NovelToon NovelToon

Istri Bar-Bar Kesayangan Pak Guru

Bab. 1 Mendadak Nikah

Happy reading

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayunda Nafsha Azia binti Zain Kurniawan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Fix, mulai detik ini hidup-ku bakal berubah total.

Aku nggak pernah ngebayangin bakal menikah sama manusia yang paling aku benci sedunia--Arjuna Tsaqif. Guru fisika-ku sendiri.

Pria pemilik wajah menyebalkan dan omongan pedas, sepedas cabe satu kwintal.

Nggak ada yang bisa aku lakuin, selain pasrah dan nurutin kehendak ayah.

Om Adam, dialah orang yang menjadi penyebab pernikahan dadakan ini terjadi.

Dengan aktingnya yang sangat meyakinkan, dia berhasil ngeluluhin hati ayah.

Kata ayah, hidup Om Adam nggak bakal lama. Makanya, permintaan terakhirnya harus dituruti.

Di sini, di Rumah Sakit Adiwangsa, aku harus rela menelan kenyataan pahit. Terpaksa melepas status lajang di usia delapan belas tahun dan menjadi istri seorang pria berusia dua puluh enam tahun.

Nangis?

Nggak, aku nggak bakal nangis.

Aku bukan cewe cengeng, yang dengan gampangnya netesin air mata.

Aku Ayu, ketua Geng Srikandi.

...🍁🍁🍁...

Ayu masih berharap, pernikahannya dengan Arjuna hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang harus dihempas ke dasar laut, supaya tidak kembali lagi ke permukaan.

Tapi ternyata, harapannya yang harus dihempas.

Pernikahan Ayu dengan Arjuna nyata dan tidak bisa dibantah.

Menyedihkan.

Tetapi Ayu bisa apa, selain menerima kenyataan pahit yang tidak pernah dia bayangkan selama ini.

"Yu, cium tangan suamimu."

Ayu hanya bisa berdecak kesal ketika Inggrid memintanya untuk mencium tangan Arjuna, makhluk Tuhan yang paling menyebalkan baginya.

Jika boleh jujur, Ayu paling anti mencium tangan Arjuna. Tapi kali ini, ia terpaksa melakukannya demi menuruti perintah sang bunda, wanita yang paling dia sayang sedunia.

Adam yang tadinya tampak sekarat, seketika terlihat lebih segar setelah Ayu dan Arjuna menikah.

Ayu semakin yakin, Adam hanya berakting. Sebenarnya pria paruh baya itu tidak benar-benar sakit, apalagi sekarat.

Adam sengaja meminta Zain untuk menikahkan Ayu dengan Arjuna, hanya untuk menjadikan Ayu sebagai tumbal.

Tumbal untuk melepas predikat jomblo anak laki-lakinya yang sudah sepuh. Itu yang terbesit di dalam pikiran Ayu saat ini.

"Mulai sekarang, Ayu sudah menjadi tanggung jawabmu, Jun. Jaga Ayu dan bimbing Ayu. Jangan pernah menyakiti hatinya. Om percayakan Ayu padamu." Zain menepuk pelan bahu Arjuna, putra sahabatnya yang kini telah menjadi menantunya.

Dari sorot matanya, terlihat jelas jika Zain menaruh harapan besar pada Arjuna. Dan Ayu, hanya bisa memutar bola mata malas menyaksikan hal itu.

Ia tidak yakin, jika Arjuna akan sanggup menunaikan petuah ayahnya.

"Iya, Om. Saya akan menjaga Ayu dan membimbingnya. Insya Allah, saya juga tidak akan menyakiti hatinya."

Bulsit!

Bagi Ayu, perkataan Arjuna tak ubahnya suara tong kosong.

Bagaimana Arjuna bisa menjaga, jika tangannya saja ringan memukul dahi Ayu dengan menggunakan spidol. Untung tidak sampai benjol, apalagi bocor.

Bukan hanya memukul dahi, Arjuna juga mengeluarkan kata-kata pedas yang sukses menorehkan rasa sakit di hati Ayu.

"Kamu selalu bikin ulah, apa tidak bisa lebih baik dari ini?"

"Dong atau blong?"

"Seorang gadis itu seharusnya santun, bukan bertingkah selayaknya preman jalanan."

Itulah deretan kata-kata pedas yang pernah dilontarkan oleh Arjuna setiap Ayu berulah atau berisik di dalam kelas. Terlebih, ketika Arjuna menerangkan rumus fisika.

Terdengar datar, namun penuh penekanan.

Dulu, sewaktu pertama kali Arjuna mengajar di kelas, Ayu sempat menaruh hati padanya. Selain masih muda, paras Arjuna juga bisa dibilang tampan. Bak seorang artis Korea.

Bayangkan saja wajahnya mirip aktor Lee Min Ho. Hidung mancung, kulit putih bersih, mata indah, dada bidang, dan memiliki tinggi badan proporsional.

Tetapi itu dulu, sebelum Arjuna mematahkan hati Ayu dan membuatnya teramat kecewa.

Ayu merasa sangat kecewa ketika menemukan coklat viral yang diberikannya pada Arjuna, malah teronggok di tong sampah. Ia berpikir, Arjuna yang sengaja membuangnya.

Padahal, Ayu rela mengantri panjang di supermarket supaya bisa membelikan hadiah spesial di hari kasih sayang untuk sang guru idola-Arjuna Tsaqif.

Namun sayang, balasannya bukan kata terima kasih atau senyuman manis, melainkan hal yang paling menyakitkan hati dan akan selalu diingat oleh Ayu.

"Mulai hari ini, kamu tinggal di apartemen bersama Juna, Sayang." Alisa memeluk tubuh Ayu sambil membisikkan rangkaian kata. Terdengar semanis madu. Namun tersirat sikap dan tutur kata palsu. Ayu menyadari itu.

Dengan sangat terpaksa, Ayu mengangkat kedua tangannya yang semula menjuntai untuk membalas pelukan wanita yang kini telah resmi menjadi ibu mertuanya.

Setelah hari ini, aku yakin hidup-ku bakal menderita.

Aku bakal seperti burung yang dikurung di dalam sangkar dan nggak bisa terbang lagi ke mana-mana.

Aku bakal kangen tawuran. Aku juga bakal kangen adu jotos sama Arumi.

Huftttt ....

Ayu menghela napas panjang, menghempas rasa sesak yang kini bercokol di dalam dada.

Pelukan yang semula mengerat, terurai perlahan kala terdengar suara nada dering telepon. Ternyata suara itu berasal dari gawai yang tersimpan di dalam saku kemeja Ayu.

Ayu segera berpindah posisi di pojok ruang, supaya bisa menggeser layar gawai dan menerima panggilan telepon dari salah satu sahabat baiknya--Nofiya.

"Nyet, kamu lagi di mana sih? Anak-anak udah babak belur dipukul pake tongkat Pramuka sama bocah-bocah Geng Kunti."

"Aku lagi di rumah sakit, nengok sahabat ayah yang lagi sakit jantung. Bentar lagi aku menyusul ke sana." Ayu membalas ucapan Nofiya dengan melirihkan suara, agar suaranya tidak didengar oleh siapapun kecuali lawan bicara.

"Okay, aku sama anak-anak nunggu kamu di tempat biasa."

"Ogeh."

Aku harus segera keluar dari ruangan ini, biar bisa menyusul anak-anak dan nyelametin mereka.

Tapi alasan apa yang mesti aku gunain?

Satu menit Ayu berpikir dan ... akhirnya dia menemukan ide brilian.

"Bun, aku keluar dulu ya. Mau beli roti selai di mini market." Ayu terpaksa berdusta.

"Kamu laper, Yu?"

"Eng, bukan roti selai ... makanan, Bun. Maksud-ku pemba-lut." Ayu sedikit berbisik, supaya tidak terdengar oleh yang lain. Terlebih Arjuna.

Meski badung, Ayu masih mempunyai rasa malu jika membahas tentang tamu bulanan, apalagi tentang roti selai. Nama samaran dari pemba-lut.

"Ya sudah. Tapi jangan lama-lama ya! Nanti kembali lagi ke sini 'kan?"

"Nanti aku langsung pulang aja, Bun. Mau beberes kamar."

Inggrid menanggapi ucapan Ayu dengan anggukan kepala, dan itu membuat Ayu teramat girang.

Sebelum meninggalkan ruangan, Ayu terpaksa berpamitan pada Arjuna dan kedua mertuanya.

Ia juga terpaksa mencium punggung tangan mereka dengan takzim, supaya aktingnya kelihatan sempurna dan tidak membuat mereka curiga.

Namun sesempurna apapun akting Ayu, tetap tidak berpengaruh pada Arjuna, sebab Arjuna tidak akan mudah diperdaya.

Arjuna sangat hafal gerak-gerik Ayu.

Selain guru Fisika di SMA Jaya Bangsa, Arjuna juga bertugas sebagai wali kelas 12A. Kelas yang dihuni oleh Ayu.

Dan sekarang hubungan mereka berdua naik satu tingkat.

Ayu bukan hanya murid Arjuna yang terkenal badung. Tetapi, Ayu juga istri bar-bar yang mungkin bisa membuat hidup Arjuna penuh warna.

"Saya antar, Yu --"

Sial!

Arjuna malah menawarkan diri untuk mengantar Ayu.

"Nggak usah, Pak. Mini marketnya cuma deket." Ayu buru-buru menolak.

"Nggak pa-pa, Sayang. Biar dianter sama Juna ya." Alisa turut bicara.

"Eng ... nggak usah, Tante. Selain mau beli roti selai, aku juga mau mampir ke toilet. Kebe-let --" Ayu kembali berdusta.

"Ya sudah kalau begitu. Tapi hati-hati ya!"

"Iya, Tante." Ayu mulai mengayun kaki. Namun sebelum ayunan kakinya sampai di ambang pintu, Alisa mencegahnya.

"Tunggu, Sayang!" pinta Alisa.

Ck! Ayu berdecak pelan untuk menumpahkan rasa kesal, kemudian memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Alisa.

"Mulai hari ini, panggil Tante ... 'Mama'. Panggil Om Adam ... 'Papa'. Dan panggil suami kamu ... 'Mas Juna' --"

'Mas Juna'?

Lebay!!!

Ogah banget manggil Pak Juna ... 'Mas'.

"Ayu, kamu mau 'kan?" Alisa menyambung ucapannya.

Ayu terpaksa mengangguk dan memasang senyum manis, supaya Alisa merasa puas dan tidak mengulur waktu lagi.

Namun, lagi-lagi Ayu gagal melangkah pergi. Bukan karena Alisa, melainkan karena bundanya.

Inggrid berkata, jika ada hal yang ingin ia sampaikan. Penting dan Ayu harus tau.

"Maaf ... karena Ayu belum lulus SMA, lebih baik pernikahan Ayu dan Nak Juna dirahasiakan dulu untuk sementara waktu. Setidaknya, sampai Ayu lulus," tutur Inggrid.

Ayu merasa teramat senang ketika mendengar ucapan Inggrid dan serasa ingin melonjak karena saking girangnya.

Yeachhh!!

The best mother.

Bunda memang paling ngertiin aku.

Helaan napas lega keluar dari indera penciuman Ayu ketika semua orang yang berada di ruangan itu setuju untuk merahasiakan pernikahannya dengan Arjuna.

Itu berarti ... semua teman Ayu tidak akan ada yang tau jika status Ayu bukan lagi gadis lajang, melainkan istri Arjuna Tsaqif--seorang guru berusia dua puluh enam tahun.

Masih muda 'kan? Namun, karena teramat sebal pada Arjuna, Ayu menyebutnya 'sepuh' yang berarti tua.

Sebelum melangkah pergi, Ayu melabuhkan kecupan di pipi Inggrid sebagai tanda sayang dan ungkapan rasa terima kasih.

Lantas ia berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah lebar dan segera menyusul teman-temannya yang tengah berjuang melawan Geng Kunti--geng yang dipimpin oleh Arumi, musuh bebuyutan Ayu dari SMP.

🍁🍁🍁

Bersambung

Bab. 2 Geng Srikandi VS Geng Kunti

Happy reading

"Woee, berhenti!" Ayu berteriak lantang begitu tiba di Jalan Teratai, tempat anak-anak Geng Srikandi dan bocah-bocah Geng Kunti berkelahi.

Namun sayang, tidak ada yang mau mendengarnya karena terlalu fokus dengan perkelahian.

Tidak ada cara yang bisa ia lakukan untuk menghentikan perkelahian yang terlihat semakin sengit, selain ikut terjun ke medan pertempuran.

Dengan kelincahan gerakan tangannya, Ayu berhasil merebut tongkat yang dipegang oleh salah satu anggota Geng Kunti dan menjadikan Arumi sebagai incaran untuk dijadikan tawanan agar perkelahian mereka segera berhenti.

"Nyet, hati-hati! Di belakang-mu!" Nofiya berteriak ketika salah satu musuh mereka bersiap untuk memukul Ayu dari belakang.

Seseorang tiba di waktu yang tepat.

Ia berusaha melindungi Ayu dengan mencengkram kuat tongkat yang ingin diayunkan tepat ke kepala Ayu.

"Hentikan!" Titahnya--dengan suara yang terdengar menggelegar.

Seketika perkelahian pun terhenti dan atensi semua anggota geng mengarah pada sosok pemilik suara yang ternyata tidak asing.

"Pak Juna --" ucap mereka hampir bersamaan.

Mata Ayu membulat sempurna begitu wajah Arjuna memenuhi ruang pandang.

Ia tidak menyangka jika Arjuna akan menyusulnya.

"Semua bubar! Tinggalkan tempat ini dan jangan pernah berkelahi lagi!" Arjuna kembali melontarkan titah yang tak kuasa dibantah oleh semua anggota geng. Suaranya terdengar datar. Namun penuh penekanan.

Arumi sebagai ketua Geng Kunti, segera membawa anggota gengnya untuk meninggalkan tempat itu. Namun sebelum melangkah pergi, Arumi melayangkan tatapan menghunus ke arah Ayu dan mengancamnya untuk tidak mendekati Dimas.

Seperti biasa, Ayu membalas ancaman Arumi dengan memperlihatkan senyum mencemooh.

Baginya, ancaman itu hanyalah angin lalu yang tidak penting untuk ditanggapi.

"Nyit, gimana keadaan temen-temen?" Ayu bertanya pada Nofiya setelah Arumi dan anggota geng-nya menghilang dari pandangan mata.

"Noh lihat aja sendiri! Kepala Ririn sama Machan benjol!" ujar Nofiya sambil menggerakkan dagu, menunjuk ke arah Ririn dan Machan yang tampak merintih kesakitan sambil memegang dahi mereka yang benjol.

Ayu mengalihkan pandangan mata ke arah dua temannya yang ditunjuk oleh Nofiya. Benar saja, kepala mereka terlihat memar dan benjol akibat perkelahian tadi.

"Selain mereka berdua masih aman, Nyet. Temen-temen kita yang lain cuma luka ringan. Kita bisa obatin pake obat merah atau plester."

Ayu mengangguk pelan, lalu membuang napas kasar. Ia merasa bersalah karena telah datang terlambat.

"Kita bawa teman-temanmu yang terluka ke rumah sakit," tutur Arjuna--menginterupsi.

"Siapa yang akan membayar biaya rumah sakit, Pak?" Bukan Ayu yang menanggapi ucapan Arjuna, melainkan Nofiya.

"Saya yang akan membayarnya."

Ucapan Arjuna mencipta senyum di bibir Nofiya dan teman-temannya, terkecuali Ayu.

Ayu meyakini, jika setelah hari ini ... Arjuna akan selalu membuntuti dan akan membatasi ruang geraknya sebagai ketua Geng Srikandi.

"Yu, kamu ikut saya." Arjuna memecah hening yang sejenak tercipta dan membuat Ayu terhenyak.

"Nofiya dan yang lainnya gimana?" Ayu menanggapi perkataan Arjuna tanpa menatap lawan bicara yang saat ini tengah menatapnya.

"Mereka diantar Pak Hasan--sopir papa."

"Tapi, aku ingin menemani mereka --"

"Ririn, Machan, dan yang lainnya terluka karena aku datang terlambat," imbuh Ayu.

"Kita bisa bertemu mereka di rumah sakit."

"Tapi --"

"Kamu ikut saya atau --"

"Baiklah. Aku ikut kamu."

Ayu segera memangkas perkataan Arjuna. Seolah ia bisa menebak apa yang ingin dilontarkan oleh pria menyebalkan itu.

Ancaman.

Arjuna bisa saja membeberkan pernikahan mereka pada semua orang, jika perintahnya tidak diindahkan.

Dengan sangat terpaksa, Ayu menuruti perintah Arjuna dan membiarkan teman-temannya masuk ke dalam mobil bersama Hasan. Sementara dia, membonceng kuda besi milik Arjuna.

"Sesuai dugaan saya, kamu tidak pergi ke minimarket. Kamu sengaja berbohong supaya bisa menyusul teman-teman kamu dan ikut berkelahi bersama mereka," ucap Arjuna sambil fokus melajukan kuda besi.

"Makanya, saya meminta Pak Hasan untuk ikut bersama saya, karena saya yakin pasti banyak yang terluka akibat perkelahian tadi," sambungnya.

"Bagaimana Pak Juna bisa tau kalau aku nggak ke minimarket?"

"Tadi, saya mendengar obrolanmu dengan Nofiya. Mungkin kamu berpikir, suara kamu pelan dan tidak mungkin didengar oleh siapapun kecuali lawan bicara."

Huft ....

Ayu membuang napas kasar. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbicara lebih pelan, sehingga Arjuna mendengar obrolannya dengan Nofiya.

"Sebenarnya, apa yang membuat kalian sering berkelahi dengan Geng Kunti?"

Ayu membisu. Ia serasa enggan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Arjuna.

"Apa karena ... kamu dan Arumi memperebutkan Dimas?" tebak Arjuna sambil menoleh sekilas ke belakang, sehingga memaksa Ayu untuk membalasnya.

"Nggak. Sebenarnya, Arumi cuma salah paham aja. Dia cemburu, karena aku deket sama Dimas. Tapi kedekatan kami cuma sekedar teman, nggak lebih."

"Kenapa kamu tidak menjelaskannya pada Arumi? Supaya dia tidak terus menerus salah paham."

"Males, Pak. Yang namanya cemburu, dijelasin seperti apapun, nggak bakal percaya."

"Berarti kamu harus menjaga jarak dengan Dimas."

"Kenapa aku harus menjaga jarak dengan Dimas? Aku dan Dimas berteman dari kecil. Jadi wajar, kalau kami deket. Arumi-nya aja yang terlalu pencemburu dan terobsesi sama Dimas."

"Yu, status kamu sudah bukan gadis lajang lagi. Jadi, kamu harus bisa menjaga Marwah sebagai seorang istri."

"Maksud Pak Juna apa?"

"Nanti malam saya jelaskan. Supaya kamu paham, apa saja hak dan kewajiban kamu sebagai seorang istri."

Ck ...

Ayu berdecak dan memutar bola mata malas.

Selayaknya seorang remaja yang masih berusia belia, Ayu ingin menikmati masa muda dan belum siap menjadi seorang istri.

Apalagi menjalankan kewajiban yang pastinya teramat berat.

Tak terasa, roda kuda besi yang dikendarai oleh Arjuna sudah menginjak area parkir rumah sakit.

Tanpa diminta oleh Arjuna, Ayu bergegas turun dari jok sepeda motor.

"Kita susul teman-teman kamu. Mungkin mereka di UGD."

"Iya." Ayu mengangguk pelan, lalu membawa kakinya melangkah mengikuti ayunan kaki Arjuna.

Setibanya di UGD, Arjuna dan Ayu disambut ramah oleh seorang dokter berparas cantik yang kebetulan mengenal Arjuna.

Dia ... Dira. Saudara Arjuna.

"Jun, semua murid-mu yang terluka sudah kami obati. Mereka bisa langsung pulang," tutur Dira diiringi seutas senyum yang membingkai wajah cantiknya.

"Alhamdulillah. Makasih, Mbak."

"Sama-sama."

"Luka mereka nggak ada yang parah 'kan, Mbak?"

"Alhamdulillah, nggak ada."

"Syukurlah, kalau begitu aku tinggal dulu ke bagian administrasi --"

"Mau ngapain? Semua biaya pengobatan mereka sudah aku bayar."

"Waduh, malah merepotkan Mbak Dira."

"Nggak juga, Jun. Udah, santai saja. Aku nggak merasa direpotkan."

"Sekali lagi ... makasih ya, Mbak."

"Sama-sama. Salam buat Om Adam dan Tante Alisa ya."

"Iya, Insya Allah nanti aku sampaikan."

"Sip. Aku tinggal dulu ya. Ada pasien yang harus segera dioperasi."

"Iya, Mbak. Semoga lancar operasinya."

"Aamiin."

Dira kembali menerbitkan senyum, lalu melangkah pergi--meninggalkan Arjuna dan Ayu untuk melanjutkan tugas.

"Sepertinya, Pak Juna akrab banget sama bu dokter tadi." Ayu membuka obrolan.

"Iya. Dia ... Mbak Dira. Anak Om Firman--kakaknya papa."

"Owhh, aku kira mantan Pak Juna --"

"Seharusnya, Pak Juna memiliki istri seperti Dokter Dira. Cantik, lembut, cerdas, dan baik hati. Bukan seperti aku. Bedugalan." Ayu menyambung ucapannya, lantas mengayun kaki tanpa menunggu balasan dari Arjuna.

Andai kamu tau, Yu. Sebelum kita bertemu, aku pernah menjalin hubungan serius dengan seorang dokter. Hubungan kami kandas, karena dia lebih memilih pria lain yang mungkin lebih baik dari-ku.

Arjuna menghela napas dalam, lalu menghembuskan nya perlahan. Menghempas rasa sesak yang memenuhi rongga dada.

Setiap mengingat sang mantan kekasih, segumpal daging yang bersemayam di dalam dadanya terasa ngilu.

Rasa sakit karena pengkhianatan Cathy masih tersisa dan belum sembuh sepenuhnya, hingga membuat Arjuna enggan menjalin hubungan dengan wanita lain.

Namun demi menuruti permintaan papanya, ia terpaksa menikahi Ayu--muridnya sendiri dan berusaha ikhlas menjalani goresan takdir yang dikehendaki oleh Sang Penulis Skenario.

🍁🍁🍁

Bersambung

Bab. 3 Pindah Ke Apartemen

Happy reading

Seusai memasukkan beberapa stel pakaian ke dalam koper, Ayu menyapu seisi kamar dengan pandangan mata yang terbingkai sendu.

Ia serasa berat untuk meninggalkan kamarnya yang menyimpan sejuta kenangan dan belum siap jika harus pindah ke apartemen Arjuna.

Ayu masih belum mengerti, kenapa ayahnya bersikeras mengabulkan permintaan papa Arjuna dan memaksanya untuk menikah di usianya yang masih sangat belia.

Helaan napas terdengar berat dari indera penciumannya, seiring rasa sesak yang perlahan terhempas.

Ayu berusaha menenangkan hati yang terbalut resah dan meyakinkan dirinya bahwa ia mampu menjalani hidup bersama Arjuna.

"Ayu, sudah selesai belum? Juna sudah terlalu lama menunggu." Inggrid berjalan menghampiri Ayu yang kini tengah duduk di lantai kamar dengan beralaskan karpet bulu berwarna putih.

"Sudah, Bun." Ayu menjawab singkat dan menoleh sekilas ke arah bundanya.

Inggrid lantas mendaratkan bobot tubuhnya di sisi Ayu dan menatap lekat manik mata putri semata wayangnya yang terhias titik-titik embun.

"Maafkan Bunda. Seharusnya, Bunda bisa tegas menolak pernikahan kamu dengan Juna. Bukan malah membiarkan ayahmu mengabulkan permintaan sahabatnya --"

"Jujur, Bunda merasa bersalah."

Ayu memaksa dirinya untuk terlihat tegar di hadapan sang bunda dan menghias wajahnya dengan sebaris senyum.

"Bunda nggak usah merasa bersalah. Mungkin, takdirku memang begini. Aku harus menikah sama Pak Juna di usia yang masih sangat belia, Bun."

"Tapi, kamu masih SMA, Sayang. Masih banyak yang harus kamu lakukan untuk meraih impian dan cita-cita --"

"Bun, meski udah menikah ... aku masih bisa meraih impian dan cita-cita." Ayu memangkas ucapan Inggrid.

"Aku yakin, Pak Juna pasti bakal mendukung dan membatu-ku untuk meraih semua itu," imbuhnya--yang sebenarnya bertolak belakang dengan kata hati.

"Iya, Sayang. Semoga demikian."

Inggrid merengkuh tubuh Ayu, lalu membawanya ke dalam pelukan.

Sebagai seorang ibu, ia teramat menyesal karena tidak kuasa melawan kehendak suaminya. Menikahkan putri mereka di usianya yang masih sangat belia.

Cukup lama mereka saling berpeluk, diiringi tetesan air bening yang tak kuasa dibendung.

"Bun, aku pergi sekarang ya." Ayu berbisik lirih dan perlahan mengurai pelukan.

"Iya, Sayang." Inggrid membalas ucapan Ayu, lalu segera menyeka wajahnya yang basah dengan jemari tangan.

"Sering-seringlah datang ke rumah. Bunda akan selalu siap menyambut kedatanganmu dan mendengar keluh kesah mu."

"Iya, Bun. Kalau Pak Juna memberi izin, pasti aku bakal sering datang ke rumah untuk menemui Bunda."

Inggrid menerbitkan seutas senyum, lalu melabuhkan kecupan sayang di kening Ayu.

"Bunda bawakan kopermu --"

"Nggak usah, Bun. Aku bisa membawanya sendiri."

"Tapi, Bunda ingin membantumu."

"Bantu doa aja, Bun. Itu udah luar biasa buat aku." Ayu tertawa kecil dan membawa tubuhnya beranjak dari posisi duduk, disusul oleh Inggrid.

Satu tangannya menggandeng tangan sang bunda, sementara satu tangannya yang lain menarik koper.

Mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga, kemudian mengayun kaki menuju ruang tamu untuk menghampiri Arjuna yang tengah berbincang dengan Zain.

"Yah, aku pamit ya," ucap Ayu begitu tiba di hadapan ayahnya.

"Iya, Sayang." Zain membalas ucapan Ayu. Lantas membawa tubuhnya bangkit dari sofa, diikuti oleh Arjuna.

"Jadilah istri yang baik dan selalu patuhi suamimu. Jangan badung dan jangan sering berkelahi lagi," tutur Zain sambil memeluk erat tubuh putrinya.

"Iya, Yah." Ayu mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan.

"Maafkan Ayah. Ayah menyetujui permintaan Om Adam untuk menikahkan kamu dengan Arjuna, supaya kamu bisa berubah menjadi lebih baik. Tidak lagi badung dan menjadi seorang wanita yang berakhlak mulia."

Ayu mengurai pelukan begitu mendengar rangkaian kata yang dituturkan oleh Zain.

"Jadi, alasan Ayah mengabulkan permintaan Om Adam hanya karena itu?" Tetesan kristal bening mengiringi pertanyaan yang keluar dari bibir Ayu.

Ketegarannya melemah, bersamaan tubuhnya yang terasa lunglai.

Ia tak percaya jika ayahnya akan mengambil keputusan yang sangat tergesa.

Bukankah ada cara yang lebih bijak, selain menikahkannya dengan Arjuna?

"Yu, ayah sangat yakin ... Arjuna bisa membimbing mu dan menjadi suami yang baik untukmu. Karena itu, ayah mempercayakan kamu pada Arjuna --"

"Ayah mengerti perasaanmu. Mungkin, kamu marah dan kecewa pada Ayah. Tetapi kamu harus tau, Ayah menikahkan kamu dengan Arjuna ... karena Ayah sangat menyayangi kamu. Ayah tidak ingin, putri Ayah tumbuh menjadi seorang gadis yang bedugalan dan tidak tau aturan. Ayah juga tidak ingin, masa depan putri Ayah suram karena tidak mau belajar dengan baik dan sering berkelahi."

Zain menyeka wajah Ayu yang basah, lalu melabuhkan kecupan dalam di kening putri semata wayangnya itu.

"Ayah sangat menyayangi kamu, Yu," ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar.

Kini Ayu dan Inggrid mengerti, kenapa Zain bersikeras mengabulkan permintaan Adam--sahabatnya. Mereka berusaha menerima alasan itu dengan hati yang lapang, meski sebenarnya teramat sulit.

"Jun, kami percayakan Ayu padamu. Jaga putri kami dan bahagiakan dia," tutur Zain sambil memeluk singkat tubuh Arjuna.

"Iya, Yah. Saya akan menjaga Ayu dan berusaha membahagiakan dia."

"Sudah malam, lebih baik kalian segera berangkat ke apartemen." Zain kembali bertutur.

"Iya, Yah." Arjuna mengangguk pelan.

Setelah berpamitan, Arjuna melangkah pergi bersama Ayu. Meninggalkan rumah minimalis yang seakan enggan melepas kepergian salah satu penghuninya--Ayunda Nafsha Azia.

"Ayu, pegangan." Arjuna memecah hening yang menyelimuti mereka selama berada di perjalanan.

Ayu membisu dan enggan mengindahkan ucapan Arjuna.

"Ayu, pegangan." Arjuna kembali mengulangi ucapannya. Namun Ayu masih setia membisu. Wajahnya tampak muram. Seperti rupa langit di malam ini.

Arjuna menoleh sekilas ke belakang, lalu memandu tangan Ayu untuk melingkar di tubuhnya.

"Yu, jangan ngambek! Orang tua kita memang salah. Tapi seperti yang ayahmu bilang tadi. Apa yang mereka lakukan, sebenarnya bukan tanpa alasan. Mereka menikahkan kita karena teramat menyayangi kita," tutur Arjuna sambil mengusap pelan punggung tangan Ayu.

"Nggak adakah cara lain yang lebih bijak, selain itu?" Ucapan Arjuna berhasil memancing Ayu untuk menanggapinya.

"Entahlah. Mungkin yang terbesit di dalam pikiran mereka, hanya itu cara yang terbaik."

"Lebih baik, kita jalani saja hubungan ini dengan ikhlas dan ridho. Berserah pada Zat Yang Maha Rahman. Saling memotivasi dan menguatkan."

Tak ada balasan yang keluar dari bibir Ayu. Hanya helaan napas berat yang mewakili.

Rasa kantuk mulai menyerang, membuat Ayu tak kuasa membuka matanya lebar-lebar. Beruntung, kuda besi yang dikendarai oleh Arjuna telah sampai di basement parkir.

"Sudah sampai," ujar Arjuna.

Ia lantas menghentikan laju kuda besinya dan meminta Ayu untuk turun.

Mata yang semula menyipit, dipaksa-nya terbuka lebar. Menghempas rasa kantuk yang sempat meraja.

"Kamu sudah ngantuk berat, Yu?"

"Iya. Tumben, jam segini aku udah ngantuk."

"Kata orang, kalau kita gampang ngantuk, berarti ada jin di dekat kita," sambungnya tanpa menatap objek yang diajaknya bicara.

Ucapan Ayu menggelitik telinga dan mencipta sebaris senyum di bibir Arjuna.

"Bener nggak ya?" Ayu bermonolog lirih. Namun terdengar oleh Arjuna.

"Benar. Di dekatmu memang ada jin."

Ucapan Arjuna mendorong Ayu untuk menanggapi. Ia mengira jika di dekat nya memang ada jin.

"Jin nya cakep apa cantik?" Ayu melirik sekilas ke arah Arjuna dan memasang wajah yang terlihat sedikit jutek.

"Cakep. Cakep banget."

"Ck, andai aja aku bisa melihatnya. Pasti aku pacarin dia."

"Kamu bisa melihatnya."

"Di mana?"

"Di depan kamu. Arjuna Tsaqif."

Ayu menghela napas dan tersenyum samar. Tak ada secuil pun keinginan untuk menimpali ucapan Arjuna.

"Bagaimana, jadi dipacarin?"

"Nggak. Aku tarik ucapanku tadi." Ayu melenggang pergi, meninggalkan Arjuna yang belum beralih dari posisinya berdiri.

🍁🍁🍁

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!