...**✿❀♛❀✿**...
Salju turun dengan pelan, menyelimuti alun-alun ibu kota Kekaisaran Barat. Kesiur angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun hal itu tak kunjung membuat kerumunan di sana berkurang. Mereka datang memadati alun-alun untuk menyaksikan kisah akhir dari seseorang yang dahulu dipuja dan dipuji sebagai bunga paling harum di Kekaisaran.
Di atas panggung eksekusi, seorang wanita tampak terduduk berlutut. Wajahnya kotor dan penuh luka, tubuhnya kurus dengan kuku-kuku yang tampak menghitam ujungnya, rambut pirangnya yang dahulu dihiasi permata kini tampak kusut tak terurus. Namun, meski begitu tatapan matanya masih memancarkan aura bangsawan yang kuat.
Dialah sang bunga Kekaisaran, Lady Seraphine Valmont mantan calon Putri Mahkota yang akan dieksekusi mati hari ini sebagai pengkhianat besar Kekaisaran.
"Pengkhianat Kekaisaran, Seraphine Valmont, dihukum mati atas tuduhan meracuni Yang Mulia Kaisar, menghasut pemberontakan, dan bersekongkol dengan musuh.” Suara lantang Algojo memecah udara dingin, disambut sorak-sorai rakyat yang murka akan dirinya.
Suara-suara yang dahulu terdengar memujinya kini berbalik melontarkan kecaman, sebagian mencaci, sebagian memaki, sebagian berbisik dengan ekspresi bengis, dan sebagian kecil lainnya hanya diam menatap dirinya iba.
Seraphine tersenyum tipis, sangat tipis hingga tak ada yang menyadari bahwa dirinya tengah tersenyum. Matanya menangkap presensi tiga orang yang dahulu begitu ia percaya. Di dalam kerumunan, ia melihat Duke Armand Leclerc tersenyum menyeringai ke arahnya.
Lalu, Seraphine mengalihkan pandangannya ke samping Kiri, sosok pria yang dahulu begitu ia cintai berdiri tegak dengan sosok gadis manis di sampingnya. Putra Mahkota Wilhelm Albrecht dan Putri Mahkota Beatrice Albrecht tampak serasi dengan pakaian mereka yang senada. Keduanya memasang ekspresi dingin dan datar seolah mereka tak pernah menjadi bagian dalam hidupnya.
Seraphine terkekeh sinis. Sungguh, apa yang ia harapkan? Bukankah sedari dulu memang seperti itu? hanya dirinya yang menganggap mereka berharga, sedangkan mereka hanya menjadikan dirinya pion dalam permainan politik mereka yang kotor.
Jadi ... beginilah akhirnya.
"Apakah ada kata-kata terakhir?" tanya Algojo datar.
Seraphine mengangguk, ia mengangkat dagunya menatap ke arah kerumunan lalu berkata dengan pelan namun cukup kuat untuk didengar oleh mereka semua. "Saat sebuah bunga layu, jangan salahkan dia karena hadirnya musim dingin," ia berhenti sejenak.
"Namun, salahkan lah tangan yang telah memetik sebelum waktunya," Sambungnya kemudian sembari memasang senyum tipis. Rakyat termangu, beberapa tampak berubah ragu. Tetapi, hukuman telah ditetapkan dan harus segera dilaksanakan.
Algojo mengangkat tinggi pedang besarnya. Cahaya matahari yang lemah memantul di bilah pedang itu, membuat Seraphine merasa waktu menjadi lebih lambat baginya. Setiap detik terasa begitu panjang hingga dalam detik-detik terakhir kehidupannya, kenangan-kenangan indah menghujam benaknya bak hujan deras. Wanita itu memejamkan mata, bersiap menyambut akhir tragis dalam kisah hidupnya.
Sialnya ... dia masih ingin hidup. Dia masih ingin mewujudkan semua impian yang dahulu tak pernah dapat ia genggam. Seandainya ada kesempatan kedua baginya untuk merubah segalanya. Seandainya kesempatan seperti itu ada, Seraphine lebih memilih hidup bahagia di desa bersama keluarganya.
Tanpa kekuasaan, tanpa harta, dan tanpa harus ikut terlibat dalam politik istana. Mungkin, sebuah rumah kecil dengan ladang kecil di depannya akan cukup untuk menghidupi mereka.
Seandainya....
Pandangan Seraphine menggelap diikuti oleh teriakan yang entah milik siapa. Darah memercik ke udara, menyisakan pemandangan mengerikan bagi mereka yang menyaksikannya.
Hari itu, sebuah nyawa direnggut paksa oleh mereka yang haus akan kekuasaan.
Sebuah bunga telah layu, bahkan sebelum ia sempat mekar sepenuhnya.
Namun, di dalam kegelapan itu Seraphine mendengar sebuah suara.
"Apakah kau ingin kesempatan kedua, Seraphine?"
...**✿❀♛❀✿** ...
...TBC...
...**✿❀♛❀✿**...
Harum aroma mawar putih membelai indra penciuman Seraphine begitu ia membuka mata. Gadis itu termenung sejenak, menatap lamat langit-langit kamar yang terasa akrab. Ia mengalihkan pandangannya pada sekitar, tampak ukiran-ukiran bunga menghiasi dinding kamar dengan dominan warna krem dan putih, sungguh terasa familiar hingga seolah membawanya kembali pada masa lalu.
Seraphine ingat, ini adalah kamar lamanya. Tapi, kenapa ia berada di sini? Bukankah ia sudah dieksekusi mati? atau mungkinkah Tuhan berbaik hati memberikan kamar lamanya sebagai tempat beristirahat untuknya di surga?
Ketika kebingungan masih melandanya, suara ketukan pintu terdengar. “Nona, boleh saya masuk?”
Itu suara yang familiar, suara Clarisse, pelayan pribadinya. Clarisse telah setia mendampinginya sejak ia masih berusia sepuluh tahun hingga pada hari ia dieksekusi. Kenapa Clarisse ada di sini? bukankah dirinya sekarang telah berada di surga? Lalu, kenapa Clarisse bisa mengikutinya hingga kemari?
“Masuklah,” jawab Seraphine, suaranya terdengar sedikit ragu.
Mendengar jawaban Seraphine, pintu kamar terbuka. Sosok gadis muda berambut cokelat muncul dengan senyumnya yang cerah. Di tangannya ada baki perak berisi teh hangat dan roti manis.
Clarisse menunduk sopan, “Selamat pagi, Nona. Tidur Anda nyenyak? Besok malam adalah malam besar Anda, saya harap Anda tak terlalu gugup.”
Seraphine mematung. Besok malam? Malam besar? apa maksudnya? benak Seraphine bertanya-tanya.
Seolah tak menyadari kebingungan nonanya, Clarisse meletakkan baki di atas meja, lalu mulai membuka gorden jendela. Cahaya pagi menelusup masuk, membanjiri ruangan dengan rona keemasan.
“Clarisse…,” suara Seraphine terdengar sedikit bergetar. “Tanggal berapa hari ini?” tanyanya kemudian.
Pelayan itu menoleh, sedikit heran. “Tentu saja … tanggal 14 Solaris, Nona. Sehari sebelum pesta debut Anda di istana.”
Debut. Istana. Tanggal 14 bulan Solaris.
Seraphine merasa dunianya berputar. Itu berarti, ia kembali tepat ke lima tahun sebelum eksekusinya dilakukan. Malam debutnya adalah awal dari segalanya. Awal ia menarik perhatian Kaisar, awal intrik istana menyeretnya, dan awal dari jalan yang membawanya menuju kehancuran.
Tangan Seraphine terkepal di atas pangkuan. Manik matanya gemetar. "Apakah ... ini kesempatan kedua?" gumamnya pelan.
“Terima kasih, Clari. Tinggalkan saja teh itu,” ucapnya pelan. Ia menoleh pada jendela, burung-burung tampak terbang dengan bebas, menikmati hangatnya udara pagi pada awal musim panas.
Begitu Clarisse keluar, Seraphine segera beranjak dari tempat tidur, ia berjalan menghampiri cermin besar yang berada di sudut ruangan.
Wajah yang menatap balik dari cermin membuat dadanya terasa sesak. Itu bukan wajah pucat letih yang ia lihat di hari-hari terakhir hidupnya, melainkan wajah muda dengan kulit yang mulus, mata hazel yang berbinar cerah, bibir yang merah alami, serta rambutnya yang berkilau bak permata.
Ia mengangkat tangan, menyentuh pipinya sendiri. Tanpa sadar, air matanya jatuh membanjiri pipi. "Ternyata, Aku memang benar-benar kembali. Aku ... sungguh kembali," ucapnya setengah tak percaya.
Seketika, ingatan akan masa lalu membanjiri pikirannya. Senyum pura-pura para bangsawan, janji manis yang berbalut racun, malam-malam di mana ia sendirian menghadapi tuduhan yang tak pernah ia lakukan. Dan tentu saja, wajah-wajah mereka yang telah mengkhianatinya.
“Tidak… kali ini tidak akan sama,” bisiknya pada pantulan dirinya di cermin. “Aku tak akan lagi menjadi bunga yang mudah dipetik. Aku akan menjadi bunga yang tubuhnya diselimuti duri.” Seraphine bertekad kuat bahwa ia akan menggunakan kesempatan kedua yang diberikan oleh Tuhan dengan baik.
Kali ini, Ia tak akan membiarkan orang-orang itu merenggut hidupnya. Tidak akan!
...
Seraphine menghabiskan pagi itu dengan memperhatikan setiap detail rumah. Dari lorong-lorong marmer yang ia lewati, suara para pelayan yang sibuk mengerjakan pekerjaan mereka, hingga aroma roti panggang yang menguar dari dapur. Semuanya sama persis seperti ingatannya, ternyata ia merindukan suasana ini.
Saat ia tiba di taman, angin musim panas menyapa kulitnya dengan lembut. Bunga mawar putih bermekaran di setiap sudut Taman. Namun, sekarang ia tahu, keindahan seperti ini ibaratnya hanyalah penutup tipis untuk dunia bangsawan yang penuh darah dan tipu daya.
Di kejauhan, ia melihat sosok ayahnya, Marquis Lionel Valmont, tengah berbicara dengan seorang tukang kebun. Wajah ayahnya masih terlihat sama seperti dulu, hanya saja kini tampak lebih muda dari ingatan terakhirnya.
Wajahnya tetap tegas, berwibawa, namun memiliki kesan dingin. Meski ia tak pernah memberi putrinya kasih sayang yang hangat, tapi ia tetap berusaha melindunginya hingga akhir.
Pelupuk mata Seraphine sedikit bergetar. Dadanya sesak bila mengingat bagaimana Sang Ayah tewas dengan tragis. Ia juga menyesal tak pernah berusaha memperbaiki hubungan mereka, di kehidupan kali ini, gadis itu berjanji akan melindungi orang-orang yang berharga baginya.
Seraphine berusaha menenangkan diri, ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Sembari memasang senyum tipis Seraphine mendekati ayahnya, lalu membungkuk sopan. “Selamat pagi, Ayah," sapanya.
Marquis hanya mengangguk singkat. “Besok malam, jagalah perilakumu. Jangan sampai membuat masalah di hadapan Yang Mulia Kaisar.”
Kalimat itu sama persis seperti yang ia dengar dahulu. Tapi kali ini, Seraphine tersenyum samar. “Tentu, Ayah. Saya akan mengesankan Kaisar dengan cara saya sendiri.”
Marquis tampak heran mendengar nada suara putrinya, namun dirinya memilih tak bertanya lebih lanjut.
Setelah itu, Marquis pergi meninggalkan Taman. Masih banyak pekerjaan, katanya. Akhirnya, Seraphine memilih duduk di kursi Taman. Karena kursi itu berada di bawah pohon, gadis itu tetap merasa nyaman meski cuaca mulai panas karena hari kian beranjak siang.
Seraphine duduk bersandar pada kursi, menatap kosong pada langit biru. Ia berusaha menyusun semua ingatannya. Siapa yang akan mendekatinya dan siapa yang akan tersenyum hanya untuk menusuknya dari belakang.
Ia bahkan berusaha mengingat percakapan-percakapan kecil yang dulu ia abaikan, sembari mencatat poin-poin penting pada sebuah buku yang tadi ia bawa.
Lama ia berada di sana. Bahkan mengabaikan tatapan heran para pelayan dan pekerja Rumah. Meski Clarisse telah berulang kali memintanya untuk masuk ke dalam Mansion, Seraphine menolak, ia hanya ingin berada di sini sendirian sekarang.
Waktu kian beranjak, hingga malam pun akhirnya datang. Clarisse berdiri di dekat Seraphine, sambil menatap cemas pada junjungannya itu. Apa yang terjadi? kenapa Nonanya bersikap begitu aneh hari ini? ia bahkan tak menyentuh satu pun makanan yang dirinya bawakan.
Saat malam semakin larut, akhirnya Seraphine memutuskan kembali ke kamarnya. "Ayo, Clari," ajaknya pada Clarisse yang termangu. Gadis itu berjalan menyusuri taman dan lorong Mansion hingga sampai ke kamarnya.
Ia Duduk di tepi ranjang, lalu menghela napas panjang.
“Lima tahun…,” gumamnya. “Aku harus bisa mengubah semuanya dalam lima tahun," tekad Seraphine sembari menatap ujung kakinya.
Lalu, matanya beralih menatap mawar putih di vas. Ia akan menjadi seperti itu, tampak indah dan rapuh, namun akan berbahaya jika disentuh sembarangan.
Seraphine mengulurkan tangan, meraih satu tangkai mawar putih, lalu mencabuti durinya satu per satu. “Kali ini, aku akan menentukan siapa yang boleh memetik ku, dan siapa yang akan tertusuk oleh duriku," gumamnya pelan.
"Clari," panggilnya. Clarisse yang memang masih berada di kamar itu pun segera menghampiri Nona nya.
"Aku lapar." Seraphine berujar setengah merengek pada Clarisse. Ia melemparkan mawar putih yang tangkainya telah bersih dari duri itu ke sembarang arah.
Mendengar itu, pelayan pribadinya itu pun segera melesat ke dapur kediaman, mengambilkan makanan untuk Nona nya.
Sepeninggalan Clarisse, senyum tipis terukir di bibir Seraphine. Pesta debutnya hanya tinggal satu malam lagi, dan permainan yang telah ia rencanakan seharian ini, akan segera dimulai.
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...
...**✿❀♛❀✿**...
"Sera, Aku mencintaimu."
"Saya juga yang mulia," Seraphine tersipu saat mengatannya. Gadis jelita itu menatap sang kekasih penuh damba, ia begitu mencintai sang Pangeran Mahkota.
"Hanya kamu yang akan menjadi ratuku." Wilhelm meraih dagu Seraphine dan menatap dalam matanya. Tangan lelaki itu masih setia merengkuh posesif pinggang gadis itu.
"Kalau begitu, maukah kamu melakukan satu hal untukku?" Pinta Wilhelm.
Seraphine mengangguk mantap. Ia akan mewujudkan segala hal yang diinginkan oleh pangerannya. Ia akan melakukan segalanya.
"Kalau begitu, Bunuh Frederick untukku, buktikan kalau kamu memang mencintaiku."
Huft...
Huft..
Seraphine terbangun dari tidurnya dengan napas memburu, ingatan itu kembali menyeruak. Hadir dalam mimpi dan membuat tidurnya tak nyenyak. Seraphine ingat betul hari itu, hari di mana ia mulai melakukan tindakan-tindakan tercela demi memenuhi permintaan orang yang begitu ia cinta.
Demi Wilhelm, ia rela menukar moral dan martabatnya sebagai wanita hanya demi cinta. Melakukan perintahnya seakan ia seekor anjing yang butuh usapan.
Demi Wilhelm dia telah membunuh manusia tak bersalah. Pangeran kedua Kekaisaran, Frederick Albrecht mati ditangannya. Sungguh, setelah dikhianati barulah kini ia sadar bahwa dirinya dahulu begitu bodoh dan naif.
Jika dahulu ia membunuh Frederick demi Wilhelm, maka sekarang akan menjadi sebaliknya. Ia akan menggunakan Frederick demi menghindari Wilhelm. Ah, haruskah ia minta maaf pada Frederick? bahkan di kehidupan kali ini pun ia terus melibatkan pria itu dalam rencanya.
Tapi ... sebelum itu, ia masih ingin menutup mata dan bermalas-malasan. Ia masih mengantuk, mungkin efek dari tidurnya yang terlalu larut semalam. Lantas, ia kembali memejamkan mata bersiap untuk mengarungi alam mimpi lagi.
Tok.. Tok... Tok..
Sayangnya, suara pintu yang diketuk dari luar mengangetkan Seraphine. Gadis itu lantas langsung terduduk, lalu ia mempersilahkan seseorang di luar sana untuk masuk. Beberapa pelayan masuk begitu pintu kamar terbuka, dari balik para pelayan itu, Clarisse berdiri sambil membawa gaun cantik berwarna biru safir yang akan dikenakannya hari ini.
"Syukurlah Anda sudah bagun, Nona," ucap Clarisse sembari mendekat.
"Hm, tidak mungkin kan aku tidur terus sampai siang?" Seraphine menjawab malas. Pikirannya masih kosong pasca keterkejutannya tadi.
"Sebaiknya begitu, karena Anda perlu bersiap untuk melakukan rangkaian perawatan yang telah kami siapkan," ujar pelayan pribadinya itu sembari menunjukkan bermacam-macam alat kecantikan yang dibawa oleh para pelayan.
"Hngg? Perawatan?" tanya Seraphine setengah tak fokus. Ia menatap belasan kotak kayu yang dibawa oleh para pelayanannya. Lalu, menatap gaun biru safir yang dipegang oleh Clarisse.
Sial, batin Seraphine. Gadis itu membuka lebar matanya, ia mengingat hari ini. Hari dimana ia mendapat penyiksaan—perawatan— selama enam jam. Sekali lagi, ENAM JAM.
"Ekhem." Seraphine berdehem sejenak. Ia tetap memasang ekspresi wajah anggun nan kalemnya. Lalu kemudian berkata dengan penuh wibawa.
"Aku tak mau melakukan penyiksa– maksudku perawatan kulit itu," ucapnya sembari mengangkat sedikit dagu.
"Kenapa Nona? Bukankah ini bagus untuk kecantikan Anda? Nona akan semakin bersinar jika menggunakan produk-produk kecantikan ini." Clarisse tampak heran ketika mendengar penolakan Nona nya.
"Aku kan tak pernah memintanya," ucap Seraphine masih berusaha menolak.
"Tapi Nona ... ini perintah Tuan besar."
Iya, Seraphine tahu ini perintah Ayahnya. Namun, sungguh, ia tak akan sanggup jika disuruh melakukan serangkaian perawatan ini lagi. Seraphine ingat, di kehidupan sebelumnya ia bahkan merasa lelah selama dua hari setelah pesta debutante nya selesai dilaksanakan.
"Pokoknya Aku tidak mau!" tolak Seraphine tak ingin dibantah.
...
"Kenapa wajahmu seperti itu, Sera?" tanya Ayahnya datar. Marquis Valmont awalnya begitu terpukau dengan kecantikan sang putri, ia bahkan berpikir bahwa putrinya itu sangat mirip dengan mendiang istrinya.
Namun, lihatlah sekarang. Wajah gadis itu tertekuk sepanjang jalan mereka menuju Istana Kekaisaran. Seraphine hanya diam, ia tahu tak sopan jika mengabaikan pertanyaan dari sang Ayah. Tapi, Seraphine sungguh sebal karena Ayahnya bertanya seperti itu, padahal dialah yang menjadi penyebab wajahnya tertekuk masam.
Bagaimana tidak? setelah perdebatan panjang dengan Clarisse, pada akhirnya ia tetap tak bisa menolak melakukan sederetan perawatan-perawatan itu. Sekarang, tubuh Seraphine terasa kaku dan pegal karena tak bisa berbaring sejak pagi.
Suasana di dalam kereta kuda terasa hening, hanya terdengar suara roda yang berputar dan sepatu kuda yang tengah berlari. Marquis pun tak lagi mengajukan pertanyaan, ia memandang pepemandangan di luar kereta yang perlahan berubah menjadi deretan bangunan khas Ibu Kota Kekaisaran.
Lima belas menit kemudian, tibalah mereka di istana kekaisaran. Puluhan kereta kuda tampak berjejer dan berbaris rapi memasuki kawasan istana. Tentunya selain para gadis bangsawan yang akan melakukan debutante pada malam ini, keluarga-keluarga bangsawan yang lain pun turut hadir sebagai tamu.
Selain untuk menghormati baginda Kaisar dan Para Lady yang akan debut pertama kali di dalam masyarakat dan pergaulan kelas atas, Mereka hadir juga untuk membangun relasi serta menjadikan pesta ini sebagai alasan untuk menjalankan agenda tersembunyi mereka masing-masing.
Setelah semuanya memasuki ballroom istana, satu persatu para debutante pun dipanggil masuk ke dalam ruang dansa itu. Kaisar, Pangeran mahkota, bahkan Pangeran kedua pun turut hadir untuk memeriahkan acara pesta Debut Para Lady bangsawan kali ini.
"Veronica Alexius memberi salam kepada sang matahari Kekaisaran, Yang Mulia Kaisar," ucap salah seorang Lady yang juga melakukan Debut malam ini.
Berikutnya, suara Herald atau Master of Ceremony mengumumkan nama seseorang yang sangat ia kenali. Setelah Namanya dipanggil, Perempuan dengan paras manis dan rambut merahnya yang bergelombang itupun melangkah ke depan tempat duduk anggota Kekaisaran.
"Beatrice Hawthorne memberi salam pada matahari Kekaisaran, salam hormat yang Mulia," ucapnya. Bisik-bisik terdengar setelah Lady itu memberikan hormat kepada Kaisar, para bangsawan beranggapan bahwa cara Lady itu memberi salam sungguh tidak sopan.
Seraphine menarik ujung bibirnya. Jika dahulu, ia merasa kasian pada Beatrice, tapi kini ia malah merasa senang menyaksikan berapa memalukannya sikap Beatrice dahulu.
Setelah Beatrice selesai memberi salam pada keluarga Kekaisaran, kini tibalah saatnya nama Seraphine yang dipanggil oleh Herald.
"Memasuki aula agung Kekaisaran, Lady Seraphine Valmont, putri sulung dari Marquis Valmont!”
Gadis itu melangkah mendekati aula tempat duduk Kaisar dan keluarga Kekaisaran dengan gerak yang anggun dan penuh percaya diri. Setiap langkahnya bagaikan irama halus yang menuntun pandangan hadirin untuk terpaku padanya.
Parasnya yang jelita seketika menyihir seluruh bangsawan yang hadir. Kulitnya yang seputih porselen kian memancarkan pesona saat berpadu dengan gaun biru safirnya yang berkilauan, membuatnya bak permata langka yang bersinar di tengah gemerlapnya istana.
Gaun itu menjelma begitu anggun, dihiasi renda-renda halus yang terhampar bak kabut tipis di sepanjang rok, menambah kesan mewah namun lembut. Rambut Seraphine digelung rapi dalam tatanan klasik, disematkan hiasan permata yang berkilau lembut, seolah bintang-bintang kecil telah berpadu indah dengan warna gaunnya, menjadikan penampilannya selaras dan menawan.
Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan singgasana Kaisar, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat sebelum akhirnya mengangkat sisi rok gaunnya dengan anggun.
Dengan gerakan yang begitu terukur, Seraphine menurunkan lututnya ke tanah, melakukan curtsey sempurna di hadapan Kaisar. Permata yang menghiasi rambutnya berkilau ketika menangkap cahaya lampu kristal, menambah pesona penampilannya.
"Hamba, Lady Seraphine Valmont, putri sulung dari Marquis Lionel Valmont, dengan rendah hati mempersembahkan salam hormat kepada Yang Mulia Kaisar.” Suara lembutnya terdengar jelas di tengah keheningan yang tercipta.
Sejenak aula seakan menahan napas. Seluruh bangsawan yang hadir memperhatikan gadis muda itu, terpikat oleh postur tenang dan wibawa yang tak biasanya terlihat dari seorang debutante.
“Bangkitlah, Lady Seraphine. Pesona dan sikapmu telah membuat pesta malam ini semakin berwarna. Semoga engkau menjadi bunga yang harum bagi Kekaisaran.” Ucapan sang Kaisar yang terkesan hangat membuat beberapa Bangsawan tampak menaruh curiga. Mereka menatap lekat Gadis muda itu yang hendak kembali ke tempatnya.
Seraphine menundukkan kepala sekali lagi sebelum perlahan bangkit, lalu mundur dua langkah dengan tetap menghadap Kaisar. Hanya ketika jarak dirasa cukup pantas, ia memutar tubuhnya dengan anggun, membiarkan tirai gaun birunya bergoyang seirama langkahnya.
Namun sebelum ia benar-benar kembali ke barisan para Lady, sebuah tatapan menusuk dari arah lain membuat langkahnya terhenti sepersekian detik. Tatapan itu dingin, penuh penilaian, seolah hendak menelanjangi rahasia yang berusaha ia sembunyikan rapat-rapat. Dan Seraphine tentu segera menyadari, bahwa tatapan itu milik Sang Putra Mahkota.
.........
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!