Sinar mentari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, jatuh membelai wajah Misha yang masih pucat. Kelopak matanya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. Bau antiseptik dan aroma obat-obatan menyambutnya, bau khas rumah sakit. Misha menoleh ke samping, mencari sosok yang sejak semalam ia rindukan.
"Mas Radit..." suaranya serak.
Radit yang duduk di kursi samping ranjang segera meraih tangan Misha. "Misha, kamu sudah bangun? Syukurlah."
Misha mengerutkan dahi, matanya memancarkan kebingungan. "Bayi kita mana, Mas? Aku mau lihat dia."
Senyum Radit memudar. Ia menatap Misha dengan tatapan penuh kepedihan yang tak bisa disembunyikan. "Misha... sayang..."
Hati Misha langsung dipenuhi firasat buruk. Ia menarik tangannya dari genggaman Radit. "Kenapa? Kenapa tatapanmu begitu? Mana bayi kita?"
Radit menunduk, tak sanggup menatap mata istrinya yang mulai berkaca-kaca. "Bayi kita... dia tidak selamat, Misha."
Kata-kata itu bagai belati yang menusuk ulu hati Misha. Ia merasakan dadanya sesak, napasnya tercekat. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah ruah membasahi pipinya. "Tidak... tidak mungkin! Bayiku selamat, Mas! Aku yakin dia selamat!"
Ia mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya masih terasa lemas. Radit segera menahannya. "Misha, tenanglah. Jangan paksakan diri."
"Bagaimana aku bisa tenang?! Bayiku! Di mana dia?! Bawa dia padaku sekarang!" Misha berteriak, suaranya dipenuhi histeria. "Aku mau lihat dia! Aku mau peluk dia! Aku mau cium dia!"
"Misha, dengarkan aku," Radit memeluk istrinya erat. "Dokter sudah berusaha sekuat tenaga. Bayi kita terlalu lemah, sayang. Dia tidak bisa bertahan."
"Bohong! Kalian semua bohong!" Misha meronta dalam pelukan Radit. Tangisnya semakin menjadi-jadi, air matanya membasahi kemeja suaminya. "Kenapa? Kenapa harus begini, Mas? Kenapa anak kita diambil secepat ini?!"
Pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dengan wajah prihatin. "Pak Radit, biarkan Ibu Misha tenang dulu. Kami akan berikan obat penenang."
"Tidak! Aku tidak mau obat penenang!" Misha menolak, menggelengkan kepalanya keras. "Aku mau anakku! Bawa dia ke sini sekarang!"
Radit mengangguk pada perawat. "Tolong berikan saja, Sus. Misha butuh istirahat."
Perawat itu mendekat, mencoba menyuntikkan obat. Misha memberontak, namun tenaganya tak sebanding dengan cengkeraman Radit yang menahannya. Perlahan, obat penenang itu mulai bekerja. Kelopak mata Misha terasa berat, tangisnya mereda menjadi isakan lirih.
"Misha... kita akan melewati ini bersama," bisik Radit, mengusap lembut kepala istrinya yang mulai terkulai.
****
Dua hari kemudian, Misha sudah diperbolehkan pulang. Ia berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit, langkahnya terasa berat. Di tangannya, tidak ada bayi mungil yang dibedong, hanya sebuah tas berisi barang-barang miliknya. Di Padang, hujan selalu menemani saat hati sedang pilu. Butiran-butiran air membasahi jendela mobil, seolah langit ikut merasakan kesedihan Misha.
Di rumah, suasana terasa hampa. Ayunan bayi yang baru dibeli Radit berdiri tegak di sudut ruangan, kosong. Baju-baju bayi mungil yang sudah disiapkan Misha terlipat rapi di dalam lemari. Semua benda itu bagai saksi bisu dari impian yang hancur berkeping. Misha duduk di pinggir ranjang, memandangi ayunan dengan mata kosong.
"Mas... aku mau ke kuburan anak kita," ucap Misha, suaranya nyaris tak terdengar.
Radit mengusap bahu istrinya. "Besok saja ya, sayang? Kamu masih lemah."
Misha menggeleng. "Sekarang, Mas. Aku mohon."
Radit tak bisa menolak tatapan memelas itu. Ia mengangguk, lalu membantu Misha mengenakan jaketnya. Di pemakaman, aroma tanah basah menusuk hidung. Di bawah sebuah nisan kecil bertuliskan 'Anakku Tercinta', Misha berlutut. Tangisnya yang tertahan kini pecah kembali.
"Nak... kenapa kamu pergi secepat ini? Ibu belum sempat memelukmu... menciummu..." Misha membelai nisan itu dengan tangan gemetar. "Maafkan Ibu... maafkan Ibu tidak bisa menjagamu..."
Radit memeluk istrinya dari belakang, menenggelamkan wajahnya di rambut Misha. Air matanya juga menetes, membasahi bahu istrinya. Hujan semakin deras, seolah membersamai tangisan dua hati yang terluka. Mereka duduk di sana, dalam diam, ditemani suara rintik hujan dan hati yang pilu. Sebuah perpisahan yang terasa sangat berat, perpisahan dengan malaikat kecil yang bahkan belum sempat mereka peluk.
****
Selepas kunjungan pilu ke makam sang buah hati, Misha dan Radit kembali ke mobil. Hujan masih setia mengguyur Padang, seolah ikut meratapi duka mereka. Radit menyetir dalam diam, sesekali melirik Misha yang masih terpekur dengan tatapan kosong menatap butiran air yang membasahi kaca mobil.
Tiba-tiba, suara sirene polisi memecah kesunyian. Radit sontak menekan rem. Dari kaca spion, ia melihat sebuah mobil polisi menghadang di belakang. Jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh ke depan, dan ternyata sebuah mobil polisi lain juga sudah menghadang di depan mereka. Mereka terjebak.
"Mas, ada apa ini?" Misha terperanjat, kebingungan.
Wajah Radit mendadak pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tanpa menjawab, ia langsung menarik tangan Misha. "Cepat, Misha! Keluar dari mobil!"
"Ada apa? Kenapa Mas panik?" tanya Misha, bingung. Namun, Radit tidak memberinya waktu untuk berpikir. Ia membuka pintu mobil dan menyeret Misha keluar, menerobos hujan deras yang mengguyur. Mereka berlari, masuk ke dalam kegelapan hutan yang lebat di sisi jalan. Ranting-ranting pohon dan semak-semak tajam menggores kulit mereka, namun Radit terus menarik tangan Misha.
"Pelan-pelan, Mas! Aku enggak kuat!" Misha terengah-engah, tubuhnya masih lemah pasca-melahirkan.
"Tidak ada waktu, Misha! Terus lari!" Radit berteriak, suaranya dipenuhi kepanikan.
Di belakang mereka, terdengar suara langkah kaki dan teriakan. "Radit! Jangan lari! Kamu sudah terkepung!"
Misha menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya ia melihat beberapa polisi mengejar mereka. Ia menatap Radit, menuntut penjelasan. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu lakukan sampai dikejar polisi?!"
Radit menghentikan langkahnya di bawah lindungan pohon rindang. Napasnya memburu. Ia membalikkan badan, menatap mata Misha yang dipenuhi kebingungan, ketakutan, dan kekecewaan.
"Misha... maafkan aku," Radit memulai, suaranya bergetar. "Maafkan aku tidak jujur selama ini."
Air mata Misha kembali menetes, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. "Jelaskan, Mas! Jelaskan semuanya!"
Radit menunduk, tak sanggup menatap mata Misha yang terluka. "Uang yang selama ini aku berikan... mobil yang kita pakai... rumah yang kita tinggali... semuanya dari hasil kejahatan."
Misha menggelengkan kepala, tak percaya. "Apa maksudmu, Mas? Jangan membuatku bingung."
"Aku terlibat dalam sindikat penjualan obat-obatan terlarang," Radit mengaku dengan suara tertahan. "Sejak dua tahun yang lalu. Aku... aku jadi kurir mereka."
****
Dunia Misha runtuh seketika. Rasanya seperti disambar petir di bawah guyuran hujan. Ia mundur selangkah, melepaskan genggaman tangan Radit. "Tidak... itu tidak benar. Radit yang aku kenal tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu."
Aku terpaksa, Misha!" Radit mendekat, mencoba meraih tangan Misha kembali. "Bisnisku bangkrut! Kita butuh uang untuk biaya rumah sakit kamu melahirkan! Aku... aku tidak punya pilihan lain!"
"Tidak ada pilihan lain? Sampai harus mengorbankan nyawa orang lain?!" Misha berteriak, suaranya meninggi. "Kamu pikir dengan bersembunyi di balik alasan itu, kamu bisa membenarkan perbuatanmu?!"
"Aku tahu ini salah! Aku menyesal!" Radit memohon. "Misha, ayo kita lari. Polisi pasti akan menangkapku. Aku bisa dipenjara seumur hidup..."
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu tidak menyerah saja?!" Misha menangis tersedu-sedu. "Apakah uang lebih penting daripada kebahagiaan kita?!"
Radit memeluk Misha, membiarkan istrinya meluapkan amarahnya di dadanya. "Maafkan aku, Misha. Aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Aku... aku hanya ingin kita hidup nyaman."
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari kejauhan. Radit segera melepaskan pelukannya. Ia menatap Misha dengan tatapan penuh penyesalan. "Misha... aku harus pergi. Mereka akan segera sampai di sini. Aku tidak mau kamu terlibat."
"Mau ke mana, Mas? Aku ikut!"
"Tidak, Misha! Kamu harus kembali ke jalan. Berpura-puralah tidak tahu apa-apa. Jangan pernah kembali ke sini."
Misha menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas! Tidak setelah semua yang kita lalui!"
Namun Radit sudah mengambil keputusan. Ia mengecup kening Misha untuk terakhir kalinya, lalu berbalik dan berlari semakin dalam ke dalam hutan. Misha hanya bisa berdiri di sana, di bawah guyuran hujan yang semakin deras, menatap punggung suaminya yang menghilang ditelan kegelapan. Ia berteriak memanggil nama Radit, namun suaranya tenggelam dalam deru angin. Di sanalah Misha menyadari, hidupnya yang sudah hancur kini harus menanggung beban dosa yang tak pernah ia lakukan.
Tepat saat Radit menghilang di balik pepohonan lebat, suara langkah kaki dan senter-senter polisi mulai mendekat. Misha masih terpaku di tempatnya, menatap ke arah terakhir kali ia melihat punggung suaminya. Pikirannya kosong, tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya hujan, melainkan karena syok yang mendalam.
"Jangan bergerak! Angkat tanganmu!"
Sinar senter yang terang benderang menyilaukan mata Misha. Dua orang polisi berseragam lengkap berdiri di depannya, menodongkan senjata. Misha tidak melawan. Ia bahkan tidak beranjak. Air mata dan air hujan membasahi wajahnya. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan nanar.
"Kamu ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam sindikat peredaran narkotika," ujar salah seorang polisi dengan suara tegas.
Misha tidak bereaksi. Tangannya diborgol, dan ia digiring menuju mobil polisi yang sudah menunggu di jalan. Tubuhnya terasa lemas, seperti boneka tanpa jiwa. Ia hanya menuruti setiap perintah, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia membiarkan dirinya didudukkan di kursi belakang mobil, diapit oleh dua polisi.
Di dalam mobil, seorang polisi menoleh ke arahnya. "Kenapa kamu ikut lari? Bukankah seharusnya kamu menyerahkan diri?"
Misha menoleh, menatap polisi itu. "Aku hanya ingin menemaninya. Aku tahu dia tidak bermaksud jahat."
Polisi itu mengerutkan kening. "Dia pelaku kriminal, Nona. Jangan dibela."
"Dia suamiku," jawab Misha lirih, namun tatapannya tegas. "Dia adalah orang yang sama yang aku nikahi."
Tiba-tiba, Misha mengangkat kepalanya. Ia menatap polisi yang duduk di sebelahnya. "Tolong... tolong jangan kejar dia."
Polisi itu terkejut. "Apa maksudmu?"
"Dia sudah cukup menderita," Misha melanjutkan, suaranya bergetar. "Anak kami baru saja meninggal. Dia... dia butuh waktu. Tolong, jangan kejar dia."
Kedua polisi di dalam mobil itu saling berpandangan. Mereka syok. Permintaan Misha benar-benar di luar dugaan. Bagaimana bisa seorang istri yang baru saja dikhianati suaminya, dan kini harus menghadapi kenyataan pahit akibat perbuatan suaminya, justru meminta agar suaminya tidak dikejar?
Polisi yang duduk di depan, seorang perwira, menoleh ke belakang. "Nona, suamimu adalah buronan. Kami harus menangkapnya."
"Aku tahu," jawab Misha, air mata kembali membasahi pipinya. "Aku tahu dia bersalah. Tapi aku mohon, berikan dia kesempatan. Biarkan dia merasakan hidup normal, walaupun hanya sebentar. Dia kehilangan segalanya... dia bahkan belum sempat memeluk putranya."
****
Suasana di dalam mobil menjadi hening. Hujan di luar semakin deras, menambah suasana melankolis. Misha tidak lagi peduli dengan nasibnya sendiri. Ia hanya ingin suaminya bisa lepas dari belenggu ini. Ia ingin Radit mendapatkan kesempatan untuk memulai hidup baru.
"Dia bukan orang jahat, Pak," bisik Misha, suaranya penuh keputusasaan. "Dia hanya terperosok. Tolong... biarkan dia pergi."
Perwira polisi itu menghela napas panjang. "Nona, kamu tidak bisa menutupi kesalahan orang lain. Sekalipun dia suamimu, hukum harus ditegakkan."
Misha menundukkan kepalanya, membiarkan air matanya jatuh membasahi bajunya. Ia tahu permintaannya sia-sia. Namun, setidaknya ia sudah mencoba. Dalam hatinya, Misha berharap Radit bisa lari sejauh mungkin. Ia berharap, di suatu tempat di luar sana, Radit bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tidak bisa mereka miliki bersama.
Mobil terus melaju, membelah kegelapan malam. Misha menyadari, hidupnya yang sudah hancur kini harus menanggung beban dosa yang tak pernah ia lakukan. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam kegelapan, sama seperti suaminya yang menghilang di balik hutan.
****
Dua bulan telah berlalu sejak Misha ditangkap. Setiap hari ia lewati dengan penuh kekosongan di dalam sel tahanan. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Padang berjalan panjang dan berliku. Berita tentang Misha dan suaminya, Radit, yang menjadi buronan, menyebar luas. Media massa ramai memberitakannya, seolah menambah beban penderitaan yang sudah Misha pikul.
Misha duduk di kursi terdakwa dengan tatapan kosong. Ia mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya diikat rapi, namun wajahnya nampak pucat dan lelah. Di sampingnya, seorang pengacara muda berjuang keras membela dirinya. Namun, Misha tahu, semua itu sia-sia. Bukti-bukti yang diajukan jaksa penuntut umum terlalu kuat. Semua barang bukti yang ditemukan polisi, mulai dari mobil hingga rumah, terbukti dibeli dari hasil penjualan obat-obatan terlarang.
Ruang sidang terasa sangat hening. Hakim ketua membacakan vonis dengan suara lantang dan jelas. "Saudari Misha Kurnia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta dalam peredaran narkotika. Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun."
Suara palu hakim berbunyi, menggema di seluruh ruangan. Vonis 20 tahun penjara. Sebuah hukuman yang sangat berat. Misha tidak bergeming. Ia tidak menangis, tidak pula meronta. Ia hanya menunduk, menerima vonis itu dengan pasrah. Pikirannya melayang, mengingat kembali semua kenangan pahit yang ia lalui.
Pengacaranya langsung menghampiri Misha. "Kita akan ajukan banding, Misha. Ini tidak adil! Kamu tidak bersalah!"
Misha mengangkat kepalanya, menatap pengacaranya. "Tidak usah, Pak. Terima kasih atas bantuan Bapak. Biarkan saja seperti ini."
"Tapi Misha! Kamu bisa bebas! Kita punya banyak bukti yang bisa meringankanmu!" sang pengacara bersikeras.
"Bebas apanya, Pak?" Misha tersenyum pahit. "Hati saya sudah dipenjara jauh sebelum vonis ini dijatuhkan. Biarkan saja semuanya berakhir. Saya sudah lelah."
*****
Di luar gedung pengadilan, wartawan sudah menunggu. Mereka berteriak, berusaha mendapatkan pernyataan dari Misha. Namun, Misha tetap diam. Ia berjalan dengan langkah gontai menuju mobil tahanan. Sorot kamera dan pertanyaan-pertanyaan itu terasa seperti ribuan jarum yang menusuknya.
Di dalam mobil tahanan, Misha duduk sendiri. Ia menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang ramai. Orang-orang berjalan, tertawa, dan menjalani hidup mereka dengan normal. Mereka tidak tahu, ada sebuah kehidupan yang hancur di balik jeruji besi ini. Ia memejamkan mata, membiarkan air mata yang sejak tadi ia tahan, kini tumpah membasahi pipinya.
Ia tidak menyesali keputusannya untuk tidak membantah. Sejak awal, ia sudah tahu konsekuensinya. Ia memilih untuk menanggung semua beban ini sendirian, demi memberikan kesempatan bagi Radit. Ia berharap, di suatu tempat di luar sana, Radit bisa memulai hidup baru. Menjadi orang yang lebih baik.
Sementara itu, Radit menghilang tanpa jejak. Polisi sudah mengerahkan segala upaya untuk mencarinya, namun hasilnya nihil. Ia bagai ditelan bumi. Tidak ada yang tahu di mana ia berada. Ada yang bilang ia sudah keluar dari Padang, ada juga yang bilang ia masih bersembunyi di hutan. Namun yang pasti, ia tidak pernah muncul lagi. Ia memilih jalan yang sama sekali berbeda dengan Misha. Ia memilih lari dari tanggung jawab, sementara Misha, sang istri, memilih untuk menanggung semua beban itu sendirian.
Misha menghapus air matanya. Ia sadar, kini ia harus memulai babak baru dalam hidupnya. Babak di mana ia harus berjuang untuk dirinya sendiri. Babak di mana ia harus menjalani hukuman untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah ia perbuat.
Tujuh tahun telah berlalu. Misha melangkah keluar dari gerbang penjara dengan napas tertahan. Udara bebas yang selama ini ia rindukan terasa begitu asing, begitu menyegarkan. Tubuhnya terasa ringan, meski hatinya masih menyimpan beban berat. Ia mengenakan gamis sederhana, rambutnya yang dulu panjang kini dipotong sebahu. Wajahnya tidak lagi pucat, namun tatapan matanya masih menyiratkan kesedihan.
"Misha, kamu baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya, mantan sipir yang selama ini menjadi teman ceritanya.
Misha tersenyum tipis. "Saya baik, Ibu."
"Apa rencanamu sekarang?"
Misha menoleh ke arah jalan raya yang ramai. "Saya... saya mau mencari tahu kabar Radit."
Sipir itu mengangguk mengerti. "Semoga kamu bisa menemukannya. Saya doakan yang terbaik untukmu."
Misha memeluk wanita itu erat, lalu melambaikan tangan. Ia berjalan ke pinggir jalan, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebisingan kota Padang yang sudah banyak berubah. Banyak gedung-gedung baru, jalanan yang lebih ramai, dan suasana yang jauh berbeda dari tujuh tahun yang lalu. Ia menaiki sebuah taksi, hatinya berdebar tak karuan.
"Ke mana, Bu?" tanya sang sopir.
Misha terdiam sejenak. "Ke... Jalan Kenanga, Pak."
Setibanya di sana, Misha merasakan nyeri di dadanya. Rumah yang dulu mereka tinggali kini terlihat usang, tidak terawat. Pagar besi yang dulu dicat rapi, kini berkarat. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Ia mendekat, mencoba mengintip dari balik pagar, namun yang ia temukan hanyalah kehampaan. Radit tidak ada di sana.
"Apakah Bapak pemilik rumah ini?" tanya Misha pada seorang pria yang sedang menyapu halaman tetangga.
Pria itu menoleh. "Bukan, Bu. Rumah ini sudah kosong sejak lama. Katanya pemiliknya jadi buronan."
Hati Misha mencelos. Ia tahu, kabar itu pasti tentang Radit. "Apakah... apakah Bapak tahu ke mana dia pergi?"
Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak tahu, Bu. Yang saya tahu, istrinya masuk penjara karena kasus suaminya."
Misha menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia berterima kasih, lalu kembali ke taksi. Selama perjalanan, ia mencoba mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah ia lalui bersama Radit. Namun, bayangan itu selalu berujung pada malam hujan yang kelam, saat Radit meninggalkannya sendirian.
Taksi berhenti di sebuah area pemakaman yang tenang. Misha turun dari mobil, hatinya dipenuhi harapan. Ia ingin memastikan bahwa putranya tidak terlupakan. Ia berjalan menyusuri barisan nisan, mencari nisan kecil bertuliskan 'Anakku Tercinta'. Saat ia menemukannya, sebuah kejutan menantinya.
Ada sebuah vas bunga kecil di samping nisan, berisi bunga-bunga segar. Misha membelai nisan itu, air matanya menetes. "Kamu tidak sendirian, Nak," bisiknya. "Ayahmu... Ayahmu pasti masih mengingatmu."
****
Langkah kaki Misha terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju sebuah rumah sederhana di pinggir desa. Rumah itu terasa asing baginya, meski dulu ia sering berkunjung ke sana. Setelah tujuh tahun, semua terasa berbeda. Hati Misha dipenuhi kegelisahan, namun ia memberanikan diri. Di tangannya, sebuah tas berisi pakaian dan sedikit uang saku. Ia ingin memulai hidup baru di sini, di desa ini, dekat dengan makam putranya.
Ia berhenti di depan gerbang kayu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuknya. "Assalamualaikum..." ucap Misha pelan.
Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih berdiri di ambang pintu. Itu adalah Juleha, ibu mertua Misha. Wajahnya yang keriput nampak tegang, mata cokelatnya menatap tajam, seolah sedang menghakimi Misha.
"Waalaikumsalam," jawab Juleha dingin. "Ngapain kamu ke sini?"
Misha menunduk, tidak berani menatap mata mertuanya. "Saya... saya mau silaturahmi, Bu."
Juleha mendengus sinis. "Silaturahmi? Setelah tujuh tahun kamu menghilang, baru sekarang kamu datang? Saya pikir kamu sudah lupa jalan pulang."
Hati Misha terasa perih, namun ia mencoba tegar. "Saya... saya baru saja keluar dari penjara, Bu."
Ekspresi Juleha tidak melunak. Ia menatap Misha dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Penjara? Pantas saja. Apa kamu pikir setelah keluar dari penjara, kamu bisa datang seenaknya dan menghancurkan hidup anak saya lagi?"
"Tidak, Bu! Saya tidak bermaksud begitu!" Misha membela diri, suaranya bergetar. "Saya hanya... saya hanya ingin bertemu Radit."
Mendengar nama Radit, Juleha tertawa pahit. "Radit? Untuk apa kamu mencari dia? Dia sudah bahagia sekarang. Dia sudah jauh dari sini."
"Radit tidak ada di sini. Dia sudah pindah ke Jakarta. Dia sudah memulai hidup baru di sana. Dia tidak butuh kamu lagi."
Dunia Misha terasa runtuh untuk kedua kalinya. Ia datang ke sini dengan harapan bisa berdamai dengan masa lalu, dengan harapan bisa kembali bersama Radit.
****
Hari-hari Misha di desa Mertuanya berjalan lambat. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja keras di pasar, membantu pedagang apa saja. Ia tidak pernah mengeluh. Di bawah terik matahari, Misha menyapu, mengangkat barang, dan melayani pembeli. Ia menyimpan setiap rupiah yang ia dapatkan, dengan satu tujuan: pergi ke Jakarta. Ia harus menemukan Radit, suaminya. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Radit benar-benar masih hidup.
Setelah berbulan-bulan bekerja, uangnya terkumpul. Sebuah amplop lusuh berisi lembaran-lembaran uang ia genggam erat di tangannya. Uang itu tidak banyak, namun cukup untuk ongkosnya ke Jakarta dengan bus. Ia berpamitan dengan Juleha, mertuanya.
Perjalanan ke Jakarta terasa sangat panjang. Bus melaju membelah malam, meninggalkan gemerlap lampu kota Padang di belakang. Sepanjang perjalanan, hanya ada Radit di benak Misha. Pikirannya melayang, mengingat kembali kenangan pahit yang tak terlupakan. Bayangan Radit yang menghilang di tengah hujan, tangisnya saat divonis hakim, dan makam yang ia lihat di pemakaman.
"Mas... kamu di mana?" bisik Misha pada dirinya sendiri. "Apa yang terjadi padamu selama tujuh tahun ini?"
Ia mencoba membayangkan kehidupan Radit di Jakarta. Apakah Radit sudah bahagia seperti yang dikatakan Juleha? Apakah Radit sudah memiliki keluarga baru? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Misha tahu, jawaban yang ia dapatkan mungkin akan menyakitkan, namun ia harus menghadapinya.
2 hari kemudian saat pagi menjelang, bus akhirnya memasuki kota Jakarta. Misha terkesima. Kota ini jauh lebih besar dan lebih ramai dari yang ia bayangkan. Gedung-gedung pencakar langit, jalanan macet, dan hiruk pikuk manusia membuat Misha merasa kecil dan tersesat. Ia menuruni bus dengan langkah ragu.
****
Panas terik Jakarta menyengat kulit Misha, seolah menyambut kedatangannya dengan kejam. Ia berdiri kebingungan di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Ribuan orang berlalu-lalang, kendaraan bersahutan, dan debu bertebaran. Ia merasa sangat kecil di tengah keramaian itu. Misha memeluk erat tasnya, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Pikirannya kosong, bingung harus melangkah ke mana.
Tiba-tiba, sebuah motor melaju pelan di sampingnya. Misha tak curiga, ia masih sibuk mengamati papan-papan petunjuk arah. Namun, secepat kilat, seorang pria yang duduk di boncengan langsung menarik tas dari genggaman Misha.
"Hei!" Misha berteriak terkejut. Ia tidak mau melepaskan tasnya, tas yang berisi uang hasil jerih payahnya selama ini.
Jambret itu terkejut dengan perlawanan Misha. Ia tidak menyangka wanita itu akan sekuat itu. Ia menarik tasnya dengan kuat, sedangkan Misha mati-matian mempertahankan miliknya. "Lepasin, Mbak! Mau mati lo?!" bentak si jambret.
"Tidak! Ini milikku! Jangan ambil!" teriak Misha, air mata mulai mengalir.
Motor itu menarik gasnya, dan Misha yang tidak melepaskan tasnya ikut terseret. Ia terjatuh, kakinya terseret aspal yang panas. Misha memejamkan mata, merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia tahu, ia harus melepaskan tasnya, namun hati kecilnya menolak. Ia tidak mau kehilangan satu-satunya harapan yang ia miliki. Ia terus mempertahankan tasnya, hingga akhirnya, benang tas itu putus, dan ia terpelanting ke aspal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!