lebih dulu mencium tangannya, jujur saja itu pertama bagi Gio diperlakukan istimewa oleh seseorang. Tapi Gio ingat tujuannya menikahi Siti hanya karena ingin tahu wajah Siti yang tersembunyi dibalik cadar.
Bagi Gio dan ketiga sahabatnya, Siti barang antik yang ada di kantor. Ada beberapa pegawai yang mengenakan hijab tapi tidak seperti Siti yang sampai menutupi wajahnya. Hanya dia seorang.
Kehidupan Gio sendiri sangat glamor, selain bersahabat dengan Jun, Teo dan Leo. Dia juga bersahabat dengan dunia malam untuk menyalurkan hobinya. Menjadi DJ tampan dengan kepiawan yang mumpuni menjadikannya selalu dikelilingi wanita-wanita cantik dan seksi.
Hari sudah malam saat acara sederhana itu selesai, benar-benar tidak ada orang lagi selain Siti, Gio dan Ayah. Siti yang sudah berada di ambang pintu kamar mengurungkan niatnya untuk masuk setelah mendengar Gio sedang bicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Dia memutar tubuhnya guna meninggalkan kamar, tapi langkahnya terhenti saat pengakuan keluar dari mulut Gio.
"See, mudah saja bagiku menikahinya 'kan?. Malam ini juga kita semua akan melihat wajah asli Siti dibalik cadarnya. Siap-siap saja kalian harus kehilangan apartemen, saham dan villa."
Gio tertawa penuh kemenangan, rencananya begitu mulus sempurna tanpa cela. Dia tidak akan pernah kehilangan apapun dalam hidupnya, justru dia mendapatkan lebih dan lebih lagi.
Ternyata ini jawaban atas pertanyaan besar yang tadi ada di kepalanya. Secepat itu kebusukan suaminya terbongkar, kemudian Siti tersenyum dibalik cadarnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah melepas hijab plus cadarnya. Karena itu akan menjadi kemenangan Gio dan menjadikannya tontonan orang-orang yang tidak berhak melihatnya.
Niat awalnya saja sudah salah dalam pernikahan ini. Bagaimana bisa hadir kebahagiaan yang selama ini diinginkannya dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tapi Siti tidak mau mengecewakan Ayahnya yang sangat bahagia dengan pernikahannya.
Siti melewati Gio yang duduk santai di tepi ranjangnya yang kecil. Dari dalam lemari Siti mengeluarkan pakaian ganti kemudian dia masuk ke kamar mandi kecil yang di dalam kamarnya.
Dengan kamera yang sudah stand by Gio tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. Taruhan itu dimenangkannya dengan angka sempurna. Sesekali Gio bersiul nyaring sambil terus mondar mandir, tatapannya pun terus tertuju pada benda persegi yang ada di depannya.
Gerakan Gio terhenti seketika saat benda persegi itu ditarik ke dalam. Selanjutnya pemandangan Siti masih lengkap dengan hijab dan cadarnya. Gio menatap kamera yang sudah bekerja lalu menatap aneh Siti yang berjalan ke arahnya.
"Sudah menjadi hakku untuk melihatmu dari ujung kaki sampai ujung kepala."
"Memang iya, tapi tidak untuk dipertontonkan pada orang-orang yang tidak berhak melihatnya."
Kening Gio berkerut. "Apa maksudmu?."
"Aku tidak perlu menutupi apa yang aku dengar tadi, kamu menikahiku karena ingin memenangkan taruhan dengan sahabat-sahabatmu."
Keduanya saling tatap sengit, Gio tidak berkutik membela diri. Diam mengakui benar yang dikatakan Siti.
"Maka aku tidak akan mudah membuatmu menang, atau bisa jadi aku akan membuatmu banyak kehilangan."
Wajah Gio terlihat sangat panik, tidak mungkin dia akan kalah dalam taruhan ini. Harta keluarga akan terkuras habis untuk taruhan konyol ini.
"Jangan lakukan!," Gio menahan tangan Siti. Tidak akan membiarkan wanita itu pergi dari hadapannya tanpa memberikan apa yang menjadi haknya.
"Aku minta maaf, Sit." Ujar Gio lemah. "Sekali saja biarkan aku melihatmu dan aku janji hanya sahabat-sahabatku yang melihatnya." Lanjut Gio memohon.
"Tidak," Siti menggeleng.
"Aku mohon," Gio tidak bisa membiarkan keluarganya jatuh miskin. Egonya yang setinggi langit pun terpaksa menapak di bumi demi memohon pada Siti.
Taruhan receh bersama ketiga sahabatnya tidak pernah dipikirkan akibatnya, Gio terlalu gegabah sampai berani mempertaruhkan semua saham perusahaan. Sedangkan ketiga temannya hanya bertaruh apartemen, villa dan saham hanya 1% saja.
Sekarang dia pusing sendiri dengan akibat yang akan ditanggungnya, kerugian yang tidak main-main besar jumlahnya. Kalau biasanya Gio selalu keluar sebagai pemenang dari setiap taruhan yang diadakannya bersama sahabat-sahabatnya. Tapi tidak dengan kali ini, sepertinya keberuntungan sedang enggan berpihak kepadanya.
Malam pertama dilewatkan mereka begitu saja, Siti tidur nyenyak di atas ranjang kamar satunya lagi. Tidak dengan Gio yang terjaga semalaman di kamar pengantin seorang diri.
Di meja makan Ayah sudah menyiapkan kopi untuk menantu laki-lakinya. Ada makanan ringan juga untuk mereka sarapan. Lalu Ayah menoleh ke arah kamar Siti tapi anaknya itu keluar dari kamar satunya lagi.
"Kalian tidur terpisah?."
"Tidak, Yah, tadi aku merapikan kamar. Sudah banyak debunya." Lalu Siti memasuki kamarnya.
"Mandi sana biar seger!," Siti menaruh handuk dan pakaian ganti Gio di samping Gio. Pria itu masih betah di tempatnya, mungkin sedang berpikir bagaimana memenangkan taruhan itu.
Satu kali, dua kali sampai lima kali ponselnya Gio berdering. Tapi pria itu mengabaikannya. Dia tahu kalau itu pasti dari ketiga sahabatnya yang sedang menagih janji. Bukan tiga kali panggilan itu saja tapi sudah dari semalam ponselnya sangat berisik.
"Bantu aku, Sit." Ujarnya dengan wajah iba.
"Bantu apa?." Siti berdiri di depan pintu.
"Satu kali saja lepas hijab dan cadarmu, setelahnya aku tidak akan meminta apapun darimu."
Siti hanya menggeleng dan berlalu pergi. Meninggalkan Gio dengan wajah kusutnya.
Cuti dadakan hanya boleh diambil Siti selama dua hari, jadi besok dia sudah harus kembali bekerja. Di kantor tidak ada yang tahu pernikahan sederhana Siti dan Gio karena memang mereka tidak mengundang siapa pun. Tidak dirahasiakan juga buktinya ketiga sahabat Gio tahu semua. Kalau pun ada yang tahu di luar ketiga sahabat Gio ya tidak masalah.
Sebelum Gio dan Siti menikah seperti sekarang ini. Mereka adalah dua orang yang sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik. Tapi hanya sebatas mengenal urusan pekerjaan, di luar itu mereka bagaikan orang asing. Tidak pernah tahu dunia satu sama lain selain di kantor. Bagaikan langit dan bumi.
Beberapa kali saja gosip berseliweran mengenai Gio yang di dengar Siti dari rekan-rekan kerjanya tapi dia tidak pernah menanggapi. Sebab itu bukan bagian dari pekerjaannya.
"Ayah buatkan kopi yang baru untukmu," Ayah menaruh kopi hitam yang masih mengeluarkan asap di hadapan Gio. Dan menyingkirkan gelas kopi yang sudah dingin.
"Terima kasih, Yah."
Ayah ikut duduk di sebelah Gio, pria itu terlihat sangat segar setelah memaksakan diri untuk mandi.
"Setelah ini kalian akan tinggal di mana?."
Gio menatap Siti yang baru duduk di sebelah Ayahnya. Tidak ada yang berubah dari wanita itu, tetap mengenakan hijab dan cadarnya.
"Aku terserah Mas Gio saja, Yah." Padahal Siti lebih mau tinggal di rumah ini bersama Ayahnya. Tapi sayangnya itu tidak mungkin karena pernikahan ini tidak sungguh-sungguh bisa dilaksanakan antara hak dan kewajibannya karena ulah Gio.
Gio tersenyum kikuk, dia memiliki panggilan baru dari Siti yang menurutnya sangat manis walau dia tahu istrinya sedang bersandiwara.
"Aku akan membawanya tinggal di apartemen."
"Iya, tidak apa-apa karena Siti sudah menjadi milikmu sepenuhnya."
Gio tersenyum samar, boro-boro miliknya sepenuhnya. Melihat wajah Siti saja belum.
Gio berpindah tempat duduk di sebelah Siti setelah Ayah pergi.
"Sekarang kamu harus bantu aku!."
"Sudah aku katakan, tidak!."
"Bukan itu, bantu aku dengan cara lain."
"Bagaimana?."
"Ya...kamu harus ikut berpikir juga dong! 'kan kamu tidak mau memperlihatkan wajahmu."
"Kenapa aku yang harus repot?."
Keduanya sama-sama diam dengan pandangan yang entah ke mana. Siti sendiri bodo amat dengan nasib Gio, siapa suruh main taruhan. Dia lebih fokus memikirkan pekerjaannya yang sudah pasti menumpuk. Sedangkan Gio terus berpikir keras menyelesaikan taruhan ini dengan kemenangan yang harus dipihaknya.
Sore hari ini Siti dan Gio pamit dari rumah Ayah, menempati apartemen yang sudah dikatakan Gio. Kebetulan sekali di sana ada dua kamar jadi mereka bisa tidur terpisah. Dan itu sudah dilakukan Siti dengan langsung menempati kamar yang ukuran lebih kecil dari kamar yang ada di depannya.
"Siti!," Gio menahan pintu yang akan ditutup.
Siti hanya menatap Gio sambil memegangi gagang pintu.
"Besok berangkat kerja sama aku."
"Iya"
*
Siti keluar dari mobil Gio, dia bergegas jalan menuju lift yang terbuka. Bukan tidak mau menunggu Gio, hanya saja pria itu sudah didatangi ketiga sahabatnya.
"Bagaimana?." Leo merangkul sekaligus menepuk kencang pundak Gio.
"Tenang saja, aku sudah memilikinya. Siapkan saja hadiahnya."
Hadiah itu tidak ada apa-apa bagi kepuasan Gio yang gemar bertaruh. Kali ini apapun dilakukannya untuk tetap lebih unggul dari ketiga sahabatnya. Setelah berpikir semalaman akhirnya dia menemukan ide, dan dia menunjukkannya saat ini.
Selembar foto yang diakuinya itu wajah dari Siti tanpa hijab dan cadarnya. Leo, Teo dan Jun bergantian menatap foto tersebut dengan durasi yang cukup lama.
"Not bad," ujar ketiganya serempak sambil menatap Gio yang santai.
Kemudian Gio segera mengambil foto tersebut dari tangan Leo supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Lalu ketiganya menyerahkan hadiah yang pantas di dapat Gio sebagai King-nya taruhan.
Sekarang Gio bisa bernapas lega karena ketiga sahabatnya sangat mempercayainya. Ini akan menjadi kebohongan pertama dan terakhir yang akan dilakukan Gio. Semoga saja masalah ini selesai sampai di sini.
Mereka berempat menempati ruangan yang berbeda. Gio segera menuntaskan pekerjaannya tapi kendala dihadapinya saat dia tidak menemukan tanda tangan Siti di dalam laporan keuangan.
"Ke ruanganku sekarang!," lalu Gio menutup pesawat teleponnya.
Sambil memainkan pulpen puluhan jutanya dia menunggu kedatangan Siti.
"Laporan yang sampai di mejaku sudah kamu cek semua?," tanyanya langsung pada Siti.
"Seharusnya iya, kenapa?. Apa ada yang terlewat?."
Siti menerima laporan keuangan yang disodorkan Gio padanya. Di bagian tanda tangannya masih kosong. Siti pun mengecek ulang laporan tersebut.
"Yang ini tidak masuk ke mejaku."
"Oke, bawa saja ke ruanganmu."
"Iya," lalu Siti pamit undur diri dari ruangan Gio.
Siti mengecek laporan tersebut tapi dia menemukan masalah yang cukup besar. Tapi dia tidak langsung melaporkannya pada Gio, dia harus mencari tahunya terlebih dahulu. Siapa tahu ada kesalahan dalam penginputan nominal.
Setelah ditelusuri nominal tersebut tidak sebanyak itu. Dia mengkonfirmasi kepada pihak yang membuat laporan tersebut.
"Aku tahu itu akan menjadi masalah." Aku Asih.
"Terus kenapa masih kamu input?."
"Aku hanya disuruh."
"Aku tidak suka bicara yang berbelit-belit, Asih."
Siti tahu Asih orang yang sangat jujur tapi entah kenapa kali ini dia melakukan kesalahan.
"Pak Teo yang memintaku memasukan nominal itu." Akhirnya Asih jujur.
Siti segera keluar dari ruangan Asih dan langsung menuju ruangan Teo. Dia memiliki akses itu karena semua keuangan ada di bawahnya.
"Kunjungan yang sangat menyenangkan kamu bisa ke ruanganku, Siti. Ada apa?."
Tanpa basa-basi Siti langsung menyodorkan laporan yang sudah dia lingkari ke hadapan Teo. Responnya sungguh di luar ekspektasi Siti. Pria itu tersenyum lalu bangkit dari kursi kebesarannya.
"Nominal segitu tidak akan berpengaruh apa-apa pada kekayaan yang dimiliki suamimu, jadi tidak masalah kalau aku sedikit memanipulasi pengeluaran keuangan perusahaan."
"Mungkin kamu benar, uang sebanyak itu tidak akan terlihat oleh Gio. Tapi itu akan menjadi masalah bagiku karena di sana aku harus tanda tangan dan mempertanggungjawabkan laporan itu."
Sambil memasak Siti mengingat obrolan tadi bersama Teo. Dia harus bicara pada Gio, bukan sebagai suami istri tapi sebagai atasan dan bawahan.
"Lagi masak tuh tidak boleh bengong, nanti gosong masakannya." Gio berdiri di depan dispenser, gelasnya penuh dengan air mineral.
Siti menoleh ke arah masakannya yang sudah matang lalu disalinnya ke atas piring dan dihidangkan di meja makan.
"Laporan yang tadi..."
"Aku tidak suka jika pekerjaan di bawa ke rumah."
Gio sudah memotong ucapan Siti dan dia juga sudah menegaskan ketidaksukaannya pada topik pembicaraan Siti.
Siti diam sambil mengisi piringnya dengan sayur bayam yang baru dibuatnya. Yang diketahuinya Gio bersahabat baik dengan Teo, tapi apa yang terjadi tadi seperti tidak menujukkan hal itu. Seolah-olah Teo sedang menggerogoti Gio secara perlahan.
Apa yang harus dilakukannya?.
"Aku mengajak Ayah menginap di sini."
Seketika Siti menaruh sendoknya lalu buru-buru menelan makanannya. Dia saja berada di sini supaya Ayahnya tidak perlu melihat kepalsuan dalam rumah tangganya.
"Lalu apa kata Ayah?," semoga saja Ayah menolaknya karena biasanya Ayah tidak betah di tempat baru.
"Tenang saja tidak sekarang-sekarang Ayah ke sini." Seolah Gio tahu keresahan Siti.
Kemudian Siti mengusap dadanya seolah merapikan hijab. Dia merasa lega, kalau tidak dia harus mau satu kamar dengan Gio. Pria itu tersenyum simpul, sepertinya Ayahnya Siti bisa dijadikan alat untuk membuatnya satu kamar dengan Siti.
Dia masih penasaran dengan wajah Siti.
Tengah malam Gio keluar apartemen, dia sudah ditunggu oleh ketiga sahabatnya di tempat biasa. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menyalurkan hobinya tersebut.
Dentuman suara musik keras sudah bergemuruh, semua orang sudah turun bergoyang memadati tempat yang kosong. Semakin bersemangat Gio untuk me-mixing beberapa lagu menjadi satu.
Banyak pasang mata tertuju pada pria tampan berusia 27 tahun ini. Perawakan tinggi dengan kulit putih mulus tanpa bulu-bulu karena selalu dicukurnya habis. belum mau memiliki bulu seperti pria-pria yang ada di novel.
Kancing kemejanya dibiarkannya terbuka, memperlihatkan dada bidang. Memancing kaum hawa untuk merapat dan menggodanya. Tapi sejauh ini tidak ada yang berhasil menariknya keluar dari area DJ. Dia hanya menghabiskan waktunya malamnya dengan alat-alat DJ yang sanggup memberinya kepuasan.
Berbeda dengan Gio, ketiga sahabatnya melantai berbaur dengan wanita-wanita yang mengincar Gio. Bukan masalah bagi mereka, terpenting mereka bisa menikmati malam ini bersama wanita-wanita yang nantinya berakhir di bilik kamar VIP.
Usai memuaskan pengunjung dengan musik hasil mixing-nya, Gio duduk di meja depan bartender. Dia hanya memesan wine yang biasa diminumnya. Terlihat seorang wanita cantik datang menghampiri dengan botol minuman di tangannya.
"Aku Yessi, aku sangat suka saat kamu perform." Wanita yang bernama Yessi itu duduk di sebelah Gio tapi Gio tidak menghiraukannya. Dia tetap fokus pada gelas yang berisi wine. Dia bukan tipe pemain yang suka gonta ganti wanita di club malam.
Kehidupan pribadinya bisa dikatakan biasa saja, tidak ada wanita spesial di dalam hidupnya. Belum saja menemukan cinta yang benar-benar dirasakannya yang sanggup menggetarkan hatinya.
Tak berselang lama ketiga sahabatnya keluar dari ruangan VIP dengan senyuman yang menggambarkan kepuasan sesaat mereka. Mereka ikut minum bersama Gio tanpa ada yang memperhatikan Yessi karena gadis itu bukan level mereka yang menginginkan wanita di atas rata-rata.
Gio tiba di apartemen bersamaan dengan Siti yang baru keluar kamar.
"Kamu tidak ke kantor?."
"Ke kantor."
"Jam segini baru pulang, bagaimana mau kerja?."
"Masih ada waktu dua jam, cukup untuk aku tidur satu jam lalu siap-siap berangkat."
"Hmmm."
Siti melanjutkan langkah kakinya ke dapur, sedangkan Gio menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada di sana. Dia bisa tidur di mana saja tanpa terganggu.
Terbukti apa yang dikatakan Gio, pria itu sudah bangun lalu mandi dan sekarang mereka sudah dalam perjalanan ke kantor.
Sesekali Gio melirik ke arah Siti. Merasa bete karena perjalanan pagi diganggu macet padahal ini masih pagi. Dia pun berinisiatif mengajak Siti bicara.
"Sejak kapan kamu berpakaian serba tertutup begini?."
Sejenak Siti menoleh lalu kembali fokus ke depan.
"Sejak kelas satu SD."
"Itu masih sangat kecil," histeris Gio sebab tak percaya dengan pengakuan jujur Siti.
"Kenapa bisa umur sekecil itu berhijab dan memakai cadar?. Pasti ada alasan besar kenapa kamu mau menggunakannya?."
Untuk waktu yang cukup lama Siti tidak bicara, dia sedang menimang. Apa perlu untuk bicara jujur dan terbuka pada orang yang menjadikannya target taruhannya?. Orang seperti itu akan sangat sulit untuk dipercaya. Kemudian dia memilih diam sampai mereka tiba di kantor.
Gio dan Siti menaiki lift yang sama, keduanya berdiri berjauhan. Di pertengahan menuju lantai di mana mereka bekerja, tiba-tiba saja lift terbuka dan ada beberapa orang yang masuk. Refleks saja Gio menarik tubuh Siti untuk berdiri di dekatnya.
Sangat dekat, bahkan lebih sangat dekat lagi, semakin bertambah orang yang memasuki lift sebelum sampai di tujuan mereka. Gio pasang badan di depan Siti dari beberapa pria yang berada dekat dengan Siti. Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Memandang mata Siti dari sedekat ini, sangat jernih dan bulat.
Pun Siti, dia tidak menyangkal pria yang telah menjadi suaminya sangatlah tampan. Jadi bukan hal yang aneh jika wanita-wanita itu selalu mengerumuninya di setiap kesempatan.
Kembali di dalam lift itu hanya ada mereka berdua sampai mereka sampai di tempat tujuan. Gio langsung di sambut ketiga sahabatnya guna meeting.
Setelah peserta meeting lengkap Gio pun memimpin jalannya meeting. Ada banyak pekerjaan yang mereka bahas, proyek baru yang menanti, strategi yang harus dijalankan dan ada juga kendala yang harus segera mereka atasi.
Mereka benar-benar menguras tenaga dan pikiran mereka untuk meeting kali ini.
Di luar persahabatan mereka berempat yang sangat solid, mereka adalah seorang pribadi yang sangat cerdas dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka. Buktinya sekarang, perusahaan itu tumbuh dan berkembang lebih besar lagi setelah mereka turun tangan di perusahaan.
Selesai meeting lanjut makan siang tapi Gio harus absen karena pekerjaannya sudah menunggunya. Gio sibuk dengan dokumen-dokumen pentingnya. Tangan satunya menekan tiga nomor dan bicara pada seseorang.
"Ke sini sekarang!," kalimat perintah tegas yang tidak akan bisa ditolak oleh siapa pun juga. Gio meletakkan kembali gagang teleponnya.
Siti sudah duduk berhadapan dengan Gio, di depannya sudah ada beberapa dokumen penting yang harus diceknya juga.
"Temani aku lembur!."
"Iya," Siti tidak pernah membantah perintah Gio selama bekerja di perusahaan. Sudah biasa jika dia bisa lembur 3 sampai 5 kali dalam satu bulan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!