NovelToon NovelToon

Bintang Untuk Angkasa

Efervesen

Ia menatap ngeri pada sosok yang terbaring miring di sampingnya. Bibirnya bergetar, jemarinya meremas ujung sprei. Bulir-bulir air mata terus jatuh, dan isak tertahan memecah sunyi. Ia tidak mengenal pria itu, dan ia bahkan tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Satu hal yang pasti, malam ini telah merampas sesuatu yang ia jaga seumur hidupnya.

Wajahnya mendongak, menatap jam dinding yang menunjuk pukul dua pagi. Dengan gerakan terburu-buru, ia menyambar pakaian yang tercecer di lantai, mengenakannya sembari menahan gemetar. Air mata tetap mengalir ketika kakinya melangkah setengah berlari keluar dari kamar itu. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pulang, bersembunyi di rumahnya, jauh dari semua ini.

Talita meringkuk di sudut kamarnya. Hanya cahaya bulan penuh yang masuk dari jendela, memantul di lantai dekat kakinya yang rapat dan kaku. Air mata tak kunjung berhenti. Ia mengutuk malam itu sebagai malam sial, dan mengutuk pria itu sebagai pembawa petaka. Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa.

Memorinya memaksa untuk kembali pada awal kejadian.

Saat itu...

Hawa dingin menyelimuti ruang temaram yang dipenuhi gemerlap lampu warna-warni diskotik. Hentakan musik DJ mengguncang lantai, memaksa setiap tubuh bergerak mengikuti irama. Talita menarik resleting jaketnya lebih rapat. Ia tidak terbiasa berada di tempat seperti ini. Jika bukan karena Nia—sahabat yang memaksa datang dengan alasan ingin bertemu kenalan dari media sosial, ia tak akan pernah menginjakkan kaki di sini.

Pertemuan itu membuatnya sendirian. Nia dan pria kenalannya asyik bercakap, sementara Talita hanya duduk di sudut sofa, matanya kosong menyapu kerumunan yang menari dan bersorak. Bosan. Menyebalkan.

Tanpa ia sadari, sepasang mata mengawasinya dari kejauhan, bersembunyi di balik remang mini bar eksklusif. Di sana, seorang pria meneguk alkohol, kerongkongannya bergerak naik-turun. Asap rokok mengepul dari bibirnya. Ia memiringkan tubuh, mendekat pada telinga seorang rekan, berbisik pelan namun penuh siasat.

“Kamu lihat wanita itu? Dia pewaris Diamond Up,” ucapnya sambil mengalihkan pandangan pada seorang pria lain yang duduk sendirian di sofa VVIP. “Dan itu… Angkasa, owner e-commerce. Bukankah kamu ingin menghancurkan dua perusahaan itu? Menurutku, ini kesempatan bagus.”

“Ya, kau benar. Sekali mendayung, dua pulau hancur.” Senyum sinis merekah di bibir pria berkumis tipis itu. Namanya Heksa—pewaris perusahaan skincare ternama pada masanya, sebelum Diamond Up merilis formula baru yang menguasai pasar. Kesuksesan Diamond Up makin tak tergoyahkan setelah mereka bekerja sama dengan e-commerce. Heksa iri, bukan hanya pada keberhasilan itu, tapi juga pada sinergi yang membuat keduanya nyaris menjadi raja di dunia bisnis.

Di atas nampan yang bergoyang lembut di tangan seorang pelayan, dua gelas bening berisi air tampak tenang. Saat pelayan berbalik, Heksa menjatuhkan masing-masing kapsul ke dalamnya. Kapsul itu tenggelam perlahan, lalu melepaskan gelembung-gelembung mungil yang menari naik ke permukaan, efervesen. Sebuah reaksi singkat, sebelum akhirnya buih itu lenyap, menyisakan air yang tampak biasa saja.

Ketika gelas itu sampai di meja Talita dan Angkasa pelayan membual, “Minuman gratis untuk tamu spesial kami.” Senyumnya hangat, namun matanya dingin.

Tak ada kecurigaan. Talita dan Angkasa, yang duduk terpisah beberapa meter, meneguk habis minuman mereka. Perlahan, hawa panas merambat di tubuh keduanya. Talita yang sedari tadi mengeluh kedinginan, kini melepas jaketnya.

“Talita, ayo pulang,” ajak Nia yang sudah selesai berbincang.

Talita merasakan sesuatu yang janggal dalam tubuhnya. Ia menolak halus, tak sanggup berkata jujur. “Mobilku ada masalah. Supir sedang ke sini buat benerin. Aku pulang nanti. Kamu pulang aja dulu.”

“Beneran nggak mau ditemenin? Ini diskotik, Ta…” Nada Nia terdengar cemas.

“Nggak usah khawatir, lima menit lagi dia datang.”

“Yakin?”

“Heem,” Talita mengangguk pelan.

Nia berlalu bersama kenalannya. Talita bersandar, tubuhnya lemas. Ia hanya ingin merebah sebentar, berharap tenaganya pulih. Namun beberapa detik kemudian, ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai. Dalam keadaan setengah sadar, ia merasakan tubuhnya terangkat oleh sepasang tangan yang membopongnya. Lalu, gelap.

Talita tak sadar saat tubuhnya dibawa menembus lorong sempit menuju sebuah kamar. Bau campuran parfum murah dan asap rokok memenuhi udara. Di sana, di atas ranjang dengan sprei kusut, seorang pria sudah terbaring tak berdaya.

Klik.

Suara nyaring dari iPhone memecah kesunyian, tanda perekaman video telah dimulai. Beberapa langkah menjauh terdengar, berat dan lambat, diikuti bunyi pintu yang menutup rapat.

Ruangan itu pun terkurung dalam sunyi, hanya menyisakan napas pelan dan hawa panas yang terasa janggal. Hawa yang kemudian membangunkan mereka berdua. Lampu kuning redup menggantung di langit-langit, menciptakan bayangan panjang di dinding. Bayangan mereka yang telah dikuasai oleh sesuatu yang mereka tak dapat tolak. Dan sunyi kini terisi oleh deru nafas mereka.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Di kamarnya sendiri, Talita berdiri kaku di bawah shower, masih dengan pakaian lengkap. Aroma tubuh pria itu seakan menempel di kulitnya, membuatnya mual dan gelisah. Air hangat mengguyur dari kepala hingga kakinya, namun gemericiknya tak mampu meredam tangis yang pecah. Ia menggosok kulitnya dengan kasar, seolah ingin menghapus setiap jejak dari malam itu.

Kepalanya menunduk. Rasa malu, marah, dan takut bercampur menjadi satu. Tak ada jawaban untuk pertanyaan “kenapa ini bisa terjadi?” yang terus berputar di kepalanya. Yang ia tahu, malam ini telah mengubah segalanya. Dan mulai saat ini, satu hal yang akan ia genggam erat adalah, dendam.

Duka dalam Rumah

Lima bulan telah berlalu, dan Talita paham betul ada yang tidak beres dengan dirinya. Sungguhpun ia sudah mencoba berbagai cara untuk menolak keberadaan entitas yang kini menetap di rahimnya itu, mulai dari mengonsumsi nanas, obat penunda kehamilan, hingga ramuan jamu-jamuan pahit, semuanya sia-sia. Janin itu bertahan. Ia bukan sekadar bertahan, tapi tumbuh, memaksa Talita perlahan merasakan denyut naluri keibuan yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Ada bagian dari dirinya yang mulai goyah… yang ingin menjaga, melindungi, dan membiarkan kehidupan kecil itu tetap ada.

“Hah…” Talita menghembuskan napas berat, menatap kosong ke layar laptop yang sejak tadi tak ia hiraukan. Jemari tipisnya bergerak pelan, mengusap perutnya yang kini sedikit buncit. Pikirannya berkecamuk, sampai kapan ia bisa menyembunyikan semuanya?

Tiba-tiba, suara teriakan memecah keheningan.

“Whaaa!”

Mbak Dasri menyerobot masuk tanpa mengetuk, wajahnya sumringah. Tanpa sungkan, ia mencondongkan tubuh, melihat jelas layar laptop Talita. Font besar bertuliskan 'Congratulation' terpampang di sana.

“Congratulation, artinya selamat kan, Non?” tanya Mbak Dasri dengan nada penasaran.

“Iya,” jawab Talita singkat, suaranya hambar.

“Whaaa! Selamat ya, Non! Nanti jadi dokter!” teriaknya lagi sambil memeluk Talita erat.

Tak lama kemudian, seperti yang Talita duga, Mbak Dasri keluar dari kamar. Talita tahu ke mana langkah itu akan menuju, ke ruang kerja Papa, untuk mengabarkan berita ini.

Di dalam hati, Talita menyesali semuanya. Jika saja ia tidak hamil, ia akan terbang ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, untuk menempuh pendidikan di fakultas kedokteran Harvard. Ia akan mengambil spesialis dermatologi dan venereologi, menjadi residen, lalu pulang dengan gelar yang membuat perusahaan ayahnya makin bersinar. Semua itu ia perjuangkan mati-matian, melewati malam-malam belajar untuk lulus tes tulis yang terkenal sulit. Tapi kini? Semua itu tinggal mimpi yang diremukkan kenyataan.

Talita nyaris menangis kalau saja suara Papa tidak tiba-tiba terdengar.

“Sayang…”

Hendra, pria paruh baya itu, mendekapnya hangat. Meluruhkan sedih Talita.

“Selamat ya, kamu lulus. Papa bangga,” katanya.

Di ujung ranjang mereka berbincang. Hendra dengan penuh antusia berbicara tentang rencan-rencana kehidupan kuliah Talita di sana. Tentang makanan yang akan ia makan, apartemen yang sudah diincar, jaket musim dingin yang harus tebal, hingga sepatu boots untuk berjalan di salju. Ia bertutur dengan raut penuh senang, sekaligus bangga. Namun lain dengan itu,Talita justru tak bisa menahan raut sedihnya, raut memerah dan bibir merapat menahan tangis. Sebab dadanya penuh sesak ingin berteriak tangis. Karena ia tahu, semua yang Papanya katakan itu tak mungkin terjadi.

Hendra, menyentuh pipi merah Talita yang basah air mata. “Jangan nangis, nanti Papa tiap bulan jenguk kamu ke sana. Kamu jangan takut,” ucapnya, menyangka Talita menangis karena takut akan menjejak petualangan barunya di negeri orang.

^^^^^

3 hari lagi Talita akan terbang ke Boston, Mbak Dasri berdendang lirih mengemas pakaian dan peralatan yang akan Talita bawa. Seraya sesekali memberi centang pada daftar list yang Hendra berikan, pertanda bahwa barang itu telah siap dan masuk koper.

Tangan Mbak Dasri berhenti pada sebuah kotak mungil, ia mengusap pandangannya beberapa kali, tak yakin dengan apa yang ia lihat. Test pack.

Mbak Dasri memperhatikan beberapa batang test pack itu, yang kesemuanya bergaris 2. Raut berbinar ceria nya kini berubah muram. Setetes air mata menjatuhi pipinya. Kini Mbk Dasri paham kenapa Nona Talita sering mual, tak tahan bau parfum ruangan, sering lemas, dan semakin berisi.

“Tuaaan!” Teriak parau Mbk Dasri keras, kakinya yang lemas tak mampu beranjak untuk berkabar sopan pada Tuannya.

Tak lama, Hendra datang dengan langkah lebar. “Ada apa?” tanyanya curiga.

Talita yang mendengar teriakan itu, buru-buru muncul, menyambar test pack dari tangan Mbak Dasri, menyembunyikannya di belakang tubuh.

“Berikan pada Papa,” ucap Hendra dengan suara tenang tapi tegas.

Talita menggeleng keras, dengan raut penuh takut, mundur hingga punggungnya menempel di dinding. Namun tatapan Papa terlalu kuat. Perlahan, ia menyerahkan benda itu.

^^^^^

Hari itu, kamar bergaya klasik dengan bedcover super size yang biasanya terasa hening, dipenuhi isak tangis. Hendra duduk di tepi ranjangnya, menatap sendu test pack yang tergeletak di lantai. Matanya beralih ke foto istrinya yang sudah tiada. Dalam hati ia berucap maaf pada sang istri, karena gagal menjaga putri mereka. Ia menenggelamkan wajahnya yang basah tangis di kedua tangannya. Seraya berucap maaf yang berlantun bagai dzikir penyesalan.

Sementara itu, Talita mengunci diri di kamar, meringkuk di balik selimut, menangis tanpa henti.

Sore menjelang, rumah masih diliputi duka. Mbak Dasri menyerah untuk membuka kamar Talita, ia beralih ke kamar Hendra. Mbak Dasri memberanikan diri mengintip kamar Tuannya, yang rupanya terbaring lelap di atas kasurnya. Sang Tuan belum makan sejak pagi tadi, ia khawatir. Ia mencoba membangunkan Tuannya dengan ucapan lirih, namun tak ada sahutan. Rasa panik mulai merayap.

 “Tuan Hendra?” suaranya gemetar. Tak ada respon.

Kini ia benar-benar panik. Ia mengguncang tubuh itu lebih keras, memanggil dengan suara nyaring.

“Tuan Hendraaa!” teriakannya menggema sampai ke kamar Talita

Talita terperanjat. Jantungnya berdegup kencang. Ia berlari keluar kamar, menyusuri lorong dengan langkah terburu-buru.

Saat tiba, ia melihat Papa terbaring kaku. Wajahnya pucat, napasnya berat, dan sudut bibirnya sedikit menurun. Talita tersentak, ini bukan sekadar pingsan. Ia teringat potongan informasi dari buku-buku kedokteran yang pernah ia baca. Salah satu sisi wajah Papa terlihat turun, matanya tampak sayu, dan tangannya lemas terkulai.

“Papa…” bisiknya, suaranya nyaris pecah.

Mbak Dasri sudah menangis di sisi ranjang, mencoba mengguncang tubuh Hendra yang sama sekali tak merespon. Talita gemetar, tapi instingnya mengambil alih. Ia menepuk pelan pipi Papa, memanggilnya, sambil memastikan napas dan denyut nadinya. Masih ada, tapi lemah.

Dengan ponselnya Talita memanggil supir pribadi. “Ke kamar Papa! Sekarang!” seru Talita pada seorang di seberang telefon. Panik bercampur adrenalin memaksa pikirannya fokus. Ia tahu waktu mereka tak banyak. Stroke, kata itu melintas cepat di kepalanya.

Bintang

Kamar itu dingin, terlalu dingin untuk sekadar ruangan rumah sakit. Hanya suara monoton dari mesin pendeteksi detak jantung yang mengisi udara, seolah menjadi pengingat bahwa hidup Papa Talita kini tergantung pada alat. Talita duduk kaku di kursi besi di samping ranjang, tubuhnya nyaris membatu. Matanya tak lepas dari sosok yang terbaring lemah, dengan selang oksigen menutupi mulut dan hidung.

Sekilas, ia melihat gurat kecewa di wajah itu. Meski mata Papanya terpejam, Talita merasa tatapan marah itu masih menghantui. Rasanya seperti ada jarum-jarum halus yang menembus jantungnya, menusuk perlahan namun dalam. Jemarinya yang dingin menelusuri tangan Papa yang sudah keriput dan pucat. Di setiap lekuk kulit itu, Talita menemukan kepingan cerita tentang bagaimana ia pernah menjadi anak kesayangan. Ratu kecil di rumah besar mereka. Dan kini…

Ia justru menjadi racun yang membuat ratu itu kehilangan singgasananya.

Jika saja…

Jika saja malam itu tak pernah terjadi, jika saja ia tidak membuat masalah, Papa masih akan duduk di meja makan sambil bercanda, bukan terbaring seperti ini. Rasa bersalahnya membengkak, memenuhi dada hingga terasa sesak. Ia tahu betul, saking dalamnya luka yang ia toreh, tubuh itu tak mampu menahan beban. Stroke. Bukan hanya sakit fisik, ini adalah sakit hati yang merobek jiwa.

Talita memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang menggenang. Namun, gelombang pikirannya tak mau berhenti. Bayangan-bayangan tentang berita yang bisa saja meledak ke publik membuatnya semakin takut. Ia membayangkan para wartawan mengepung rumah, judul-judul miring di media yang menyeret nama keluarganya, perusahaan yang Papa bangun hancur karena skandalnya. Dan di tengah semua itu, sosok Papa yang semakin memburuk.

Tidak… aku tidak boleh tinggal di sini.

Keputusan itu muncul begitu saja. Ia harus pergi. Menghilang. Menjauh dari rumah ini sebelum badai semakin besar. Karena Talita tahu, selama ia ada di sini, ia akan terus menjadi pusat masalah.

^^^^^

“Bintaaang!” teriak Talita di halaman kecil kontrakan sederhananya. Bocah mungil berusia dua tahun itu langsung berlari menjauh, kaki mungilnya menghentak tanah dengan penuh semangat. Memanggilnya justru membuatnya semakin ingin kabur.

Talita keluar membawa mangkuk berisi nasi sup yang masih mengepulkan uap tipis. Udara siang terasa panas, membuat peluh kecil muncul di pelipisnya. Ia setengah berlari mengejar anak itu, tapi gerak Bintang terlalu lincah. Akhirnya ia menyerah, duduk di teras, membiarkan punggungnya bersandar pada tiang kayu yang sudah lapuk di beberapa bagian.

Bintang memang susah diajak makan. Lebih sering ia menghabiskan waktunya mengejar capung, mengamati semut, atau membongkar pasang kerikil yang ia sebut rumah alien. Talita tahu, itu hanya imajinasi anak kecil, tapi ia senang membiarkan Bintang bermain. Ia tak punya banyak uang untuk membelikan mainan, jadi dunia luar adalah taman bermain gratis yang ia sediakan.

Gajinya sebagai penjaga fotokopi hanya cukup untuk makan dan bayar kontrakan. Itu pun harus diirit untuk dirinya, tapi tidak untuk Bintang. Talita rela tak makan seharian asal susu dan makanan bergizi anaknya tetap terpenuhi. Baginya, Bintang adalah segalanya. Anak itu adalah alasan ia bangun tiap pagi, alasan ia menahan diri dari menyerah.

Ia memberi nama Bintang dengan harapan sederhana: kelak anak ini akan bersinar, di manapun ia berada, meski langitnya kelam. Andai ia masih menjadi Nona Talita, pewaris keluarga kaya, Bintang tak akan hidup di kontrakan sempit ini. Ia akan mendapat akses pendidikan terbaik, pakaian mahal, dan mainan yang melimpah. Namun semua itu kini hanya sebatas bayangan.

Bintang berjalan mendekat dengan langkah tenang. Ada sesuatu pada anak itu yang membuat Talita sering bertanya-tanya. Meskipun usianya baru dua tahun, tatapannya kadang terlihat… terlalu dingin. Terlalu dewasa. Ia jarang tersenyum kecuali saat bermain, lalu kembali pada wajah tanpa ekspresi. Talita kerap bertanya dalam hati, “apakah pria yang menodainya dulu juga sedingin ini?”

Bocah itu menyodorkan selembar pamflet yang entah dari mana ia dapatkan.

“Nanti malam ada pasar malam di alun-alun. Aku mau ke sana,” ucapnya dengan suara tenang, nyaris tanpa nada.

Talita memandangi pamflet itu lama. Ia tahu Bintang memang “ajaib” untuk anak seusianya. Sejak pertama ia mengajarinya huruf dan angka, anak itu langsung paham. Tak butuh waktu lama, ia sudah bisa membaca, menulis, bahkan berhitung. Semua ia pelajari dengan cepat, tanpa paksaan. Seperti spons yang menyerap air.

Talita membuka pamflet itu, membaca isi pengumuman sambil menimbang isi dompetnya. Kepalanya dipenuhi perhitungan, berapa biaya masuk, berapa uang yang tersisa, dan bagaimana caranya mengalihkan Bintang dari mainan mahal.

“Aku akan pergi sendiri,” ujar Bintang, tak sabar menunggu jawaban Talita.

Talita menatapnya lama. Entah harus menertawakan keyakinan polos itu, atau khawatir pada keberanian yang dimiliki anaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!