NovelToon NovelToon

Aku Menyerah Jadi Istrimu, Tuan!

Siapapun Asal Bukan Dia

Kinara meletakkan kembali gelas air di meja makan saat matanya menangkap sang suami keluar dari kamar tidur dengan seorang wanita.

Ini bukan pertama kalinya sang suami membawa wanita ke rumah. Tapi, wanita kali ini membuat Kinara tak bisa menahan amarahnya.

“Kenapa kau bawa dia mas?” sentak Kinara, dia langsung menghampiri sang suami.

Naratama Geovandri, suami Kinara. Tama tidak begitu terkejut ataupun ketakutan saat melihat sang istri. Pernikahan mereka tidak seharmonis itu.

“Memangnya kenapa?” sahut Tama sambil terkekeh kecil, sepertinya pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Seperti biasa, itu bukan hal baru bagi Kinara.

Mata Kinara menyipit, apa suaminya tidak sadar siapa yang dibawanya? Atau, pria itu sengaja berbuat demikian untuk membuat Kinara kesal?

Kinara langsung menarik tangan Tama menjauh dari wanita itu.

“Hei! Jangan menarikku!” sentak Tama sambil menepis tangan Kinara. Mereka berada di taman belakang meninggalkan wanita yang dibawa Tama.

“Kalau kau tidak mau kubunuh, ikut aku sekarang!” ucap Kinara dengan nada rendah.

Itu pertama kalinya Kinara mengucapkan kalimat ancaman untuk Tama. Suami kontraknya yang brengsek.

Entah karena ucapan Kinara atau memang alkohol yang dia minum memiliki kadar yang rendah. Tama langsung sadar seketika. Matanya membelalak tak terima dengan ancaman Kinara.

“Apa kau bilang?! Membunuhku!” balasnya kemudian. “Berani sekali kau!” Tama mencengkram leher Kinara, seolah sedang memperingatkan wanita itu agar tidak melampaui batas padanya.

Mata Kinara menajam, wajahnya mengeras seolah tidak takut pada pria itu. Tidak, dia tidak takut walaupun sekarang pria itu akan membunuhnya.

“Apa maksudmu membawa Zara ke rumah ini?” ucap Kinara dengan napas tercekat dan tatapan tajam yang mengarah ke Tama.

Zaranita Arrelano, adik tiri Kinara. Wanita yang dibawa suaminya ke dalam rumah dan keluar bersama dari kamar.

Tama melepaskan cengkraman dari leher Kinara. Wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya. Rasa sesak bercampur benci sekarang dirasakan Kinara. Dia tahu Tama adalah pria yang seharusnya ia hindari.

“Memangnya aku tidak boleh membawa adik iparku ke rumah?”

Lihatlah, pria itu merasa seolah tak bersalah.

“Aku tidak masalah jika kau membawa semua pelacurmu kemari. Tapi tidak dengan Zara!” tegas Kinara.

Bukan, jangan salah paham. Kinara tidak sesayang itu dengan adik tirinya itu.

“Apa maksudmu!”

Tama tak terima dengan ucapan Kinara. Wanita yang selalu diam itu tiba-tiba melakukan sikap protes. Memangnya kenapa dengan dia yang membawa Zara?

“Jangan bilang kau… cemburu padaku.” Tama melihat lurus ke mata Kinara.

Kinara tak menjawab, dia hanya diam membalas tatapan Tama.

***

CEO GeoTech, Naratama Geovandri menikah dengan putri pemilik WD-Entertainment, Kinara Santika. Pernikahan yang diimpikan setiap orang. Kehidupan sempurna dari dua orang hebat dan dari keluarga yang terpandang.

Tapi, siapa sangka pernikahan itu adalah pernikahan terburuk yang pernah ada. Setidaknya bagi Kinara yang ingin kabur dari keluarganya.

Sepertinya pepatah, keluar dari kandang macan malah masuk kandang singa itu benar adanya. Yah, begitulah yang dialami Kinara.

“Pernikahan ini hanya bisnis. Jadi, kau tak boleh berharap lebih padaku. Kita hanya suami istri kalau di luar,” ucap Tama dingin di malam pertama pernikahan mereka.

Kinara yang masih berdiri di dekat pintu langsung terdiam sesaat. Namun, dia langsung mengerti maksud pria itu, toh dia juga tidak menikah dengan Tama karena cinta.

“Apa kita perlu pisah kamar?” sahut Kinara datar.

Tama yang semula mengabaikan Kinara, mendengar pertanyaan itu langsung berbalik melihat ke arah wanita itu. Dia tak menyangka Kinara tidak protes atau setidaknya wanita itu memaki Tama karena bersikap seperti kasar di hari pertama pernikahan mereka.

Tapi, Kinara malah seolah setuju.

Tama mendekat pada Kinara. Dia melihat wanita yang masih mengenakan gaun putih pernikahan mereka.

Tulang selangka wanita itu terlihat seksi, Tama menyentuhnya dengan intim. Kinara tersentak singkat, dia menggigit bibir bawahnya menahan gejolak aneh yang timbul karena sentuhan Tama.

“Aku lebih suka tidur bersama, tapi terserah padamu,” bisik Tama di dekat telinga Kinara. “Aku tidak bisa melarangmu melihatku membawa masuk wanita ke kamar ini.”

Kinara memejamkan matanya, kesal. Tama memang pria brengsek. “Aku akan mencari kamar lain,” ucap Kinara lalu keluar dari kamar itu.

Kenapa harus dengan cara ini Kinara bisa keluar dari rumah neraka itu. Setelah sang ayah menikahi selingkuhannya. Kehidupan Kinara tidak lagi sama.

Apalagi selingkuhan ayah Kinara memiliki anak seusia Kinara. Seolah mengambil semuanya, mereka mengambil apapun dari hidup Kinara termasuk kebebasannya.

Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuknya bebas. Pernikahan bisnis, begitulah Tama menyebutnya.

Karena rumor negatif tentang CEO GeoTech menyebar, Tama mendapat desakan orang tuanya untuk menikah. Agar citra dan nama baik keluarga mereka bisa tetap harum.

Mahawira dan Kavandri sudah menjalin persahabatan sejak lama. Maka dari itu, perjodohan pun dilakukan.

Awalnya, Zara adik tiri Kinara lah yang menjadi pilihan utama. Tapi, karena Zara kabur entah kemana di hari pernikahan mereka. Kinara akhirnya yang menggantikan.

Lucu bukan? Kinara tidak menyangka dia kan keluar dari rumah itu dengan sebuah pernikahan.

Semenjak ibunya meninggal, Mahawira, ayah Kinara seolah tidak pernah berpihak kepadanya. Selalu saja Lina dan Zara yang menjadi prioritasnya.

Kehidupan rumah tangga Kinara dan Tama jauh dari kata normal. Pria itu benar-benar pria brengsek dalam artian yang sebenarnya.

Setiap malam dia membawa pulang wanita untuk melayaninya di kamar. Desahan demi desahan selalu Kinara dengar.

Sampai pada suatu pagi, Kinara memutuskan melakukan sesuatu.

Dia mengetuk pintu kamar Tama.

Pria itu membuka pintu dalam keadaan setengah telanjang. Kinara mengalihkan pandangannya.

“Ada apa?” tanya Tama.

Kinara menyerahkan selembar kertas pada Tama. “Tanda tangani ini,” katanya sambil memberikan pulpen.

“Apa ini?”

“Surat perjanjian pernikahan.”

Tama mengernyitkan matanya melihat ke arah Kinara. Lalu menyeringai kecil. Setelah itu dia membaca isi dari surat perjanjian itu sambil berdiri.

“Bercerai dalam tiga tahun?” kata Tama membaca isinya. “Kau tidak tertarik menjadi istriku selamanya?” goda Tama dengan sudut bibir yang sedikit melengkung.

“Cepat tanda tangani saja,” seru Kinara.

Tama tak menghiraukan dan masih membaca isi perjanjian lainnya. “Tidak boleh terlalu dekat dengan keluarga pasangan,” Tama mengambil jeda, “Apa maksudnya ini?” tanyanya.

“Kau boleh melakukan apapun dengan pernikahan ini. Aku tak peduli. Tapi, jangan pernah dekat dengan keluargaku.”

“Kau takut membuat mereka sedih ya?”

Lebih tepatnya, Kinara tidak mau berurusan lagi dengan mereka. Entah melalui siapapun termasuk Tama.

Kinara hanya ingin terlepas dari keluarga itu, meski harus bertahan hidup dengan pria brengsek seperti Tama.

Tapi sekarang, pria itu malah membawa seseorang yang salah ke rumah mereka. Zara Arrelano.

“Sepertinya aku menyerah menjadi istrimu, Tuan Naratama Geovandri. Ceraikan aku sekarang!” ucap Kinara saat itu juga.

***

Bertahan Denganmu Sungguh Melelahkan

Tama mendelik, “Apa kau bilang? Cerai?” ulangnya ketika mendengar ucapan Kinara. “Jangan asal bicara!” tegas Tama. 

Tatapan tajam Kinara mengartikan bahwa dia benar-benar serius. “Aku tidak asal bicara. Aku serius! Mari bercerai!” ucapnya tegas. 

“Tidak bisa!” tolak Tama tegas. 

Kinara terkejut karena penolakan Tama, dia terdiam. Kenapa suaminya menolak, tidak mungkin dia menolak bercerai karena mulai mencintai Kinara. Atau, bisa saja itu benar, mereka sudah menikah selama dua tahun. 

Kinara tiba-tiba mengharapkan sesuatu. Sayangnya, harapan itu sirna seketika saat Tama melanjutkan ucapannya. 

“Aku masih butuh status pernikahan ini.” Lanjut Tama.

Kinara mengatupkan bibirnya. Bahunya melorot karena kecewa. Sakit sekali rasanya mendengar ucapan Tama itu secara langsung. 

“Tidak bisa! Aku tetap ingin bercerai. Kau sudah melanggar perjanjian kita!” tukas Kinara. 

“Aku tidak melanggar perjanjian apapun,” balas Tama. 

“Kau membawa Zara ke kamarmu, kan.” 

Kinara mengatakannya dengan emosi yang tertahan. Nada suaranya pelan dan tajam. Mengingat Tama keluar dari kamar dengan adik tirinya membuat Kinara marah. 

“Apa di perjanjian tertulis dilarang membawa adikmu ke kamarku?” kilah Tama enteng. 

Memang di perjanjian tidak ada tertulis dengan jelas soal itu. Tapi, tetap saja peraturan itu tertulis bahwa Tama dilarang berhubungan dengan keluarganya terlebih dengan Zara. 

“Kau berhubungan dengan Zara, itu sudah termasuk pelanggaran!” jelas Kinara. 

“Tapi aku tidak—,” jawaban Tama terpotong karena Zara sudah memanggil. 

“Kak?” suara Zara terdengar samar. 

Kinara dan Tama menghentikan perdebatan mereka. Lalu menghampiri Zara di ruang keluarga.

“Kak Tama, Kak Kinara.” Zara berdiri saat melihat Tama dan Kinara datang. “Kalian kenapa meninggalkanku?” ucap wanita itu dengan nada lemah lembut. 

Kinara jengah melihatnya. 

“Apa yang kalian lakukan di kamar itu saat aku tidak ada?” tembak Kinara langsung, matanya tajam melihat ke arah Zara dan Tama. 

Berbeda dengan Zara yang seolah tak berdaya karena ucapan Kinara. Tama terlihat santai seolah dia tak melakukan kesalahan apapun. 

“Maaf Kak,” Zara menunduk menyembunyikan wajahnya. 

Kinara tidak mengerti kenapa sikap Zara begitu. Mungkinkah Tama sudah menidurinya? Dia langsung mendelik ke arah suaminya. 

“Hei, kenapa tidak melanjutkan ucapanmu?” kini giliran Tama yang bersuara. Dia memprotes karena ucapan Zara menggantung, dan tatapan tajam Kinara membuatnya tak nyaman. 

“Kak Tama mungkin tidak ingat karena mabuk…” ucap Zara mendongakkan kepalanya, matanya sudah berkaca-kaca. “Kak Kinara... Aku minta maaf,” lanjut Zara sambil terisak. Air matanya mulai jatuh. 

“Hei… Kenapa tiba-tiba minta maaf. Memangnya aku melakukan apa padamu?” Tama mengerutkan dahinya. Dia memang mabuk tadi, tapi dia yakin tidak melakukan apapun dengan adik istrinya itu. Tapi kenapa… kenapa Zara mengatakan seolah mereka sudah melakukan sesuatu.

Kinara tidak tahu harus bersikap bagaimana, dia hanya bingung harus marah atau melakukan apa?

“Kak Tama, Kak Kinara aku minta maaf, semua salahku.” 

Mendengar kalimat maaf itu membuat Kinara yakin. 

“Lebih baik kau antarkan Zara pulang! Setelah itu, kita lanjutkan pembicaraan kita.” Kinara mengatakannya langsung ke arah Tama. Tatapannya tajam menusuk langsung ke arah pria itu, lalu meninggalkan Tama dan Kinara.

Tama melihat kepergian Kinara dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu terlihat sangat marah, tapi apa harus semarah itu? 

***

Di dalam mobil, Tama melirik ke arah kursi penumpang, Zara terlihat menunduk. Apa dia benar-benar melakukannya dengan Zara? Ah, tidak mungkin. Tama menggeleng. Dia memang brengsek, tapi meniduri adik dari istrinya tidak mungkin dia lakukan. 

“Zara.” Panggil Tama. 

“Iya Kak?”

“Aku memang mabuk tadi, tapi aku ingat tidak melakukan apa-apa padamu.” Tama ingin mengatakan kalau dia masih sadar tidak meniduri adik istrinya itu.

“Kak Tama memang tidak melakukan apa-apa padaku,” sahut Zara. 

Jawaban Zara malah membuat Tama makin tidak mengerti. “Lalu, kenapa kamu tadi bersikap seolah-olah aku melakukan hal tak senonoh padamu?”

“Apa itu yang ku lakukan? Ah, maafkan aku, Kak. Aku pikir kalian marah padaku karena datang ke rumah kalian tanpa memberi kabar.”

Begitulah yang terjadi sebenarnya… Zara datang ke rumah pasangan suami istri itu sendiri, dan kebetulan Tama yang baru pulang kerja dalam keadaan mabuk bertemu dengannya. 

Tama akui, kebiasaannya minum dan bermain wanita tidak bisa dihilangkan. Apapun Tama lakukan asal bisa melupakan wanita yang menyakitinya. Bahkan menikah dengan Kinara juga termasuk salah satu cara melupakan wanita itu. 

Tapi, sebrengsek-brengseknya Tama, dia tidak akan bermain dengan adik Kinara yang bergelar istrinya. 

“Seharusnya kau bilang tadi saat ada Kinara. Sekarang dia pasti sudah salah paham denganku.” Tegur Tama. 

“Maaf kak,” Zara menunduk menyembunyikan wajahnya, seolah merasa bersalah. Padahal jauh di lubuk hati wanita itu senang sudah membuat kehidupan rumah tangga Kinara retak. Karena itu tujuannya yang sebenarnya. 

Enak saja dia hidup tenang setelah menikah. Apalagi menikah dengan CEO kaya seperti Kak Tama. Harusnya Kak Tama yang menikah denganku, dari awal aku yang harus menjadi istrinya bukan Kinara. Aku akan merebut kembali apa yang harusnya jadi milikku! 

Zara menyeringai tipis. Seolah merasa menang karena membuat pasangan suami istri itu bertengkar karena dirinya. 

***

Di dalam kamarnya, Kinara duduk di tepi ranjang sambil menatap kosong. Dia tidak tahu apa yang sedang melanda hatinya sekarang. 

Dua tahun menikah dengan Tama, dengan semua hal bejat yang dilakukan pria itu. Tapi, kenapa hari ini harus dengan Zara? Seseorang yang paling dibenci Kinara. 

“Kenapa harus Zara?” gumamnya. Tangannya mengusap wajah frustasi. Kelelahan terpancar jelas pada wanita itu. Dia baru pulang dari Galeri seninya saat mengetahui Tama dan Zara bersama.

Apa dia benar-benar harus bercerai dengan Tama? 

Tapi, bertahan dengan pria seperti itu juga melelahkan untuk Kinara. Padahal dia berusaha menutupi keburukan Tama di depan keluarganya. Kinara hanya ingin bebas dan hidup tenang setelah pernikahan ini. 

Lalu, kenapa harus sekarang… Kenapa pria itu malah membawa Zara ke kamar tidurnya. Bagaimana tanggapan keluarga Kinara jika tahu soal ini. 

Pasti Zara sudah tersenyum gembira karena berhasil membuat kehidupan Kinara berantakan lagi. 

Kinara menghela napas berat. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tak mau ditertawakan oleh ayah, ibu tirinya dan juga Zara. Kalau mereka tahu soal pernikahannya dengan Tama yang hanya sebuah sandiwara. 

***

Setelah mengantar Zara, Tama kembali pulang. Dia berjalan menuju kamar. Saat tangannya hendak membuka pintu, kepalanya melihat ke arah kamar Kinara yang berada di ujung. 

Dengan langkah santai, Tama mendekat ke kamar istrinya. Dia mengetuk pintu, tidak ada jawaban apapun. Sekali, dua kali, sampai tiga kali Tama mencoba memanggil Kinara. Tapi tidak ada sahutan. 

Tama heran, kenapa sunyi sekali. 

Pria itu akhirnya membuka pintu itu dengan sekali gerakan. Kosong. Kamar Kinara kosong. 

“Kemana dia?” gumam Tama seraya melangkah ke dalam kamar. “Kinara?” panggilnya.

Tama berbalik cepat. Kinara tidak ada di kamarnya. 

Apa dia pergi? Kenapa? 

***

Hati yang Panas

Kinara menyeret koper ke dalam Galeri Seni miliknya, malam ini dia memutuskan untuk keluar dulu dari rumah Tama. Dia tidak tahu apakah keputusannya benar atau salah.

Namun yang pasti dia tidak mau di sekitar pria itu.

“Aku sudah muak melihat Tama bersikap seenaknya,” gumam Kinara.

Wanita itu duduk di sudut galeri, matanya menerawang jauh ke langit-langit. Dia menghela nafasnya berat.

“Aku tahu kalau pernikahanku dengannya memang bukan pernikahan normal lainnya. Tapi, seharusnya dia tidak bersikap ceroboh dengan berhubungan dengan Zara,” gumam Kinara.

Keluarga besarnya sudah membuat muak Kinara, mereka selalu saja membela Zara.

Kinara berharap Tama bisa menjadi pria yang memegang perjanjian. Meski pria itu bejat, tapi dia adalah seorang pebisnis, setidaknya dia harus menghargai kontrak mereka sebagai seorang suami istri.

Wanita itu tidak menyangka kalau Tama sama saja dengan keluarga besar Kinara yang lain. Pria itu tetap tergoda dengan Zara.

Kinara mendesah. “Ya sudahlah, toh pernikahan ini memang akan berakhir. Kalau berakhirnya lebih cepat dari perjanjian, bukan masalah bagiku.”

Sekarang, Kinara benar-benar menyerah untuk selalu bertahan. Dia lelah karena semua orang selalu saja tidak mendengar dan menghargainya. Dia selalu saja menjadi orang yang disisihkan, menjadi pilihan kedua.

Kini, hanya galeri seni inilah yang akan ia lindungi. Galeri seni peninggalan ibu Kinara, tempat menyimpan kenangan yang berharga bagi wanita berusia 27 tahun itu.

Kinara berjalan sambil membawa kopernya masuk ke dalam sebuah ruangan. Dia menyalakan saklar lampu. Sesaat setelahnya, cahaya menyinari seluruh ruangan.

Terlihat kanvas besar yang ditutupi kain putih di tengah ruangan. Sedangkan, di sekitarnya rak-rak berisi cat dan perlengkapan melukis juga berjejer tak beraturan.

Ini adalah tempat kerja Kinara selama 10 tahun setelah sang ibu meninggal. Tempat pelarian yang paling aman. Bahkan, untuk sekarang saat dia sudah menikah pun, dia tidak punya tempat tujuan lain selain galeri seni ini.

Kinara meletakkan kopernya di sudut ruangan, dan dia mulai membuka salah satu lemari di sana. Mengambil satu kain penutup untuk lukisan, yang akan dijadikannya selimut tidur.

Malam ini dia tidur di sini. Sementara Kinara akan tinggal di sini. Kinara sudah mengambil keputusan, dia tidak bisa lagi dengan Tama. “Terserah dia mau alasan apapun, aku sudah muak!” ucapnya pada diri sendiri sebelum memejamkan matanya.

***

Pagi menyapa kediaman Naratama Geovandri. Pria itu masih berbaring di ranjangnya dengan pakaian lengkapnya.

Tama mengerjapkan matanya karena cahaya matahari yang terasa menusuk di kelopak mata pria itu. “Mmmhh,” erangnya dalam posisi tengkurap. Tama masih setengah tidur.

Kepalanya sedikit pusing saat membuka mata. Efek alkohol tadi malam masih membekas.

Setelah mengecek ponselnya, dia turun dari ranjang dengan tubuh yang berat. Langkahnya menuju ke kamar mandi, hari ini dia libur bekerja karena akhir pekan.

Saat keluar dari kamar mandi dengan badan yang segar. Pria itu baru teringat sesuatu. “Oh iya, Kinara!” dia langsung pergi menuju kamar Kinara dengan handuk yang membeli pinggangnya.

Tidak ada.

Wanita itu masih tidak ada di kamarnya. Tama pikir tadi malam dia hanya pergi sebentar, tapi kenapa dia tetap tidak ada di kamarnya.

“Kemana dia?” gumam Tama. Alisnya sudah hampir bertaut, ada ketakutan di hatinya kalau Kinara benar-benar pergi.

“Aku masih membutuhkannya untuk mengambil hati papa.”

Tama memang hanya memanfaatkan Kinara untuk mengambil hati kedua orang tuanya, terutama Kavandri, ayahnya.

Memang benar Tama adalah CEO GeoTech saat ini, tapi posisi ini bisa digantikan kapanpun jika Kavandri ingin, ayah Tama itu adalah pemegang utama saham GeoTech, dia berhak mengganti siapapun, termasuk Tama sebagai CEO.

Tama memiliki seorang sepupu yang selama ini menginginkan posisinya. Dia selalu saja menempel pada sang ayah. Jadi, Tama harus selalu waspada.

Menikah dengan Kinara adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan posisinya di perusahaan. Wanita itu entah bagaimana caranya, menjadi menantu kesayangan Kavandri.

“Apa semua yang dikatakan Zara benar?” tiba-tiba Tama mengingat perkataan adik tiri istrinya itu.

“Kak Kinara itu orangnya manipulatif Kak Tama. Dia sangat ambisius jika menginginkan sesuatu, dan tidak akan menyerah sampai dia mendapatkannya. Terkadang… aku takut.” Zara menunduk mengatakannya pada Tama malam itu.

Bisa gawat kalau Kinara mengatakan semuanya ke Papa.

Ketakutan Tama tiba-tiba muncul. Tadi malam Kinara terlihat sangat marah ketika melihatnya keluar dari kamar dengan Zara.

Wanita itu juga tidak menerima alasan yang diberikan Tama. Yah, dia akui kalau selama ini dia adalah pria brengsek yang memasukan banyak wanita ke kamar itu.

Kinara hanya memberikan syarat yaitu jangan pernah berhubungan dengan keluarganya, terkhusus dengan Zara, adik tirinya.

Tama semakin tidak mengerti dengan hubungan antara Kinara dan keluarganya. Istrinya itu sangat tertutup.

Pria itu menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran rumit tentang Kinara dan keluarnya. Sekarang, dia harus fokus menemui Kinara dan membawanya pulang.

“Ya benar, aku harus mencarinya dulu!” pria itu berbalik ke arah kamarnya untuk berganti pakaian.

Dengan tergesa Tama menyambar kunci mobilnya di atas meja nakas. Dia menuruni tangga rumah. Sesaat Tama menoleh ke arah meja makan. Kosong.

Biasanya dia melihat roti lapis daging di atasnya sebanyak dua porsi. Meski jarang bicara, Tama dan Kinara selalu sarapan bersama sebelum beraktifitas masing-masing.

Kinara selalu menyiapkan sarapan roti lapis daging dengan susu coklat. Tama mengatupkan bibirnya, kenapa hal-hal sederhana seperti ini baru terasa ya saat tidak ada.

***

Pagi yang sama di galeri seni Kinara.

Badannya terasa sakit karena tidur di atas sofa. Kinara mulai merenggangkan tangannya ke samping. Bunyi kretek terdengar samar. “Sepertinya aku harus membeli kasur nanti. Rasanya nggak nyaman banget,” keluh Kinara.

Kinara mandi, bersiap memulai aktivitasnya. Galeri tetap buka meski di akhir pekan. Malah akan semakin sibuk karena lonjakan pengunjung biasanya terjadi di akhir pekan.

Wanita itu mulai membersihkan galeri lebih awal. Saat Kinara membuka pintu galeri ingin pergi mencari sarapan.

Kinara terkejut karena kehadiran seseorang di depan pintu. Dia mengernyit. “Maaf,” ucap Kinara mencoba mencari tahu siapa orang itu.

Orang itu berbalik, seorang pria. Tapi, Kinara tidak pernah mengenalnya. “Galeri akan dibuka pukul 10, kak. Masih lama.” Katanya memberikan informasi pada pria yang sepertinya seorang pengunjung.

“Jam 10 ya?” sahut pria itu.

Kinara mengangguk sambil tersenyum ramah. Ini masih pukul delapan, siapa juga yang pergi ke galeri seni sepagi ini.

Pria itu langsung mengucapkan terima kasih dan pergi begitu saja. Kinara sendiri akan mencari sarapan.

Pukul sepuluh, dan galeri seni dibuka.

Kinara sudah menyalakan lampu-lampu di beberapa lukisan. Dia juga sudah menyiapkan perlengkapan di ruang lukis. Biasanya beberapa pengunjung galeri tertarik untuk mencoba melukis.

Tak lama kemudian, seseorang masuk ke galeri seni Kinara.

“Selamat datang…” sapanya. Kinara tersenyum ramah pada pengunjung itu, ternyata adalah pria yang tadi kepagian datang ke galerinya.

“Apa anda pemilik galeri seni ini?” tanya pria itu.

“Benar, Kak. Saya pemilik sekaligus pengelolanya. Ada yang bisa saya bantu?” balas Kinara.

“Apa anda menawarkan tour untuk pengunjung?”

Kinara mengangkat alisnya. Baru kali ini ada yang bertanya tentang tour pengunjung. “Tentu, anda mau saya temani untuk melihat koleksi seni?” mau tidak mau dia mengiyakan.

 Pria itu mengangguk.

Selama tour, Kinara tahu bahwa nama pria itu adalah Caraka Mahawira. Seorang fotografer, pantas saja dia meminta tour pada Kinara.

Kinara dan Caraka tiba-tiba menjadi akrab. Caraka memiliki minat yang besar dengan lukisan. Baru kali ini Kinara bertemu dengan seorang pria yang memiliki minat yang sama dengannya.

Saking asyik mengobrol dengan Caraka, Kinara sampai tidak sadar dengan kedatangan Tama.

Rahang Tama sudah mengeras melihat Kinara yang tertawa lebar di depan seorang pria. Wajahnya merah padam, hatinya tiba-tiba merasa panas.

Lalu, dengan langkah cepat dia menghampiri Kinara. Tangannya langsung mencengkram lengan wanita itu.

Kinara menoleh cepat. “Tama?” gumamnya.

“Ikut aku!” sentak Tama langsung menarik Kinara keluar.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!