"Nawal..." Seorang wanita paruh baya berseru memanggil putrinya dari bawah tangga agar putrinya segera turun dan sarapan. Dia adalah Bu Zainab. Disampingnya, seorang pria paruh baya tengah asik menyeruput kopi hangat, dan tak lupa juga sepiring pisang goreng di sampingnya. Beliau adalah pak syamsuri suami Bu Zainab.
"Injeh buk, sebentar lagi", Nawal menyahuti ibunya dari kamarnya.
Begitulah keluarga pak syamsuri, meski mereka tergolong keluarga yang sederhana, Namun keharmonisan dan keakraban mereka tak diragukan lagi. Mereka hidup dengan menjunjung tinggi prinsip kolot dan kuno, sehingga usia Nawal yang menginjak 28 tahun, mereka merasa was-was karna sang putri tak kunjung menikah. Mereka hanya takut saja jika Nawal menyandang status prawan tua.
Setelah Nawal turun dan duduk di kursinya, Bu Zainab melirik sekilas kearah suaminya sambil ngedipkan mata, memberi kode yang entah apa itu, Nawal tidak mengetahuinya.
"Ibu kenapa sih kok aneh, ada apa sih?" Nawal mengawali pembicaraan kali ini.
Bapak hanya berdehem pelan menetralkan kecanggungan.
"Nduk... kalau misal bapak sama ibuk mau jodohkan kamu, apa kamu bersedia?". Nawal seketika melotot mendengar pertanyaan bapak.
Nawal tersedak makanan yang baru di telannya, Nawal nggak nyangka pagi-pagi buta yg gini udah disuguhi topik tentang perjodohan. Nawal emang tergolong anak penurut. Namun, untuk perjodohan ini entahlah. "Terserah bapak sama ibuk aja. Nawal pasrah asal calonnya baik. Bapak ibu gak mungkin milihin calon yang gak baik kan buat Nawal?". Nah, loh.... penurut banget emang.
"Terima kasih nduuk, ibuk yakin, calonmu bisa menjadi imam yang baik buatmu. Mengingat dia anak teman bapakmu yang orang baik, anaknya pasti juga baik. Bukan begitu pak?", ibu melirik bapak yang menganggukkan kepalanya. Nawal tersenyum menanggapinya.
Oh tuhaaan, akan seperti apa rumah tangganya nanti saat berjalan tanpa cinta? Nawal jadi begidik ngeri membayangkannya.
"Nanti malam calonmu akan datang, kamu pulang kerja jangan mampir-mampir, ingat. Jangan sampai kamu telat nduk. Harus jaga sikap didepan mereka nanti. Jangan kayak anak kecilnya terus" Nawal menganggu sambil tersenyum, kemudian melanjutkan sarapan.
"Pak, buk Nawal berangkat ya...assalamualaikum"
"Waalaikum salam".
🍃🍃🍃
Disebuah ruang tamu, di kediaman pak syamsuri. Pertemuan dua keluarga antara keluarga pak syamsuri dan pak jatmiko, diwarnai dengan kebahagiaan. Keluarga jatmiko bahkan tak mempermasalahkan usia Nawal yang yg tujuh tahun lebih tua dibanding Fandy.
Nawal memandang seorang pria muda yang duduk di sebelah wanita paruh baya, istri pak Jatmiko. pria itu masih sangat muda, tapi akan segera menjadi suami Nawal. di tatapnya lekat untuk menelisik wajah calon suaminya itu.
Dia memiliki kulit putih, matanya kecoklatan tak terlalu sipit, namun juga tak terlalu lebar, rambutnya hitam legam, hidungnya menjulang tinggi, Alisnya tebal dan seperti hampir menyatu, rahangnya tegas, bibirnya kemerahan, Bagus! Itu artinya pria ini bukan perokok.
Semua orang nampak bahagia dan saling menebar senyum. terkecuali Nawal yang selalu menunduk dan merasa gugup. Sedang Fandy terlihat diam dan memilih tak begitu menghiraukan perlakuan orang-orang disekitarnya. Fandy hanya melihat sekilas kearah Nawal tanpa berniat menilai penampilan calon istrinya itu. Fandy merasa muak dengan perjodohan gila seperti ini.
"Nduk... Nawal jangan hanya diam dan menyembunyikan diri begitu, Ayo kenalan dulu sama calon suamimu, Mas Fandy." Ibu Fandy memecah kecanggungan diantara mereka. Kemudian beralih tatap pada putranya, "Mas Fandy, ayo diajak kenalan calon istrimu. Namanya Nawal, cantik seperti namanya bukan?".
"Nawal".
"Fandy".
Hening....
Keduanya memilih bungkam, hingga beberapa saat kemudian, pernyataan Fandy mengagetkan semua orang yang ada disana.
"Buk, pokoknya Fandy nggak mau menikah sama dia buk. Usia Fandy masih dua puluh satu. Sedangkan dia udah tua buk, Dua puluh delapan tahun. Ini nggak pantes buat dia dan juga Fandy buk".
Semua orang terdiam dan menoleh kearah Fandy dengan raut wajah terkejut. Hanya Nawal yang diam dan tak terkejut. Kemudian ibu dan bapak Nawal menundukkan kepalanya, merasa kalah oleh keadaan.
"Apa-apaan kamu Fandy? Kamu mulai membangkang dan memberontak orang tuamu? Kamu.... ka_ Kam....kamuuu...??" Bu Jatmiko, ibu Fandy tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Ia menelototkan matanya sembari tangan kanannya meremas kencang dadanya. Seketika itu semua orang panik dan menghampiri Bu Jatmiko. saat itulah, Bu Jatmiko hilang kesadaran dan semua orang berteriak histeris termasuk Fandy.
Pada akhirnya, mereka bergegas menuju rumah sakit. Nawal masih bisa bersikap acuh dan santai, entah terbuat dari apa hati Nawal, semua orang tidak tau saja bahwa sebenarnya Nawal juga tak kalah gelisah, hanya saja ia mampu menyembunyikan kepanikannya. Hal itu membuat Fandy semakin geram dan semakin tak suka pada Nawal.
Setelah tiba di rumah sakit, semua orang hanya terdiam, kecuali Fandy. Fandy hanya mondar mandir menunggu konfirmasi dokter tentang keadaan ibunya."Diamlah Fandy? Apa kamu nggak bisa duduk?", Kali ini ayah Fandy bersuara.
"Tapi yah?" ucap Fandy dengan suara lirih.
"Kamu fikir dengan kamu begitu bisa membuat ibumu sadar? Kamu sendirilah penyebab ibumu sakit. Kalau saja kamu nggak ngomong begitu, pasti ibumu masih baik-baik saja."
"Sudahlah Jat, mereka masih anak-anak". pak Syam meyakinkan Jatmiko.
Nawal merasa geli sendiri dengan sikap Fandy yang seperti ini. Wajahnya terlihat tegas namun sikapnya, tetaplah Fandy sang anak mama. Nawal bisa menebak, Fandy ini pastilah sangat manja dan tidak bisa membantah ibunya. Huhh! ini sangat lucu. Membayangkannya saja Nawal merasa geli. Bagaimana bisa Nawal terjebak pernikahan dengan seorang Fandy yang berusia dua puluh satu tahun, anak mama yang super super manja puoll?
Selama tiga puluh tujuh menit dokter menangani ibunya Fandy. Dokter keluar ruangan sembari melepas masker dan memanggil keluarga Jatmiko. Semua menghampiri dokter dan berusaha mencari tau keadaan Bu Jatmiko.
"Bagaimana keadaan ibu saya dok?", Semua melirik kearah Fandy yang mulai bersuara.
"Kondisinya sudah mulai stabil. Hanya saja, jantung pasien masih lemah. Minta tolong nanti keluarga jangan membuat pasien terlalu berpikir keras dan jangan memberikan berita yang mengejutkan untuk sementara waktu, karna itu bisa membuat keadaan pasien terlalu drop".
''Terima kasih dokter. Apa istri saya sudah bisa dijenguk?" Ayah Fandy bertanya.
"Boleh, asal jangan membuat stress pasien. Kalau begitu, saya permisi", Dokter berlalu meninggalkan dua keluarga itu. Fandylah orang pertama yang memasuki ruangan. keluarga pak Syam pun ikut menyusul.
Saat itu sempat terbesit dalam hati Nawal, Fandy ini terlihat seperti remaja pada umumnya. Cenderung manja namun juga cukup perhatian pada ibunya.
Nawal membayangkan, bagaimana jika perjodohan ini benar-benar terjadi? Nawal harus hidup dengan remaja labil. Tinggal serumah dan menghadapi tingkahnya yang kekanakan. Membayangkannya membuat Nawal bergidik pelan sambil bersedia. Ibu yang melihat tingkah Nawal pun akhirnya bertanya dengan nada berbisik. "Kamu kenapa nduk?".
"Emhh ini buk...anu.. Fandy... eee". Nawal tak melanjutkan kalimatnya karna bingung harus menjelaskan apa. Tiba-tiba saja, ibu Zainab menyela ucapan Nawal.
"Fandy tampan kan?" Nahh lohh kan udah deh... udah pasti ibu ujung-ujung nya godain Nawal. Nawal melotot sambil mengibaskan kedua tangannya.
"Engg.. enggak kok... bukan itu. Nanti aja Nawal ceritain dirumah. Jangan disini, ntar yang di ghibahin dengerin kan gaenak?", ibu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Disisi lain, di atas brankar rumah sakit, Bu Jatmiko terbaring lemah. Beliau sudah sadar namun wajahnya pusat pasi dan keadaannya masih sangat lemah. Ia memandang Fandy dengan wajah lesu.
"Buk, gimana perasaan ibuk sekarang?" Fandy bertanya sambil menggenggam tangan sang ibu. Bu Jatmiko membiarkan putranya menggenggam tangannya.
"Keadaan ibu tidak lebih baik karna putra semata wayang ibuk tidak sayang dan tidak mau nurut sama ibuk", jawabnya tanpa menoleh ke arah sang putra. Fandy menghembuskan nafas kasar.
"Dari kecil Fandy selalu nurut sama ibuk. Fandy pikir untuk masalah pendamping hidup, Fandy bisa memilih dan memutuskannya sendiri. Tapi ternyata Fandy salah besar. Kalau ibuk pengen perjodohan ini berlanjut, Yaudahlah. Terserah ibuk aja. Fandy pasrah." Setelah menyampaikan pernyataan itu, Fandy melepas genggamannya kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka semua yang mematung tak percaya. Pikirannya kacau saat ini.
Yang ada di fikirannya saat itu adalah Mila. Sebuah nama yang dimiliki oleh tambatan hatinya. Berat rasanya jika ia harus meninggalkan kekasihnya itu. Namun mau bagaimana lagi? Ini sudah mutlak menjadi keputusan sang ibu, dan ia tak bisa membantah ibunya.
Malam itu, Fandy bergegas ke parkiran dan mengambil motor matic kesayangannya, namanya Blacky. Pikiran Fandy kacau saat ini. Apa yang akan ia katakan pada Mila tentang perjodohannya kali ini. Sempat Fandy berfikir, mungkinkah perjodohan gila ini diadakan karna orang tua Fandy tidak merestui hubungannya dengan Mila? Entahlah, Fandy bingung memikirkan hal ini.
Sudah satu setengah bulan setelah kejadian ibu Fandy masuk rumah sakit. Hari ini Fandy dan Nawal akan melangsungkan pernikahan.
Fandy mematut dirinya di cermin dengan raut wajah lesu dan tak bersemangat. entahlah. fandy bener-bener bingung harus ngapain lagi. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk keluarganya adalah dengan menikahi Nawal, sang wanita sialan bagi Fandy.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya kemudian pintu terbuka perlahan. Ibu Fandy muncul dengan wajah sumringah. "lho... putra ibu ini mau nikahan tapi kok tampangnya kusut sih?", sebenernya ibu Fandy tau penyebab si Fandy kusut gitu. Tapi ya sok nggak tau demi lancarnya pernikahan ini. Si ibu yakin, Fandy perlahan akan menyukai Nawal nantinya jika mereka tinggal satu atap. Cinta ada karna terbiasa.
"Hmm...", Hanya itu yang mampu Fandy lakukan. Fandy seperti tak menemukan semangat untuk banyak berkata.
"Ya udah yuk, mobilnya udah nungguin di depan. Senyum dong sayang. Rileks... semua laki-laki pasti mengalami yang namanya gugup menjelang pernikahan. Dulu, ayahmu juga gitu...". Fandy hanya diam saja sambil beranjak keluar kamar.
Setelah semua siap, mobil pun perlahan berlalu meninggalkan pelataran rumah yang bisa dikatakan megah sih. Fandy emang berasal dari keluarga yang berkecukupan, meski nggak terlalu kaya_kaya benget sih. Tapi bisa dibilang sukses juga karna ayahnya pak Jatmiko punya perkebunan kopi di daerah Banyuwangi. Fandy sendiri sebenernya masih kuliah di salah satu universitas di Banyuwangi, Ia kuliah sama kerja paruh waktu di salah satu Hotel mewah di Banyuwangi.
Setelah mobil sampai di pelataran rumah sederhana milik keluarga Nawal, Semua keluarga Fandy turun dan saling menebar senyum kebahagiaan kecuali Fandy, si Fandy malah makin muak dengan semua ini, tapi tak apa, ini hanya sandiwara, gitu deh pikirnya.
Suasana begitu ramai dan diselimuti dengan kebahagiaan. Semua orang menyambut kedatangan keluarga Jatmiko Mahardika dengan suka cita. Dua keluarga ini menunjukkan kebahagiaan. Namun, berbeda dengan Fandy, hatinya mulai berkecamuk dan semakin gelisah.
Fandy merasa muak dan ingin mengakhiri pernikahan yang ia bilang bodoh ini. Gimana bisa seorang Fandy yang masih muda harus menikahi Nawal yang ia sebut wanita tua? Huh.... Fandy benci dengan yang namanya perjodohan,benar-benar benci.
Setelah Fandy disambut sebegitu baiknya, akhirnya Fandy duduk dilantai ruang tamu beralaskan karpet bulu yang begitu halus nan lembut, ruangan itu disulap menjadi ruangan berdekorasi pernikahan. Meski tidak terlalu mewah, namun terkesan elegan. Simpel tapi terlihat megah.
Fandi duduk berhadapan dengan penghulu yang lebih dulu hadir, di sisi kanan meja. Disisi kirinya akan ditempati mempelai wanita nanti.
Sedang didalam kamar, Nawal nampak gugup dan sedikit tegang. Hari ini hari pernikahannya. Hari dimana ia di ikat dengan janji suci. Ibu Zainab terdengar memanggil Nawal dan mengetuk pelan pintu kamar Nawal kemudian membukanya perlahan.
"Loh anak ibu kok kaku gitu. Rileks nduk tidak usah tegang. Nak Fandy seluarga sudah menunggu di depan. Ayo keluar. Akadnya akan dimulai", ucap ibu Nawal dengan menggandeng tangan Nawal.
"Buk...." Nawal ingin bicara tapi ada keraguan yang menari-nari di hatinya. Ibunya menoleh lalu menaikkan sebelah alisnya, bertanya tanpa kata.
"Apa iya Fandi bisa jadi su....."
"Mas Fandy nduk. Panggil dia mas Fandy mulai sekarang. Sebentar lagi kalian akan sah menjadi suami istri", Nawal mencebik tak suka dengan nasihat ibunya. Bagi Nawal ini berlebihan. Bukannya usia Fandy berjarak tujuh tahun lebih muda dari Nawal? Kenapa memanggilnya harus dengan embel-embel mas? Bikin sakit kuping rasanya.
Ibuk menuntun Nawal keluar kamar. Rumah sederhana yang hanya memiliki Empat kamar kecil itu terlihat sesak dengan kehadiran para tetangga dan kerabat untuk menyaksikan acara akad nikah Nawal dan Fandy.
Semua mata tertuju pada mempelai wanita yang baru datang. Mereka nampak takjub dengan penampilan Nawal yang sangat elegan. kebaya putih dengan sedikit Payet dan terdapat renda di bagian belahan dadanya yang rendah. Menonjolkan bentuk dada. Rambutnya disanggul rendah dengan assessoris mutiara di sisi kanan kepalanya.
Fandy yang melihat kehadiran Nawal hanya melirik tanpa menelisik penampilan calon istrinya itu. Sebal. Kesal. Benci. Bercampur jadi satu. Itulah yang dirasain si Fandy.
Setelah Nawal dan si Fandy duduk bersebelahan, penghulu akhirnya menikahkan mereka. Fandy mengucapkan ijab Qabul hanya dengan satu tarikan nafas, "Saya terima nikah dan kawinnya Nawalisya Nasyirah binti syamsuri dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas seberat dua belas gram dibayar tunai".
"Bagaimana para saksi?"penghulu bertanya pada para saksi yang hadir disana
SAH
SAH
SAH
POV NAWAL
Hari ini, resmi sudah aku menyandang status menjadi seorang istri, istri seorang Fandy. Fandyka Satya Mahardika. Seorang suami yang usianya tujuh tahun lebih muda dariku. Entah akan seperti apa kehidupanku dimasa depan nanti.
Setelah ijab Qabul selesai, aku saling memasangkan cincin dijari kami masing-masing. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Fandy. Begitupun juga denganku. Hingga petang menjelang, aku dan fandy melngsungkan resepsi pernikahan untuk. Untuk versi desa ku, acara tergolong meriah. Tapi mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keluarga Fandy yang bisa dibilang berkecukupan, namun tak terlalu kaya.
Malam pun telah tiba. Setelah acara berlalu, aku sudah nggak tahan buat masuk kamar mandi. Rasanya tubuhku lelah selelah lelahnya. Aku bergegas mandi setelah penata rias mencopot semua asesoris dan kebaya yang ku kenakan. Fandy terlihat memainkan ponselnya dan duduk sisi kanan ranjang menyandarkan punggungnya. Dia melirik sekilas kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke arah ponselnya.
"Mas Fandy, kamu nggak mandi dulu?" Kau bertanya dengan halus, membuka suara lebih dulu kurasa tidak salah. Daripada hanya diam.
"Aku nggak bisa mandi air dingin kalau malem", ia menjawab dengan nada dingin.
"Aku buatin dulu air panasnya mas". ucapku sambil berjalan menuju pintu. Pikirku mungkin dia minta dibuatin air hangat hanya mungkin sedikit malu memintanya dariku. Aku sih memaklumi aja.
"Tunggu", Akupun berbalik badan.
"Gausah manggil aku kayak gitu. Sakit kupingku dengernya".
"Mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan kehadiran dan sikapku mas. Biar bagaimanapun aku istrimu dan kamu suamiku. Jadi tolong pahami itu. Pernikahan bukan permainan, jadi kumohon dengan sangat, bijaklah dalam bersikap dan belajarlah menerimaku".
"Kamu mau kuanggap sebagai istri?" Mas Fandy bertanya dengan nada dingin. Aku sedikit terkejut dengan sikap dinginnya ini.
"Tentu saja. Sudah seharusnya seperti itu kan? Memang apa namanya pasangan yang sudah menikah? suami istri mas. Kamu mau aku menyebut apa? Pasangan duet?" Aku pun menjawab tak kalah sinisnya. Dia pikir, hanya dia saja yang bisa bersikap angkuh? Aku juga bisa... .
"Ha ha ha ha.... Jangan mimpi!" Ucapnya sambil menatapku tajam.
"Meski aku sudah menjadikan kamu istri, Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan tetap menikahi pacarku, Mila. Dengan ataupun tanpa persetujuan dari kamu".
Aku terkejut, tentu saja. Ini malam pertama kami setelah pernikahan tadi, tapi dia udah berani sesumbar menikah lagi. Aku punya madu? Tidak tidak dan tidak. Aku nggak mau. Titik.
"Jangan macam-macam mas. Ada perasaan orang tua yang harus kita jaga" Entah kenapa, mendengar pengakuan suami kecilku ini, aku merasa sakit dan entahlah.... sulit untuk ku ungkapkan.
"Lalu menurutmu aku mesti gimana?" Tanyanya kemudian berdiri dan melipat tangannya di depan dadanya.
"Tentu saja jadi suami istri sungguhan mas. Aku akan menerimamu, dan kumohon kamu juga harus belajar Nerima aku. Kalau kita saling berusaha, bukankah pernikahan ini akan berhasil?" Aku menatap lekat wajah suamiku yang egois ini. Kulihat matanya penuh dengan kebencian.
"Jangan harap. Aku nggak sudi menikahi perawan tua kayak kamu. pernikahan ini karna dipaksa ya. Jangan berharap lebih. Kamu, kunikahi saja harusnya beruntung, jangan Tamak dan nuntut lebih dong".
"Aku tetap nggak mau kayak gitu mas. Kamu harus bisa Nerima aku. Pikirkan perasaan orang tua kita masing-masing".
"Bodoh"
Nawalisya
Tiga bulan setelah pernikahan kami, aku dan mas Fandy. Selama Tiga bulan ini, aku selalu saja bersikap baik dan selalu mengalah menghadapi sikap dingin dan ucapan ketusnya. Aku membangun muka tebal dihadapan mas Fandy. Tidak perduli mas Fandy memaki, aku tetap bersikap layaknya istri penurut dan Sholehah.
Aku dan mas Fandy udah pisah dari keluarga kami. Mas Fandy bersikeras untuk tinggal berdua saja. Saat ini kami tinggal di daerah Banyuwangi kota. Tidak jauh dari letak universitas tempat mas Fandy kuliahdan tak jauh pula dari alun-alun kota Banyuwangi, Taman sritanjung.
Mungkin alasan mas Fandy adalah agar bisa bebas bersikap semena-mena terhadapku. Aku fikir ya sudahlah, ini tahap awal. Mungkin mas Fandy butuh waktu untuk bisa menerimaku sebagai istri. Mas Fandy sengaja memilih untuk tinggal di Banyuwangi karna jarak kampusnya yang dekat dengan tinggal kami. Dia juga punya usaha kecil-kecilan cafe & resto di dekat sini, Jadi dia bisa ngasih aku nafkah berupa materi.
Setiap pagi, aku rutin membuatkannya sarapan, susu coklat hangat kesukaannya, serta menyiapkan air panas untuk mandi lengkap dengan pakaiannya. Kami tinggal dirumah pemberian orang tua mas fandy. Rumah ini memiliki tiga kamar tidur. Dan benar saja, mas Fandy nggak mau tidur sekamar denganku, apa lagi seranjang. Jadi ya akhirnya aku tidur di sebelah kamar utama milik mas Fandy.
Selain rumah, orang tua mas Fandy juga mencarikan ku pekerjaan di Banyuwangi. Ayah mertua merekomendasikan ku bekerja sebagai staf notaris , milik temannya.
"Pagi mas", sapaku ketika dia sudah rapi hendak berangkat ke kampusnya, "Sarapan dulu, nih udah aku siapin. Kamu nanti pulang jam berapa? Aku pulang nanti siang. Kayaknya aku sedikit nggak enak badan jadi ijin kerja setengah hari aja".
"Aku pulang jam 10". Ucapnya sambil meraih cangkir susu dan meneguknya perlahan, kemudian ia meletakkan cangkirnya kembali dan menatapku, "Nawal, Aku mau menikah lagi".
Duuuaarrr....
Seperti tersambar petir saat itu juga. Kalimat keramat yang aku takutkan semenjak pernikahanku, karna saat itu, mas Fandy emang mewanti-wanti mau menikah lagi. Seketika aku menjatuhkan centong nasi yang tadinya ku genggam karna hendak menyendok kan nasi untuk suamiku yang keterlaluan ini.
"Menikah?" aku hanya membeo mengulang kalimatnya.
"Ya".
Sesaat hening beberapa detik. aku mencerna kembali apa yang baru saja diucapkan suami berondongku ini. Dan setelahnya....tentu saja aku histeris.
Aku menaikkan nada bicaraku disertai nafas yang memburu karna emosi, "Kamu gila mas Fandy, gimana bisa kamu mau menikah lagi. Usia pernikahan kita baru tiga bulan, dan kamu mau menikah lagi? Apa-apaan kamu. Kamu bahkan gak pernah menyentuhku. Aku udah sabar ngadepin sikap egois kamu selama tiga bulan ini, aku mohon mas, jangan menikah lagi, atau...." sengaja aku tak melanjutkan kalimatku, menunggu apa reaksi mas Fandy selanjutnya.
"Atau apa?", Ucapnya sambil memicingkan kedua matanya.
"Atau aku Adukan ke ayah dan ibumu", jawabku mantap.
"Kamu jangan macam-macam. Kamu kan tau ibuku sakit jantung. Kamu mau membunuhnya? Kalau sampai kamu ngadu, aku cerein kamu biar jadi janda. Bagus deh, bukannya di kampungmu sana janda itu adalah aib bagi keluarga ya", ucapnya dengan nada sinis dan melipatkan tangannya di dada.
Seketika aku terduduk lesu, aku menunduk dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sangat sakit hati ini mendengar dia mau menikah lagi. Aku sudah belajar mencintainya, menyayanginya, membuka hatiku sepenuhnya untuk dia. Aku menangis sejadi-jadinya di hadapan mas Fandy.
Tapi lihatlah, dia hanya diam saja sambil memulai sarapannya tanpa merasa bersalah sama sekali. Kemudian aku bangkit berdiri dan berlari menuju kamarku. Ku sambar tas kerjaku, jaket, kunci motor, ponsel dan dompetku. Aku keluar rumah mengeluarkan motorku dan melaju ke arah kantor dengan kecepatan tinggi.
Ku usap air mataku ditengah jalan sambil melajukan motor. Sesampainya dikantor, Aku bertemu dengan si nila, teman baru ku di Banyuwangi. Dia orang baik dan selalu terbuka padaku. Aku bersyukur bisa dipertemukan dengan orang sebaik nila untuk kujadikan sahabat. Karna di Banyuwangi ini aku nggak punya saudara ataupun kerabat.
"Nawal, Lo kenapa? Kok mata Lo sembab sih? Laki Lo berulah lagi",
"Nanti aja gua ceritain ke elu, kita makan siang diluar yuk".
"Kemaren Lo biang kerja setengah hari?".
"Iya, ntar habis makan siang, gua pulang Lo bisa balik kantor lagi".
"Ya udah jangan sedih lagi, waktunya kerja kerja kerja. Ayo semangat". Sedikit meredam emosi ku pagi ini karna sikap nila yang begitu pengertian.
🌤️🌤️🌤️🌤️
Siang pun telah tiba, Aku nongkrong di salah satu tempat makan hits di Banyuwangi. Setelah saling memesan makanan dan makanan tiba di mejaku dan nila. Nila memulai percakapan di sela-sela makannya.
"Berondong Lo kenapa lagi?".aku mendesah lelah dan penuh kecewa.
"Dia mau menikahi kekasihnya, Mila". Nila seketika tersedak makanannya sendiri. segera ia meraih minumannya.
"Gila.... laki Lo nggak waras na, trus Lo gimana? Kasi dia ijin?".
"Tadinya sih gua tolak mentah-mentah. Tapi dia langsung bilang mau nyerein gua kalo sampe gua ngadu ke orang tuanya. Ya Akhirnya mau gimana lagi? Aku bisa apa?", Aku kembali nangis nyeritain kejadian tadi pagi.
"Uhh kalo gue mending cere deh daripada dimadu. bikin sakit nih dada tau nggak". aku kembali menghela nafas berat.
"Gua udah mulai menyayangi dan mencintainya Nil. Jadi sebisa gua untuk mempertahankan rumah tangga ini. Mungkin saat ini, dia sedang khilaf aja".
"Waaah parah Lo na. Seorang Nawal mau dimadu. Siap-Siap kurus Lo. Harusnya Lo bisa tegas sama dia. Meski dia suami Lo dan dia kepala keluarga. Tetep aja Lo harus tegas menghadapinya".
"Akan gua pikirin Nil, sementara ini, gua malas ribut sama dia. Jadi biar mengalir apa adanya dulu".
"Lo yang sabar ya na, jangan putus asa. Pasti ada jalan keluarnya. Pasti gua doain yang terbaik buat Lo. Lo juga jangan sungkan-sungkan, kalo butuh bantuan gua Lo hubungi gua. Anggep aja gua keluarga Lo disini".
"Makasih Nil. Lo emang sohib terbaik gua".
"Sama-sama".
Dan pada akhirnya, sesi makan dan curhat pun akhirnya berakhir. Nila kembali ke kantor sedang aku langsung pulang menuju rumah. Setibanya di rumah, mobil mas Fandy ada, motor nya juga ada. Oh bagus lah, dia udah di rumah rupanya.
Aku membuka pintu tanpa mengetuknya, alangkah terkejutnya aku menyaksikan suamiku tengah disuapi anggur merah oleh seorang gadis cantik berhijab. Spontan mereka terkejut dong dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mas Fandy langsung berdiri menarik tangan gadis itu, memperkenalkan gadis itu padaku.
"Nawal, kenalin ini Mila, kekasihku. Calon madu kamu". Aku hanya diam meneliti penampilan wanita yang bernama Mila ini. Sekilas penampilannya tertutup dan cukup syar'i. Tapi entahlah, apakah dia wanita Sholehah? Tapi kalau ia, kenapa dia Mau dinikahi lelaki yang sudah beristri.
"Terus?", Tanyaku menatap datar mas Fandy. Mati-matian aku menyembunyikan tubuhku yang mulai gemetar menahan emosi dan sakit hati.
"Ya kamu kenalan dong. Nanti dia akan tinggal disini setelah aku nikahin dia. Jadi kalian harus rukun dan saling menerima satu sama lain". Jawabnya santai. Ya Tuhan... terbuat dari apa hati suamiku ini?
"Mila kamu bener mau dinikahi Fandy?" Aku udah nggak bisa lagi bersabar. Mas Fandy pun kayaknya kaget, mungkin karna aku nggak manggil dia dengan embel-embel mas lagi. Emosiku sepertinya akan meledak. "Kamu tau, Fandy udah beristri? Kamu fikir orang tua Fandy akan menerima dan merestui pernikahan kalian?, ja..." Kalimatku terputus karna mas Fandy memotongnya.
"Nawal, jaga sikap kamu. Aku nggak mau berdebat sama ka..."
"Kali ini biarin aku yang bicara mas. Tiga bulan mas, selama tiga bulan kamu mengabaikan pernikahan kita aku hanya bisa sabar dan diam. Jadi biarkan aku yang bicara kali ini". Aku menaikkan nada bicaraku. Tatapanku beralih pada gadis berhijab yang menunduk didepanku ini, "Kamu cantik, kamu berhijab, kamu masih muda, kamu bisa dapetin yang lebih baik dari Fandy. Fandy udah beristri jadi jangan mau menjadi orang ketiga dalam pernikahan kami. Aku mohon".
"Nawal cukup. Jangan jadi durhaka kamu sama suami. Yang jadi orang ke tiga itu kamu".
"Lakukan apapun yang kamu mau mas. Aku lelah". Jawabku sambil berlalu menuju kamar. Ku banting pintu kamarku dengan keras memberi tau suamiku, aku sangat marah saat ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!