Seorang gadis ber zip hoodie merah lengkap dengan headphone putih bertengger di lehernya terlihat berjalan dengan menyeret koper besar beserta sebuah tas ditengah bandara. Ia menghentikan langkahnya sejenak lalu mengarahkan netra Birunya ke sekitarnya mencari seseorang.
"Di mana sebenarnya Navarro?"gerutu kesal gadis itu.
Baru saja ia ingin melanjutkan gerutuannya, tiba-tiba sebuah botol minuman dingin menempel di pipi kanannya. Ia tau siapa pelakunya, dia orang yang telah membuatnya menunggu sangat lama sendirian di bandara.
Gadis itu mengambil botol minuman dari tangan itu, kemudian berbalik, dan langsung berhadapan dengan seorang pemuda yang berpenampilan agak berantakan. Pemuda itu meringis melihat ekspresi tidak bersahabat dari gadis didepannya.
"Maaf," sesal pemuda bernama Navarro tersebut.
Hening ...
"Maaf, aku benar-benar minta maaf, Adik kecil. Ban mobilku bocor dan ponselku kehabisan daya, maaf," mohon Navarro.
Hening sesaat ...
"Kau membuatku menunggu selama 3 jam." Navarro hanya bisa tersenyum canggung mendengar penuturan adiknya ini.
Tangan gadis tersebut terangkat. "Tapi aku akan memaafkanmu karena kau memberiku minuman coklat ini." Gadis itu berbalik, berjalan pergi meninggalkan Navarro bersama barang-barangnya.
Navarro tersenyum sumringah ia lalu membawa barang-barang adiknya dan bergegas menyusul langkah sang adik.
"Ingrid, tunggu aku!" seru Navarro.
Gadis bernama Ingrid itu tidak memperdulikan panggilan Navarro, ia terus berjalan hingga ia tidak sengaja menabrak seorang laki-laki. Untung saja ia tidak terjatuh.
Navarro memandang tajam laki-laki tersebut. Ia mengenal laki-laki bermasker itu, tidak disangka dia akan berada di sini. Namun, ia segera menetralkan ekspresinya begitu suara saudarinya menginstrupsinya.
"Hei! Navarro, ayo cepat!"
"Iya, iya, baiklah. Adik cerewet, ayo!"
"Apa!? Apa katamu barusan?" Ingrid tidak mendengar terlalu jelas perkataan Navarro.
"Ah, tidak, tidak ada." Navarro tersenyum manis.
Dari kejauhan, seorang laki-laki berhodie persis seperti milik Ingrid berdiri mengamati semua kejadian itu dengan senyuman tipis. "Kenapa kau datang ..."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Kini mereka berdua telah sampai di rumah Navarro, rumah dua lantai berpoles cat berwarna putih dan abu-abu pekad.
"Kau masuklah lebih dulu, aku akan membawa barang-barang mu," ujar Navarro.
Ingrid mengangguk, ia berjalan menuju pintu, kemudian membunyikan bel rumah tersebut. Tidak lama pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berusia empat puluh lima tahun, yang masih terlihat awet muda.
"Ingrid akhirnya kau sampai, kenapa lama sekali? Selamat datang di rumah Bibi, sayang," tutur wanita bernama Nora, yang merupakan ibu dari Navarro.
Nora memeluk Ingrid, dia pun membalasnya. Ingrid bicara setelah melerai pelukan mereka. "Ada sedikit masalah tadi bibi, tapi sekarang sudah baik-baik saja." Ingrid tidak bilang jika Navarro terlambat menjemputnya.
Nora pun mengerti dan tidak lanjut bertanya mengapa mereka sangat terlambat. "Baiklah, Bibi mengerti. Ayo masuk, kau pasti lelah. Bibi sudah menyiapkan makanan untuk kita." Mereka masuk beriringan ke dalam rumah.
"Lupakan saja aku, tidak masalah," celetuk Navarro yang berpura-pura merajuk, membuat Ingrid dan Nora terkekeh.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Ini kamarmu sayang, Bibi harap kau suka. Karena mu akhirnya bibi bisa mendekorasi kamar untuk anak perempuan," ucap Nora saat menunjukkan kamar bagi keponakannya ini.
"Iya, ini sangat indah bibi, terima kasih."
"Akhirnya aku tidak perlu khawatir lagi tentang seprai kasurku yang akan berubah menjadi merah muda," lega Navarro, yang langsung dihadiahi pukulan keras di lengannya oleh sang ibu.
"Kau ini, apa tidak bisa biarkan ibu bahagia!?" kesal Nora.
"Sudah ayo! Biarkan putriku istirahat. Sayang, istirahatlah dengan nyaman. Bila ada sesuatu panggil saja bibi atau Varro." Nora membawa Navarro keluar dari kamar Ingrid agar keponakannya itu bisa istirahat.
Pintu tertutup, meninggalkan Ingrid bersama kamar barunya yang bernuansa biru bertema putri ini. Sejujurnya ia merasa seperti anak-anak lagi, tapi ia tidak mempermasalahkan itu, ia menyukainya. Namun, tetap saja, ini bukan rumah.
Ia berjalan menuju balkon lalu menikmati pemandangan perumahan sekitar. Ia tidak masih tidak percaya sudah berada di rumah bibinya, padahal kemarin ia masih tinggal di rumahnya sendiri. Kini ia akan tinggal dan menjalani kehidupan dengan lingkungan baru dan orang-orang baru.
Ingrid menengadahkan kepalanya ke arah langit malam yang dipenuhi bintang.
"Ayah aku tidak akan melupakan tujuanku datang kemari, tolong terus awasi aku dari atas sana."
Bulir-bulir air mata jatuh begitu saja tanpa permisi, ketika Ingrid mengingat sang ayah. Air mata turun menjelajahi pipinya, bibirnya merapat menahan suara isakan, tangannya menggenggam pembatas balkon dengan erat. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisan kesedihannya, karena setelah ini pasti dia akan merasa lebih baik.
Beberapa saat kemudian, tangisannya mereda, dan benar saja ia merasa lebih lega. Ia terdiam beberapa saat, lalu berlalu masuk kembali ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan dilanjutkan dengan mengistirahatkan tubuhnya setelah perjalanan penjang hari ini.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Pagi, Bibi," sapa Ingrid.
"Pagi, sayang."
"Bagaimana tidurmu, sayang? Jika ada yang membuat tidak nyaman katakan saja pada Bibi."
"Tidurku nyenyak Bibi, tidak ada yang menggangguku. Bibi tidak perlu khawatir, jika ada sesuatu aku pasti akan mengatakannya."
"Bagus jika begitu, jangan sungkan pada Bibi, ini rumahmu juga sekarang. Duduklah, sarapan sudah siap." Ingrid mengangguk.
"Emm...," netra biru milik Ingrid memindai ke penjuru ruangan, "di mana Navarro?" tanyanya karena sedari tadi ia tidak melihatnya.
"Dia sedang pergi lari pagi, dia memang biasanya seperti ini, dia akan kembali sebentar lagi. Oh, lihat dia sudah kembali."
"Pagi semuanya!"
"Pagi Varro."
"Pagi sayang. Ayo sarapan."
"Baik, Ibuku sayang."
Merekapun sarapan bersama sambil sesekali berbincang dan bercanda. Setelah selesai sarapan Nora berpamitan untuk pergi bekerja.
"Varro, ajak Ingrid berkeliling kota hari ini. Dia pasti bosan jika terus di rumah, lagi pula ia akan tinggal di sini sekarang jadi dia harus tau tentang kota ini. Bagaimana Ingrid, kau maukan?"
"Ya, aku mau."
"Bagus, Varro jaga adikmu. Ibu pergi dulu, sampai jumpa."
"Tenang saja Bu, serahkan semuanya padaku." Nora pun pergi dengan menggunakan mobilnya.
"Bersiap-siaplah adik kecil, kita akan pergi sebentar lagi, aku akan pergi mandi sebentar." Varro mengacak-ngacak rambut Ingrid yang segera ditepis oleh Ingrid.
"Jangan panggil aku adik kecil, kita hanya berbeda empat bulan," keluh Ingrid, membuat Navarro tertawa.
"Tetap saja, aku empat bulan lebih dulu menghirup oksigen dibanding dirimu, adik kecil." Ia mencubit kedua pipi Ingrid dengan kencang, kemudian dengan cepat berlari menuju kamarnya sebelum sepupunya itu menghabisinya.
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
"Bagaimana? Kau menyukai kota ini? Luar biasa, bukan?" tanya Navarro sambil menyetir mobilnya.
"Ya, kota ini bagus." Ingrid menjawab seadanya.
Navarro tersenyum tipis mendengar jawaban sang sepupu. Navarro tahu Ingrid jujur, tapi suasana hatinya membelenggunya untuk tidak mengekspresikan perasaannya yang sebenarnya.
Sebenarnya, kepindahan Ingrid bukan sepenuhnya keinginannya, namun keadaan memaksanya karena sebuah tragedi. Jadi Navarro paham adiknya ini belum bisa sepenuhnya menerima tempat tinggal barunya. Tapi, ia percaya seiring berjalannya waktu, Ingrid pasti bisa berdamai dengan keadaannya.
"Aku senang kau menyukai nya, ingin ke suatu tempat?" tawar Navarro.
"Apa ada toko buku atau perpustakaan di sini?"
"Baiklah, ke perpustakaan kota!" Navarro sudah tau tempat yang akan ia tuju, ia pun melakukan mobilnya kearah perpustakaan kota yang jaraknya tidak jauh dari jalan tempat mobil hitamnya kini berpijak.
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
"Woww." Ingrid ternganga kagum, melihat berapa besarnya perpustakaan di kota tempat tinggal barunya.
"Luar biasa, bukan? Pasti lebih besar dari yang pernah ada di tempat kotamu. Perpustakaan ini adalah wajah dari Noforte."
"Ya, ini benar-benar luar biasa! Aku ingin berkeliling," ujar Ingrid dengan mata yang masih berbinar, menyaksikan deretan buku terpajang rapi di raknya. Aroma, khas lembaran kertas bagai aroma lilin terapi yang menenangkan.
"Pergilah, ada buku yang harus ku cari di sebelah sana, cari aku jika ada sesuatu."
"Ya, tenang saja, aku bukan anak kecil." Ingrid dan Navarro berpisah untuk mencari buku yang mereka inginkan.
Ingrid berkeliling perpustakaan dengan wajah sumringah. Meneliti setiap buku yang dilewati dengan cermat, menikmati buku-buku yang menyimpan miliaran kata di balik sampulnya.
Ingrid sangat menyukai membaca. Di rumahnya sebelumnya, ia bahkan mempunyai perpustakaan kecil yang dibuat khusus untuknya dari sang ayah. Ingrid biasanya tidak dalam genre atau jenis buku yang ia baca, ia membaca apapun yang terlihat menarik baginya. Tetapi, buku sejarah dan fantasi adalah favoritnya.
Mata Ingrid menangkap judul buku yang menarik perhatiannya. Sialnya, buku itu cukup tebal dan berada di rak paling atas, sehingga Ingrid kesulitan untuk menggapainya.
Ingrid melihat sekitar, siapa tahu ada yang bisa ia mintai bantuan. Namun nihil, hanya ada dia di antara rak-rak buku ini.
"Ck, di mana semua orang?" keluhnya.
Tidak sabar, Ingrid memutuskan untuk nekad menggapai buku itu sendiri. Ia berjinjit setinggi yang ia bisa dan meregangkan tangannya sepanjang mungkin.
"Sedikit lagi, sedikit lagi, ayolah, sedikit lagi, dapat!"
Usaha memang tak mengkhianati hasil, akhirnya ia berhasil menggapai buku bersampul warna biru gelap bergradasi hitam tersebut. Tinggal sedikit lagi buku itu keluar dari raknya, tiba-tiba saja bahunya merasa nyeri, membuatnya terkejut dan refleks melepaskan tangannya dari buku yang tebal tersebut.
Ingrid yang fokus dengan sakit pada sendi bahunya tidak menyadari hal berbahaya. Saat buku tebal itu sedikit lagi menyentuh kepalanya, dengan cepat sebuah tangan menangkap buku itu.
Ingrid yang merasakan seseorang berdiri di depannya lantas mendongak, seorang pria berjaket zip hoddie merah persis seperti miliknya, berdiri menjulang lebih tinggi darinya tengah memegang buku yang tadi coba ia ambil.
Iris birunya seketika bertemu dengan Iris berwarna senada dengan miliknya. Ingrid dapat melihat pahatan sempurna dari tuhan di wajah pria ini. Tidak satu kata yang bisa menggambarkan laki-laki ini selain— tampan.
Untuk kedua kalinya Ingrid dibuat terdiam terpukau pada apa yang dilihat oleh indra penglihatannya. Tatapan mata itu terasa asing, tapi entah mengapa juga familiar. Ada sesuatu dalam sorotannya yang membuat Ingrid merasakan kerinduan. Sebelum ia mengucapkan apapun, laki-laki itu sudah melangkah pergi, meninggalkannya dengan buku tadi yang berpindah ke tangannya.
Sebelum laki-laki itu semakin menjauh, Ingrid tersadar dari lamunannya dan buru-buru berseru.
"Terima kasih!" Ingrid sedikit berteriak agar laki-laki berhodie merah itu mendengarnya.
Tapi jangankan dijawab, menghentikan langkahnya, atau memberikan kode pun tidak. Laki-laki tampan itu terus berjalan seakan kehadiran Ingrid itu tak kasat mata.
"Laki-laki aneh." Padahal Ingrid hanya berniat baik ingin mengucapkan terima kasih. Tapi malah reaksi seperti itu yang ia dapatkan, itu cukup membuatnya jengkel.
Ingrid mengenyahkan pikirannya, dan kembali melanjutkan aktivitasnya untuk memilih-milih buku, memutuskan melupakan kejadian barusan.
Setelah berkeliling dan berada di perpustakaan itu cukup lama, akhirnya Ingrid mendapatkan beberapa buku untuk ia baca. Begitu pula Navarro, yang juga sudah mendapatkan buku yang dia cari. Mereka membeli Buku-buku itu, sebab memang di perpustakaan ini selain bisa membaca di tempat atau meminjamkannya, buku-buku itu juga bisa dibeli.
"Apa ada lagi yang kau inginkan?" tanya Varro pada Ingrid saat mereka sudah kembali duduk di mobil.
"Tidak ada, kita kembali saja, aku cukup lelah."
"Sesuai keinginanmu, Tuan Putri." Mereka berdua terkekeh geli.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Ingrid kau akan masuk sekolah yang dengan Navarro, kau akan masuk besok senin," papar Nora di sela-sela makan malam.
Ingrid mengangguk, "Terima kasih, bibi."
Ingrid akan menuruti apapun ucapan bibinya selagi itu di rasanya baik untuknya. Kini bibinya yang akan menjadi walinya setelah kepergian ayahnya.
"Tidak perlu berterima kasih, itu kewajiban bibi. Bilang pada bibi atau Navarro bila kau butuh sesuatu," balas Nora, Ingrid mengangguk patuh.
"Kita satu sekolah adik kecil, aku sangat senang!"
"Sudah kubilang, berhenti memanggilku begitu," dengus Ingrid.
"Memang kenyataannya seperti itu."
Navarro mengambil daun selada di depannya dan melemparkannya, yang tepat mengenai wajah Ingrid, dia tertawa keras.
"Kau! Apa yang—" Navarro kembali melempar selada ke wajah Ingrid. Ingrid melotot dan bangkit, siap mengejarnya. "Kemari aku akan memberimu pelajaran!!" murka Ingrid yang langsung mengejar Navarro mengelilingi meja makan.
Nora yang melihat tingkah keduanya menggelengkan kepala lelah.
"Apa? Apa? Coba tangkap aku jika bisa!" tantang Navarro.
"Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu jika aku menangkapmu, kemari kau!!"
Navarro menjulurkan lidahnya ke arah Ingrid untuk memprovokasinya. "Ayo! tangkap aku adik kecil, ayo! ayo!"
Suara telfon berdering terdengar, itu adalah suara telfon milik Navarro.
"Eits, aku harus menjawab telfon, selamat malam semuanya."
"Hei!!! kita masih belum selesai!"
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Halo," jawab Navarro dengan malas.
"Dia sudah makan malam? Dia baik-baik saja, bukan? Apa dia memiliki masalah? Dia—"
"Ya, ya, dia sudah makan malam, dia dalam keadaan baik, dia tidak memiliki masalah apapun, dia bahagia, dia tidak menangis, dia baik-baik saja di sini, jadi kau tenang saja. Kau tahu? jika kau terus meneleponku dan terus bertanya hal-hal kecil tidak masuk akal seperti ini maka aku akan memblokir nomormu. Tapi aku tidak bisa, karena kau pasti akan langsung melubangi kepalaku yang berharga ini," keluhnya, seraya mengelus kepalanya yang berharga, "temui saja dia."
"Aku tidak bisa." telepon ditutup secara sepihak.
"Dasar, padahal dia hanya tinggal menemui ingrid saja."
"Menemuiku? Siapa?" tanya Ingrid, yang tiba-tiba berada di belakang Navarro.
Navarro tersentak kaget kemudian berbalik begitu menetralkan mimik wajahnya. "Seseorang yang sangat ingin bertemu dengan dirimu."
Ingrid mengerutkan dahinya. "Siapa yang kau maksud?" Mata Ingrid menyipit penasaran.
"Kau akan tahu sebentar lagi."Navarro menepuk kepala Ingrid.
"Apa–aww!! Hei!" Navarro menarik rambut Ingrid yang dikuncir.
"Empat kosong." Navarro berlari cepat meninggalkan Ingrid.
"Hei!!!! Navarro!!
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Ingrid, Ingrid, dengarkan Ayah! Tetaplah berada di dalam sini. Jangan keluar apapun yang terjadi, berjanji pada Ayah." Ayah Ingrid tampak sangat panik.
"Aku berjanji, tapi ada apa Ayah? Apa yang terjadi?"
Ricc mengelus-ngelus kepala Ingrid dengan penuh sayang, kemudian mengecup dahi Ingrid. "Ingatlah jangan pernah keluar dari sini, sayang ... Ayah sangat menyayangimu, kau adalah ... putri Ayah yang berharga, hidup Ayah." Ricc tersenyum getir, kemudian menutup lemari dan pergi dari gudang.
Ingrid yang berada di dalam lemari merasa cemas dan tidak tenang. Dia tau ada yang tidak beres di luar sana. Namun, dia telah berjanji pada ayahnya untuk tetap di sini. Dia hanya bisa berdoa agar ayahnya baik-baik saja dan kembali untuk memeluknya.
Tapi, sepertinya doanya sia-sia ketika suara tembakan beberapa kali terdengar. Tubuh Ingrid seketika menegangkan kaku, kedua matanya menutup rapat, kedua tangannya membentengi telinganya agar meredam suara maut itu, tubuhnya meringkuk ketakutan di sudut lemari yang gelap.
Hampir satu jam Ingrid di sana, ayahnya tak kunjung kembali. Ingrid hanya bisa meneteskan air mata dalam kesunyian. Pada akhirnya, dia memberanikan diri dan memutuskan untuk keluar dari lemari itu.
Ia berjalan keluar, membuka pintu gudang tanpa menimbulkan suara. Di lantai dua rumahnya tampak sunyi dan dingin. Ingrid berjalan perlahan dengan kaki gemetar, dia turun ke lantai satu dengan susah payah.
Tepat usai anak tangga terakhir, genangan darah segar membanjiri lantai, bau hanyir darah menusuk hidung, pecahan vas serta layar televisi mencemari ruangan yang sebelumnya sangat bersih.
Seketika Ingrid jatuh terduduk lemas, jantungnya berdetak cepat menandingi waktu, jiwanya seakan di cabut paksa dari raganya.
"Ayahhhh!!!!!"
"Ingrid! Ingrid! Sayang, bangun, hei!"
Panggil Bibi Nora dengan khawatir.
"Hah ... " Ingrid bangun dengan nafas memburu disertai keringat yang bercucuran.
"Hei! Kau baik-baik, sayang?"
"Bibi? Ya, aku baik-baik saja."
"Bibi tidak yakin, kalau begini, kau tidak pergi ke sekolah saja hari ini."
"Bibi, tidak. Aku baik-baik saja, hanya ... bermimpi."
Nora memeluk ingrid. "Kau yakin?"
Ingrid melerai pelukan mereka berdua. "Ya, Bibiku yang cantik." Ingrid sambil tersenyum menenangkan.
Nora tersenyum kemudian mengela nafas berat. "Baiklah, kalau itu maumu. Bersiap-siaplah sekarang, atau kau akan terlambat di hari pertamamu sekolah." Naura membelai pipi Ingrid sejenak sebelum beranjak keluar dari kamar Ingrid.
"Ayah ... Aku pasti akan menyelesaikan semua ini."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid memakai seragam sekolah abu-abu tua di bagian rok dan jas, berdalaman kemeja putih polos dan disempurnakan dengan dasi beraksen garis miring berwarna putih, hitam dan abu-abu tua. Seragam itu nampak sangat elok dan cocok dikenakan oleh Ingrid.
Jujur saja Ingrid merasa sangat gugup masuk ke lingkungan sekolah barunya, yang di mana tidak ada orang yang ia kenali selain Navarro.
Ingrid berulang kali menarik dan menghembuskan nafasnya untuk menenangkan diri, dan itu cukup membantu.
"Tenang saja, adik kecil. Tidak ada yang akan memakanmu, tenang saja, jangan tegang seperti itu." Navarro merangkul Ingrid menuju ruang guru dan itu tidak luput dari pandangan seluruh siswa yang mereka lewati.
"Hei, lepaskan! Semua orang melihat ke arah kita."
"Sudah, tidak usah memperdulikan mereka."
"Huh ..."
Akhirnya Ingrid pasrah dengan kelakuan sepupunya itu, ia mengarahkan netranya untuk melihat-lihat sekolah barunya. Tidak bisa ditepis bahwa Arsitektur sekolah ini sangatlah apik, berarsitektur modern dengan di dominasi warna putih, abu-abu, dan navy yang membuatnya begitu sangat berkelas.
Beberapa saat mereka berjalan akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan, yaitu ruang. Untuk mengurus hal-hal administrasi dan sebagainya.
"Sayang sekali, kita di kelas yang berbeda, kau tidak apa-apakan?" ucap Navarro setelah selesai dengan segala urusan Ingrid di ruang guru.
"Aku tidak masalah, tidak perlu mengkhawatirkan aku, Navarro."
"Kau yakin?"
"Aku yakin. Sudah pergilah sana, bel masuk sudah berbunyi sedari tadi."
"Benar?"
"Astaga, iya benar, cepat masuk ke kelasmu."
"Tap—"
"Syutt, tidak ada tapi-tapi, cepatlah, nanti kau terlambat." Ingrid mendorong tubuh Navarro agar pergi meninggalkannya.
"Ck, iya baiklah, adik kecil. Aku akan menemuimu nanti saat makan siang, jadi tunggu aku di kelasmu. Ingat, jangan pergi ke manapun sebelum aku datang."
Ingrid memutar bola matanya malas. "Iya." setelah perdebatan itu, akhirnya Navarro pergi ke kelasnya dengan setengah hati.
"Ingrid?" panggil seorang guru yang merupakan wali kelas barunya.
"Ya, profesor."
"Ayo, kita masuk ke kelas."
"Baik."
Dari kejauhan Navarro melihat ingrid dengan senyuman. "Sekarang kalian akan bertemu." Navarro kembali melanjutkan langkahnya dengan hati senang lengkap dengan senyuman. Ia sengaja meminta agar Ingrid ditempatkan di kelas itu, dengan begitu mereka akan bertemu.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid beserta wali kelasnya telah sampai di kelas. Saat semakin dekat dengan kelas terdengar suara hiruk pikuk khas kelas tanpa adanya pengajar di depan. Akan tetapi, saat para murid itu melihat kedatangan guru mereka, kelas mendadak hening, dan fokus mereka tertuju siswi yang berjalan di belakang guru mereka saat memasuki kelas.
"Selamat pagi, semuanya!"
"Pagi, profesor!!" Seru para murid.
"Semuanya kalian kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu."
Ingrid mengangguk. "Hai semuanya, perkenalkan aku Ingrid Verdani, kalian bisa memanggilku Ingrid." ucap Ingrid dalam satu tarikan nafas.
"Hai!!" sahut siswa-siswi di kelas dengan ramah.
"Aku harap kalian bisa membantu Ingrid beradaptasi di sini dengan baik. Ingrid silahkan duduk di bangku kosong yang ada di belakang. Kau tidak mengalami masalah penglihatan jauh, bukan?"
"Tidak profesor, terima kasih."
Disaat Ingrid berjalan ke mejanya, semua mata murid-murid lain tertuju padanya dengan pandangan yang berbeda-beda. Ada yang terlihat terkejut, takut, kesal, cemburu, iri dan penasaran.
'Apa ada yang aneh dari ku?' batin Ingrid bertanya-tanya.
Ingrid mengenyahkan segala prasangkanya dan mencoba mengacuhkan semuanya. Sesampainya ia di mejanya, ia mendapati seorang laki-laki yang merupakan teman sebangkunya, tengah menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya di atas meja.
Memang sedari tadi, Ingrid perhatikan laki-laki itu tak menegakkan kepala sekalipun sejak ia dan profesor masuk ke dalam ruangan seakan-akan ia menulikan dan membutakan dirinya dari segala sesuatu di sekitarnya.
"Boleh aku duduk disini?" tanya Ingrid dengan hati-hati, tapi tak mendapat jawaban atau tanggapan apapun.
'Baiklah kuanggap itu sebagai ya,' monolog Ingrid di dalam hatinya dan langsung duduk di kursinya.
Ingrid menatap sekitar ekspresi semua orang masih sama, mengarah ke arahnya. bahkan bertambah tegang. Sampai suara sang profesor menginstruksi, barulah satu-persatu murid mengalihkan pandangan mereka ke depan.
Pelajaran dimulai, semuanya fokus dengan materi yang dijelaskan. Kecuali, laki-laki yang duduk di samping Ingrid, yang masih setia dengan posisinya.
Ingrid memutar kepalanya ke samping untuk melihat teman sebangkunya.
'Dia tertidur atau bagaimana? Kenapa tidak ada yang menegurnya?'
Laki-laki itu mengangkat kepalanya lalu menolehkan kepalanya, dia terkejut. Ingrid pun terkejut dan merasa malu karena telah tertangkap basah tengah memperhatikannya.
Ingrid dengan panik dan salah tingkah mengalihkan pandangan ke depan seolah memperhatikan pelajaran.
'Ya ampun, memalukan sekali,' batin Ingrid.
Ingrid mencoba melirik ke arah teman sebangkunya lagi, sial! Laki-laki itu masih menatap ke arahnya.
"Bellissima," celetuk laki-laki itu dengan suara beratnya secara tak terduga.
"Apa? Kau mengatakan sesuatu?" Ingrid tidak mendengarnya terlalu jelas.
Bukannya menjawab, laki-laki itu malah menatapnya dengan senyum tipis, lalu tak lama kembali menenggelamkan kepala ke lipatan tangannya di atas meja.
"Tunggu, kau ... Orang yang menolongku di perpustakaan kemarin, bukan? Aku Ingat wajahmu."
Ingrid yang bingung dan sedikit kesal karena lagi-lagi dia diabaikan. Dia memutuskan untuk tidak lagi menghiraukan laki-laki yang menjadi teman sebangkunya itu.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Bel tanda waktu istirahat telah tiba, Ingrid mengemasi buku dan peralatan tulisnya, selagi menunggu Navarro datang.
Satu-persatu orang di kelas pun telah keluar, termasuk teman sebangkunya, hanya ada beberapa murid perempuan di dalam kelas termasuk Ingrid sendiri.
"Hai, ingrid!" Sapa seorang murid perempuan berambut pendek.
"Oh, Hai ..." balas Ingrid dengan canggung.
"Aku, Elsa."
"Hai Elsa, senang bisa berkenalan denganmu."
"Aku juga senang berkenalan denganmu, aku harap kita bisa menjadi teman."
"Tentu saja, kenapa tidak?"
"Oke, sudah resmi, kita mulai berteman hari ini," seru Elsa dengan bahagia sambil menjulur tangannya untuk berjabat tangan dan Ingrid dengan senang hati menyambut jabat tangan itu.
"Kau tidak ke kantin? Ayo! ke kantin bersamaku!"
"Aku menunggu sepupuku, dia bilang dia akan kemari," ungkap Ingrid.
"Memangnya siapa sepupumu?" Elsa penasaran.
"Navarro, mungkin kau mengenalnya?"
"Oh varro si anak manja itu, dia temanku sejak sekolah dasar. Sudah ayo pergi bersamaku saja, dia sekarang pasti sedang rapat untuk perayaan menyambut murid baru."
"Dari mana kau tau?"
"Teman sebangku, dia anggota organisasi sekolah, jadi aku tau."
"Oh begitu, baiklah, aku ikut denganmu."
"Bagus, ayo!" Elsa menggandeng tangan Ingrid lalu pergi bersama ke kantin sekolah untuk makan siang.
Sesampainya di kantin, mereka disambut dengan keramaian hiruk pikuk kantin dengan siswa-siswi berseragam abu-abu tua pekat memenuhi hampir seluruh kantin. Ada yang sibuk menggosip membicarakan berita panas, ada yang duduk sendirian menikmati makanannya, adu mulut sengit di meja dekat jendela, ada yang beratraksi dengan makanan mereka, banyak interaksi sosial yang terjadi, baik maupun buruk.
Mereka berdua memesan makanan kemudian mencari tempat untuk mereka tempati. Mereka beruntung mendapat tempat duduk kosong di dekat sudut kantin, yang membuat suasana mereka nyaman tanpa terlalu banyak perhatian. Obrolan antara keduanya di dominasi Elsa yang memang merupakan orang yang sepertinya cukup terbuka dan humoris, Sementara Ingrid yang lebih tertutup hanya menanggapi seluruh kata yang keluar dari mulut gadis itu.
Fokus Ingrid yang awalnya tertuju pada Elsa, berpindah saat tiga orang siswa memasuki area kantin. "Siswa yang sebangku denganku itu, siapa dia?"
Elsa pun mengikuti arah mata Ingrid. "Dia? Dia Marcello, Marcello Constanzo. Dia tampan, aku tau. Kenapa? Kau suka padanya?" Elsa mengedipkan sebelah matanya pada Ingrid.
"Tidak, aku hanya penasaran, dia tidak banyak bicara."
"Dia memang seperti itu, dia mau duduk semeja denganmu itu saja keajaiban. Selama ini aku hanya melihatnya dekat dengan sepupumu Navarro dan juga Lorenzo. Ya, seperti yang kau lihat, hanya mereka bertiga."
"Cukup aneh."
"Syuttt, jangan bilang seperti itu, ada rumor bahwa Ayah dari Marcello itu seorang gangster atau mafia, jadi lebih baik jangan membuat masalah dengannya."
"Memangnya di sini ada yang seperti itu? Lagi pula itu rumor, seperti yang kau katakan barusan," pancing Ingrid.
"Mafia bukan rahasia umum lagi di sini. Bahkan ada yang bilang bahwa salah satu organisasi mafia yang memiliki kekuasaan paling berpengaruh ada di kota ini. Yang jelas berurusan dengan orang dari dunia bawah itu berbahaya, Jadi lebih baik berjaga-jaga, meskipun hanya rumor tapi tetap harus berhati-hati, jika tak ingin ditembak mati oleh mereka."
"Mungkin ... Kau benar."
"Adikkk kecil!!" siapa lagi kalau bukan Navarro.
Ingrid menatap tajam Navarro. "Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu."
Navarro mengabaikan ucapan Ingrid, dia justru duduk di samping Ingrid dan meminum es coklat milik Ingrid.
"Hei, itu milikku!" Ingrid mengambil minumannya dari tangan Navarro.
"Ya ampun, aku hanya memintanya sedikit."
"Belilah sendiri!" Navarro memutar bola matanya malas.
"Baiklah, baiklah. Oh iya, kenalkan mereka sahabat-sahabatku, ini Marcello dan ini Lorenzo."
"Senang bisa bertemu denganmu, Ingrid," sapa Lorenzo ramah.
"Aku juga," balas Ingrid.
Ingrid melihat ke arah Marcello berharap mendapat sapaan hangat tapi nihil, Marcello hanya diam saja sambil memandang Ingrid dengan pandangan tak dapat diartikan.
'Dia memang aneh.'
"Ingrid bukankah sudah kubilang untuk menungguku, aku mencarimu di kelas tapi kau tidak ada."
"Jika dia menunggumu, dia akan mati kelaparan."
"Hei, aku tidak bicara padamu, gagak."
"Apa kau bilang?! Dasar anak manja."
"Aku tidak manja!"
"Aku juga bukan gagak!"
"Kau gagak, karena sangat berisik."
"Kau .........."
Lorenzo menghela nafas. "Mereka mulai lagi."
"Apa biasa seperti ini?" tanya Ingrid.
"Selalu, setiap saat, saat mereka bertemu. Aku akan jadi orang paling kencang tertawa jika mereka menikah suatu saat nanti."
"Kurasa itu akan sangat kacau." Ingrid terkekeh.
"Benar-benar kacau." Lorenzo ikut terkekeh.
Marcello tersenyum tipis melihat interaksi Ingrid dan Lorenzo.
Ponsel Ingrid berdering, ia mengecek siapa yang menghubunginya. "Aku permisi sebentar." Ingrid pergi menjauh keluar dari kantin untuk mencari tempat yang lebih sepi.
Ingrid berhenti di sebuah lorong yang sepi, "Halo?"
"...."
"Hei, aku tau aku salah, aku minta maaf."
"...."
"Ya, aku tau seharusnya aku berpamitan denganmu, tapi–" perkataan Ingrid terputus karena terdengar banyak suara orang yang akan datang, "kita akan bicara nanti malam, oke?"
"...."
"Ya, sampai jumpa, aku harap kau tau, aku sangat merindukanmu."
"...."
Hubungan telfon terputus, Ingrid menghela nafas kemudian tersenyum tipis. Ia membalikan tubuhnya, tanpa diduga ia menabrak seseorang yang entah sejak kapan dan bagaimana bisa ada tepat di belakangnya.
"Stai attento, amore."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!