Farhana tidak menyangka jika dirinya akan mengalami musibah yang bertubi-tubi. Niatnya ingin berlibur bersama kedua orang tuannya. Namun kecelakaan membuatnya harus kehilangan keduanya.
Tidak hanya kehilangan orang tua namun kedua kakinya dinyatakan lumpuh. Yang membuatnya lebih sedih lagi kenyataan akan identitasnya.
Orang tua yang selama ini sangat mencintainya ternyata bukan kedua orang tua kandungnya. Dunianya seakan runtuh seketika.
"Jangan bersedih. Mulai saat ini kamu akan tinggal bersama Kami di Ibu Kota," bujuk seorang Pria paruh baya yang mengaku sebagai ayah kandungnya.
Jika dipandang dengan teliti memang ada kemiripan dari raut wajahnya. Sorot matanya sangat tajam.
Farhana tetap diam tanpa memberikan jawaban. Hidupnya kini seakan tidak berarti.
Pria itu mendesah pelan. Sudah berhari-hari namun Farhana tidak mau membuka mulutnya sama sekali.
"Bagaimana dengan orang yang sudah menabrak Kami?" tanya Farhana untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut namun tegas.
"Kondisinya masih kritis. Maafkan atas kelalainya. Ia tidak berniat untuk menerobos lampu merah dan menyebabkan tabrakan itu. Namun remnya blong," jawab Tuan Pratama . Kedua tangannya terkepal erat. Seakan menyembunyikan rahasia dalam hati.
"Siapa dia bagi Anda?"
"Dia sopir keluarga Kami."
"...."
Farhana mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Tatapannya terlihat kosong.
Tidak ada pilihan ain selain keluar dari ruangan. Rencananya hari ini ia akan mengurus prosedur pemindahan sekolah Farhana.
Keesokan harinya Tuan Pratama membawa Farhana keluar dari rumah sakit. Mampir ke rumah yang selama ini ia tinggali.
Selama lebih dari lima belas tahun Farhana tinggal di Kota Bunga. Sebuah kota kecil dengan penduduk yang tak lebih dari sepuluh ribu orang.
Rumahnya cukup sederhana. Hanya bangunan dua lantai yang luasnya tidak seberapa. Namun mempunyai halaman yang cukup luas.
Tidak ada yang spesial dari rumah itu. Kecuali lokasinya yang agak terpencil dari rumah tetangga.
Halamannya sangat luas. Di kanan kirinya juga masih ada pekarangan yang dilindungi pagar besi. Dari celah-celah Kita bisa melihat apa saja yang ditanam disana.
Banyak yang beranggapan bahwa ayah Farhana seorang penjual jamu. Karena banyaknya tumbuhan obat yang ditanam di pekarangan rumahnya. Namun aslinya ia adalah seorang profesor yang bekerja dalam penelitian bidang medis.
Tanaman-tanaman itu merupakan bahan eksperimen nya. Di dalam rumah terdapat ruang rahasia yang berisi alat-alat eksperimen. Bisa dibilang juga sebagai laboratorium pribadi.
Tidak ada yang tahu jika di rumah kecil itu terdapat barang-barang rahasia yang dibutuhkan oleh para ahli medis.
Ibu Farhana hanya seorang ibu rumah tangga biasa dihadapan publik. Namun bagi Farhana , ibunya merupakan sosok yang luar biasa.
Ibu Farhana merupakan sosok legendaris di dunia medis. Ia terpaksa keluar dari profesinya saat hamil. Sejak saat itu orang yang menjadi murid satu-satunya adalah Farhana.
Farhana masuk kedalam rumah dibantu oleh asisten sang Papa. Sedangkan Tuan Pratama masih tetap di dalam mobil dengan laptop yang menyala.
"Barang-barang saya ada di lantai dua. Tolong bawa seperlunya saja, " kata Farhana datar.
"Baik Nona. "
Saat asisten Reno naik ke lantai dua, Farhana membuat panggilan pada seseorang. Ia meminta orang itu untuk menjaga rumah ini dengan baik.
Asisten Reno turun dengan dua koper ditangannya. Saat itu Farhana baru saja menyelesaikan panggilannya.
Mendiang kedua orang tua Farhana bukan asli warga sini. Jadi tidak ada saudara yang tinggal disini.
Asisten Reno membawa koper Farhana kedalam mobil. Farhana mengikutinya dari belakang dengan kursi rodanya.
Kursi roda Farhana berfungsi otomatis. Jadi meski tidak ada yang mendorongnya ia bisa mengoperasikannya sendiri.
Tuan Pratama membantu Farhana masuk kedalam mobil secara pribadi. Sedangkan asisten Reno menyimpan kursi rodanya di bagasi mobil.
Selama perjalanan tidak ada yang berbicara sama sekali. Farhana memilih memejamkan matanya, sedangkan Tuan Pratama melanjutkan pekerjaannya.
Mereka tiba di kediaman Pratama sore hari.
Kediaman Pratama merupakan bungalow mewah yang harganya melebihi sepuluh miliar. Farhana terpaku sejenak sebelum ada yang menyadarinya.
"Mulai saat ini Kamu akan tinggal disini. Bagaimana? apa Kamu suka? " kata Tuan Pratama dengan antusias.
Bungalow ini merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Ia memulai usaha dari nol sampai menjadi pengusaha yang terkenal. Namanya sering tertulis di majalah bisnis.
Pratama Aditama itulah namanya. Mempunyai istri Dewi Lestari. Selama pernikahan mereka dikaruniai tiga orang anak. Dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Putra pertama bernama Atalarik Aditama. Usianya dua puluh lima tahun. Saat ini ia bekerja di perusahaan ayahnya. Menjabat sebagai direktur utama.
Putra keduanya bernama Reza Pratama. Berusia dua puluh tahun. Berada di tahun kedua Universitas Tinggi Internasional. Jurusan ekonomi dan Bisnis.
Putri ketiganya tak lain Farhana Meriska yang tertukar saat bayi. Usianya lima belas tahun. Gadis tertukar bernama Putri Layla Aditama. Menjadi kesayangan keluarganya. Tumbuh menjadi anak yang manja dan suka berbuat ulah.
Putri saat ini masih duduk di kelas sembilan sekolah Menengah. Sedangkan Farhana sudah kelas sebelas Menengah atas. Dia terlahir cerdas sejak dini.Lompat kelas dua kali saat duduk di bangku sekolah dasar. Dan lompat satu kali di bangku Menengah Pertama.
Saat mengurus prosedur pemindahan sekolah, Tuan Pratama langsung terkejut mendengar banyaknya prestasi yang diraih oleh Farhana.
Ia dulu sempat berfikir kenapa Putri tidak memiliki kemampuan akademis seperti kedua kakaknya. Sekarang ia memiliki jawaban. Karena Putri bukan Putri kandungnya.
Padahal Ia belum kenal saja dengan orang tua kandung Putri yang tak lain orang tua yang sudah membesarkan Farhana. Mereka sama-sama orang yang genius.
"Bagus," jawab Farhana tanpa ekspresi. Senyum Tuan Pratama langsung surut.
"Kalau butuh sesuatu minta langsung pada pelayan. Nanti akan ada satu pelayan khusus yang Aku tugaskan untuk melayanimu. Sekarang Kamu bisa istirahat dulu di kamar. Papa juga mau istirahat sebentar."
Farhana menganggukkan kepalanya. Tuan Pratama memanggil seorang pelayan yang akan ia tugaskan untuk melayani segala keperluan Farhana.
"Bawa Nona ke kamarnya. Patuhi segala perintahnya. Apa Kamu mengerti?"
"Mengerti Tuan."
"Bagus. Kerjakan tugasmu dengan baik."
"Papa tinggal dulu ya?'
Lagi-lagi Farhana cuma mengangguk. Meski kecewa namun Tuan Pratama tidak bicara apa-apa. Ia segera naik ke lantai dua meninggalkan Farhana bersama pembantu pribadinya.
Pembantu itu bernama Santi. Usianya sekitar dua puluh tahunan.
Santi membantu Farhana mendorong kursi rodanya ke kamar yang akan ditempati mulai saat ini.
"Mulai sekarang Nona akan tinggal di kamar ini. Saya tinggal di kamar samping. Kalau Nona butuh sesuatu langsung tekan saja bel yang ada disana." kata Santi dengan ramah.
"Terima kasih bantuannya. Kamu sudah boleh kembali."
"Apa Nona tidak perlu dibantu mandi?"
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri."
Meski bingung, namun Santi menuruti keinginan Farhana untuk keluar dari kamar.
Setibanya di kamar, Tuan Pratama membuat panggilan pada Sang Istri. Saat ini Nyonya Dewi sedang berada di luar Negeri. Bukan untuk keperluan bisnis, melainkan menemani Putri melakukan perawatan.
Sebenarnya bukan sopir yang sudah menabrak mobil Farhana. Melainkan Putri yang saat itu mengendarai mobil ugal-ugalan. Padahal usianya masih lima belas tahun dan belum memiliki SIM.
Kebetulan sopir keluarga Pratama habis kecelakaan . Kondisinya sangat parah. Hingga saat ini masih dirawat di ruang ICU. Semua kesalahan dilimpahkan kepadanya dengan biaya yang sangat fantastis.
Selain Tuan Pratama , Putri dan Nyonya Dewi tidak ada yang mengetahui tentang kebenaran ini. Begitupun dengan kedua putranya.
Nyonya Dewi telah mengetahui jika Farhana merupakan putri kandungnya. Namun ia memilih menemani Putri keluar negeri tanpa peduli dengan keadaan Farhana sama sekali.
"Ada apa?" tanya Nyonya Dewi dengan tidak sabar.
"Bagaimana kondisinya?"
"Ah...kasihan sekali putriku. Kulit wajahnya samapi memar. Besok ia akan melakukan operasi plastik agar kulitnya kembali mulus."
"Apakah separah itu?" tanya Tuan Pratama dengan dahi mengkerut.
Dia sudah melihat dengan mata kepala sendiri kondisi Putri. Meski kekurangan darah, namun lukanya tidak separah yang diderita oleh Farhana.
"Apa yang Kamu katakan?"
"Tidak. Apa Kamu tidak ingin pulang?"
"Buat apa? Aku masih harus menemani Putri sampai benar-benar pulih."
"Dia sudah ada di rumah."
"Urusannya denganku apa? Ingat ya Tama Puri adalah putriku satu-satunya. Tidak akan ada yang pernah berubah. Terserah kalau dia mau tinggal disana. Tapi ingat...jaga batasan!"
Tut.....
Panggilan langsung diputus oleh Nyonya Dewi secara sepihak. Tuan Pratama menghela nafas dengan kasar. Ia melemparkan ponselnya ke atas kursi dengan kasar.
"Sial! Apa yang harus aku lakukan?"
Farhana tidak tahu jika dirinya telah membuat sepasang suami istri bertengkar. Ia sedang berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Meski Farhana menggunakan kursi roda, namun bukan kursi roda biasa. Kursi roda itu kiriman khusus dari sahabat Sang Ayah yang sudah dilengkapi alat-alat khusus yang dapat memudahkan Farhana beraktifitas.
Farhana sudah mulai terbiasa. Setelah melepas semua pakaiannya ia masuk kedalam bak mandi menggunakan kedua tangannya sebagai sokongan. Untungnya ia sudah berlatih bela diri sejak dini.
Selesai mandi , Farhana mengambil tas kecil yang sedari tadi ia bawa. Di dalamnya ada ponsel , dompet dan satu kotak perhiasan. Isinya bukan perhiasan tetapi satu set jarum akupuntur yang berwarna kuning keemasan.
Ia selalu membawa kotak itu kemanapun berada. Jarum itu diberikan oleh guru Farhana yang berasal dari Tiongkok.
Farhana naik ke atas kasur dengan perlahan. Setelah mendapatkan posisi yang pas, ia segera menancapkan jarum-jarum itu di tempat yang tepat. Rasa hangat mengalir di Kakinya. Setelah setengah jam jarumnya ia lepas.
Mendiang Ayah Farhana bukanlah orang sembarangan. Jadi sahabatnya juga bukan orang sembarangan. Salah satunya guru Farhana.
Waktu makan malam tiba. Santi datang untuk membawanya ke ruang makan.
Tok tok tok
"Non...boleh Saya masuk?" tanya Santi dengan sopan.
"Masuklah," jawab Farhana dari dalam kamar.
Santi segera membuka pintu kamar dan masuk kedalam. Saat ini Farhana sedang fokus dengan poselnya . Entah apa yang sedang ia lakukan.
"Ada apa?" tanya Farhana dengan datar.
"Tuan meminta Nona untuk makan malam bersama. Tuan Muda pertama dan Tuan muda kedua juga sudah menunggu di ruang makan."
"Bantu Aku sebentar," kata Farhana sambil menyimpan ponselnya di bawah bantal.
Santi membantu Farhana dengn hati-hati. Setelah memastikan Farhana duduk dengan baik, ia langsung medorong kursi roda itu ke ruang makan.
Didalam benak Santi banyak hal yang ingin ditanyakan. Ia bisa melihat Farhana sudah selesai membersihkan diri. Bagaimana cara Farhana mandi? Bagaimana ia bisa naik ke ats ranjang sendiri?
Ia sudah menunggu lama untuk membantunya. Namun Farhana tidak memanggilnya sama sekali.
Saat tiba di ruang makan, Farhana bisa melihat tiga lelaki yang sedang duduk di kursi makan. Salah satunya Tuan Pratama. Jadi bisa ia tebak kedua lelaki lainnya adalah kedua kakaknya.
"Selamat malam," sapanya dengan sopan.
"Selamat malam. Bagaimana istirahatnya?"
"Baik."
"Ini kedua kakak lelakimu. Ini Bang Ata dan ini Bang Reza."
"Halo," sapa Reza dengan ramah. Sudah lama ia ingin melihat adik kandungnya. Baru hari ini kesampaian.
"Hai."
"kalau butuh sesuatu panggil saja Bang Reza," katanya dengan semangat.
"Apa kalau dipanggil bisa langsung muncul?"
"?????"
Reza bingung menjawabnya. Dia bukan bangsa jin. Bagaimana dipanggil bisa langsung muncul?
"Jangan hiraukan perkataanya. Kalau butuh sesuatu bisa hubungi Nomer Bang Atta. Meski tidak bisa datang langsung, nanti asisten abang yang akan datang."
"??????"
Giliran Farhana kini yang bingung. Tuan Pratama yang diacuhkan merasa kesal tanpa alasan.
"Ayo makan dulu. Keburu masakannya dingin. Nanti rasanya tidak enak lagi."
Farhana mengangguk kepalanya dengan patuh. Saat ingin mengisi piring, langkahnya kalah cepat dengan Tuan Pratama. Tuan Pratama dengan telaten mengisi piring Farhana dengan makanan kesukaannya yang ternyata juga kesukaan Farhana.
"Papa belum tahu makanan kesukaanmu. Jadi papa isikan seadanya saja. Tidak masalah kan?"
"Terima kasih." Tuan Pratama mengangguk dengan puas.
Reza dan Atta saling pandang dengan heran. Sejak kapan papa mereka perhatian? Bahkan semenjak mereka kecil belum pernah Tuan Pratama mengisi piring mereka.
Selesai makan Bang Reza mengajak Farhana untuk berkeliling. Tuan Pratama dan Bang Atta pergi ke ruang kerja masing-masing.
Bang Reza mendorong kursi roda dengan hati-hati. Ia membawa Farhana ke taman yang ada di samping rumah.
"Kita duduk disini saja."
"Agar akrab bagaimana kalu Bang Reza memanggilmu Hana saja?"
"Boleh."
"Sebelumnya Bang Reza mau mengucapakan bela sungkawa atas meninggalnya Ayah dan Ibumu. Meski mereka bukan kedua orang tua kandungmu , namun mereka yang sudah merawatmu mulai dari kecil."
"Terima kasih," ucap Farhana dengan tulus. Kini ekspresinya lebih lembut. Mencoba untuk menerima kehadirannya.
"Kalau boleh bang Reza tahu Kamu mau melanjutkan sekolah di rumah atau di sekolah?" tanya Bang Reza dengan hati-hati. Takut jika ucapannya membuat Farhana menjadi sedih. Namun yang khawatirkan tidak terjadi. Ekspresinya terlihat biasa saja.
"Di sekolah saja."
"Mau pindah dimana? Apa mau di sekolah Putri? Kalian seumuran pasti kelasnya juga sama kan?"
"Memangnya Putri kelas berapa?'
"Kelas sembilan di SMP internasional."
"Saya kelas sebelas SMA."
Duar!!!
"Apa katamu?"
"Kelas sebelas SMA. Memangnya kenapa?"
"Kok bisa?"
"Memangnya tidak bisa?" tanya Farhana heran. JIka di kota kecil saja progam akselerasi tersedia pasti di kota besar juga ada kan?
"Kamu ikut progam akselerasi?"
Farhana Menganggukan kepalanya dengan jujur. Bang Reza merasa takjub sekaligus senang.
"Apa yang sedang Kalian bicarakan?" tanya Tuan Pratama yang tiba-tiba muncul dengan raut masam. Melihat Farhana langsung akrab dengan Reza membuat Tuan Pratama cemburu. Padahal ia yang sudah lama bersamanya.
Keesokan harinya Farhana bangun seperti biasa saat masih tinggal di kota bunga. Ia akan bangun pukul empat pagi untuk beribadah dan berolahraga setelahnya.
Saat Santi datang, ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Santi benar-benar tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Nona...boleh Saya tanya sesuatu?" tanyanya dengan hati-hati.
"Mau tanya apa?" tanya Farhana tanpa menoleh.
"Bagaimana cara anda mandi dan berpakaian?"
Farhana yang sedang fokus dengan ponsel langsung mendongak dan menatap kearahnya. Tatapanya sangat tajam membuat Santi merinding tanpa sadar.
"Maaf kalau_"
Santi tidak melanjutkan ucapannya saat melihat kursi roda yang farhana duduki tiba-tiba bergerak hingga membuat Farhana nampak seperti berdiri meski tidak tegak secara sepenuhnya.
Kedua mata Santi terbelalak karena terkejut.Tidak berhenti sampai disitu saja, Farhan juga mempraktekkan bagaimana ia naik keatas kasur kemudian kembali ke kursi roda. Ternyata kedua tangannya bertindak sebagai tumpuan.
"Hebat!" seru Santi dengan semangat.
"Kedua tangan Nona sangat kuat," lanjutnya lagi.
"Sejak kecil kedua orang tua sudah mengajarkan Saya ilmu bela diri."
Farhana tidak berbohong. Ia sudah berlatih bela diri sejak kecil. lari, push up, sit up dan handstand sudah menjadi makanan sehari-harinya sebelum memulai pelatihan.
"Luar biasa," puji Santi dengan tulus.
"Sudahlah...tidak perlu dibahas lagi. Lebih baik sekarang kita keluar. Keburu telat nanti."
"Siap!"
Santi mendorong kursi roda Farhana ke ruang makan. Farhana tidak menolaknya. Kecuali mengurus keperluan pribadinya, Santi bisa melanjutkan pekerjaanya dengan baik.
Saat tiba di ruang makan belum ada satupun pihak keluarganya yang turun. Ia menunggu mereka sambil membuka ponselnya.
Selain Santi dirumah ini masih ada empat orang pembantu wanita. Dua orang pembantu laki-laki. Tiga orang supir . Dan dua orang satpam yang bertugas secara bergiliran.
Tak lama kemudian Tuan Pratama tiba . Kemudian kedua kakak laki-lakinya juga tiba secara bersamaan.
"Selamat pagi cantik. Bagaimana tidurnya semalam," sapa Bang Reza dengan ceria.
"Selamat pagi. Semalam tidurku nyenyak."
"Bagus . Kalau butuh sesuatu jangan_"
"Diam!" kata Tuan Pratama dengan tegas. Wajahnya terlihat murung. Entah apa yang membuat kesal pagi itu.
"Papa tidak asyik," keluh bang Reza sambil mencomot roti yang ada di depannya.
"Makan tidak boleh bersuara."
"Lah Kita kan_"
Plak!
Bang Atta memukul kepala Reza tanpa kasihan. Bukan hanya Papanya saja yang sebal dengan ulah Bang Reza. Tapi bang Atta juga sama. Namun keduanya tidak terbiasa bertindak blak-blakan seperti yang dilakukan oleh Bang Reza.
"Aduh...apa-apaan sih Bang!"
"Dibilang kalau makan jangan bericara masih saja berbicara."
"Tapi kan biasanya_"
"Mau pukul lagi?"
Farhana yang diam-diam memperhatikan perdebatan itu tersenyum tanpa ia sadari. Kebetulan Tuan Pratama sedang menatapnya. Senyum itu terlihat oleh Tuan Pratama.
Tuan Pratama menoleh ke arah kedua putranya yang masih asyik berdebat. Diam-diam merasa senang.
"Mau makan apa?" tanya Tuan Pratama dengan lembut. Farhana yang masih melihat kearah kedua kakaknya langsung menoleh kerahanya.
"Biar Hana sendiri saja," jawab Farhana tak kalah lembut.
Tuan Pratama menatap Farhana tak berkedip. Ia masih terpesona oleh ucapan lembut farhana. Kesabarannya ternyata mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Pa...."
"Eh...apa!"
"Apaan sih Pa pakai teriak segala,"keluh Bang Reza dengan cemberut.
Tuan tak menghiraukan keluhan sang putra sama sekali. Ia mengisi piring yang ada dihadapan Farhana dengan makanan yang sama dengan yang ada di piringnya.
"Makanlah"
"Terima kasih."
Selesai sarapan Tuan Pratama dan Farhana pergi ke sekolah untuk mengurus surat pemindahan ke sekolah barunya. Farhana sendiri yang memintanya. Dari pada diam dirumah lebih baik melakukan aktifitas di luar rumah.
Meski ia harus duduk di kursi roda ia tidak merasa rendah diri. Bagaimanapun kondisi kakinya tidak menghalanginya untuk terus belajar.
Lagi pula ia bukan lumpuh secara permanen. Asal mendapatkan perawatan secara teratur kondisi kakinya bisa pulih secepatnya.
Kondisi rumah sakit tempat ia dirawat sebelumnya belum ada dokter profesional. Jadi mendiagnosa pasien sesuai kemampuannya saja.
Semangatnya kembali pulih saat mengingat mendiang kedua orang tuanya. Ia akan membuat mereka bangga telah merawatnya dengan penuh cinta.
Tuan Pratama membawa Farhana ke SMA bertaraf internasional. Sekolah terbaik yang ada di sana. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai kesana.
Begitu tiba di sekolah. Tuan Pratama langsung mendorong kursi roda Farhana ke ruang guru. Suasana diluar ruangan cukup sunyi karena para murid berada di dalam kelas masing-masing.
Tok... Tok... Tok
"Permisi."
"Silahkan masuk."
Tuan Pratama mendorong kursi roda Farhana masuk ke dalam kantor. Suara gesekan roda terdengar di telinga. Beberapa Guru yang masih ada di dalam ruangan sontak menoleh kearah mereka.
Seorang guru yang bernama Firda berdiri dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
"Selamat pagi, Ada yang bisa Saya bantu?"
"Saya ingin memindahkan putri Saya kesekolah ini . Apa bisa?"
"Silahkan duduk dahulu."
Tuan Pratama dan Farhana duduk di kursi yang ditunjuk oleh Bu Firda .
"Boleh minta surat pengantar dan transkip nilai dari sekolah asal?"
Dia tidak bisa langsung menyetujuinya dengan mudah. Nilai yang ada di transkip nilai Farhana tidak ada yang boleh dibawa standar. Khususnya dalam materi bahasa inggris.
Farhana segera mengeluarkan surat pengantar dan juga transkip nilai dari dalam tasnya. Kemudian dengan sopan memberikannya pada Bu Firda.
Begitu melihat nilai yang ada di dalam transkip kedua mata Bu Firda langsung berbinar.Ia mengalihkan pandangannya dan menatap Farhana dengan lembut.
"Bagus. Kalau begitu jurusan apa yang akan Kamu ambil?"
"IPA," jawab Farhana tanpa pikir panjang.
Bu Firda tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhana dengan agak canggung.
"Apa ada masalah?''tanya Tuan Pratama saat melihat ada yang tidak beres.
"Maaf jika ucapan Saya agak menyinggung. Sebenarnya kelas IPA ada di lantai tiga. Bisakah dia naik kesana?" tanya Bu Firda dengan hati-hati.
"Terima kasih atas perhatian Bu Guru. Kalau begitu Jurusan apa saja yang ada di lantai satu ini?" tanya Farhana dengan lembut. Dengan kondisinya saat ini ia memang tidak bisa naik ke lantai tiga. Lebih baik pilih jurusan yang lain saja.
"Ada jurusan matematika dan Sastra."
"Kalau begitu jurusan Matematika saja."
"Kamu serius?"
"Serius."
"Baiklah kalau begitu. Prosedurnya akan Saya urus. Mau masuk sekarang atau besok saja?"
"Besok saja. Hari ini Saya ingin membawanya untuk periksa di rumah sakit," jawab Tuan Pratama sebelum Farhana sempat menjawab.
"Baik kalau begitu . Untuk seragam bisa membeli langsung di koperasi sekolah ."
"Baik . Terima kasih. Kalau begitu Kami pamit undur diri dulu."
"Silahkan."
Tuan Pratama mendorong kursi roda Farhana untuk keluar dari kantor. Mereka mampir sebentar ke koperasi untuk membeli seragam sekolah dan keperluan lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!