Hanum nama yang berarti halus dan lembut. Tapi sayang nama tersebut berbanding terbalik dengan kepribadiannya yang suka berteriak dan bertindak kasar.
Padahal orang tuanya dulu menamainya Hanum dengan harapan gadis ini akan tumbuh seperti arti nama tersebut. Halus dalam berkata, dan lembut dalam bersikap.
Hanum. Hanya itu, tak ada kepanjangan dan tak ada marga. Dia lahir dari keluarga sederhana cenderung miskin, dimana mereka makan dua kali sekali asal ada nasi, bahkan lebih banyak hanya sekali atau bahkan tidak makan sama sekali. Tergantung berapa banyak bapaknya membawa uang saat pulang nguli.
Hanum memiliki dua adik yang bernama Reva dan Johan. Reva si adik bungsu masih sekolah di sekolah dasar sementara Johan duduk di bangku SMP. Hanum sendiri harus puas menempuh pendidikan sampai bangku SMP karena keterbatasan biaya. Setelah lulus dari SMP Hanum kerap membantu Bapaknya nguli di pasar untuk mendapat uang untuk makan. Juga dirinya yang bergelar anak sulung harus membantu membiayai sekolah adik- adiknya. Hingga kini di usianya yang ke 19 tahun Hanum harus puas dengan segala keterbatasannya.
Hidup yang keras membuat Hanum kadang membuatnya melupakan kodratnya sebagai seorang gadis.
Gadis yang bekerja di kios ikan segar itu pun tak pernah menyentuh apa itu lipstik bahkan bedak di wajahnya.
"Hanum Ikannya dua kilo," ucap seorang pembeli yang sudah menjadi langganan karena sudah tahu namanya.
"Dua kilo aja nih, Mpok. Mending tambah lagi, dah. Mumpung ikannya masih seger. Besok kita gak jualan loh."
"Laga Lo, gak jualan. Saban hari bilang gitu. Perasaan kemarin Lo juga bilang gitu. Nih gue liat hari ini masih buka aja ni kios."
"Lah, iya. Kalau ini ikannya kagak abis hari ini, besok tinggal jadi ikan mati. Artinya ikan segernya udah gak ada. Kita gak jual lagi."
"Kalau Mpok Marni belinya banyakan, nanti Bang Hasan nyetok lagi ikan segernya jadi besok masih 'Jual Ikan Segar'."
Mpok Marni cemberut. "Kagak. Dua kilo aja. Nih duitnya."
Hanum mengangguk. "Mau di bersihin disini atau di bawa ikan hidupnya, Mpok?" Hanum melihat timbangan yang sudah menunjukkan pas seperti permintaan Mpok Marni.
"Bersihin disini aja Num. Ribet di rumah, bau anyir lagi nanti badan gue."
"Namanya juga ikan, ya bau anyir lah."
"Ya, gue tahu. Tapi, cukup Lo aja yang bau ikan, gue kagak mau."
Brak!
"Eh s3tan!" Mpok Marni berteriak saat Hanum mulai membersihkan ikan pesanannya. "Sialan, Lo Num. Kasih tahu ke kalau mau bersihin tuh ikan. Bikin kaget aja."
Hanum tertawa dan kembali mengayunkan golok pemotong ikannya hingga terdengar kembali bunyi yang mengejutkan Mpok Marni yang latah.
"Datang lagi besok ya, Mpok," ucap Hanum sembari memberikan kantung ikannya.
"Kagak, Lo bilang besok ikannya gak seger." Mpok Marni melengos meninggalkan Hanum yang cemberut.
"Gak ngerti teknik marketing apa," dengusnya.
"Ikannya, Bu, Mpok, Pak, Encang, Cing. Ikan segernya!" Hanum kembali berteriak menawarkan dagangannya. Merasa tak ada yang melihat ke arahnya Hanun memutuskan untuk istirahat dan duduk sejenak.
Pletak!
Bugh!
"Anjriitt!" Baru saja akan duduk Hanum merasakan sesuatu menimpa kepalanya. "Setaan! Siapa yang nimpuk gue pake sendal. Mana butut lagi nih sendal!" Sontak saja Hanun mengangkat sandal jepit yang baru saja menimpa kepalanya.
Seseorang berlari ke arahnya sambil berteriak. "Sorry, Num punya gue, gue lagi ngejar copet." Jono menunjuk seseorang yang berlari di depannya.
"Yang bener. Copet, Jon?" Jono mengangguk dengan nafas terengah. "Wuah gak bisa di biarin. Bisa- bisanya ada copet di kawasan gue!" Hanum mengambil goloknya, lalu berlari mengejar copet tersebut.
"Berhenti Lo, copet!" teriaknya.
"Lah, Num balikin dulu sendal gue!" Jono mengejar Hanum yang masih memegang sandalnya.
"Heh, copet goblook! Jangan ngimpi lo bisa lepas dari gue, ya!" Hanum berlari dengan cepat mengejar pria yang bertudung yang masih berlari cepat di depannya.
Hanum berlari dengan gesit meloncat dan menaiki tangga dan tak menyerah mengejar copet tersebut. Di belakangnya Jono terus mengikuti dengan kaki yang terpincang karena sebelah sandalnya masih di tangan Hanum.
"Sialan Si Hanum, cepet banget larinya." Jono sampai ngosngosan.
Hanum masih mengejar copet tersebut hingga mereka tiba di jalan buntu. "Nah, mau lari kemana, Lo?" Hanum menyeringai dengan mengayunkan goloknya bak pemain akrobat.
"Sialan!" Si copet yang kepepet rupanya tidak menyerah dan mengeluarkan pisau di sakunya lalu mengarahkannya pada Hanum.
Tapi bukan Hanum namanya kalau merasa takut, Hanum membidik si copet dengan golok segi empatnya lalu mengayunkan benda itu "Serius Lo, Num. Jangan Num dia bisa mati!" teriak Jono saat dia melihat Hanum mengayunkan goloknya ... dan .... Bugh.
Si copet terjengkang saat sandal Jono mengenai dahinya.
Hanum berdecak. "Ck, cemen Lo. Baru begitu udah tepar, sok- sok'an mau jadi copet." Hanum berjalan ke arah si copet dan mengambil dompet di tangannya lalu memeriksa isi tas pinggangnya dan dia menemukan beberapa dompet juga.
"Sialan gue kira beneran mau lempar tuh golok." Jono menghampiri.
Hanum berdecak. "Kasih ke Bang Tigor, Jon. Biar dia cari siapa pemiliknya." Total ada tiga dompet kecil yang ada di tas pinggang Si Copet yang dia berikan pada Jono.
Jono memang keamanan pasar yang menarik iuran pasar dan mengatakan itu uang keamanan. Jadi Jono bertanggung jawab untuk kemanan pasar dari para copet dan perusuh di pasar.
Jono mengambil dompet di tangan Hanum lalu sandal yang tadi di lempar Hanum.
"Main lari aja Lo, Num. Kios ikan begimana tuh?" Hanum menepuk jidatnya saat mengingat dia sedang bekerja. Bisa- bisa dia di marahi Bang Hasan.
...
Hanum menyengir saat tiba di kios melihat pemilik kios ada di sana dan menatapnya tajam.
"Sialan, lo, Num. Lo tinggalin kios gimana kalau ikan- ikan gue ada yang maling," Bang Hasan berkata dengan marah.
"Kagak lah, Bang, kan malingnya takut sama gue."
"Takut dari hongkong. Lo kagak liat maling yang satu itu kagak ada takutnya." Bang Hasan menunjuk kucing di bawah meja yang memang sedang memakan ikan.
"Sorry, Bang. Tadi bantu Jono kejar copet."
"Kalau gitu caranya, lo kerja sama Bang Tigor sana. Jadi preman, repot bener idup lo. Gue kasih yang enak. Malah sukanya lari- lari." Hanum menunduk. "Pokoknya gaji lo gue potong buat gantiin ikan yang dimakan sama tuh kucing." Hanum hanya bisa mengangguk pasrah.
Di sore hari Hanum pulang dari pasar dengan beberapa ikan di tangannya. Ikan mati yang di berikan Bang Hasan. Meski kadang dia galak, tapi Bang Hasan baik selalu memberinya ikan mati saat pulang bekerja. Dan Hanum bisa menghemat membeli lauk hari ini untuk makan adik- adik dan bapaknya di rumah.
Bapak Hanum, Suryanto biasanya menjadi kuli panggul di pasar, namun sudah dua hari ini dia tidak bisa bekerja karena sedang sakit. Jadi Sebisa mungkin Hanum bekerja dengan lebih giat agar dapurnya bisa ngebul.
Setelah selesai dengan kios ikannya, Hanum bekerja membantu siapa saja yang membutuhkannya di pasar. Hanum bahkan bisa menjadi kuli panggul atau ojek payung.
Hanum melihat langit sudah mulai gelap. Dengan kantung kresek hitam di tangannya Hanum segera berjalan untuk pulang. Rumahnya tak jauh dari sana. Tepat berada di belakang pasar dan hanya terhalang sebuah kali, jadi dengan berjalan kaki Hanum sudah sampai bisa di rumah.
Namun saat ini dia yang akan berbelok ke dalam gang justru melihat seorang wanita paruh baya yang kesulitan menyebrang di jalan ramai tersebut. Sementara disana memang tidak ada jembatan penyebrangan.
"Mau nyebrang, Bu?" tanya Hanum dengan memiringkan wajahnya.
Wajah wanita paruh baya itu sangat cantik dan kalem dengan penampilan anggun.
"Ya, kamu bisa bantu saya?" suaranya bahkan sangat pelan dan lembut membuat bulu kuduk Hanum meremang.
....
Hai, hai, hai... seperti biasa cek ombak😁
Hanum memasuki rumah dengan senyum cerianya. Melihat adik- adiknya sedang belajar senyum Hanum semakin lebar.
"Nah, begitu dong. Belajar yang rajin." Hanum mengusak kepala Reva.
"Kak, Reva laper belum makan." Hanum mengernyit melihat ke arah Johan.
"Lo gak masak Jo?"
"Beras abis Kak. Mau beli juga gak ada duit. Mpok Titin juga gak kasih ngutang katanya utang kita udah banyak."
Hanum menghela nafasnya. "Ya udah, Kakak beli dulu." Hanum yang baru masuk pun segera keluar untuk membeli beras.
Dalam perjalanan ke warung Hanum mengingat kembali pertemuannya dengan ibu- ibu ningrat yang Hanum kira memang orang kaya. Tadi setelah mengantarkan Si Ibu yang cantik jelita ke seberang jalan Hanum yang akan kembali tiba-tiba mendengar kembali suara halus Si Ibu.
"Kamu punya pekerjaan?" tanya Si Ibu dengan pelan.
"Oh, iya Bu. Saya kerja di pasar." Hanum menunjuk ke arah pasar.
"Kamu mau bekerja sama saya?" tanya Si Ibu masih dengan wajah tenangnya.
Hanum mulai tertarik, Ibu- Ibu di depannya memang terlihat seperti orang baik, tapi Hanum tidak boleh sembarangan. Banyak penipu yang juga berpenampilan baik tapi nyatanya dia adalah orang jahat.
Bagaimana kalau Si Ibu ini sindikat perdagangan manusia.
"Kamu bisa pikirkan dulu." Si Ibu menyerahkan kartu namanya.
"Saya akan gaji kamu sepuluh juta sebulan." Hanum tak bisa tak membelalakan matanya. Jangankan sepuluh juta, satu juta pun Hanum belum pernah memilikinya. Gajinya menunggu kios ikan Bang Hasan saja dia hanya mendapat 6 sampai 7 ratus ribu saja perbulan.
Hanum kembali menatap si Ibu. "Gede banget, Bu. Emang kerjaannya apa?"
"Pembantu."
....
Dan sampai sekarang Hanum masih memikirkan apa Ibu bernama Ningsih itu bisa di percaya atau tidak. Sebab Hanum masih takut Si Ibu benar-benar penipu.
Tapi mengingat lagi gaji yang di tawarkan Hanum benar-benar menginginkannya. Bagaimana pun dengan uang sebesar itu tentu saja Hanum tak perlu lagi memikirian biaya sekolah Johan dan Reva, dia juga tidak akan membiarkan bapaknya kerja lagi jadi tukang panggul di pasar.
Tiba di warung Hanum segera melakukan niatnya untuk membeli beras. "Mpok beli berasnya sekilo," ucap Hanum dengan menyerahkan uangnya.
"Eh, Elo, Num. Oh iya utang lo yang kemarin juga belum di bayar, kan? Kapan nih lo bayar."
"Yah Empok gua bayar entar kalau gua gajian, ya," ucap Hanum meyakinkan.
"Gajian yang mana, Num. Tiap gajian lo bilang duitnya udah abis."
"Ya, Mpok kan tahu gaji gue berapa." Hanum terkekeh.
"Pokoknya kalau lo belum bayar yang kemaren, lo jangan ngutang lagi." Hanum mendengus sambil menerima kantung berisi beras yang dia beli.
"Mana kembaliannya, Mpok?" Hanum menengadahkan tangannya.
"Ya ampun Num, hutang lo masih kurang banyak, lagian kembalian delapan rebu masukin ke bon aja biar utang lo berkurang."
"Yah Mpok, buat jajan Johan ama Reva tuh besok."
"Heh, Hanum. Kalau gak punya duit ya gak usah jajan. Yang penting tuh bayar utang." Hanum hanya bisa cemberut dan pergi dari warung tersebut.
"Dasar nenek- nenek udah bau tanah juga bukannya banyak sedekah malah jadi orang pelit."
Dan akhirnya Hanum pulang dengan berasnya, hanya saja Johan dan Reva tak punya uang jajan buat besok.
...
"Num, kenape lo, ngelamun aje?" Jono menghampiri dengan memegang buku setorannya.
"Kagak." Hanum menyerahkan uang dua ribu yang dia ambil dari kantung hasil dagangannya.
"Lo bisa cerita ke gue kalau lagi galau," tawar Jono. "Sape tahu gue bisa bantu."
Hanum tersenyum. "Liat senyum lo, roman- romannya masalah duit ya?" Jono meringis menyesal bertanya.
"Iya, Jon. Adek gue kagak gue kasih duit jajan tadi, duit gue abis. Bisa kagak lo pinjemin seratus?"
Jono mencebik lalu merogoh sakunya. "Seratus kagak ada Num, ada juga lima puluh nih. Kita bagi dua aja gimana?"
Hanum menghela nafasnya Jono juga sama sepertinya, bukan orang berada dan kesusahan. "Kagak lah, Jon. Gak tega gue, nanti kasbon aja sama Bang Hasan."
"Serius lo, Num?" Hanum mengangguk, dan Jono pun kembali memasukan uangnya ke dalam saku. "Sorry ya, Num. Lo tau kan, gue juga punya adek." Hanum kembali mengangguk. "Ya udah deh Num. Gue nagih duit setoran lagi, ya."
Hanum tak bisa tak mengingat adik- adiknya yang pergi ke sekolah tanpa uang jajan. "Nasib, nasib. Apa gue terima aja ya, tawaran Bu Ningsih?" Gaji sepuluh juta akan sangat cukup untuk hidup Hanum dan keluarganya. Bahkan bisa memperbaiki kehidupan mereka.
....
Hanum duduk di pelataran sebuah mall. Malam yang dingin karena hujan tak membuat Hanum berdiam diri di kamarnya dan tidur dengan berselimut.
Justru saat hujan begini adalah rezeki bagi orang- orang seperti Hanum yang bekerja mengandalkan payung demi uang beberapa ribu saja.
Melihat orang yang keluar dari Mall Hanum segera menawarkan payungnya. "Ojek payung Bu?"
"Pak ojek payungnya?"
....
Hanum duduk lesehan di trotoar basah untuk menghitung berapa uang yang dia dapatkan dari ngojeknya. Dan senyum terukir saat dia melihat dia mendapat tiga puluh tiga ribu. "Lumayan, ada buat beli beras sama jajan Reva sama Johan."
Hanum akan bangkit saat mendengar suara- suara tak jauh darinya. Dia mengernyit saat melihat dua preman tengah menodongkan pisau ke arah Ibu- ibu yang berdiri dengan sedikit ketakutan.
"Mau apa kalian?" ucapnya dengan sedikit bergetar.
"Gue mau duit, serahkan duit lo. Perhiasan lo juga!"
Hanum berdecak saat si Ibu akan menyerahkan tasnya pada dua orang itu. Dengan wajah kesal dia menghampiri. "Heh, mau duit usaha dong. Jangan main nodong orang sembarangan." Suasana di sana memang cukup sepi karena itu memang sedikit rawan bagi orang yang tak mengenal kawasan tersebut.
"Ngapain lo ikut campur? Sok- sokan lagi. Pergi sono!"
"Ya, entar gue pergi kalau lo berdua juga pergi." Hanum menggulung lengan bajunya.
"Sialan lo cewek, sekali sabet lo koit, mampus lo! Sok- sokan mau jadi pahlawan." Satu orang pria mengayunkan pisaunya namun Hanum dengan cepat menghindar.
"Koit kalau lo bisa. Coba aja kalau bisa?" Hanum bergerak menangkis pisau di tangan si penodong, hingga pisau itu terjatuh. Tanpa menunggu lama Hanum langsung memberi tendangan di hidung si penodong hingga terjengkang dengan berteriak karena hidungnya mengucurkan darah. Kini tersisa satu orang lagi yang malah mundur saat Hanum mendekat.
"Kenape, lo?"
"Sialan, lo. Awas ya, ini belum selesai!" Dia berteriak setelah menggandeng temannya yang tak berdaya.
Hanum menoleh pada Si Ibu yang masih menatapnya. "Hati- hati Bu. Jangan jalan sendirian. Disini rawan," ucap Hanum sambil berlalu pergi.
"Kamu lagi?" Hanum menoleh dan mengernyit.
"Bu Ningsih?"
"Bagus kamu ingat saya." Hanum tersenyum meringis. "Jadi, bagaimana tawaran saya kemarin?"
Hanum meremas tangannya erat. "Ibu ... bukan sindikat perdagangan manusia, kan?"
Si Ibu terkekeh lembut, memang benar-benar seperti bangsawan yang tertawa pun harus memakai nada yang tidak terlalu tinggi.
"Kamu bisa datang ke alamat saya, besok. Kamu akan tahu saya siapa." Hanum tertegun bahkan saat seorang pria berpakaian hitam menghampiri mereka.
"Maaf, Nyonya saya kesulitan mengeluarkan mobil." ucapnya dengan sopan.
"Tidak apa. Bagaimana Hanum?" Bu Ningsih kembali menatap Hanum.
"Saat kamu setuju saya akan jelaskan apa saja pekerjaan kamu. Tenang saja, pekerjaan kamu bukan sesuatu yang melanggar hukum."
Hanum mengangguk.
Wanita anggun itu masuk ke dalam mobil setelah menyerahkan tas tangannya pada supir.
Saat mobil sudah melaju, Sang supir menoleh dari kaca spion. "Nyonya yakin dengan gadis itu?"
Wanita itu tersenyum angkuh. "Aku hanya butuh gadis yang tangguh."
....
Hallo, ada orang???
"Ngapa muke lo bengep begitu, Jo?" tanya Hanum saat dia melihat wajah adiknya bonyok seperti abis di kroyok masa.
"Di pukul Si Aldo sama temen-temennya, Kak."
Hanum mengernyit. "Lo di keroyok?"
"Iya lah, Kak. Kalau cuma Si Aldo doang aku juga berani."
Hanum berdecak. "Mentang- mentang anak ketua RW berani banget dia. Obatin sono. Jelek muka lo!" Hanum memalingkan wajahnya tak mau lebih lama melihat wajah adiknya yang babak belur.
"Kamu sudah pulang, Num?" Hanum menoleh dan menemukan Bapaknya keluar dari kamar.
"Bapak ngapain keluar kamar. Udah istirahat aja."
"Bapak denger adik kamu berantem lagi?"
"Iya, udah biasa, Pak. Biarin aja lah, biar Johan makin kuat." Hanum bersikap acuh, seolah itu memang bukan apa- apa. Padahal sebenarnya Hanum merasa kasihan pada adiknya. Hanya karena mereka dari keluarga miskin banyak yang mencela dan meremehkan mereka.
"Bapak mau kalian hidup tenang, tanpa ada gangguan. Kita memang hidup miskin tapi jangan sampai di rendahkan orang."
"Ya makanya biarin aja Johan lawan. Asal jangan dia yang cari gara- gara duluan."
"Ya sudah, kalau gitu. Oh, ya Num besok Bapak mau mulai kerja," ucap Suryanto.
Hanum mengernyit. "Emang Bapak udah sehat?"
"Bapak udah mendingan, bapak juga kasihan liat kamu kecapekan tiap hari."
Hanum melipat bibirnya. "Sebenarnya ada yang mau Hanum bilang sama Bapak."
"Apa?"
"Ada yang tawarin Hanum kerja jadi pembantu, Pak."
Suryanto mengernyit. "Pembantu?"
"Iya, gajinya sepuluh juta."
"Sepuluh juta?" Suryanto nampak terkejut. "Pembantu apa yang gajinya gede begitu, Num?"
"Kagak tahu."
"Jangan dah, Num. Nanti kena tipu kamu di jual lagi. Banyak tuh penjual manusia kayak gitu, yang di jual ke luar negeri diiming-imingi gaji besar."
"Hanum juga takut, Pak. Tapi kan dimana lagi yang bisa kasih duit gede. Apalagi cuma lulusan SMP kayak Hanum."
"Pokoknya enggak. Bapak takut kamu kenapa- napa.“
"Tapi, Pak-" baru saja Hanum akan bicara suara gaduh di luar rumah mereka terdengar.
"Heh, Yanto keluar lo!" suara teriakan seorang ibu- ibu membuat Hanum dan Suryanto mengernyit.
"Siapa, Pak?"
Suryanto mengedikkan bahu dan bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang sambil teriak- teriak.
"Mpok Hani? Kenape Mpok?" tanya Hanum
"Mana tuh Si Johan. Sialan tuh adek lo, Num. Liat nih muka Si Aldo jadi kayak gini." Mpok Hani menunjuk wajah anaknya yang tadi siang berantem sama Si Johan.
Si Aldo mencebik meledek ke arah Hanum yang menatapnya. Seolah ada yang membela, bocah itu berani menatap Hanum dengan remeh.
"Yakin Si Johan yang mukul Si Aldo? Bukannya anak Mpok yang mukulin Si Johan, di keroyok lagi adek gue."
"Hanum. Bicara yang sopan sama orang tua." Hanum berdecak mendengar suara Bapaknya yang memang kerap memintanya bicara lemah lembut layaknya seorang perempuan.
"Gue gak mau tahu lo harus tanggung jawab, gue abis dua ratus ribu ngobatin Si Aldo."
Hanum menaikan alisnya. "Yakin, Mpok dua ratus ribu?" Hanum bahkan tak melihat luka berarti di wajah Aldo.
"Iya, kalau enggak gue laporin tuh si Johan ke Pak lurah."
"Oke, gue ganti tuh dua ratus rebu. Sebaliknya Mpok juga harus ganti rugi soalnya Johan juga luka."
"Kagak bisa begitu dong, orang Si Johan yang mukul Si Aldo."
"Gini aja, Mpok. kita bandingin banyakan mana lukanya Aldo sana Johan, abis itu kita itung- itungan."
Hanum melihat ke arah rumah. "Johan, sini lo!" panggil Hanum.
Johan keluar dengan wajah menunduk sebenarnya dia sudah dengar suara teriakan ibunya Aldo, tapi dia tak berani keluar.
"Mpok liat muka Si Johan." Hanum mengangkat dagu Johan sampai mendongak membuat wajah babak belurnya terlihat. "Kira- kira kalo di duitin jadi berapa nih? Yang kayak gitu aja dua ratus rebu," tunjuknya pada wajah Aldo yang sontak saja menunduk. "Apalagi yang ini?"
"Harusnya gue yang minta ganti rugi sama Mpok. Jangan mentang-mentang keluarga gue miskin, kalian bisa seenaknya, ya!" Hanum menunjuk Aldo. "Kalau lo berani satu lawan satu jangan main ngeroyok aja." Wajah Aldo ketakutan.
"Keterlaluan lo, Num. Lo nuduh anak gue."
"Denger ya, Mpok. Yang datang terus minta ganti rugi duluan Mpok. Teriak- teriak bikin semua orang datang. Mpok kira gue bakalan diem. Sekarang Mpok gak terima gue ngomong begitu sama Si Aldo. Terus Mpok kira gue terima gitu Mpok perlakukan begitu!" Hanum maju dua langkah membuat Mpok Hani mengkerut mundur.
"Kalau mau tahu yang salah sama yang bener tanya dua- duanya, Mpok. Jangan mentang-mentang dia anak Mpok main bela aja. Mpok kira anak Mpok selalu bener? Lagian ketua RW harus adil. Kasih contoh warganya yang bener."
"Lo- lo kurang ajar, Num." Mpok Hani berkata gugup, apalagi dia melihat para warga yang sejak tadi berkumpul mulai berbisik- bisik tentangnya.
Hanum mendengus saat Mpok Hani menarik Aldo pergi menjauh.
"Apa lo semua liat- liat!" teriak Hanum. "Baru tahu gue marah!"
Suryanto menghela nafasnya. "Sudah Num, malu. Ayo masuk." Suryanto menarik Hanum menjauh.
Hanum masih terlihat marah, nafasnya bahkan terengah. Sementara Suryanto menatap Johan.
"Kamu lihat. Kakak kamu sudah capek bekerja seharian. Sekarang malah harus ngurusin masalah kamu. Minta maaf sana!" titah Suryanto tegas.
"Maaf, Kak. Johan salah." ucap Johan dengan menghampiri Hanum. Reva sejak tadi mengkerut di pojokan karena takut melihat Hanum marah- marah pun menghampiri.
"Reva gak nakal kok, Kak." Reva memeluk Hanum hingga Hanum memejamkan matanya. Dia bersedih hati, bagaimana adiknya di perlakukan tidak adil oleh orang sekitar hanya karena miskin. Namun Hanum berusaha agar tak menangis dan terlihat lemah.
"Udah, pada tidur sono." Hanum memalingkan wajahnya.
Soryanto membawakan segelas air lalu menyodorkannya pada Hanum. "Minum Num, biar tenang."
Hanum meraih gelas di tangan Bapaknya lalu meneguknya. "Makasih, Pak."
Suryanto duduk di sebelah Hanum. "Lain kali harus bisa lebih menahan amarah, Num. Berkata baik dan sopan biar kamu juga di hormati, apalagi kamu perempuan."
"Maaf, Pak."
Suryanto menepuk punggung Hanum. "Kamu inget gak yang almarhumah Mamamu ajarin?" Hanum mengangguk.
"Hanum inget, tapi kehidupan kita terlalu keras, Pak. Dan Hanum bosen terus di injak- injak."
"Yang menentukan derajat seseorang itu Tuhan. Bukan manusia kayak kita."
Hanum menghela nafasnya. Dia tak bisa melawan ucapan Bapaknya karena dia selalu benar.
"Hanum mau terima kerjaan itu, Pak."
Suryanto tertegun. "Hanum mau merubah hidup kita. Gaji itu besar banget, dan Hanum mau adik- adik Hanum gak kekurangan kayak Hanum."
"Terserah kamu. Bapak cuma bisa berdoa, semoga kamu baik- baik saja."
Di dalam kamar Johan dan Reva duduk mendengarkan ucapan Hanum, kedua bocah itu melamun dengan tatapan kosong.
...
Hanum menatap rumah besar di depannya, rumah megah bak istana dengan gerbang tinggi menutupinya.
Rumah ini benar-benar besar. Pantas saja gaji yang di tawarkan sangat besar karena rumahnya juga besar. Bisa- bisa dia gempor bekerja disana. Tapi bekerja memang selalu berat, kan? Jadi tak masalah dia sedikit lelah asalkan gajinya sepadan.
Hanum menatap lubang kecil di depannya hingga suara seorang pria terdengar. "Cari siapa, kamu?"
"Maaf, Saya cari Bu Ningsih."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!