NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Tetangga Tampan

Bab 1 Kembalinya Cinta Pertama

"Ara... I Love You..." bisik Axel pelan, kemudian ia setengah menunduk, mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah Kiara.

Kiara mundur selangkah, "A-pa yang kamu lakukan Axel..." ucapnya lirih, napasnya tercekat, jemarinya meremas ujung bajunya dengan erat.

Axel maju lagi selangkah, kali ini ia mengapit Kiara di sudut dinding sekolah. Tangannya mencengkeram dagu gadis itu, "Ara... kenapa menghindar? Ayo kita lakukan sekarang," bisiknya lagi, suara beratnya membuat Kiara makin memanas, jantungnya terus berpacu tak karuan.

Kiara terus mengerjap, "Axel... kita masih sekolah, ini... tidak benar," ucapnya terbata, sambil menopang dada Axel yang hampir menghimpit tubuh kecilnya.

Axel menatap lekat wajah Kiara, sudut bibirnya terus terangkat samar. "Aku ingin sekarang," tegasnya terus mendesak gadis polos itu.

Kemudian...

“Kiara! Cepat Bangun!” teriak Desy, ibunda Kiara.

Brak! Teriakan Desy sontak membuat Kiara terjatuh dari kasurnya.

"Akh! Sakit..." lirih gadis itu, masih setengah sadar, jantungnya masih berdebar tak karuan, kemudian matanya menoleh ke sekeliling kamar. "Aishhh, sial! Cuma mimpi," gerutunya kesal, adegan romantis itu hanya sebuah mimpi belaka.

Tak merespon bundanya, Kiara malah kembali naik lalu menggeliat malas di atas kasur. Tak menghiraukan Bundanya yang sudah mereog sejak pagi buta.

Tok, tok,

“Ara... bangun, Nak.” Panggil Adam, ayahnya, dengan suara lembut.

“Hmm... iya ayah, Kiara bangun.” Sahutnya setengah sadar, lalu berguling malas. “Sudah pagi? Cepat sekali” gumamnya.

Akhirnya ia duduk, melangkah ke jendela lalu membukanya. Udara segar bercampur hangat matahari menerpa wajahnya, sejenak ia menikmatinya.

Matanya tertuju ke rumah sebelah. Di jendela yang berhadapan langsung dengan kamarnya, tante Widia tampak sibuk merenovasi kamar putranya tak lain ialah Axel.

“Tumben, sudah lama aku tidak melihat jendela itu terbuka,” gumamnya, seolah ada rasa rindu yang tak ia akui.

Kiara keluar kamar, saat menuruni tangga ia langsung di sambut oleh omelan bundanya.

“Kamu ini, sudah jam berapa? Anak gadis jam segini baru bangun!” gerutu Desy setelah melihat anak gadisnya bermalas-malasan.

“Ini hari minggu Bunda...” sahut Kiara, dengan irama panjang, sambil menyeret langkahnya yang berat menuju ke kamar mandi.

Setelah membasuh wajah, Ia langsung duduk di meja, bersiap untuk sarapan.

"Kamu tidak mandi?!" seru Desy dengan alis terangkat.

Kiara memutar bola matanya, "Nanti Bunda, malas!" jawabnya singkat, tangannya langsung menyendok telor dadar.

"Dasar kamu ini, huh!" omel Desy sambil menghela napas, sudah muak mengomeli putrinya.

kiara tak menghiraukan desisan Bundanya, ia tetap mengunyah telor dadarnya dengan tenang. “Bunda, aku lihat tante Widia sedang merenovasi kamar Axel. Tumben,” ucapnya penasaran sejak tadi.

“Kamu belum tahu? Axel pulang hari ini” jawab Desy singkat, sambil sibuk mengelap kompor usai masak.

Kiara terbelalak, “Hah?!” serunya kaget, bola matanya hampir keluar.

Adam yang duduk di samping Kiara, memiringkan kepala lalu menatap heran putrinya. “Kenapa kamu kaget? Axel tidak mengabari, kalau mau pulang?” tanyanya.

Kiara menunduk sejenak, “Oh, sejak dia pergi kami tidak pernah berhubungan,” jawabnya datar.

“Kenapa? Bunda pikir kalian masih dekat” komentar Desy, seolah tak percaya dengan ucapan putrinya.

Kiara melirik Desy, lalu mengalihkan pandangannya ke Adam, kemudian menundukan kepala. “Entahlah... dia yang memutuskan hubungan.”

Desy dan Adam saling pandang, lalu tak lagi berkomentar.

****

Hari ini adalah hari minggu, tidak ada kegiatan apapun. Selama libur, Kiara menghabiskan waktu untuk menonton dan membaca novel.

Kiara adalah gadis yang ceria, cantik, baik hati dan tidak sombong. Kekurangannya hanya satu, meski terlahir di keluarga berada bahkan kedua orang tuanya adalah seorang Dokter. Dia... tidak suka belajar, ia menduduki bangku kelas 3 SMA saat ini.

Kiara berbaring di kasurnya, tiba-tiba nama Axel terlintas di benaknya. Dia kembali? Kenapa tiba-tiba? Kukira dia akan menua di London. pikirnya masih seputar Axel.

Tak terasa waktu berputar cepat, hari sudah siang. Namun Kiara masih asyik sendiri di kamarnya.

“Kiara! Cepat turun!” seru Desy dari luar, memanggil putrinya yang sudah bersemedi sejak pagi di dalam kamarnya.

Kiara reflek menoleh, mendengar teriakan sang ibunda ratu penguasa rumah. “Iya Bunda!” sahutnya malas, tapi akhirnya beranjak keluar.

Di depan gerbang, Desy dan Adam berdiri rapi, mereka tampak antusias seperti menunggu kedatangan seseorang.

“Sini!” Desy mengangkat tangan meminta Kiara mendekat.

Kiara mengangkat alisnya heran. “Ada apa sih? Antusias sekali, seperti menyambut pembagian bansos!” gerutunya, namun tetap melangkah maju mendekati bundanya.

Akhirnya ia ikut bergabung dengan Ayah dan Bundanya, tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah tante Widia. Dari dalam, keluar seorang pemuda tinggi, tegap, hidung mancung, berkulit bersih namun tetap terlihat maco. Mengenakan kemeja hitam pas badan, kacamata hitam menutupi matanya, namun aura percaya dirinya jelas terpancar.

Kiara terpaku. “Siapa dia? Sangat tampan!” bisiknya, mulutnya terbuka melongo melihat ketampanan seorang pemuda yang tampak asing baginya.

“Putraku...” sambut Widia, memeluk pemuda itu.

Kiara melotot. “Hah?!” ucapnya spontan bersembunyi di balik punggung Ayahnya. “Dia putra tante Widia? Axel?” batinnya tercekat, masih mencoba mencerna kenyataan.

Widia berbalik menoleh ke arah rumah Kiara, yang disana sudah ada sepasang suami istri berdiri dengan wajah berbinar. “Beri salam dulu sama tante Desy dan om Adam, mereka sengaja keluar menyambut kamu datang,” titah Widia ke putranya.

Axel mengangguk dan tersenyum tipis.

“Wah, Axel sudah besar ya? Semakin tampan!” puji Desy, sambil senyam-senyum seolah menyambut calon mantunya.

Axel mengangguk lagi, "Makasih tante" sahutnya, sudut bibirnya terangkat tipis.

Widia melayangkan pandangannya mengamati sekitar, seolah mencari-cari seseorang. “Dimana Kiara?” tanyanya menatap Desy.

Desy mengangkat alisnya. "Ara?..." kemudian reflek menoleh ke belakang suaminya, “Kiara, cepat di tunggu Axel itu,” perintahnya pelan.

Kiara menggeleng cepat, alih-alih menyapa ia malah lari kedalam rumah.

Widia memiringkan kepalanya, menatap heran tingkah Kiara. “Ada apa dengan Kiara?”

Desy mengerjap cepat, “Ah, mungkin dia sedang darurat,” sanggahnya setengah tertawa.

“Oh... dia kabur ke kamar mandi?” timpal Widia, ikut tertawa.

Axel menatap tajam ke arah jendela kamar Kiara, sudut bibirnya setengah terangkat. Dia... masih belum berubah. batinnya, melihat gadis yang di kenalnya dulu, hingga kini masih saja bertingkah konyol.

Di kamarnya, Kiara berdiri mematung. Jantungnya berpacu, wajahnya terasa panas. “Itu... Axel?” suaranya nyaris tak terdengar.

"Dia... benar-benar kembali?" gumamnya seolah tak percaya, Cinta pertamanya kembali pulang.

Empat tahun lalu, saat menduduki kelas 1 SMP. Axel memutuskan pindah sekolah keluar negeri secara tiba-tiba, tanpa berpamitan, ia meninggalkan teman sekaligus tetangga sebelah rumahnya itu begitu saja. Bahkan sampai sekarang Kiara masih tak mengerti alasannya pergi dengan tergesa, dan memutuskan hubungan yang sudah terjalin sejak kelas 1 SD.

Hari demi hari Kiara menjalaninya dengan berat hati, bagaimana tidak? Axel adalah cinta pertamanya, ia belum sempat menyampaikan isi hatinya kepada pria idamannya itu. Sempat kecewa, namun rasa suka dan cintanya terhadap Axel mengalahkan segala ego yang terus menyuruhnya berhenti memikirkan pria itu.

"Axel..." gumamnya, langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. Gadis itu terus menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, berulang kali.

...****************...

Bersambung...

Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...

Jangan Lupa Like, Vote dan Coment!

Salam Hangat Dari Author,🥰🥰

Bab 2 Canggung Di Antara Kerinduan

“Kami masuk dulu ya mba Desy,” ujar Widia, sambil menggandeng putranya.

Desy mengangguk cepat, “Iya, silakan. Axel juga pasti lelah,” sahutnya mempersilakan.

“Mari Om, Tante,” ucap Axel singkat, namun tetap menyiratkan kesopanan.

Saat masuk kerumah, betapa terkejutnya Axel disambut oleh foto Kiara yang terpampang segede gaban di ruang tamu rumahnya.

“Astaga!” ujarnya kaget, matanya terbelalak.

“Kenapa sayang?” tanya Widia, menatap wajah putranya yang ternganga.

Axel mengangkat alisnya, “Apa ini, Ma?” tanyanya dengan wajah bingung, menunjuk foto Kiara.

Widia tertawa kecil. “Ini Kiara, manis bukan?” jawabnya bangga memuji anak tetangganya.

Axel memiringkan kepalanya, menatap lekat foto yang sebesar banner terpampang di dinding rumahnya. “Kenapa ada foto Kiara dirumah kita?” tanyanya heran.

Widia mendekati foto itu, mengelusnya dengan lembut. “Fotonya bagus, lihat, Kiara sangat Manis difoto. Mama suka, jadi Mama cetak saja,” jawabnya santai, sambil tersenyum lebar.

Axel menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan sikap ibunya. Ia lalu melangkah maju dan membuka lemari sendal, matanya membelalak lagi. "Astaga, apalagi ini?" gumamnya mengerutkan kening, melihat seisi lemari hanya di penuhi dengan sendal wanita.

Sendal berbentuk Hiu, Kodok dan lainya, berjejer rapi di sana. Semuanya tampak tersenyum seolah menyambut kepulangan Axel.

“Ma!...”

Widia yang sedang menyusun barang bawaan putranya, sontak menoleh mendengar suara Axel. “Iya. Nak,” sahutnya buru-buru mendekat. Begitu tiba, ia malah tertawa, kemudian berkata: “Ini sendal-sendal Kiara, kamu pakai sendal Papa saja dulu. Besok Mama belikan.”

Axel mengangkat alisnya, mendengar ucapan ibunya. “Kenapa banyak sekali sendal Kiara?” cetusnya heran, “Apa dia anak SD? Kenapa selera sendalnya seperti ini.”

Widia langsung membungkam mulut Axel, “Hus, jangan bicara seperti itu” potongnya cepat, melarang putranya mengolok-olok Kiara.

Axel memutar bola matanya. “Huhh...” ia hanya bisa menghela napas berat.

Widia langsung menarik tangan Axel, menuntunnya untuk segera naik ke lantai atas. “Sana kekamar dulu, Mama siapkan makan.”

Masih dengan wajahnya shocknya, Axel menyeret langkahnya menuju kamar. “Iya Ma,” jawabnya singkat.

****

Sementara itu, Dirumah sebelah. Kiara tampak masih tercengang seolah tak percaya.

Dia duduk mematung diranjangnya, “Dia... benar Axel, kan?” gumamnya masih belum yakin.

Matanya tiba-tiba berbinar, sudut bibirnya terangkat, senyum lebar muncul di wajahnya. “Kenapa semakin tampan! Aaa...” rengeknya merebahkan diri kekasurnya.

“Cinta pertamaku... kembali?” bisiknya malu, wajahnya memerah.

Ia terbangun tiba-tiba, “Tapi... tatapan apa itu tadi? Dia menatap dingin kearahku, dia tidak mengenaliku?”

Kiara langsung bediri di depan cermin, “Memang wajar kalau dia pangling, yang dulunya gendut! Kini, aku sudah tumbuh jadi gadis yang cantik,” ujarnya bangga, memuji diri sendiri.

Senyum merekah diwajahnya, meski ia berubah karena sudah tak gendut lagi, tapi perasaannya masih sama, ia masih memuja Axel di hatinya. Kiara merasa senang bertemu kembali dengan cinta pertamanya.

****

Namun, berbeda dengan Axel. Ia terlihat sangat berubah, anak laki-laki yang dahulu ceria. Kini sorot matanya tampak dingin dan tak banyak bicara.

Malam harinya. Di kamarnya, Axel berbaring di atas ranjang. Ia menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya, “Akhirnya aku pulang, tapi kenapa aku merasa hampa?” gumamnya pelan, tak mengerti akan perasaannya yang tak menentu.

Ia duduk, lalu melangkah ke arah jendela dan membukanya, matanya langsung tertuju ke jendela kamar Kiara, ia menatap lekat “Jendela itu... masih sama.”

Tiba-tiba kedua pasang matanya menangkap sosok Kiara yang mendekat ke jendela, Axel buru-buru menutup jendela lamarnya. Napasnya memburu, jantungnya deg-degan, ia duduk dibawah jendela.

“Kenapa aku sembunyi?” gumamnya sambil memiringkan kepala.

“Axel! Turun Nak, Makannya sudah siap!” suara Widia memanggil dari lantai bawah.

Axel sontak mengangkat wajahnya. “Iya Ma,” sahutnya masih gemetar, lalu melangkah pelan keluar dari kamar.

Dimeja makan, Widia sudah menyiapkan banyak menu hidangan.

Axel mengangkat alisnya lagi. “Banyak sekali menunya, Kita hanya makan berdua,” ucapnya heran, melihat meja makan di penuhi oleh menu hidangan.

“Benarkan, terlalu banyak. Jadi Mama mengundang Kiara dan orang tuanya untuk makan bersama.”

“Hah?!”

“Kenapa? Apa kamu tidak merindukan Kiara?” tanya Widia menatap lekat wajah putranya.

Axel menggaruk tengkuknya, “Aku...”

“Kamu lihat tadi, dia kabur saat melihatmu. Lucu sekali,” ujar Widia terkekeh, mengingat tingkah konyol Kiara siang tadi.

Tok, tok,

“Itu, pasti mereka. Tolong bukakan pintunya,” titah Widia, sambil menyusun piring-piring di atas meja.

Axel melangkah ke arah pintu.

“Om, Tante, silakan masuk,” ujarnya menyapa Adam dan Desy.

“Terima kasih, Nak,” balas Adam sambil menepuk bahu Axel.

Mata Axel langsung tertuju pada Kiara yang berdiri di belakang Adam, Dia... berbeda, dimana pipi bakpaonya yang dulu? batinnya heran melihat Kiara yang sudah sangat berubah.

Kiara menunduk malu, wajahnya tampak merona. Kenapa dia terus menatapku? Jantungku bisa-bisa meledak ini. gumam hatinya, tangannya terus meremas ujung bajunya.

“Masuk mba Desy, mas Adam... aaa Kiara sayang,” sambut Widia senang, menghampiri mereka.

Kiara mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk tak berani menatap Axel. “Tante...” balasnya, memeluk Widia.

****

Axel dan Kiara duduk berhadapan, Kiara diam-diam mencuri pandang. Matanya terus tertuju pada pria tampan di depanya, Kenapa dia jadi pendiam? Dimana Axel yang dahulu ceria? batinnya bertanya-tanya.

Sementara Axel tampak merasa tak nyaman, tangannya terus meremas lututnya, sesekali melirik Kiara. Namun dengan cepat juga ia mengalihkan pandanganya. Kenapa sangat canggung, aku... harus bagaimana? pikirnya gelisah.

“Ada apa dengan kalian? Canggung sekali” tanya Desy, yang menyadari gerak-gerik keduanya.

“Iya, Kiara... kenapa jadi pendiam?” timpal Widia.

“Wajar, mereka sudah lama tidak bertemu. Mungkin malu-malu,” sahut Adam, sambil tertawa kecil.

“Benarkah? Emm... kalian berdua masih saja menggemaskan,” ujar Widia sambil tertawa.

Kiara mendongak dengan cepat, "Oh, nggak tante. Kiara... anu," jawabnya kikuk, tak tahu harus bilang apa.

Kiara menunduk lagi, memejamkan matanya sejenak. Rasa canggung membuatnya salah tingkah, jantungnya masih terus berdebar.

Para orang tua terlihat asyik bernostalgia, mengingat dan bercerita tentang masa kecil Axel dan Kiara. Sementara anak-anak terlihat kikuk dan sesekali tersenyum kaku.

Canda dan tawa terdengar seru malam itu, semua orang tampak gembira menikmati makan malam bersama, kecuali Axel.

Ia terdiam menatap lurus piringnya, lalu menoleh ke arah kursi kosong di sebelahnya. Papa... benar-benar tidak datang? pikirnya gusar.

Kiara yang duduk di seberangnya, menyadari raut wajah Axel yang tampak murung. Berniat mencairkan suasana, ia langsung menyodorkan botol berisi jus. “Axel, mau minum jus?” ucapnya dengan wajah berbinar.

Axel mengangkat wajahnya, menatap Kiara sejenak. “Tidak perlu,” jawabnya datar hanya menggeleng pelan.

“Oh,” Kiara langsung duduk, dan menarik kembali botolnya.

Ucapanya... dingin sekali. Pikirnya sedih, pelupuk matanya memerah.

“Kiara, tante mau dong jusnya” ujar Widia langsung menyodorkan gelas kosong di tangannya.

“Oh iya, tante. Silakan” jawab Kiara, menyerahkan botolnya.

Namun, tangannya yang gemetar tidak memegang botol dengan erat. Alhasil botolnya tumpah ke arah Axel.

Tumpahan jus menyadarkan lamunan pemuda itu, Axel sontak berdiri “Astaga!” ujarnya kaget. Ia menatap tajam Kiara, rahangnya mengeras. “Apa yang kamu lakukan?!"

Kiara membelalak, menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Maaf, aku tidak sengaja Axel,” sahutnya panik, lalu mendekat menyeka baju Axel.

Axel menahan napas, rahangnya menegang, setiap helaan napas terasa seperti api yang membara di dalam dada. “Apa kamu bodoh?!” bentaknya lantang, di depan Kiara.

Semua orang terkejut, Adam bangkit dari duduknya “Apa yang terjadi?” tanyanya menatap tajam ke arah pemuda yang tengah di liputi oleh amarah.

Kiara langsung tertunduk diam, kemudian mendongak pelan. Kamu bodoh... kalimat dan suara lantang Axel menggema di telinganya.

Matanya memerah, air matanya tak tertahan lagi. “Aku... tidak sengaja Axel... Maaf,” lirihnya, sambil mengusap pipi, lalu berlari keluar.

"Kiara..." panggil Desy, lalu mengejarnya.

Widia juga bangkit dari kursinya, tangannya masih memegang sendok dengan erat. "Axel! Apa-apaan kamu ini?!" bentaknya, memarahi putranya.

Axel menunduk dan terdiam sejenak. Tak lama, ia kembali mengangkat wajahnya. “Maaf Om, Axel berlebihan,” ujarnya pelan menatap Adam, kemudian langsung melangkah cepat ke kamarnya.

“Axel!!” teriak Widia. Namun putranya sama sekali tak menghiraukan.

Widia menoleh ke arah Adam yang terlihat menahan amarah tak terima putrinya di bentak. “Maaf sekali mas Adam, Axel tidak biasanya seperti itu. Saya juga tidak tahu, kenapa dia menjadi kasar,” jelas Widia, suaranya bergetar.

“Yaudah Wid, saya pamit dulu,” ujar Adam, melangkah keluar dari rumah itu.

Makan malam bersama Axel, yang seharusnya hangat dan menyenangkan pikir Kiara, malam itu malah menjadi makan malam yang menyakitkan baginya. Kalimat ‘Kamu Bodoh’ yang di lontarkan Axel dengan suara lantangnya. Mampu menghancurkan dinding yang selama ini ia bangun dengan kokoh di hatinya.

...****************...

Bersambung...

Mohon Dukungannya teman-teman sekalian...

Salam hangat dari Author, 🥰🥰

 

 

Bab 3 Debaran Pagi Hari

Malam itu, setelah insiden makan malam. Kiara menangis tengkurap di kasurnya, ia merasa sedih dan terluka. Bagaimana tidak? Gadis polos itu di bentak dengan lantang oleh seorang pria dihadapan kedua orang tuanya. Terlebih lagi, pria itu merupakan crush nya selama ini.

“Kenapa Axel jahat?!” isaknya menangis, menutupi wajahnya dengan bantal.

“Ara... kamu nggak apa-apa?” tanya Desy terdengar cemas dari balik pintu kamar.

“Ara, buka pintunya. Nak,” ucap Adam. Suara lembutnya terdengar samar, khawatir akan putrinya.

Kiara menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Ara, nggak apa-apa Bunda. Ara mau istirahat,” jawabnya singkat, lalu kembali tengkurap melanjutkan tangisannya.

Desy dan Adam tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bisa memberi ruang untuk putrinya meluapkan emosi di kamarnya.

“Ada apa dengan Axel dan Kiara? Bukankah dulu mereka sangat dekat? Kenapa Axel sekarang menjadi kasar,” gumam Desy heran, masih belum percaya anak tetangganya itu sudah berubah.

Adam menggaruk tengkuknya, “Entahlah, mungkin Axel perlu beradaptasi lagi. Budaya london dan disini memang beda,” sahutnya pelan, namun sorot matanya menunjukan ketidaksukaannya menyaksikan Axel membentak putrinya.

“Meski begitu, dia tidak seharusnya membentak Ara. Apalagi didepan para orang tua,” imbuh Desy lagi, sambil melangkah membuka pintu kamarnya.

“Kamu tahu sendiri, sejak kecil dia bersekolah diluar negeri tanpa di temani orang tuanya. Aku juga marah, tapi aku memakluminya. Axel masih dalam masa pertumbuhan,” sanggah Adam, menenangkan istrinya.

****

Sementara itu, di rumah sebelah, Widia masih tampak geram pada sikap putranya. Ia duduk dengan kedua tangan bertumpu di meja, menyangga dagunya. Tatapannya menyipit, seolah berusaha menebak-nebak. Ada apa dengan putraku? Jangan-jangan pengaruh pergaulan? pikirnya gelisah.

Widia segera bangkit lalu melangkah menaiki tangga menuju kamar putranya.

Tok, tok,

Ia mendatangi kamar Axel, “Nak, buka pintunya.”

Ceklek! Axel membukakan pintu, “Ada apa Ma?” tanyanya suaranya terdengar berat.

Widia menghela napas, “Mama mau bicara,” ucapnya tajam, sorot matanya tampak menyala di penuhi amarah, namun ia berusaha mengendalikan pikirannya.

Axel menelan ludah, ia terus menundukan kepala. Tahu akan di omeli oleh ibunya. “Oke,” jawabnya singkat, mempersilakan ibunya masuk ke kamar.

Widia masuk dan duduk dikursi belajar Axel, sedangkan Axel duduk ditepi  ranjangnya.

Widia menghela napas lagi, berusaha mengontrol emosinya agar tak keluar kata-kata yang tak baik. “Jelaskan ke Mama, kenapa kamu membentak Kiara?” tanyanya, menatap tajam putranya.

Axel masih menunduk, meremas jemarinya dengan kuat hingga uratnya menegang. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tak terdengar. “Kiara... gadis itu benar-benar ceroboh.”

“Meski begitu, kamu tetap tidak seharusnya membentaknya. Lagipula, Ara sudah minta maaf,” sahut Widia tegas sambil mengangkat alis.

“Iya, Ma. Axel tahu sudah keterlaluan,” lirih Axel, jelas menyadari kesalahannya.

Widia menatap putranya heran. “Kamu sekarang benar-benar berbeda,” ucapnya pelan, "Mama sampai ragu, apakah kamu benar Axel putraku?" bola matanya memerah, cairan bening menetes di pipinya.

Axel mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang tampak terpukul menghadapi perubahan sikapnya. “Ma... maaf,” bisiknya pelan nyaris tenggelam oleh isak tangis Widia.

“Besok, kamu harus minta maaf pada Kiara,” pinta Widia, suaranya bergetar.

“Ma...” protes Axel, tak mau menghadapi Kiara esok harinya.

“Tidak ada tapi, harus!” tegas Widia, kemudian berdiri melangkah keluar dari kamar putranya.

Axel hanya mengangguk pelan, tak berani lagi menatap wajah ibunya yang sudah di penuhi oleh air mata.

****

Keesokan harinya...

Kiara bangun pagi sekali, tumben.

Masih pukul enam pagi, tapi ia sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Gadis itu keluar dari kamar, lalu menuruni tangga demi tangga dengan tergesa.

“Ara, tumben pagi sekali sudah siap?” tanya Adam, yang masih duduk menikmati teh hangat di ruang tengah.

Kiara menghentikan langkah sejenak, menoleh pelan ke arah ayahnya. “Ara ada tugas kelompok, kemarin lupa. Hehe,” jawabnya tersenyum kikuk.

Desy menyela dari belakang. “Kamu sudah baikan?” tanyanya, lalu menatap lekat wajah putrinya.

Kiara mengangguk yakin, “Iya Bunda, Ara baik,” ucapnya berusaha meyakinkan bundanya.

Desy menyipitkan mata, melayangkan pandangan ke sekujur tubuh putrinya.

“Bunda sama Ayah ada tugas pagi di rumah sakit, sorean kamu nyusul aja kesana. Dirumah sepi, takutnya Bunda pulang malam,” ujar Desy, sambil memasukan kotak bekal ke dalam tas Kiara.

Kiara mengangguk cepat, “Iya Bunda, tenang aja. Kiara berangkat sekarang ya,” sergahnya tergesa menuju pintu keluar.

“Sekarang? Nggak sarapan dulu?!” teriak Desy, mencoba menghentikan anak gadisnya itu.

“Nanti aja di sekolah! Bye Ayah, Bunda,” sahut Kiara sudah keluar dari rumah.

“Huh, gadis itu... selalu saja ceroboh, bisanya lupa dengan tugas sekolah,” ucap Desy hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putrinya.

“Sikap cerobohnya, sangat mirip denganmu!” seru Adam yang masih duduk tenang di atas sofa.

Desy mengangkat alis, laku menyeringai menanggapi suaminya.

****

Didepan rumah, Kiara mengendap-endap memeriksa situasi luar.

“Apa Axel sudah bangun? Aku harus cepat lari melewati rumahnya, jangan sampai dia lihat,” ucapnya pelan, melangkah berjinjit berusaha melewati gerbang rumah tetangganya itu.

Sampai didepan gerbang rumah Axel, Kiara mengintip sedikit.

“Apa kamu maling? Kenapa mengintip rumah orang?” suara Axel tiba-tiba, membuat Kiara sontak menjerit.

"Aaaa!...” teriak Kiara kaget, “Apa kamu setan? Kenapa berdiam diri disitu?!”

Axel yang sudah berdiri dibalik gerbang sejak pagi buta, menyadari Kiara mengintipnya. Ia segera membuka gerbang, dengan wajah datar dan suara beratnya, ia menjawab singkat. “Ini rumahku, terserahku mau berdiri dimana saja.”

“Huh!” Kiara menyeringai pahit. “Ya, ya, ini rumahmu. Kamu berhak bersikap sesukamu!” cetusnya, buru-buru memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah pria itu.

Sementara Axel hanya berdiri menatap dengan wajah dinginnya.

Tak mau berdebat panjang, Kiara langsung berbalik dan melangkah meninggalkan Axel. Tapi...

“Aaakk...” teriaknya kaget, tiba-tiba ditarik mundur oleh Axel. Alih-alih tangannya Axel malah meraih ujung tasnya.

“Apasih kamu ini?” protes Kiara, matanya memelototi pria itu.

“Ehem, itu... untuk yang semalam, aku minta maaf,” ucap Axel datar, namun matanya tak mau diam.

Kiara memiringkan kepala, menatap heran tetangganya itu. “Kamu bicara denganku? Helo~ saya disebelah sini pak.”

Axel menghela napas, kemudian tiba-tiba menunduk, mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah gadis itu. “Ara,” bisiknya, kali ini ia menatapnya.

Kiara membelalak, napasnya tercekat. Wajah mereka hanya berjarak 1 senti saja. Ara? batinnya terpaku, tangannya menggenggam erat tali tas yang di gendongnya.

“Soal semalam, aku sudah berlebihan. Maaf,” ucap Axel, suaranya pelan tapi jelas terdengar ketulusannya.

Axel langsung menarik dirinya menjauhi wajah gadis itu, namun Kiara masih terlihat terpaku akan sesuatu.

Hanya satu kalimat, Ara... membuat Kiara terdiam sejenak. Sudah lama ia tak mendengar panggilan itu dari mulut Axel.

“Ara,” panggil Axel lagi.

Kiara mengerjap cepat. “Oh, iya!” serunya buru-buru mengalihkan pandangan.

Axel menegakkan bahunya, menyelipkan tangannya ke saku celana, pandangannya lurus ke depan. “Kenapa pagi-pagi melamun,” ucapnya datar tanpa sedikitpun menoleh pada Kiara.

Kiara menekan ludah, pikiranya kacau gara-gara Axel. “Oh, iya. Yasudah, aku berangkat!” serunya, langsung lari begitu saja.

Axel hanya menatap punggung Kiara yang kian menjauh, gadis itu berlari dengan langkah yang sesekali menyandung sesuatu. “Kenapa dia sangat ceroboh?” ucapnya geleng-geleng kepala.

****

Setelah melewati persimpangan, Kiara berhenti sejenak dan bersender di pepohonan. “Huh! Ada apa denganku?” gumamnya, terengah-engah karena berlari menghindari Axel. “Jantungku... apa dia sakit?” ucapnya sambil menekan dada, merasakan debaran yang tak mau berhenti.

“Semalam aku terluka karenanya, dan pagi ini... aku berdebar hanya mendengar suaranya memanggil namaku. Aku pasti sudah gila!”

Dengan perasaan tak karuan, ia berjalan menuju sekolahnya. Sepanjang jalan pikiranya terus-menerus tentang Axel, ia tersenyum tipis mengingat suara lembut Axel memanggil namanya. Lalu tiba-tiba cemberut mengingat suara Lantangnya saat membentaknya semalam.

“Aku pasti sudah gila...” rengeknya sambil meremas kepala.

...****************...

Bersambung...

Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...

Jangan Lupa Like dan Coment, Untuk Menyemangati penulis.

Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!