NovelToon NovelToon

Sang Pianis Hujan

Chapter 1 : Mantra Bernama Shani

Kopi yang sejak satu jam lalu dipesannya kini telah dingin. Tak ada uap, tak ada rasa yang tersisa selain pahit yang menggantung di permukaan. Namun, Freya tidak menggubris. Seolah waktu tidak berlaku di ruang ini, di pojok jendela Cafe tua yang temaram, tempat ia selalu duduk setiap senja basah datang mengetuk. Pandangan matanya kosong namun dalam. Ia tak benar-benar melihat langit kelabu atau bangunan tua yang berjejer di seberang. Pandangannya menembus segalanya—menyatu dengan melodi pilu dari piano yang dimainkan oleh seorang lelaki tua di luar teras. Nada-nada itu tak sekadar bunyi. Ia seperti luka yang dilagukan. Seperti kesedihan yang menemukan bentuknya dalam suara.

Freya menutup mata. Ia membiarkan suara piano itu membelah pikirannya yang berkabut. Lagu itu, entah mengapa, selalu terasa seolah ditujukan untuknya. Seolah sang pianis mengetahui isi hatinya yang belum sempat dijahit kembali. Mungkin bukan hanya ia yang merasa begitu. Para pengunjung lain pun terdiam dalam damai yang ganjil, terhipnotis oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan anehnya, sang pianis itu hanya datang saat hujan. Seolah hujan dan dirinya terikat oleh takdir yang tak kasat mata.

Orang-orang menyebutnya Sang Pianis Hujan, dan tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Ia seperti sosok dari dunia lain yang hanya hadir ketika langit menangis. Dan entah mengapa, setiap kali Freya mendengar alunan pianonya, sesuatu dalam dirinya seperti terbuka—sebuah ruang kecil yang menyimpan tanya-tanya tak berjawab tentang cinta, kesendirian, dan dunia yang seolah berjalan mundur ketika kita mencoba mengerti arti kehilangan.

Dalam ruang sunyi itulah kisah ini dimulai. Dari seorang gadis bernama Freyanashifa Arunika, yang tidak sedang menunggu siapa pun—tapi justru sedang ditemukan oleh sesuatu yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Sesuatu yang akan menuntunnya melintasi batas antara kenyataan dan keajaiban. Sebuah nada yang jatuh bersama hujan, dan membawa takdir di balik tiap ketukannya. Karena kadang, kisah cinta tidak dimulai dengan pertemuan... tapi dengan kehampaan yang tiba-tiba diisi oleh musik.

......***......

"Jadi begitulah, asal usul dari 7 misteri yang ada di sekolah ini…" ucap Zee, suaranya merendah di akhir kalimat seolah ingin membangkitkan suasana mencekam.

"Hei, bukankah itu hanya sebuah mitos…" balas Ashel, nada suaranya mencampurkan rasa ragu dan geli.

"Ya, aku pernah kembali ke sekolah pada saat malam hari, dan aku tidak menemukan apa pun," timpal Adel, dengan ekspresi datar seperti ingin menegaskan bahwa ia tak percaya pada hal-hal semacam itu.

"Itu bukan mitos, tapi urban legend. Misteri yang belum terpecahkan di sekolah kita…" Zee tetap bersikukuh pada pendapatnya, matanya bersinar aneh seolah ia menikmati ketegangan yang ia ciptakan sendiri.

Sementara itu, Freya mengalihkan sebentar pandangannya dari novel yang sedang ia baca ke arah teman-temannya di bangku lain. Mereka tampak asyik dengan cerita horor yang sedang dibawakan Zee. Bibir Freya terangkat tipis, bukan karena tertarik, tapi lebih kepada sebuah jeda dari dunianya sendiri yang begitu sunyi. Ia menghela napas pelan, dan di udara yang dingin, uap dari napasnya terlihat melayang perlahan seperti roh yang tersesat. Ia kembali membalik halaman novelnya, namun suara gemuruh guntur dari langit membuatnya menoleh ke arah jendela. Hari ini cerah berawan. Warna langit biru tampak pekat, meski awan-awan kapas menggantung bimbang. Freya menatap langit seperti sedang membaca sesuatu di antara jeda petir dan awan—sebuah pertanda, mungkin. Atau hanya kebiasaan melankolis seorang gadis yang terlalu akrab dengan kesepian.

Mereka sibuk membahas misteri yang katanya menakutkan, tapi bagi Freya, misteri paling menakutkan justru adalah dirinya sendiri. Ia tak butuh hantu untuk merasa gentar—ia cukup menatap bayangannya di cermin. Karena di balik tatapan tenangnya, ada keretakan kecil yang tak bisa dilihat siapa pun. Hidupnya bukan tentang tujuh misteri, melainkan satu kesunyian panjang yang tak pernah selesai dijelaskan. Kadang ia merasa seperti novel yang tengah ia baca—halaman demi halaman dibalik, tapi tak pernah benar-benar dipahami.

Dan saat kilat menyambar jauh di balik awan, Freya bertanya dalam hati, Apakah manusia seperti dirinya juga termasuk dalam legenda yang tak pernah berhasil dipecahkan? Atau hanya jejak samar yang perlahan dilupakan waktu?

Ia memejamkan mata sejenak. Di balik kelopak matanya, dunia terasa lebih sunyi… dan lebih jujur. 'Andai aku punya pacar…' Batinnya mulai berbicara, mengisi ruang kosong dalam dirinya yang tak pernah benar-benar sunyi. Kata-kata itu tak pernah ia ucapkan lantang. Hanya bergema dalam hatinya yang terdalam—di tempat di mana kesepian tak pernah meminta izin untuk tinggal.

Ya, sampai sekarang Freya masih sendiri. Bukan karena tak ada yang mendekat, bukan karena tak ada yang mencoba. Tapi karena ia sendiri yang menciptakan jarak. Satu, dua, bahkan lima orang telah menyatakan cinta kepadanya jauh-jauh hari, beberapa dengan bunga, beberapa dengan puisi, dan ada pula yang hanya lewat pandangan penuh harap. Namun, semuanya berakhir dengan senyum sopan dan penolakan yang tenang.

Bukan tanpa alasan Freya menolak mereka. Baginya, cinta tidak bisa dipaksakan oleh waktu, tidak bisa diatur oleh logika, atau didefinisikan dengan status.

Cinta sejati, pikir Freya, adalah hal yang tak berwujud namun terasa lebih nyata dari apapun. Ia tak terukur oleh hadiah, tak terbeli oleh janji manis, dan tak bisa dibayar dengan perhatian yang setengah hati. Cinta adalah rasa yang muncul ketika seseorang tidak lagi mencari, tapi malah menemukan. Namun hingga kini, Freya merasa belum benar-benar menemukannya. Entah karena dia yang terlalu selektif, atau karena takdir memang belum sampai pada titik itu. Mungkin, pikir Freya, cinta sejati itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Kau tidak pernah tahu kapan datangnya, tapi ketika ia tiba, kau tahu… inilah waktunya.

Kelas yang semula tenang, dihiasi hanya oleh detak jam dinding dan desah pelan angin dari jendela yang terbuka setengah, tiba-tiba berubah ramai. Suara tangis terdengar pelan, lalu makin jelas. Seorang gadis dibantu berjalan oleh dua temannya. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan langkahnya limbung. Tangisnya tidak meledak, tapi lirih—seperti rintik hujan yang jatuh di sore yang pilu. Freya hanya menoleh, sekilas. Tak ada niat untuk menghampiri. Ia sudah cukup paham bahwa tidak semua duka perlu disambut dengan pelukan. Kadang, beberapa orang hanya butuh diam dan udara untuk tenang.

Gadis itu, Gracia, duduk di bangkunya dengan bantuan teman-temannya. Kepalanya tertunduk, bahunya naik-turun menahan isak. Kelompok Zee yang sejak tadi asyik berceloteh horor, langsung beralih haluan. Mereka mengerumuni Gracia dengan pertanyaan dan gumaman keheranan.

"Gracia kenapa?" tanya Zee, nadanya sedikit bersemangat.

"Biasa, dia habis ditolak sama Shani…" jawab Feni cepat, tanpa banyak drama.

"Oh, si ganteng peringkat satu itu…" timpal Adel, dengan nada sedikit menyindir namun tetap penasaran.

Freya menutup novelnya perlahan. Bukannya tidak tertarik, tapi dia tahu akhir dari kisah ini. Cinta yang tidak dibalas, luka yang tidak kasat mata. Dunia remaja selalu sibuk mencintai mereka yang tak peduli, dan mengabaikan mereka yang diam-diam peduli. Ia menghela napas. Di luar, awan mulai menebal, menutup langit biru yang tadi sempat menyapa. Seperti hati Gracia yang kini ditutup kecewa, dan seperti hatinya sendiri—yang lama-lama terbiasa menjadi sunyi. Karena kadang, lebih mudah mengobati luka dari penolakan... daripada membiarkan diri berharap pada sesuatu yang tak pernah nyata. Freya memundurkan sedikit kursinya, kemudian beranjak berjalan keluar kelas.

"Mau ke mana, Fre?" tanya Zee.

Freya menoleh sebentar. "Toilet..." ucapnya pelan.

"Bareng, deh." Zee ikut beranjak dari duduknya. Kedua gadis tersebut sama-sama meninggalkan suasana kelas yang mulai mereda.

...***...

Selesai dengan kegiatannya, Freya dan Zee keluar dari bilik kloset. Freya mencuci tangannya, lalu merapikan anak rambut di depan kaca wastafel. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata—seperti selembar puisi yang belum selesai ditulis.

"Fre, gak mau nyoba nembak si Shani juga?" tanya Zee. Ia sudah berada di samping Freya, ikut merapikan dirinya. Nada suaranya dibuat santai, tapi ada kegelisahan samar di ujungnya—seolah tahu bahwa pertanyaan itu lebih berat dari yang terdengar.

Freya diam sejenak, menatap pantulan dirinya. "Gadis secantik Gracia saja ditolak, apalagi aku..." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, tanpa menoleh.

"Siapa tahu dia sukanya dengan gadis sepertimu. Suka baca buku, nggak suka clubbing, sering ke perpus, jago bikin puisi, dan... jago menyanyi," timpal Zee, mencoba terdengar optimis.

Freya tertawa kecil. Tawa yang hambar. Bukan karena lucu, tapi karena ia lelah membohongi dirinya sendiri. "Nggak tahu. Lihat nanti aja..." balas Freya.

Dalam hati, ia menatap dirinya sendiri. Banyak hal yang tidak pernah ia katakan kepada siapa pun. Tentang rasa sepi yang menempel di punggungnya seperti bayangan. Tentang Shani yang selalu ia perhatikan dari jauh—seperti bintang yang terlalu tinggi untuk digapai, tapi terlalu terang untuk diabaikan. Ia selalu berpikir, perasaan seperti ini bukan untuk diumbar. Karena di dunia ini, orang yang mencintai diam-diam adalah orang yang paling sering menanggung luka sendirian. Diam-diam berharap. Diam-diam patah. Dan Freya tahu, ada cinta yang tumbuh tidak untuk dimiliki, tapi untuk dikenang. Untuk diam-diam membuat puisi yang tidak pernah selesai. Untuk menyanyikan lagu yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, di dalam kepalanya, sebelum tidur.

"Shani..." gumamnya, hampir tidak terdengar. Namanya seperti mantra. Mengisi kekosongan tanpa perlu kehadiran.

Zee menoleh, "Apa, Fre?"

Freya tersenyum tipis. "Nggak, cuma ngomong sendiri."

Zee hanya mengangguk, lalu menarik tangan Freya agar berjalan kembali ke kelas. Tapi bagi Freya, perjalanan menuju kelas terasa lebih seperti kembali ke kenyataan—tempat di mana ia harus kembali menutupi semuanya dengan tawa, dengan acuh, dan dengan pura-pura tidak peduli.

Chapter 2 : Ketika Angin Menyimpan Nama

Lorong sekolah siang itu dipenuhi suara langkah kaki, tawa, dan obrolan ringan para siswa yang baru saja keluar dari kelas. Cahaya matahari menembus jendela panjang di sisi kanan lorong, memantul di lantai keramik dan menciptakan kilau hangat yang kontras dengan udara dingin dari pendingin ruangan yang samar terdengar di langit-langit. Freya dan Zee berjalan berdampingan, menyusuri lorong itu dengan langkah pelan, seolah enggan terlalu cepat sampai ke kelas.

"Aku tuh pernah mikir, kalau semua orang di dunia ini punya satu rahasia kecil yang nggak bakal pernah bisa diceritain ke siapa pun," kata Zee, tiba-tiba saja, sembari memperhatikan seorang anak laki-laki berlari sambil tertawa bersama temannya. Mereka lewat di depan dua gadis itu, meninggalkan gema kebahagiaan yang menggantung di udara.

Freya tersenyum, ringan, lalu melirik temannya dari sudut mata. "Kalau begitu dunia ini isinya kumpulan rahasia yang saling jalan berdampingan?"

Zee mengangguk. "Dan kita cuma bisa nebak-nebak... kayak, siapa yang diam-diam suka siapa. Siapa yang suka menangis sebelum tidur. Atau... siapa yang lagi berusaha keras untuk kelihatan baik-baik saja."

Tawa pelan keluar dari mulut Freya, tulus tapi getir. "Kau sangat filosofis, Zee."

"Ya kali nggak. Masa hidup di SMA cuma buat mikirin PR sama ujian doang?"

Mereka tertawa bersama. Tawa yang tidak lepas, tapi cukup hangat untuk mengisi ruang kosong di antara mereka. Di sekitar mereka, anak-anak lain juga tertawa. Ada yang bercanda sambil bersandar di loker, ada yang sibuk mengobrol tentang rencana jalan-jalan akhir pekan. Suasana seperti itu seringkali dianggap biasa saja oleh kebanyakan orang. Tapi bagi Freya, suasana seperti ini-di mana waktu seakan berjalan pelan, dan semua orang tampak hidup dalam kebahagiaan singkat-adalah momen langka yang layak disimpan dalam ingatan. Seperti potongan film yang diam-diam ia simpan dalam folder kenangan.

Zee, masih dengan gaya santainya, menatap sekeliling lalu berbisik, "Kadang aku mikir, orang-orang yang ketawa keras di lorong ini, mungkin sebenarnya lagi berusaha nutupin sesuatu juga, ya?"

Freya menoleh perlahan, menatap wajah Zee yang kini tidak lagi bercanda. Ada kedewasaan kecil di balik matanya-matang oleh perasaan yang tidak banyak orang sadar.

"Mungkin," balas Freya pelan, "tapi aku senang mereka masih bisa tertawa."

Lorong terus mereka susuri. Bunyi langkah kaki mereka menyatu dengan suara sepatu anak-anak lain, saling bertaut. Sebuah kelompok siswa duduk di lantai dekat tangga, tertawa keras saat salah satu dari mereka mencoba menirukan gaya guru olahraga yang galak. Ada dua siswa perempuan yang sedang selfie dengan gaya lebay, sambil tertawa ngakak hingga terguling di dinding. Dan ada sepasang kekasih yang duduk tenang di ujung lorong, berbicara pelan dan sesekali saling pandang dengan mata yang berbinar.

"Kadang aku iri dengan mereka," gumam Freya, suaranya nyaris tenggelam di antara hiruk pikuk.

Zee melirik. "Pada siapa?"

"Pada mereka yang bisa tertawa tanpa takut... mencintai tanpa ragu..."

Zee tidak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam lengan Freya, ringan tapi hangat. "Kalau waktunya udah pas, kamu juga bakal tertawa kayak mereka. Mungkin malah lebih keras dari siapa pun." Freya menatap sahabatnya itu dengan senyum kecil. Langkah Freya melambat saat mendekati lapangan sekolah.

Angin siang itu seolah menciptakan suasana melankolis, selayaknya dalam novel telenovela. Ada aroma sunyi yang berhembus. Pandangan Freya terpaku, ketika sosok Shani berjalan di pinggir lapangan. Satu dari jutaan manusia yang bisa menyihirnya-bukan dengan mantra, tapi dengan pesonanya.

Shani merupakan seorang pemuda perfeksionis. Dia tenang, pintar, elegan, dan juga terkadang filosofis. Cara bicaranya sering membuat orang terdiam, bukan karena bingung, tapi karena tiba-tiba ingin memahami hidup lebih dalam. Pemuda itu berjalan santai di sisi lapangan, langkah-langkahnya seolah tidak menyentuh tanah, namun mengalun seperti alur lagu yang lembut. Matanya mendongak ke atas, tapi bukan untuk menatap langit yang biru berawan, melainkan memperhatikan pepohonan rimbun yang tumbuh di sekitar lapangan. Dedaunan yang melambai ditiup angin. Ketika daun-daun berguguran satu per satu, suasana seolah menjadi sebuah film yang diberi efek slow motion-indah, melankolis, dan sinematik. Sebuah momen yang tak ingin dipercepat, bahkan jika waktu memaksanya.

Freya menyembunyikan dirinya di balik tanaman yang sengaja dibiarkan tumbuh di lorong. Daunnya menjuntai seperti tirai lembut yang memberi celah untuk mengintip. Rambut hitam panjang Freya ikut bergoyang pelan tertiup angin, berbaur dengan aroma tanah dan dedaunan kering. Ia hanya berdiri di sana, diam, membiarkan perasaannya mengalir-tanpa perlu kata, tanpa perlu penjelasan. Shani tidak tahu ia sedang diperhatikan. Tapi bagi Freya, melihatnya seperti ini saja sudah cukup membuat dadanya penuh. Karena kadang, cinta tidak butuh panggung untuk diucapkan. Cukup dengan satu sosok, satu langkah, dan satu senyum yang datang tanpa tahu ia sedang membuat seseorang jatuh.

Sedikit senyum tipis terangkat dari bibir gadis itu-senyum yang lahir dari sesuatu yang jauh lebih dalam, harapan kecil yang tumbuh di antara keraguan. Zee, yang sejak tadi memperhatikan arah pandang Freya, mendekat perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menyandarkan dagunya pada bahu sahabatnya itu.

"Mau sampai kapan, Fre? Nanti diambil orang, loh..." bisiknya pelan, seperti rahasia yang dititipkan angin.

Freya tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku ke arah lapangan yang kini sepi, menyisakan bayangan langkah Shani yang telah menjauh. "Entah... aku masih bingung..." jawabnya akhirnya.

Zee menarik napas, lalu berbicara dengan nada yang tak lagi bercanda. "Dia juga sama sepertimu. Sudah menolak banyak gadis cantik. Harusnya kamu bisa mengerti, gadis seperti apa yang menjadi keinginannya. Sama seperti kamu juga sudah banyak menolak para siswa di sekolah ini."

Freya terdiam. Karena dalam hati, ia tahu, Zee benar. Ada pola di dunia ini yang sering tak terlihat kecuali oleh mereka yang diam. Shani dan dirinya seperti dua garis sejajar-tak saling memotong, tapi berjalan beriringan dalam kesendirian yang tak pernah dijelaskan. Mungkin bukan karena tidak ada yang pantas untuk mereka cintai, tapi karena mereka terlalu selektif untuk menyerahkan hatinya pada yang tak mampu mengerti kedalaman.

Zee menatapnya dengan pandangan yang dalam. Ia mengenal Freya bukan sebagai gadis centil yang sok kecantikan, bukan pula sosok yang haus perhatian. Ia mengenalnya sebagai gadis lembut dengan senyum semanis karamel-senyum yang tidak datang setiap hari, tapi ketika muncul, bisa menghangatkan seluruh ruang. Freya adalah gadis yang tampak rapuh dari luar, namun menyimpan kekuatan yang tak bisa dilihat sembarangan orang. Ia bisa menangis dalam diam, lalu kembali tersenyum seolah tak pernah ada air mata. Ia bisa menyukai seseorang dengan begitu dalam, tapi memilih menyembunyikan perasaannya agar tidak mengganggu kehidupan orang itu. Dan Zee tahu itu.

Dalam hati kecilnya, Zee mengakui Freya sebagai gadis termanis yang ada di sekolah ini. Bukan karena wajahnya, tapi karena cara ia memperlakukan orang lain. Jika saja ia terlahir sebagai laki-laki, mungkin ia pun akan jatuh cinta padanya. Dan bukan cinta yang main-main-tapi cinta yang penuh hormat, cinta yang ingin menjaga, bukan memiliki.

Namun kenyataannya, Zee adalah dirinya sekarang. Seorang sahabat. Seorang pengamat diam dari balik tirai tawa. Ia tidak bisa menggenggam tangan Freya seperti yang ia bayangkan, tapi setidaknya, ia bisa memastikan gadis itu tidak berjalan sendirian-meski hanya sebagai bayangan di sampingnya. Karena cinta tidak selalu harus menjadi milik. Kadang, cinta hanya perlu menjadi saksi-bahwa seseorang seindah Freya pernah ada dalam kehidupan ini.

Chapter 3 : Rumus Cinta Bernama Shani

Kelas sunyi saat pelajaran ketiga. Hanya terdengar bunyi detik jam di dinding yang berdetak pelan. Di depan kelas, Pak Keenan berdiri dengan kapur di tangan. Papan tulis sudah penuh dengan simbol dan angka-garis lengkung, variabel, dan lambang akar kuadrat saling bersisian seperti puisi yang belum selesai.

"Baik," ucap Pak Keenan perlahan, suaranya tenang, nyaris seperti gumaman. "Kita akan membahas satu rumus penting hari ini... Persamaan Kuadrat."

Beberapa siswa mulai memperhatikan. Sebagian lagi masih menggambar di buku atau membolak-balik kertas. Tapi tidak dengan Freya. Disaat yang lain terfokus pada pelajaran matematika, Imajinasi Freya malah berkelana. Menggambarkan satu sosok di dalam pikirannya. Bahkan Mungkin penjelasan pak Keenan terdengar samar-samar baginya.

Pak Keenan menulis dengan cepat pada Papan tulis. "x \= (-b ± √(b² - 4ac)) / 2a. Ini dia, anak-anak. Rumus yang sudah kalian hafal mati sejak SMP. Tapi pernahkah kalian berpikir... kenapa bentuknya begini?"

Zee berbisik dari bangku sebelah, "Karena pembuatnya gabut kali, pak."

Anak-anak yang lain menahan tawa kecil. Pak Keenan tersenyum, seolah mendengar. "Rumus ini... bukan hanya tentang angka. Ini tentang keseimbangan. Tentang bagaimana kita menyelesaikan sesuatu yang tampaknya rumit, dengan menyentuh akar dari masalahnya."

Ia menunjuk bagian √(b² - 4ac). "Di sini, ada istilah yang disebut diskriminan. Ia yang menentukan apakah sebuah persoalan punya dua solusi, satu solusi, atau bahkan tidak punya solusi sama sekali." Lalu ia menoleh ke kelas, matanya menatap lurus. "Sama seperti hidup. Kadang kita punya banyak jalan keluar. Kadang cuma satu. Dan kadang... tidak ada sama sekali. Tapi bukan berarti kita berhenti mencoba."

Zee menoleh ke arah Freya, pelan. "Pak Keenan habis di tolak sama Bu Veranda kayaknya..." Freya menjawab dengan senyum tipis, pandangannya kembali mengarah ke luar jendela.

"Perhatikan huruf 'b'," lanjut Pak Keenan. "Dia mewakili sesuatu yang konstan tapi kadang menyesatkan. Dan 'a'... dia pemimpin dalam persamaan. Kalau 'a' bernilai nol, maka segalanya runtuh. Sama seperti prinsip dalam hidup. Kalau kita kehilangan dasar... maka apapun yang kita bangun, akan hancur." Tangannya bergerak lincah menulis contoh soal. Tapi penjelasannya tetap lembut, seperti membaca sajak. "Dan bagian akar... kadang menghasilkan bilangan imajiner. Angka yang tidak nyata, tapi tetap dihitung. Karena hidup ini juga penuh dengan hal yang tidak nyata, tapi tetap punya efek." Satu per satu, siswa mulai terdiam. Tak lagi mencoret-coret buku. Ada yang mulai menatap papan tulis, ada yang merenung. Bahkan anak-anak yang biasanya ribut pun ikut diam.

"Lalu ada tanda plus minus..." ucap Pak Keenan. "Karena hidup tak pernah punya satu sisi saja. Selalu ada kemungkinan baik... dan kemungkinan buruk. Yang penting, kita tahu bagaimana menghadapi keduanya." Kelas hening. Hanya terdengar bunyi kapur yang menulis jawaban akhir dari soal yang ia contohkan. "x \= 2 dan x \= -3," katanya. Kemudian pak Keenan berdiri tegak, menatap kelas dengan mata yang hangat. "Dan kalian tahu... bahkan dalam persoalan yang paling rumit pun, selalu ada jawaban-kalau kalian sabar mencarinya."

Penjelasan Pak Keenan semakin terdengar samar-samar bagi Freya. Ia lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Bukan karena tak bisa mengerti pelajaran, tapi karena pikirannya sedang tidak berada di dalam kelas. Dunia di luar jendela pun tak lagi menarik untuk dipandangi. Burung-burung yang biasanya jadi pelipur lara kini hanya sekadar bayangan yang lewat. Dengan gerakan malas, Freya merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan. Bukan buku pelajaran, tentu saja, melainkan buku rahasianya-tempat ia menyimpan potongan-potongan isi hatinya. Ia tidak membuka sembarang halaman. Dengan hati-hati, Freya membuka pada halaman kosong, menuliskan sesuatu yang belum pernah ia katakan. Tangannya mulai bergerak, lembut dan pelan. Bukan menulis sajak, bukan pula puisi-tapi sebuah lirik lagu.

Shani, Shani~

Jantungku berdebar tiap kuingat padamu~

Shani, Shani~

Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada?~

Shani, Shani~

Melihatmu, menyentuhmu, itu yang kumau~

Kau tak sempat tanyakan aku

Cintakah aku padamu?~

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa

Suatu saat kau bisa cinta padaku

Tiap kali aku memanggil di dalam hati~

Mana Shani, mana Shani-ku?~

Mana Shani-ku?~

Tanpa sadar, seutas senyum kecil muncul di bibir Freya. Senyum yang menyimpan penantian. Bagi Freya, menciptakan lagu bukan hanya tentang seni-melainkan cara untuk menyusun ulang kepingan-kepingan hatinya yang masih tabu. Ia percaya bahwa setiap nada punya jiwa, dan setiap kata dalam lagu punya takdir. Lagu adalah doa yang bernyanyi.

Azizi, yang duduk di samping, tak sengaja melirik ke arah Freya. Ia menangkap senyum itu. Matanya ikut berpindah ke buku catatan Freya. Dengan cepat, Zee membaca beberapa bait lirik di sana. Ia tahu betul bahwa selain memiliki suara yang merdu, Freya juga memiliki kemampuan menciptakan lagu yang menyentuh. Inspirasi bagi Freya bisa datang dari mana saja-bahkan dari senyuman orang yang tak pernah benar-benar menyadari keberadaannya.

"Ciee..." bisik Azizi pelan. Freya terkesiap, lalu buru-buru menutup buku catatannya. Pipi meronanya mengkhianati usahanya untuk terlihat biasa saja. Azizi hanya terkekeh kecil, puas telah berhasil memergoki sisi lain dari sahabatnya itu.

"Baik, anak-anak. Cukup penjelasan untuk hari ini," ujar Pak Keenan. dari "Minggu depan akan ada ulangan umum. Bapak harap kalian belajar dengan giat." Seluruh kelas serempak merengut. Seolah satu kalimat itu telah menutup harapan mereka untuk hidup tenang selama satu minggu ke depan. Kata 'ulangan umum' terdengar seperti vonis, dan setiap kepala mulai dihantui angka-angka.

"Akhirnya selesai juga..." ucap Azizi sembari mengangkat kedua tangannya ke atas, melemaskan otot-ototnya yang pegal setelah satu setengah jam mendengarkan penjelasan dari pelajaran yang amat tidak disukainya. "Fre, jadi ke toko buku, kan?" tanya Azizi sambil menoleh.

"Jadi," balas Freya singkat, sembari memasukkan semua bukunya ke dalam tas.

Suara bel pulang yang nyaring terasa seperti pembebasan. Setelah lega bisa keluar dari kelas, lorong sekolah tampak penuh oleh para murid. Mereka bersorak-sorai, berdiri berjejer di depan pagar tembok pembatas lantai dua, menatap ke arah lapangan di bawah sana. Freya dan Azizi, yang penasaran dengan keramaian itu, ikut menyusup di antara kerumunan. Meski sedikit berdesakan, mereka berhasil menemukan celah nyaman untuk menonton. Lalu, seolah waktu melambat, mata Freya menangkap sosok itu.

Shani. Pria dengan rambut pendek yang sedikit acak, wajah penuh semangat, dan tatapan fokus yang menyala. Ia sedang menggiring bola basket, mengenakan jersey hitam yang menyatu sempurna dengan kulitnya yang bersinar di bawah matahari sore. Gerakannya cepat, tapi anggun. Bola memantul-mantul di lantai, mengikuti irama kakinya. Setiap langkah, setiap lompatan, menyatu dengan tarikan napas Freya.

Dalam sudut pandangnya, dunia perlahan berubah. Sorak sorai di sekitar mengabur. Yang tersisa hanya irama detak jantungnya sendiri. Satu, dua, tiga langkah... lalu lompat... dan bola itu melayang ke udara. Gerak lambat. Bola berputar sempurna di atas telapak tangan Shani, lalu meluncur ke arah ring, dan—swish! Masuk tanpa menyentuh tepi.

Ledakan sorakan dari para murid mengisi udara kembali. Tapi Freya tidak ikut bersorak. Ia hanya diam, bibirnya sedikit tersenyum, sangat tipis, bahkan nyaris tak terlihat.

Ada keindahan yang aneh di balik permainan itu. Bukan hanya karena Shani pandai bermain basket, tapi memang karena pesonanya.

"Makanya, kalau suka bilang..." Ujar Azizi. Kemudian menarik tangan Freya keluar dari kerumunan. "Tokonya ntar keburu tutup, Ayo.." ajaknya. Meski sedikit enggan, Freya terpaksa mengikuti Azizi, menjauh dari keramaian, dari perhatiannya pada Shani.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!