Masa remaja, adalah masa-masa yang seharusnya selalu dilewati dengan penuh warna dan keceriaan. Namun semua hal menyenangkan itu ternyata sama sekali tidak berlaku bagi Zara. Zara, adalah seorang gadis malang yang kini berusia 22 tahun, gadis polos berparas lembut dan teduh ketika di pandang, memiliki rambut yang begitu lurus, hitam, dan panjang layaknya rambut para bintang iklan shampoo. Seorang gadis yang sebelumnya ialah sosok yang begitu ceria dan terkenal sangat ramah, kini dengan sangat terpaksa harus melewati masa remajanya dengan penuh ketakutan dan kebencian pada semua lelaki yang ia temui, di mana pun ia berada.
Rasa trauma yang teramat dalam, akibat kejadian mengerikan yang ia alami di masa lalu, membuat Zara tidak pernah mau berbicara sedikit pun pada semua lelaki di sekitarnya. Baik itu teman lelaki di kelasnya, mau pun seluruh lelaki asing yang baru ditemuinya. Zara benar-benar telah berubah, menjadi pribadi yang sangat tertutup dan sangat pendiam. Bahkan, semenjak kejadian naas yang menimpanya ketika ia masih duduk di bangku SMP dulu, sejak saat itu juga ia sama sekali tak ingin menjalin hubungan pertemanan dengan siapa pun lagi, baik pada perempuan apalagi lelaki.
Namun rasa traumanya tentu tidak dapat membuat waktu berhenti berputar, waktu pun terus berlalu, hari berganti ke hari berikutnya hingga kini tanpa terasa, Zara sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas kenamaan di negara T. Kecerdasan otak dan bakat melukis yang luar biasa membuat Zara mendapat beasiswa di Universitas itu. Namun meski telah melewati berbagai musim, sama sekali tidak membuat rasa trauma pada Zara lenyap terkikis waktu. Kenangan buruk yang telah merusak hidup dan masa depannya selalu membekas di memorynya.
Suatu hari di taman kota
Hari itu, cuaca terlihat sangat cerah, Zara yang saat itu mulai merasa penat karena menghabiskan waktu libur hanya berada di dalam rumah, memilih untuk menikmati sisa waktu liburnya dengan duduk seorang diri di sebuah kursi yang ada di sisi taman yang berada tak begitu jauh dari rumahnya.
Saat itu, ia terlihat sangat fokus dengan pensil dan buku khusus untuk melukis, memilih untuk membunuh waktu luangnya dengan cara melukis sebuah pemandangan kota yang kala itu ada di hadapannya, namun tiba-tiba saja, fokus Zara saat melukis terpecah, ketika ada seorang lelaki datang menghampirinya.
"Maaf nona, apa kau tau di sekitar sini ada rumah sakit yang bernama Emm..." Nampak seorang lelaki itu seperti tengah berusaha berpikir keras untuk mengingat rumah sakit yang ia lupa namanya.
"Astaga,,, rumah sakit apa ya tadi namanya??" Kata lelaki itu lagi yang terlihat sangat kebingungan sembari mulai menggaruk-garukan kepalanya yang tak gatal.
Sementara Zara yang sempat melirik sebentar ke arah lelaki itu, langsung dibuat ketakutan setengah mati hingga membuatnya dengan cepat menundukkan kepalanya. Dengan tangan yang begitu gemetaran, bahkan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Zara pun langsung membuka lembaran kosong pada buku lukisnya, lalu bergegas menggambar sebuah denah rumah sakit yang di maksud oleh lelaki itu. Lalu dengan tergesa-gesa ia pun merobek kertas itu dan sembari terus menundukkan kepalanya, langsung memberikan selembar kertas yang ia gambar pada lelaki itu.
"Nah iya benar, rumah sakit Monalisa." Ucap lelaki itu yang akhirnya memasang raut wajah sumringah saat memandang selembar kertas yang diberikan Zara padanya.
Zara yang sudah sangat ketakutan, bergegas memasukkan buku dan pensilnya ke dalam tas, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung berlari pergi begitu saja meninggal lelaki itu.
"Hei nona, aku belum mengucapkan terima kasih." Teriak lelaki itu saat melihat Zara pergi begitu saja.
Namun Zara, ia terus saja berlari tanpa menggubris lelaki itu sedikit pun hingga membuatnya cukup tercengang.
"Hah?! Apa yang salah denganku? Kenapa dia jadi begitu ketakutan?" Tanya lelaki itu sembari mengamati seluruh badannya.
Namun seolah tak ingin terlalu ambil pusing, Lelaki itu pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit Monalisa yang dimaksud. Dengan hanya berjalan kaki, ia terus berjalan menyusuri jalanan yang tidak terlalu padat, mengikuti denah yang telah di gambar oleh Zara.
Apa kalian tau siapa lelaki yang sejak tadi telah jadi bahan perbincangan? Ya, lelaki itu ialah Virga. Seorang playboy kelas kakap, yang namanya dikenal oleh hampir seluruh mahasiswi di kampusnya, yang ternyata ia juga kuliah di universitas yang sama dengan Zara. Kelakuan Virga yang hobi melakukan *** bebas, membuatnya di cap sebagai Penjahat Kelamin oleh teman-teman dan dosennya. Dan Zara, ia jelas tau tentang Virga yang selalu jadi perbincangan seluruh wanita di kampusnya, karena dia bisa melihat setiap para gadis di kelasnya begitu histeris saat melihat Virga melintasi kelas mereka.
Virga juga dijuluki sebagai mahasiswa abadi, karena sudah 5 tahun lamanya ia belum juga wisuda, Virga bahkan sama sekali tak ingin memikirkan sampai berapa lama lagi ia harus menghabiskan waktu sebagai mahasiswa di universitas itu, yang ada dalam benaknya ialah bagaimana cara menaklukan wanita incarannya dan wanita itu bisa memberi kepuasan untuknya.
Tapi tidak bisa di pungkiri, wajah Virga seakan memiliki aura yang begitu kuat, hingga membuat para gadis tak kuasa menolaknya. Alisnya yang tebal, serta ketajaman matanya saat memandang seseorang, benar-benar membuat Vir nampak berbeda dan sungguh diminati hampir seluruh mahasiswi di kampusnya.
Saat itu, Zara terus berlari hingga ia tiba di rumahnya, ia dengan ketakutan langsung masuk ke rumahnya, lalu terduduk di sofa dengan wajah pucat fasih dan nafasnya yang begitu terengah-engah.
"Huh, huh, huh."
Tapi ketakutan Zara ternyata tidak berakhir sampai disitu saja, secara tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar pintu rumahnya hingga membuatnya kembali ketakutan. Dengan cepat Zara meraih sebuah bantal yang ada di sisinya, lalu memeluknya dengan sangat erat. Perlahan, handle pintu rumahnya mulai terlihat bergerak, hal itu sontak membuatnya semakin ketakutan, lalu langsung menutup wajahnya dengan bantal. Hingga akhirnya, selang beberapa detik setelahnya, seseorang pun terdengar masuk ke dalam rumahnya.
"Zara" Panggil seseorang.
Mendengar suara yang begitu familiar, membuat Zara seketika langsung mengangkat wajahnya kembali, lalu mulai menatap seseorang yang kini ada di hadapannya. Perasaan lega pun akhirnya muncul, saat melihat seseorang yang sebelumnya membuatnya ketakutan, ternyata adalah Nany, ibunya sendiri yang ternyata baru saja pulang kerja.
"Kau kenapa? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Nany yang langsung mendekati Zara saat melihatnya sangat ketakutan.
"Tadi aku bertemu seorang lelaki di taman Bu." Jawab Zara lirih.
"Lelaki? Apa yang dia lakukan padamu? Apa terjadi sesuatu lagi?" Nany pun terlihat semakin panik dan langsung mengamati beberapa bagian pada tubuh Zara.
"Dia menanyakan alamat padaku." Jawab Zara pelan.
"Menanyakan alamat??!" Nany pun seketika menghentikan gerakannya.
"Iya."
"Menanyakan alamat saja kenapa harus membuatmu jadi begitu ketakutan?" Tanya Nany lagi sembari mengusap keringat Zara yang sejak tadi terlihat bercucuran.
"Tapi dia adalah lelaki yang terkenal sangat brandal di kampusku bu." Jawab Zara lirih yang kemudian mulai melangkah untuk menuju ke kamarnya.
- Sisi lain di rumah sakit Monalisa -
Virga pun akhirnya tiba di rumah sakit yang sejak tadi ia cari-cari keberadaannya, setelah bertanya pada Resepsionis, ia kembali melanjutkan langkahnya, menaiki lift dan menyusuri koridor yang di sisi kiri dan kanannya terdapat banyak pintu yang diberi nama berbeda-beda. Hingga akhirnya ia pun menghentikan langkahnya saat berada tepat di depan sebuah pintu kamar, dengan perlahan tangannya mulai menekan handle pintu, pintu itu pun terbuka, di dalamnya bisa terlihat dengan jelas ada seseorang yang tengah terduduk di kursi roda dengan posisi membelakangi Vir.
"Hei" Sapa Virga yang mulai melangkah masuk, sembari menutup kembali pintu kamarnya.
Lelaki itu melirik sejenak ke arah Vir, lalu kembali menatap ke jendela sembari tersenyum simpul.
"Kenapa kau datang?" Tanya lelaki itu dengan tenang tanpa merubah posisi duduknya.
"Aku akan merasa tenang saat sudah memastikan jika kau masih hidup." Jawab Vir santai sembari mulai duduk di sebuah kursi.
Lelaki itu pun tersenyum, lalu mulai memutar kursi rodanya secara perlahan hingga akhirnya menghadap ke arah Vir. Vir yang melihat keadaan lelaki itu pun, seketika menghela nafas panjang dan tertunduk lesu.
Lelaki itu adalah Fusa, seorang pembalap moto GP yang sangat di kagumi oleh Virga sejak ia remaja. Namun beberapa hari yang lalu, Fusa mengalami kecelakaan yang cukup hebat, hal itu menyebabkan ia harus merelakan sebelah kakinya untuk di amputasi.
"Hahaha kenapa ekspresi mu jadi mendadak berubah?" Tanya Fusa sambil tertawa saat melihat Virga yang langsung terkulai lesu saat melihat kakinya yang hanya tinggal satu.
Saat itu Vir masih terdiam sembari terus menatapnya dengan tatapan sendu.
"Oh ya, sepertinya aku masih punya wine yang sangat bagus dan enak, kau tunggu lah sebentar." Kata Fusa lagi sembari mendorong sendiri kursi rodanya menuju kulkas kecil yang tersedia di kamar rawatnya.
"Bagaimana kau bisa setenang itu?" Tanya Virga yang masih menatap sendu ke arah Fusa yang saat itu sedang sibuk memilih beberapa botol wine di dalam kulkas.
"Lalu aku harus bagaimana? Apa kau berharap aku menangis meratapi nasibku? Begitu? hahaha." Jawab Fusa yang terus memasang raut wajah riang di hadapan Virga.
...Bersambung......
Fusa pun menuangkan wine ke dalam gelas mereka, mereka bersulang lalu meminum wine itu bersama. Tak lama Anna pun datang dengan membawa beberapa pakaian Fusa. Anna adalah istri Fusa yang juga sudah sangat kenal dekat dengan Virga.
"Oh hei Vir, akhirnya kau datang. Bagaimana? Tidak sulit kan mencari rumah sakit ini?" Tanya Anna sembari meletakkan bungkusan pakaian di atas meja.
"Aku hampir menyerah mencari rumah sakit ini, tapi untung saja ada seseorang yang menggambarkan ini untukku." Jawab Virga sembari mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya.
Virga membuka kembali lipatan kertas itu dan melihat kembali gambar denah rumah sakit itu.
"Eh lihat lah, ada lukisan dibaliknya." Kata Anna sembari meraih kertas itu.
"Wah, lukisannya sangat lembut dan penuh makna." Ucap Anna mengamati lukisan itu.
Virga yang jadi merasa penasaran pun mengambil kembali kertas itu dari tangan Anna, ia melihat lukisan itu dan seketika hatinya menghangat saat memandangi lukisan seorang ibu yang sedang memeluk hangat anaknya yang masih bayi.
Melihat itu Virga tersenyum simpul sembari melipat kembali kertas itu dengan sangat rapi lalu memasukkannya kembali ke saku celananya.
Puas sudah berbincang, Virga pun akhirnya pamit pada Fusa dan Anna. Fusa mengantarkannya sampai di depan pintu kamar.
"Hei Vir" Panggil Fusa saat Virga mulai beranjak.
Virga menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadap ke Fusa. Fusa pun langsung melemparkan sebuah kunci kepada Virga.
"Ambil lah! Sepertinya aku takkan membutuhkannya lagi." Ucap Fusa tersenyum.
Virga menangkap kunci itu, dan melihat itu adalah sebuah kunci motor yang selama ini di gunakan Fusa untuk bertanding di sirkuit. Virga pun kembali menggenggam kunci itu, lalu menatap sendu ke arah Fusa.
"Apa aku benar-benar takkan melihatmu bertanding lagi?" Tanya Virga lirih.
"Hahaha aku bisa apa dengan kaki yang hanya tinggal satu ini? Aku sudah cukup puas saat mengetahui jika aku masih hidup saat ini." Jawab Fusa dengan tenang sembari tersenyum.
"Sudah lah, aku mau kembali beristirahat, dan kau pasti tau dimana letak motorku." Tambah Fusa lagi sembari kembali masuk ke kamarnya.
"Terima kasih, aku janji akan menjaganya." Teriak Virga dan hanya disambut oleh sebuah jempol tangan dari Fusa.
Virga menghela nafasnya lagi dan melanjutkan langkahnya dengan lesu. Ia terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang cukup panjang, sepanjang langkahnya ia kembali terbayang saat bagaimana dulu ia begitu mengagumi Fusa.
Bahkan saking kagumnya, ketika remaja dulu, Virga selalu datang ke sirkuit dimana Fusa bertanding, dan demi mengetahui rumah Fusa, ia rela menunggu Fusa sampai selesai bertanding dan mengikutinya hingga sampai rumah. Sejak saat itulah Virga sering berkunjung ke rumah Fusa, ia dengan polosnya meminta Fusa agar mau mengajarinya agar ia pun bisa jadi pembalap hebat seperti Fusa. Hingga akhirnya Fusa pun menjadi sangat dekat dengan Virga bahkan ia menjadikan Virga sebagai adik angkatnya.
Fusa kembali masuk ke kamarnya, ia mendorong sendiri kursi rodanya dan kembali menuju ke tepi jendela kamarnya, ia kembali termenung memandangi kakinya. Hingga akhirnya ia pun menangis tersedu-sedu sembari memukul-mukul pahanya sendiri.
Fusa berusaha bersikap tetap santai dan selalu memunculkan senyumannya saat di depan Virga dan istrinya, namun sebenarnya perasaannya sangat hancur melihat kakinya yang sudah tak utuh lagi.
Anna yang melihat hal itu di balik pintu kamar mandi pun di buat jadi ikut menangis saat menyaksikan betapa hancurnya hati suaminya karena sekarang hanya memiliki satu kaki dan tidak bisa jadi pembalap lagi.
Pagi Hari di Universitas A
Hari ini adalah hari pertama mahasiswa Universitas A kembali masuk kuliah setelah libur panjang kemarin. Namun ada hal yang berbeda dari Vir, tidak seperti biasanya, kini ia tampak datang dengan mengendarai sebuah motor besar yang baru diberikan Fusa padanya. Dengan kecepatan tinggi, motor yang di tunggangi oleh Vir pun terus melesat cepat, seolah menyapu seluruh dedaunan kering yang berguguran di sepanjang jalan menuju parkiran kampusnya. Vir terus melajukan motornya seolah tanpa canggung, menyadari seseorang yang begitu familiar baginya terlihat tengah berjalan santai di depannya sembari memegang bungkusan cemilan, membuat Vir mulai memiringkan senyumannya dan menambah lagi kecepatan laju motornya, kemudian tanpa rasa segan, ia pun merampas bungkus cemilan dari tangan orang itu. Ia merampas, lalu melewatinya begitu saja tanpa memberi tumpangan hingga menuju gedung kampus.
Orang itu adalah Kenzo. Kenzo sebenarnya adalah adik tingkat Vir, tapi mereka sudah berteman sejak lama karena Vir bekerja di bengkel milik orang tua Ken.
Vir memarkirkan motornya, dan langsung berjalan dengan santai memasuki gedung kampus. Begitu masuk ke gedung kampus, ia melihat sekumpulan orang-orang yang sedang memandangi papan pengumuman. Vir pun berjalan mendekati orang-orang itu, di antara kerumunan itu sudah berdiri Kenzo yang sudah melihat pengumuman itu lebih dulu.
"Tak perlu di lihat lagi, akhirnya kau sekarang sekelas denganku, dan adik tingkat mu yang lain." Ucap Ken merangkul Vir keluar dari kerumunan itu.
"Ah betapa beruntungnya aku bisa sekelas denganmu." Ucap Vir sembari tersenyum puas seolah tanpa beban.
"Ya kau benar, tapi aku yang akan sial." Keluh Ken sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Mendengar hal itu Vir pun hanya terkekeh, mereka terus melangkah menuju kelas. Sepanjang langkahnya, Vir terlihat masih saja terus memegangi bungkus cemilan yang tadi di rampasnya dari Ken. Ken yang melihat itu pun tak lama langsung merampas kembali cemilan miliknya.
"Kembalikan milikku!" Ketus Ken saat merampas bungkus cemilannya.
Ken pun langsung membuka bungkusan itu, berniat ingin memakan cemilannya lagi, namun di luar dugaan, ternyata cemilannya sudah habis dan hanyalah tinggal bungkus saja.
"Kenapa kosong?" Ken pun menatap tajam ke arah Vir.
"Karena sudah kuhabiskan." Jawab Vir santai sembari terus melangkah dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Kalau sudah habis kenapa masih kau pegang bungkusan ini?" Keluh Ken seakan tak terima.
"Kalau ku buang, aku takkan bisa menjebakmu seperti sekarang hahaha." Jawab Vir sembari tertawa puas.
"Dasar kau!! buang ini ke tempat sampah!" Ken yang kesal akhirnya menyerahkan bungkusan itu kembali ke tangan Vir.
"Tidak mau! kau saja yang buang karena kau yang terakhir memegangnya." Kata Vir lagi yang kemudian menyerahkan bungkusan itu lagi sembari terus tertawa puas dan berlari meninggalkan Ken begitu saja.
Ken pun hanya bisa menghela nafas panjang menahan kesalnya, mau memaksakan bagaimana pun, sejak dulu ia memang tidak pernah menang jika berhadapan dengan Vir. Mereka pun akhirnya melanjutkan langkah menaiki anak tangga menuju kelas mereka yang berada di lantai 2.
"Hei Vir, selesai dari kelas ini ayo kita taruhan tanding basket dengan geng Frangky" Ajak Ken sembari mulai menaiki anak tangga.
"Apa mereka menantang kita?" Tanya Vir dengan santai.
"Ya, mereka memiliki anggota baru yang katanya jago bermain basket."
"Baik lah, Lalu kalau kita menang bagaimana pembagiannya ?"
"Ya 40% : 60% seperti biasa." Jawab Ken Santai.
"Ah siapa yang mau jika 40% : 60% terus-terusan? Itu sangat tidak manusiawi" Vir hanya tertawa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayolah." Pujuk Ken.
"Tidak mau, lupakan saja pertandingannya!" Jawab Vir santai sembari terus menaiki tangga.
...Bersambung......
Mereka hampir tiba di lantai dua, namun tiba-tiba langkah Vir perlahan terhenti ketika melihat seorang wanita yang sedang mengikat tali sepatu boots nya dengan posisi membelakangi mereka, ia memakai rok mini hingga menampilkan lekukan kaki jenjangnya yang begitu mulus.
"Wah lihat lah itu, kakinya terlihat sangat seksi." Ucap Vir sembari menepuk pundak Ken.
Vir pun langsung melajukan langkahnya menaiki sisa anak tangga sembari terus memandangi kaki indah itu. Namun saat semakin dekat dengan sang pemilik kaki yang indah itu, Vir kembali melambatkan langkahnya lagi.
"Tapi sepertinya aku pernah melihat kaki mulus ini sebelumnya." Gumam Vir lagi.
Tak lama, akhirnya wanita itu pun selesai mengikat tali sepatunya dan kembali berdiri tegak, ia pun refleks berbalik badan dan sedikit terkejut saat mendapati Vir dan Ken yang sudah berada di belakangnya.
"Siska." Vir pun terperangah saat akhirnya menyadari jika wanita itu adalah Siska, sang mantan kekasih.
Hal itu pun berhasil membuat Vir mendadak jadi tak bersemangat dan langsung menundukkan pandangannya.
Sementara Ken yang melihat reaksi Vir saat itu, pun jadi bergantian tersenyum puas dan mulai meledek Vir.
"Hai Vir, hai Ken." Sapa Siska yang terlihat sangat ramah.
Vir pun hanya terdiam lesu dan kembali melanjutkan langkahnya melewati Siska begitu saja
"Vir, aku sangat senang akhirnya kita bisa sekelas. Bukankah takdir seperti ingin menyatukan kita kembali? Hehe." Ucap Siska yang langsung mendekati Vir.
Namun Vir, saat itu ia terus bungkam, seolah benar-benar kehilangan minatnya untuk sekedar berbasa basi dengan Siska.
"Vir,, kenapa kamu diam saja? Vir, tolong jawab aku." Rengek Siska yang terus menyusul langkah Vir dan mulai merangkul manja lengannya.
Vir pun masuk ke kelas, dan langsung disambut dengan sorakan gembira serta berbagai sapaan untuknya dari adik tingkat yang mengaguminya.
"Hai Vir, akhirnya kamu datang" Sambut beberapa adik kelas wanita.
"Ya ampun kak Vir, apa kita sungguh jadi satu kelas sekarang? Ah senangnya." Celetuk seseorang lagi yang mulai histeris dengan kedatangan Vir.
"Hai, halo semuanya." Ucap Vir ramah sembari melambaikan tangannya.
"Vir, aku menelponmu semalam tapi kenapa kamu tidak mengangkatnya?"
"Hai Vir, bagaimana libur panjang mu?"
"Vir kau terlihat semakin tampan."
Berbagai sapaan dan pertanyaan terus terdengar secara bergantian dari adik kelas yang menyambutnya dengan semangat di kelas itu. Kecuali satu orang wanita yang sejak kedatangan Vir, ia terlihat hanya duduk terdiam di kursinya, dengan keadaan tertunduk sembari membaca bukunya tanpa berani melirik sedikit pun ke arah Vir.
Dan wanita itu adalah Zara, wanita yang selama ini di cap sebagai wanita aneh oleh teman-teman kampusnya. Bagaimana tidak di katakan aneh, setiap hari Zara selalu memakai pakaian yang berlapis-lapis, lalu di tambah pula dengan jaket atau pun sweater, tidak peduli entah itu cuaca sedang panas terik atau pun dingin. Bahkan, bisa di bilang, pakaian yang ia pakai setiap harinya terkesan hampir menutupi seluruh permukaan kulitnya kecuali wajah dan telapak tangan.
"Ayo kita duduk disana." Ucap Vir pada Ken sembari menunjuk ke arah dua kursi kosong yang berada tepat di samping Zara.
"Ayo." Jawab Ken yang langsung melangkah dengan penuh semangat menuju salah satu kursi itu.
"Heh Ken, disana hanya ada dua kursi kosong, dan aku yang akan duduk disitu bersama Vir, kau cari lah kursi lain!" Ucap Siska yang langsung menghentikan langkah Ken dengan tatapannya yang sedikit sinis.
"Oh ya sudah, aku sama sekali tidak keberatan." Ucap Ken santai yang kemudian ingin beranjak pergi untuk mencari kursi lain.
Namun Vir seolah tak membiarkan hal itu terjadi, ia pun langsung saja menarik jaket Ken dan menahannya.
"Kenapa kau mau pindah? Bukankah tadi kau yang bilang ingin duduk disini." Ucap Vir yang kembali memaksa Ken untuk duduk di kursi tepat di belakang kursi miliknya.
Melihat hal itu, Siska pun mendengus kesal dan akhirnya dengan terpaksa mencari kursi lain.
"Bagaimana? 40% : 60% ? Deal?" Bisik Ken yang kembali mencoba bernegosiasi pada Vir.
"Pembagian segitu siapa yang mau meladeni? Tidak mau!" Tegas Vir.
"Oh baiklah." Ken pun mulai tersenyum sinis.
"Siska apa kau mau duduk disini?" Teriak Ken yang perlahan ingin bangkit dari duduknya yang bertujuan untuk menggertak Vir.
"Aaaa apakah boleh? Tentu saja aku mau."
"Baik lah deal!!" Vir pun dengan cepat menyetujui permintaan Ken demi tidak duduk berdekatan dengan Siska.
"Good." Ken pun akhirnya tersenyum puas dengan jawaban Vir.
"Oh maaf, tidak jadi Siska, mendadak aku berubah pikiran." Teriak Ken lagi.
Ken kembali duduk di tempat duduknya, sementara Vir lagi-lagi harus duduk di kelas yang sama dengan para adik tingkatnya.
Vir pun ikut duduk di kursi yang ada di depan Ken dan kursi milik Vir tepat bersebelahan dengan Zara. Vir langsung mengeluarkan buku dari dalam tasnya sembari melirik kesana kemari untuk mencari mangsa baru yang bisa di kencaninya, ia melirik sejenak ke arah Zara yang terus tertunduk membaca bukunya.
"Hei Ken." Bisik Vir.
Ken pun memajukan tubuhnya untuk mendekat ke arah Vir.
"Sepertinya pertumbuhan adik-adik kelas ini sangat pesat sekali." Ucap Vir sembari berdecak kagum.
"Haaiish! Belum genap 10 menit masuk kesini, tapi kau sudah melakukan pemeriksaan tubuh pada semua wanita yang ada disini, dasar otak mesum!" Jawab Ken tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Baik lah, kali ini aku akan memberimu saran yang terbaik, sebaiknya kau jangan menyia-nyiakan kesempatan, kau ganti jurusan kedokteran saja. Itu sepertinya lebih cocok untukmu." Ungkap Ken lagi sembari terus tertawa.
"Benar juga, kedengarannya bagus hehe." Jawab Vir yang kemudian ikut terkekeh geli.
Zara yang duduk di samping kursi Vir ternyata bisa mendengar percakapan antara mereka berdua. Obrolan semacam itu, ternyata cukup membuat Zara semakin takut pada Vir yang kini tengah duduk tepat di samping kursinya. Dengan perlahan ia memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas, dia bersiap untuk bangkit dari kursinya dan berniat ingin mencari kursi lain yang berada jauh dari kursi Vir.
Namun tiba-tiba Zara harus menggagalkan niatnya karena pak dosen sudah terlanjur masuk ke kelas dan menyuarakan jika pelajaran sudah di mulai.
"Pelajaran di mulai." Ucap pak dosen begitu masuk dan duduk di kursinya.
Nama pak dosen itu adalah Johan.
Johan meletakkan bukunya di atas meja, lalu ia melirik ke arah Vir yang duduk di kursi kedua dari depan. Vir pun tersenyum menatapnya seolah tidak ada rasa segan sedikit pun, sementara Johan hanya bisa kembali menghela nafas lesu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dia lagi, dia lagi." Celetuk Johan dalam hati.
"Baik lah, karena ini hari pertama kita kembali masuk kuliah, saya yang akan memanggil nama kalian satu persatu untuk mengambil absen." Ucap Johan lagi.
Johan pun mulai memanggil nama-nama mahasiswa yang ada di kelas itu satu persatu.
Zara mulai merasa sangat gelisah dan terus menundukkan kepalanya, sementara Vir yang sadar akan gelagat aneh Zara, akhirnya mulai mengamatinya lebih dalam. Hingga tiba-tiba Vir pun mulai mengernyitkan dahinya sembari memandangi Zara dengan jarak yang lebih dekat lagi.
"Hei, bukan kah kau gadis yang di taman kemarin?" Tanya Vir yang terlihat begitu sumringah seolah tak menyangka.
Alih-alih menjawab atau pun membalas tatapan Vir, Zara justru semakin memalingkan wajahnya dan terus diam.
"Apa kau lupa? Kau menggambar denah rumah sakit untukku, ingat tidak?" Tanya Vir lagi.
Namun Zara masih saja tetap diam dan terus memalingkan wajahnya, saat itu ia semakin merasa takut dan tidak nyaman. Namun Vir seolah merasa tak puas karena tidak mendapat jawaban dari Zara,
"Hei aku bertanya padamu, Kenapa kau diam saja?" Vir tanpa canggung pun langsung memegang tengkuk Zara, lalu memalingkan wajah Zara agar menoleh ke arahnya.
Hal itu pun sontak membuat Zara sangat terkejut hingga dengan spontan langsung menepis tangan Vir dan kembali tertunduk ketakutan.
"Hei, siapa namamu? Aku belum sempat berterima kasih kemarin." Vir tak pantang menyerah dan terus mengganggu.
Tak lama Johan pun memanggil nama Zara dari daftar absennya, Zara yang terus di ganggu oleh Vir awalnya tak mendengar panggilan dari Johan.
"Zara!" Johan pun memanggil sekali lagi nama Zara dengan suara yang lebih tinggi.
"Hadir." Zara sontak menjawab dan kembali menunduk.
"Jara? Oh jadi namamu Jara? Jara menggunakan huruf J atau huruf Z ?" Vir terus tersenyum mengganggu Zara.
Zara lagi-lagi terus diam, ia memilih kembali tertunduk dan membaca bukunya.
"Hei kenapa kau terus diam, Apa kau tuli? Tingtong tingtong." Vir tak henti-hentinya mengganggu Zara dan mencolek-colek telinga Zara.
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!